• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

IV.1.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan terhadap Enam Informan

Informan 1

Nama/Inisial : PRA

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Angkatan : 2010

Tanggal Wawancara : Senin, 20 Januari 2014

PRA adalah informan yang pertama kali peneliti wawancarai. Awalnya, peneliti menemui kendala dengan waktu. Malam tanggal 19 Januari 2014 peneliti menghubungi PRA untuk menanyakan kesediaannya untuk diwawancarai. Pada saat itu, PRA yang menentukan waktu wawancara. PRA memilih jam dua siang besoknya. Keesokan harinya peneliti kembali menghubungi PRA, namun PRA mengaku tidak bisa karena ada urusan mendadak. Mau tidak mau wawancara harus ditunda dan PRA baru bisa diwawancarai lusa. Ternyata tidak lama setelah itu, PRA kembali menghubungi peneliti bahwa PRA tidak jadi pergi dan bisa melakukan wawancara pada hari itu juga.

Wawancara berlangsung di kampus FISIP USU tepatnya di sekretariat PIJAR. Peneliti mencoba untuk membuat suasana santai saat melakukan wawancara agar informasi yang dibutuhkan bisa lebih dalam. PRA antusias dalam menjawab pertanyaan dari peneliti karena informan mengaku senang memperhatikan komunikasi nonverbal dosen ketika di dalam kelas. Peneliti memilih PRA sebagai informan karena ia masuk ke dalam kategori subjek yang telah ditentukan. Di samping itu, PRA juga seorang mahasiswa yang aktif ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Namun ada dosen yang tidak begitu PRA ketahui komunikasi nonverbalnya karena PRA tidak pernah diajar langsung oleh dosen tersebut. Sehingga PRA hanya dapat menyebutkan komunikasi nonverbal dosen tersebut secara singkat sekedar apa yang pernah PRA lihat secara kasat mata.

“Secara umum saya suka, dosen Komunikasi itu secara keseluruhan nggak ada yang kayak persepsi saya sebelum masuk kampus. Jadi nggak ada dosen killer, nggak ada dosen yang tukang apa ya, maksudnya kayak minta bayar-bayaran gitukan. Dulu persepsi aku kayak gitu tentang dosen tapi ternyata di Komunikasi nggak.”

PRA menganggap dosen di Departemen Ilmu Komunikasi itu santai dan tidak terlalu menjaga jarak dengan mahasiswanya. Banyak dosen Komunikasi yang mau dipanggil Abang walaupun pada awalnya PRA merasa tidak sopan, tetapi setelah dilalui PRA mulai merasa biasa saja bahkan menurutnya bisa lebih mendekatkan dia kepada dosen yang bersangkutan.

Berbicara mengenai komunikasi nonverbal dosen Komunikasi masih ada yang perlu ditonjolkan menurut PRA. Meskipun komunikasi itu terjadi secara alamiah, namun bisa dilatih dalam penggunaannya agar komunikasi yang digunakan sesuai pada tempatnya dan dapat memberikan kesan baik bagi si dosen.

“Walaupun kita tahu nonverbal itu nggak bisa dirancang artinya nonverbal itu nggak bisa diset, cuma aku pikir bisa dipakai ya, gitu. Nonverbal itu bisa dipakai walaupun tanpa sadar gitu. Misalnya kayak dilatih suara. Suara itu mulai dinaikin kalau untuk menekankan materi-materi yang cukup penting itu pakai pitch-pitch yang tinggi atau kalau dia perlu untuk mengajak kesadaran mahasiswanya suaranya diturunin. Suaranya lebih mendayu-dayu atau mengajak. Lebih ke situ sih suara. Ya kayak gitu sih ketepatan waktu ya, apa namanya kronemik itu juga sih.”

PRA mengakui kalau kemampuan dosen Komunikasi dalam menerapkan komunikasi nonverbal masih kurang. Masih banyak terjadi miss dalam penerapannya. Banyak dari mahasiswa yang salah menafsirkan komunikasi nonverbal dosen ketika mereka mengajar di kelas. Gadis berjilbab ini juga mengungkapkan kalau dirinya jarang melihat dosen Komunikasi melakukan komunikasi nonverbal ketika mereka mengajar maupun di kehidupan mereka sehari-hari di kampus.

Hari semakin sore namun wawancara masih terus berlanjut. Agar wawancara tidak membosankan, peneliti menyelingi tanya jawab dengan candaan-candaan yang bisa membuat informan tertawa. Namun peneliti harus tetap fokus terhadap apa yang ingin ditanyakan. Ketika peneliti bertanya mengenai adakah perbedaan komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh dosen yang berbeda suku di Departemen Ilmu Komunikasi, PRA hanya menjawab dengan singkat.

