• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Hasil Praperlakuan Fisik dan Biologi

Pada penelitian ini dilakukan dua metode praperlakuan yang berbeda yaitu fisik dan biologi untuk membandingkan keefektifan kedua praperlakuan tersebut terhadap produksi enzim selulase. Pada hasil yang diperoleh, praperlakuan yang telah dilakukan berhubungan dengan beberapa keadaan seperti degradasi lignin yang merupakan tujuan dari praperlakuan tersebut sehingga mampu memudahkan aktivitas mikroba mengutilisasi selulosa lebih banyak dan pengaruhnya terhadap hasil produksi enzim selulase oleh mikroba. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut mengenai hasil praperlakuan fisik dan biologi.

4.4.1 Hubungan Praperlakuan Fisik dan Biologi dengan Degradasi Lignin

Praperlakuan merupakan salah satu dari rangkaian produksi enzim selulase dari bahan lignoselulosa. Kandungan lignin yang merupakan penghalang akses hidrolisis selulosa didegradasi sehingga memudahkan aktivitas mikro organisme menghidrolisis selulosa dan menghasilkan enzim selulase. Pada penelitian ini metode praperlakuan biologi memberikan hasil yang baik dalam tinjauannya mendelignifikasi bila dibandingkan dengan metode praperlakuan secara fisik yang hanya mereduksi ukuran dan memperluas permukaan biomassa. Hal ini didukung oleh hasil analisis kadar lignin-selulosa dengan metode Chesson. Tabel 4.1 berikut adalah hasil analisis kadar lignin-selulosa biomassa eceng gondok awal, setelah praperlakuan fisik, dan biologi.

Tabel 4.1 Kadar Lignin-Selulosa Biomassa Eceng Gondok Biomassa eceng gondok Kadar lignin Kadar selulosa

Sebelum praperlakuan 5,99% 27,78% Setelah praperlakuan fisik 4,63% 29,91% Setelah praperlakuan biologi 2,90% 32,20%

Pada penelitian ini metode praperlakuan biologi terhadap biomassa eceng gondok memberikan hasil yang diharapkan yaitu mampu mengurangi kadar lignin pada biomassa ligno-selulosa seperti eceng gondok ini. Persentase keberhasilan metode praperlakuan biologi dalam mendegradasi lignin mencapai 51,5% dari kadar lignin biomassa sebelum praperlakuan. Metode praperlakuan biologi berlangsung selama tujuh hari dengan menambahkan medium Mandel Weber sebagai tambahan nutrisi dan menggunakan jamur pelapuk putih/jamur pelapuk putih (Ganoderma boninense) yang diisolasi dari tanaman kelapa sawit yang tumbang.

Praperlakuan fisika dan biologi terbukti lebih baik dalam mendegradasi lignin, ini terlihat dari penurunan kadar lignin dari biomassa sebelum praperlakuan sebesar 5,99% menjadi 4,63% setelah praperlakuan fisika dan 2,90% setelah praperlakuan biologi, tetapi praperlakuan biologi mampu mendelignifikasi biomassa dua kali lebih besar dari praperlakuan fisik. Hal ini menjadi lebih baik karena dengan terdegradasinya lignin maka akses mikroba mengutilisasi selulosa lebih besar.

Kemampuan jamur pelapuk putih telah terbukti dapat mendegradasi lignin yang terdapat dalam biomassa lignoselulosa seperti eceng gondok. Pemanfaatan jamur pelapuk putih untuk praperlakuan biomassa lignoselulosa ini sudah dimulai sejak akhir tahun 1970-an (Isroi dkk, 2011). Jamur pelapuk putih adalah satu-satunya mikroba yang dapat mendegradasi lignin secara sempurna menjadi CO2 dan H2O

(Lundquist dkk, 1997; Hattaka 1983). Jamur pelapuk putih menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP), Mangan Peroksidase (MnP), Versatile Peroksidase (VP), dan Lakase (Lac) yang berperan didalam degradasi lignin (Hammel dan Cullen, 2008). Perombakan lignin oleh jamur pelapuk putih melibatkan aktivitas ligninolitik enzim yang merupakan enzim ekstraseluler. Aktivitas enzim ligninolitik tersebut dipaparkan dalam Tabel 4.2.

Kelompok baru dari lignin peroksidase, mengkombinasikan sifat struktural dan fungsional dari LiP dan MnP, adalah versatile peroksidase (VP) (Hammel dan Cullen, 2008). VP dapat mengoksidasi Mn2+ dan senyawa phenolic, seperti halnya dapat mengoksidasi senyawa aromatik non-phenolik seperti veratryl alcohol. Beberapa enzim aksesori tambahan juga terlibat dalam produksi hidrogen peroksidase. Glyoxal oxidase (GLOX) dan Aryl alcohol oxidase (AAO; EC 1.1.3.7) termasuk dalam kelompok ini (Isroi dkk, 2011).

