• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis

2. Hasil Pengujian Hipotesis

Dari hasil perhitungan uji prasyarat menunjukan bahwa data kemampuan penalaran adaptif matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen. Untuk menguji perbedaan dua rata-rata kelompok eksperimen dan kelompok kontrol digunakan uji t.

Setelah melakukan perhitungan dengan menggunakan uji t maka diperoleh thitung= 4,45 menggunakan tabel distribusi t pada taraf signifikansi 5% dan derajat kebebasan (db) = 61, diperoleh harga ttabel (α=0.05) = 2,00. Hasil perhitungan uji hipotesis disajikan pada tabel 4.9

Tabel 4. 9 Hasil Uji Hipotesis

Dari tabel 4.9 terlihat bahwa thitung > ttabel (4,45 > 2,00) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima, dengan taraf signifikansi 5%, berikut sketsa kurvanya:

Kelas Jumlah Sampel Varians (s2) F Kesimpulan Hitung Tabel 05 , 0   Eksperimen 30 186,58 1,14 1,84 Terima H0 Kontrol 33 212,78

Kelas thitung ttabel (α=0.05) Kesimpulan Eksperimen

4,45 2,00 Tolak Ho

Gambar 4.5

Kurva Uji Perbedaan Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Berdasarkan gambar 4.5, dapat terlihat bahwa nilai thitung yaitu 4,45 lebih besar dari ttabel yaitu 2,00. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa �0 ditolak, sedangkan�1 diterima. 1 menyatakan bahwa rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan metode konvensional dengan taraf signifikans 5%.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif matematik Siswa

Dari hasil pengujian hipotesis terdapat perbedaan rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih baik dari pada pembelajaran dengan metode konvensional. Ini dikarenakan metode TAPPS memuat beberapa langkah dalam pelaksanaannya yang mengharuskan siswa untuk menyampaikan dan mengembangkan ide matematikanya dalam memerani tugasnya sebagai problem solver dan listener. Temuan penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lia Kurniawati (2006) tentang “Pembelajaran Dengan

2,00 4,45

Pendekatan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Penalaran Matematika Siswa SMP” yang mengungkapkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pemecahan masalah memiliki skor rata-rata yang lebih besar dalam semua aspek baik pemahaman, penalaran, maupun secara keseluruhan dari pada siswa yang pembelajarannya secara biasa/konvensional.1

Hasil pengamatan sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode TAPPS, kegiatan pembelajaran berpusat pada guru. Siswa hanya mendengarkan, mencatat kemudian menghafalkan. Pembelajaran tersebut membuat siswa menjadi pasif sehingga kurang mengembangkan ide-ide pikiran mereka. Ini mengakibatkan kemampuan penalaran adaptif siswa kurang berkembang dengan baik. Ketika siswa diminta mengerjakan soal di papan tulis banyak siswa yang mengeluh “tidak mengerti” atau “tidak bisa”. Selain itu, karena pembelajaran bersifat monoton beberapa siswa terlihat tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan belajar. Terlihat dari adanya siswa yang lebih memilih mengobrol dengan teman dibandingkan bertanya pada guru saat mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru.

Kelompok eksperimen yang pembelajarannya menggunakan metode TAPPS pada setiap pertemuannya diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang di dalamnya memuat langkah-langkah penyelesaian masalah. Penemuan rumus yang terdapat dalam LKS harus diselesaikan sesuai dengan tugasnya masing-masing sebagai problem solver dan listener. Metode TAPPS memfasilitasi siswa untuk menuangkan ide dan gagasannya pada LKS, inilah yang menstimulus siswa untuk bernalar. Terbukti kemampuan penalaran adaptif matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.

Pembelajaran menggunakan metode TAPPS membuat siswa antusias dan tertantang dalam menemukan rumus trigonometri secara mandiri dengan bantuan langkah-langkah yang tertera pada LKS. Akan tetapi tidak sedikit

1

Lia Kurniawati, Pembelajaran Dengan Pendekatan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Penalaran Matematika Siswa SMP, dalam Algoritma, 2006, h. 91

siswa yang kaku dengan pembelajaran ini. Pada saat mengerjakan LKS siswa kurang percaya diri, hal ini terlihat dari seringnya siswa bertanya pada guru jawaban tersebut benar atau salah. Serupa dengan hal tersebut, saat memaparkan kepada listener-nya siswa masih kesulitan karena siswa belum terbiasa aktif dalam mengemukakan gagasan matematikanya. Selain itu, siswa juga belum terbiasa dalam menemukan konsep rumus secara mandiri karena sebelumnya diperoleh informasi bahwa pada pembelajaran matematika biasanya menerima rumus secara langsung dari guru, siswa hanya diberikan setumpuk latihan soal yang penyelesaiannya serupa dengan contoh-contoh soal yang diberikan guru. Selain itu banyak siswa yang kemampuan dasar trigonometrinya masih kurang.