“Nggak, kan nonverbal itu nggak ngeliat-liat suku.”

Dalam komunikasi ada beberapa fungsi komunikasi nonverbal salah satunya adalah fungsi melengkapi informasi yaitu mengulangi apa yang telah dikatakan secara verbal. Menurut PRA fungsi ini sebagian dari dosen ada yang melakukan dan ada juga yang tidak. Banyak dosen ketika mengajar hanya menggunakan verbalnya saja. Mungkin karena mereka menganggap mahasiswanya adalah anak Komunikasi yang pastinya sudah banyak mengerti tentang apa yang dikatakan dengan komunikasi.

“Kayak mana ya, separoh ada separoh nggak gitu. Tapi banyak yang ini sih, mungkin karena orang komunikasi ya jadi ngomong tapi nonverbalnya kurang dimainkan peranannya.”

Cewek kelahiran 20 tahun yang lalu ini pastinya memiliki segudang cerita

selama dia belajar di Departemen Ilmu Komunikasi. Tidak hanya itu, kebiasaan-kebiasaan mahasiswa baik itu yang bersifat positif maupun negatif sudah menjadi pandangan yang biasa baginya. Salah satu kebiasaan mahasiswa yang tidak pernah hilang adalah ketika jam mata kuliah sudah habis, banyak cara mahasiswa menunjukkan isyarat kepada dosen agar kuliah segera diakhiri. Ada yang mulai membereskan buku, duduk mulai gelisah dan ada juga yang mulai mengobrol dengan teman di sampingnya. Isyarat ini cepat ditangkap oleh dosen Komunikasi,

karena sebagian besar dari mereka sudah memahami nonverbal yang ditunjukkan oleh mahasiswanya.

Di sisi lain, meskipun mereka adalah dosen Ilmu Komunikasi, masih banyak dosen yang belum bisa menyembunyikan emosi dan perasaan mereka ketika mengajar. Misalnya ketika mahasiswa tidak mengerjakan tugas, terkadang tanpa mereka sadari amarah yang mereka tampilkan tidak terkontrol sehingga dapat menimbulkan kesan yang kurang baik di mata mahasiswa. Contoh lain ketika mereka memiliki masalah di luar kampus, ada beberapa dosen yang tanpa dia sengaja memperlihatkan masalahnya, seperti kebanyakan diam, tidak mood mengajar ataupun dari raut wajah yang malas dan kening yang berkerut.

Pembicaraan semakin lama semakin menarik karena banyak hal yang terungkap di sini. Mungkin selama ini mahasiswa hanya bisa melihat, tapi dengan adanya penelitian ini mahasiswa diberi peluang untuk menyampaikan persepsi mereka terhadap perilaku dosen khususnya perilaku mereka dalam komunikasi nonverbal. PRA juga mengungkapkan pendapatnya tentang peran perilaku komunikasi nonverbal dosen Komunikasi dalam mengekspresikan kekuasaannya, kendali dan dominasi.

“Kalau yang dosen-dosen yang suka mendominasi itu bisanya dia cenderung suaranya digedein. Suara dia paling besar kami suaranya nggak boleh besarkan. Terus habis itu pakai disiplin kelas misalnya dalam kelas dia nggak boleh ngomong, nggak boleh ribut gitu, atau sama dia nggak boleh banyak nanya kayak gitu, habis itu ada sih yang misalnya kayak cara duduk ya, kalau aku memperhatikannya cara duduk gitu ada yang mungkin kekuasaannya ini lebih keliatan kalau orang duduknya ngangkang gitu, itu keliatan dia lebih menguasai sesuatu atau kakinya dinaikkan itu biasanyakan kelihatan dia berkuasa gitu lo, lebih kuat dari orang yang di depan dia.”

Wawancara sempat terhenti sejenak karena salah seorang teman PRA datang dan mengajak PRA mengobrol. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena informan menyampaikan kepada temannya bahwa dia sedang ada wawancara dan tidak bisa mengobrol lama. Peneliti kemudian melanjutkan wawancara dengan mengajukan pertanyaan mengenai kinesics yaitu kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan. Menurut PRA ada beberapa bentuk komunikasi nonverbal dalam hal ini (kinesics) yang sering digunakan oleh dosen dan pernah terlihat oleh PRA, ada yang jarang namun ada juga yang tidak pernah terlihat. Biasanya yang sering terlihat oleh PRA adalah

isyarat kinesics seperti ilustrator dan affect display. Kemudian yang jarang terlihat ada emblim dan regulator, dan yang tidak pernah terlihat oleh informan adalah isyarat adaptor.