Tabel 4.2 Enzim dan Reaksinya yang Terlibat di Dalam Degradasi Lignin (Hattaka (2001) dalam Isroi (2013) )

Aktivitas enzim, singkatan Kofaktor atau substrat, “mediator”

Pengaruh utama atau reaksi

Lignin peroksidase. LiP H2O2, veratryl alcohol Oksidasi cincin aromatik

menjadi radikal kation Mangan peroksidase, MnP H2O2,, Mn, asam organic

sebagai agen pengkelat, thiol, lemak tak larut

Oksidasi Mn (II) menjadi Mn (III), mengkelat se- nyawa phenolic Mn(III) teroksidasi menjadi ra- dikal phenolic; reaksi lain didalam kehadiran se- nyawa lain

Lakase, Lacc O2, mediator, misalnya :

hidroxybenzotiazole atau ABTS

Phenol dioksidasi men- jadi radikal phenolic; reaksi lain didalam ke- hadiran mediator

Aktivitas enzim, singkatan Kofaktor atau substrat, “mediator”

Pengaruh utama atau reaksi

Glyoxal oksidase, GLOX Glyoxal, methyl glyoxal Glyoxal dioksidasi men- jadi asam glyoxilic; Produksi H2O2

Aryl alcohol oxidase, AAO

Aromatik alcohol (anisyl, veratyl alcohol)

Alcohol aromatik di- oksidasi menjadi aldehid; produksi H2O2

Enzim lain yang memproduksi H2O2

Beberapa senyawa organic O2 direduksi menjadi

H2O2

Hasil dari analisis kandungan lignin-selulosa (ditunjukkan pada Tabel 4.1) yang dilakukan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa jamur pelapuk putih yang digunakan merupakan jenis jamur pelapuk selektif dimana menurut Blanchette (1995) jenis ini hanya merusak komponen lignin dan hanya sedikit mengganggu komponen selulosa dan hemiselulosa. Sejalan dengan ini penelitian oleh Adaskaveg dkk (1995) juga melaporkan bahwa spesies lain Ganoderma yaitu Ganoderma colossum juga merupakan tipe jamur pelapuk putih selektif.

Biomassa eceng gondok dengan praperlakuan fisik (dengan kominusi- pengecilan ukuran) juga memberikan hasil yang baik untuk delignifikasi, hal ini ditunjukkan dari kadar lignin yang lebih rendah dari kadar lignin biomassa sebelum praperlakuan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Walaupun persentase penurunan kadar ligninnya tidak lebih besar dari biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi, tapi hal ini merupakan titik terang dalam memanfaatkan biomassa ini untuk memproduksi enzim selulase. Metode praperlakuan secara fisika ini menyebabkan beberapa perubahan pada biomasa yang bertujuan mengurangi

ukuran partikel, meningkatkan luas permukaan kontak dan mengurangi kristalinitas selulosa (Isroi, 2013).

4.4.2 Hubungan Praperlakuan Fisik dan Biologi dengan Produksi Enzim Selulase

Kadar lignin yang semakin kecil dan kadar selulosa yang bertambah besar dalam biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi ternyata tidak berbanding lurus dengan produksi enzim selulase. Produksi enzim selulase yang diukur melalui uji aktivitasnya memberikan hasil hampir dua kali lebih besar untuk enzim dari hasil fermentasi dengan substrat biomassa eceng gondok dengan praperlakuan fisika/sampel fisika (dengan kominusi-reduksi ukuran biomassa) yaitu sebesar 0,207 IU/ml dari pada hasil fermentasi dengan substrat biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi/sampel biologi sebesar 0,107 IU/ml. Satu IU didefinisikan sebagai jumlah glukosa (mM) yang dihasilkan per mili liter larutan enzim per menit.

Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan rendahnya aktivitas enzim selulase yang diperoleh dari sampel biologi, yaitu:

1. Inhibitor yang merupakan dimmer glukosa.

2. Kristalinitas selulosa yang dapat memicu produksi enzim selulase. 3. Afinitas enzim terhadap substrat.

Penurunan aktivitas enzim selulase dapat disebabkan oleh selulobiose yang merupakan dimmer glukosa yang dikenal dapat menghambat aktivitas endoglukanase dan glukosidase (bagian dari enzim selulase) (Singh, 2009). Mikroba penghasil selulase sekelas Aspergilus maupun Trichoderma biasa memanfaatkan glukosa

sebagai gugus sederhana penyusun selulosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya, sehingga dugaan adanya dimmer glukosa yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh mikroba dapat menekan sekresi enzim selulase oleh mikroba yang digunakan untuk memecah selulosa menjadi glukosa.

Kristalinitas selulosa yang rendah juga diduga sebagai faktor rendahnya produksi enzim selulase dari sampel biologi. Kristalinitas selulosa pada sampel fisika kemungkinan masih lebih tinggi dari sampel biologi, mengingat jamur pelapuk putih juga mampu menghasilkan enzim selulase (Isroi, 2011; Al azam, 2008) sehingga dapat merusak kristalinitas selulosa lebih banyak. Untuk mencerna selulosa kristalin memerlukan tindakan bersama dari exo-dan endoglucanase. Sifat kristal sumber karbon yang digunakan untuk memicu ekspresi selulolitik dalam banyak jenis jamur secara signifikan mempengaruhi potensi hidrolitik dari persiapan enzim (Hartree dkk, 1988). Kristalinitas selulosa bisa mengubah tidak hanya kualitas dari enzim (proporsi berbagai kegiatan dengan kompleks enzim selulolitik), tetapi juga jumlah enzim yang dihasilkan (Brijwani dan Vadlani, 2011), sehingga kristalinitas selulosa yang tinggi lebih baik untuk memicu mikroba menghasilkan enzim selulase.

Afinitas enzim terhadap substrat diduga juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi enzim selulase, hal ini berkaitan dengan dugaan adanya enzim yang terperangkap dalam substrat (biomassa selulosa) sehingga saat pengambilan enzim sejumlah enzim masih berada dalam bubur biomassa. Penentuan afinitas enzim terhadap substratnya diperoleh dari harga konstanta kinetic Michaelis-

Menten (Km) dan laju reaksi maksimum (vmax) dengan mem-plotkan variasi

konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim (Nasir Iqbal dkk, 2011).

Dokumen terkait