Pembelajaran menggunakan metode TAPPS pada setiap pertemuannya mengangkat dua permasalahan yang harus diselesaikan oleh problem solver dan listener. Berikut adalah gambaran jawaban siswa dalam memecahkan permasalahan dan dalam memberi tanggapan pada salah satu LKS.

 Contoh jawaban problem solver dalam memecahkan masalah dan listener dalam memberi pertanyaan atau tanggapan saat membahas permasalahan I

(Gambar 4.6.2)

 Contoh jawaban problem solver ke-dua dalam memecahkan masalah dan listener ke-dua dalam memberi pertanyaan atau tanggapan pada saat membahas permasalahan II (setelah bertukar peran)

(Gambar 4.6.3)

(Gambar 4.6.4) Gambar 4.6

Cara siswa kelas eksperimen dalam menjalani peran sebagai problem solver

Gambar 4.6.1 memperlihatkan cara siswa yang pertama kali menjadi problem solver dalam menyampaikan gagasan dan pemikirannya. Dalam memecahkan permasalahan I, siswa dapat mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam LKS sehingga siswa tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menyampaikan kepada listener. Pada gambar 4.6.2 diperlihatkan tanggapan dari siswa yang berperan sebagai listener. Saat terjadi kebingungan listener diperkenankan memberikan pertanyaan kepada problem solver. Gambar 4.6.3 dan 4.6.4 juga memperlihatkan jawaban siswa dalam menjalani perannya sebagai problema solver dan listener. Bedanya ini terjadi setelah mereka bertukar peran karena permasalahan yang dibahas adalah permasalahan II.

Setelah siswa sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran yang menggunakan metode TAPPS, siswa sangat antusias dalam mengerjakan LKS yang dibuat oleh peneliti. Mereka sangat tertarik dengan kegiatan menemukan konsep rumus trigonometri. Itu dikarenakan mereka bangga pada diri mereka karena mampu menemukan secara mandiri dan tidak perlu menghafal rumus tetapi memahami penemuannya. Siswa juga tertantang untuk mengerjakan latihan yang ada dalam LKS. Walaupun masih ada beberapa siswa yang belum berpartisipasi aktif dalam mengerjakan LKS-nya, ini merupakan tugas guru untuk selalu memotivasi mereka agar bisa terlibat dalam pembelajaran aktif. Saat mengerjakan LKS, siswa diberikan waktu untuk terlebih dahulu membaca, memahami, dan menyiapkan langkah-langkah penyelesaian dari permasalahan yang didapatnya sebelum dipaparkan kepada listener.

Pada kelas kontrol pembelajaran menggunakan metode konvensional. Sebagai upaya meningkatkan kemampuan penalaran adaptif, pembelajaran kelas kontrol didesain lebih interaktif. Berbeda dengan kelas eksperimen yang pembelajarannya bersifat mandiri, pada kelas kontrol siswa tidak secara langsung menemukan konsep tetapi melalui penjelasan guru. Guru sebagai pusat pembelajaran, memudahkan guru dalam mengajak siswa bernalar melalui cara penyampaian guru. Tetapi jika siswa hanya melihat tanpa ikut dalam proses akan sulit melatih kemampuan penalarannya. Maka diperlukan interaksi agar siswa tidak hanya melihat tetapi ikut memberikan gagasan

dalam merumuskan konsep walaupun tidak secara langsung. Pada proses interaksi guru dengan siswa ini, diharapkan dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan penalaran adaptifnya.

Tes akhir kemampuan penalaran adaptif matematik untuk kelas eksperimen dan kontrol dilakukan dengan soal yang sama yaitu 5 soal essay yang terdiri dari 3 indikator penalaran adaptif. Berikut perbandingan cara menjawab siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

1. Kemampuan memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan Indikator penalaran adaptif yang pertama adalah mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan, terdapat 3 butir soal yang mengukur indikator ini, yaitu soal nomor 1, 2 dan 5

Soal nomor 1 dan 2

(1) Buktikan identitas trigonometri dibawah ini: a. cos cos

cos +cos = tan

1

2 + tan

1

2

b. Sertakanlah alasan yang valid pada setiap langkahnya!