“Paling isyaratnya itu kayak mana ya kalau lagi ngejelasin kuliah itu khasnya orang Medan. Sambil cerita nanti sambil ngasih efek-efek misalnya kayak terjadi tabrakan gitu “puaak” tangannya dipukulin kayak gitu. Terus habis itu untuk menggambarkan suasana yang sedikit panas gitu, apa ya banyak main di tangan sih.”

Di samping gerakan-gerakan seperti itu, PRA juga memberikan penjelasan mengenai gerakan-gerakan wajah yang mengandung makna emosional atau yang sering dikenal dengan isyarat affect display. Dia mengatakan affect display yang sering digunakan oleh dosen Komunikasi yang dominan adalah gerakan-gerakan wajah yang memperlihatkan rasa gembira atau rasa senang.

“Nggak pernah sih aku ketemu dosen masuk ke kelas dalam keadaan lagi marah-marah. Dosen komunikasi ya, yang lain mungkin adalah. Tapi kalau dosen Komunikasi nggak pernah sih kalau masuk kelas dalam keadaan ngambek, takut, sedih, marah itu nggak ada.”

Di dalam kelas banyak cara yang digunakan oleh dosen untuk menarik perahatian mahasiswanya. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan melakukan kontak mata. Secara psikologis ketika seseorang melakukan kontak mata dengan kita, secara otomatis pusat pandangan kita akan tertuju kepada dia. Dengan demikian, ketika dosen melakukan kontak mata fokus mahasiswa akan tertuju kepada dosen. Tidak hanya itu, kontak mata juga dapat menambah konsentrasi kita dalam proses belajar mengajar. Untuk itulah mengapa dosen Komunikasi sering melakukan kontak mata.

Selain kontak mata, cara lain yang dilakukan oleh dosen untuk menarik perhatian mahasiswanya adalah dengan menggunakan komunikasi ruang (proksemik). Ada beberapa dosen yang menggunakan jarak pribadi untuk lebih dekat dengan mahasiswanya. Cara yang mereka lakukan dengan berjalan-jalan memutari kelas sambil sesekali menyentuh pundak atau ujung jari mahasiswanya. Tidak banyak dosen yang menggunakan jarak pribadi, mayoritas dosen menggunakan jarak sosial berkisar antara 125 cm sampai 4 m. Namun dosen yang menggunakan jarak sosial ini memiliki cara lain untuk menarik perhatian mahasiswanya. Cara yang mereka lakukan adalah dengan gerak isyarat atau

gesture, ada juga yang menggunakan isyarat paralanguage seperti tinggi

rendahnya nada, keras lembutnya nada, kecepatan berbicara maupun kualitas bunyi dari suara.

Selanjutnya, berbicara masalah penampilan dosen Komunikasi berpenampilan lebih simple. Mulai dari pakaian, aksesoris, warna dan bau-bauan yang mereka pilih tidak terlalu mencolok.

“Dosen komunikasi itu bedanya lebih simple dalam berdandan nggak riweh gitu, nggak ribet.”

Kesimpulan Kasus

Banyak ragam dan cara dosen Komunikasi dalam berpenampilan. Hal ini bisa dilihat dari cara mereka berpakaian, aksesoris yang mereka pakai hingga mobil yang mereka bawa. Namun secara keseluruhan dosen Komunikasi tidak terlalu mencolok dalam hal ini. Dalam hal pemilihan warna dosen Komunikasi juga tidak terlalu mencolok. Mereka lebih memilih warna-warna yang lembut namun tetap terlihat elegant.

Dalam hal penggunaan waktu menurut PRA dosen Komunikasi sebagian besar sudah memenuhi ketetapan dari Fakultas. Namun tetap saja ada yang melanggar ketetapan itu meskipun hanya sebagian kecil. Itupun tidak terlalu berpengaruh karena keterlambatannya masih bisa ditoleransi. Berbicara mengenai ekspresi wajah, dosen Komunikasi selalu ceria. Sehingga mahasiswa tidak takut untuk bertemu dosen ketika di luar kelas. Bahkan banyak dosen dengan jarak pribadi yang dia gunakan memposisikan dia bukan sebagai dosen tapi sebagai seorang teman bagi mahasiswanya.

Secara keseluruhan PRA menganggap komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU mayoritas sudah cukup baik, meskipun masih ada beberapa dosen yang belum bisa menggunakan komunikasi nonverbal sesuai pada tempatnya. Namun itu hanya sebagian kecil dari dosen Komunikasi karena PRA menganggap dosen Komunikasi pastilah tahu banyak tentang komunikasi nonverbal.