(2) Diketahui adalah segitiga sebarang dengan + + = 180°. Buktikan bahwa tan + tan + tan = tan tan tan . Sertakan pula alasan pada setiap langkah pembuktianya!

 Cara menjawab siswa kelas kontrol

Gambar 4.7

Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Pada Indikator Pertama

Pada soal nomor 1 dan 2 ini sebagian besar siswa menjawab benar. Pada hasil perhitungan rata-rata, baik kelas kontrol maupun eksperimen memiliki persentase tertinggi yaitu 71,48% untuk kelas eksperimen dan 56,23% untuk kelas kontrol. Ini membuktikan sebagian besar siswa mampu memberikan alasan dalam memberikan jawaban. Rata-rata kelas eksperimen pada indikator ini memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Terdapat perbedaan cara menjawab pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Siswa pada kelas eksperimen mampu memberikan alasan yang jelas pada setiap langkah yang diberikan. Langkah dalam pembuktiannya juga lebih terstruktur dibandingkan jawaban siswa kelas kontrol. Sedangkan pada kelas kontrol, siswa mampu memberikan jawaban tetapi kesulitan dalam memberikan alasannya. Ini dikarenakan siswa hanya mampu mengingat dan menghapal rumus yang diberikan oleh guru tanpa memahami alasan dalam pembuktiannya sehingga tidak mengenal alasan-alasan dalam pembuktian soal matematika. Sedangkan kelas eksperimen yang diajarkan secara mandiri, mereka sudah terbiasa untuk membuktikan rumus sehingga mereka mengenal alasan-alasan yang digunakan dalam membuktikan soal. Sehingga untuk indikator mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan, pada

metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih baik diterapkan dari pada metode konvensional

2. Kemampuan menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan Pada indikator yang kedua ini, diukur oleh soal nomor 3

Soal nomor 3

Hitunglah besar sudut A, B, dan C pada suatu jika diketahui:

1 cos cos = sin sin (2) sin cos = cos sin

Berdasarkan besar sudut yang kamu dapatkan, tentukan pula jenis dari beserta alasannya!

 Cara menjawab siswa kelas eksperimen

 Cara menjawab siswa kelas kontrol

Gambar 4.8

Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Pada Indikator Kedua

Dapat dilihat dari gambar 4.8, kelas eksperimen dapat memberikan jawaban yang benar dan kesimpulan yang valid. Siswa kelas eksperimen mampu menemukan nilai dari sudut A, sudut B, dan sudut C. Selain itu kelas eksperimen mampu memberi kesimpulan yang baik. Siswa mampu menyimpulkan bahwa jika sudut A dan B mempunyai nilai yang sama yaitu 45° maka segitiganya sama kaki. Dan bila sudut C diperoleh 90° maka segitiganya menjadi segitiga siku-siku sama kaki. Tidak banyak siswa yang mampu menyimpulkan dengan benar dan teliti. Seperti yang terjadi pada kelas kontrol, siswa hanya mampu memberikan jawaban sebatas segitiga siku-siku saja. Untuk indikator ini kelas eksperimen dan kontrol sangat jauh berbeda. Persentase rata-rata pada kelas eksperimen 48,89% dan kelas kontrol 27,27%. Selisih rata-rata kemampuan ini adalah 21,62%. Selain itu, indikator ini adalah indikator yang paling rendah untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Siswa memang dirasa masih sangat kurang dalam memberikan kesimpulan.

3. Kemampuan menemukan pola dari suatu masalah matematika Indikator penalaran adaptif yang ketiga terdapat pada soal nomor 4 Soal nomor 4

 Cara menjawab siswa kelas kontrol

Gambar 4.9

Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Pada Indikator Ketiga

Dapat dilihat dari gambar 4.9, terdapat perbedaan dalam menjawab untuk siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Soal nomor 4 menugaskan siswa untuk mampu manalarkan pola dari rumus sinus sudut ganda. Siswa kelas eksperimen terlihat mampu menalarkan hubungan antara informasi yang ia punya dengan perintah pada soal. Saat siswa diberikan soal menemukan sebuah pola, siswa tersebut harus benar-benar sudah menguasai informasi yang ia punya. Disini, siswa kelas eksperimen lebih memahami tentang rumus sudut ganda dibanding siswa kelas kontrol. Hal ini terjadi karena siswa kelas eksperimen telah menemukan secara mandiri untuk rumus sudut ganda. Sedangkan kelas kontrol hanya menerima dari guru saja. Ini mengakibatkan siswa kelas kontrol kurang mampu menalarkan dan mengaitkan informasi tersebut dalam menemukan sebuah pola. Untuk indikator ini siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan lebih tinggi dalam menemukan pola masalah matematika dibanding kelas kontrol.

Nilai tertinggi pada kelas eksperimen adalah 93. Hanya ada 2 siswa pada kelas ini yang mendapatkan nilai 93 dengan skor 14 dari skor tertinggi yaitu 15. Rata-rata skor yang diperoleh setiap butir soal adalah 2 dan 3. Dari 2 orang yang mendapatkan nilai tertinggi tersebut, kesalahan yang dilakukan pada butir yang sama yaitu pada soal nomor 3. Soal nomor 3 ini adalah untuk mengukur indikator “mampu menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan”. Ini terlihat jelas bahwa kebanyakan siswa memang sangat rendah dalam memberi

kesimpulan dari suatu permasalahan. Kesalahan yang terjadi ada pada kurangnya kemampuan dasar siswa dalam menentukan jenis dan sifat segitiga. Disamping itu, siswa kurang teliti dalam menentukan besar sudutnya. Untuk nilai terendah pada kelas eksperimen adalah 40. Terdapat 3 orang pada kelas eksperimen yang mendapat nilai 40 dengan skor 6. Untuk nilai terendah ini, terdapat skor 0 pada masing-masing siswa. Skor tersebut pun berbeda-beda pada setiap indikator.

Nilai tertinggi pada kelas kontrol adalah 80. Terdapat satu orang pada kelas kontrol yang mendapat nilai tertinggi dengan skor 12. Skor terendah ada pada butir soal nomor 4 yang mendapatkan skor 1, yaitu pada kemampuan menemukan pola masalah matematika. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang diketahui dalam pembuktian rumus sehingga siswa tersebut kurang mampu menghubungkan rumus tersebut dengan pola yang diminta pada soal. Skor terendah pada kelas kontrol adalah 20 dengan jumlah skor 3. Siswa yang mendapat nilai terendah ini adalah 2 orang. Kedua siswa tersebut menjawab sebanyak 3 soal dengan skor masing-masing 1.

Berdasarkan hasil deskripsi data dapat kita lihat nilai rata-rata skor kemampuan penalaran adaptif matematik siswa kelas eksperimen sebesar 63,80. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata skor kemampuan penalaran adaptif matematik siswa kelas kontrol yaitu sebesar 47,18. Hal ini sejalan dengan hasil uji hipotesis dimana H1 diterima. Dengan hipotesis H1 adalah Rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa pada kelompok kontrol. Kedua hasil ini sesuai dengan teori yang sudah dibahas pada bab II mengatakan bahwa TAPPS dapat meningkatkan kemampuan analisis dengan cara membantu siswa untuk merumuskan ide-ide, melatih konsep, memahami tahapan-tahapan pokok dalam proses berfikir dan mengetahui kesalahan dari hasil penalaran seseorang.2 Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa metode TAPPS mampu

2

Elizabeth F Barkley. Student Engagement Techniques: A Handbook For College Faculty. 2010. USA: PB Printing. P.259

membantu siswa dalam merumuskan ide-ide matematikanya. Dengan menyalurkan ide matematikanya, siswa dapat lebih mengeksplorasi hasil pemikirannya. Dalam proses berfikir seperti ini, siswa terlatih untuk melakukan kegiatan penalaran. Selain itu, teori diatas juga menekankan bahwa TAPPS dapat membantu siswa mengetahui kesalahan dari hasil penalaran seseorang. Untuk mengetahui kesalahan tersebut, siswa tidak hanya sebatas melakukan pengoreksian saja tetapi juga melakukan proses berfikir dan bernalar terhadap hal yang disampaikan oleh teman. Jadi berdasarkan keterkaitan teori dengan hasil penelitian maka jelaslah bahwa metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematik siswa.

Dokumen terkait