Informan 2

Nama/Inisial : MA

Usia : 22 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Angkatan : 2010

Tanggal Wawancara : Jumat, 24 Januari 2014

Peneliti mendapatkan informan kedua ini dengan bertanya langsung kepada MA sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. MA termasuk salah satu di dalam kriteria tersebut. Tidak ada kesulitan berarti bagi peneliti ketika menanyakan kesediaan MA untuk dijadikan sebagai informan. Menurut MA tidak ada salahnya saling membantu sesama teman. Pada saat peneliti menemui MA, peneliti mendapatkan MA sedang makan siang di kantin. Peneliti menunggu MA hingga selesai makan dan akhirnya wawancarapun dimulai. MA adalah salah satu mahasiswa yang cukup aktif di dalam kelas maupun di dalam organisasi sehingga banyak dosen-dosen yang mengenal MA secara pribadi.

Selama lebih kurang empat tahun MA kuliah di Departemen Ilmu Komunikasi, secara umum dosen Ilmu Komunikasi bagus dan benar-benar pantas disebut dosen Ilmu Komunikasi. Menurutnya, dosen komunikasi sangat peduli dan benar-benar memperhatikan mahasiswanya. Sebagian besar dari mereka juga sangat menjaga kedekatan dengan mahasiswa meskipun ada beberapa dosen yang tidak memperdulikan hal itu.

“Biasanya mereka sangat menjaga ibaratnya masalah proximity atau

kedekatan itukan kadang penting bagi orang, jadi banyak dosen yang dia justru sangat-sangat aware sama proximity, jadi dia bener-bener tau ketika jarak segini itu ternyata mahasiswa “aku benar-benar diperhatikan dosen,” tidak hanya sebatas “ya udah saya ngajar” nggak hanya sebatas itu. Jadi ada dosen-dosen yang dia sangat menjaga keintiman, jadi dia bener-bener datangi si mahasiswa, bukan datangi buat bertanya ya, tapi untuk mendekati. Contohnya kayak Bu Mazda dan Bang Hendra. Jadi kita merasa bener-bener “Oh iya, dia memang benar-benar menyampaikan pesannya itu sengaja ke semua arah.”

Berbicara mengenai komunikasi nonverbal, justru MA mengaku tidak semua dosen yang komunikasi nonverbalnya itu sama dengan komunikasi

verbalnya. Maksudnya, kadangkala bahasa tubuh itu lebih jujur dari pada bahasa yang dikeluarkan oleh mulut kita.

“Kalau dibilang masalah komunikasi nonverbal justru tidak semua dosen yang komunikasi nonverbalnya itu sama dengan komunikasi verbalnya. Maksudnya gini, kadangkan bahasa tubuh lebih jujur dari pada bahasa yang dikeluarkan oleh mulut kita. Nah, jadi kadang bahasa mulut kita ngasih tau yang ini, si dosen ini tapi bahasa tubuhnya ngasih tau yang lain, yang berbeda.”

Berdasarkan pengalaman MA, ada beberapa dosen yang sudah menerapkan komunikasi nonverbal sesuai pada tempatnya dan ada beberapa yang tidak. Contohnya, pada saat itu ada seorang dosen yang mengacungkan jari tengahnya saat mengajar di dalam kelas. Padahal di Amerika mengacungkan jari tengah menunjukkan bahwa si pembicara tidak menyukai orang yang dibicarakannya. Meskipun MA tidak mengetahui pasti apakah kesepakatan universal bahwa komunikasi nonverbal itu memang sudah universal di segala daerah tanpa memikirkan budaya atau tidak.

“Bu Fatma pernah sih tidak menyesuaikan dengan ini yang ada, yang pernah saya lihat ya. Untuk komunikasi nonverbal sendiri sebenarnya, saya nggak tau itu benerkah kesepakatan universal bahwa komunikasi nonverbal itu memang ya gerakan tangan atau segala macamnya itu udah universal di segala daerah tanpa memikirkan budaya karena kalau saya pernah nonton film ketika seseorang berbicara soal orang lain dan saat itu salah satu jari tangannya, maaf jari tengahnya mengacung itu ditandakan bahwa si pembicara tidak menyukai calon yang dibicarakannya. Nah, saat itu saya berpikir, jari tengah yang mengacung itukan adalah kata-kata yang tidak bagus di Amerika sana, apakah sesuai dengan budaya kita di Indonesia itu saya kurang tau. Tapi Bu Fatma pernah mempraktekkan hal seperti itu.”

Berbicara mengenai jarak (proksemik), ada beberapa dosen yang sangat mengerti untuk menciptakan keakraban itu. Cara yang dia lakukan adalah dengan mendekati dan mengajak mahasiswa berbicara dengan topik pembicaraan yang bersifat pribadi. Namun ada beberapa dosen yang memang menjaga jarak untuk memperlihatkan kekuasaan, kendali dan dominasi mereka.

“Menurut saya itu masalah proximity, masalah kedekatan. Jadi, masalah jarak itu bisa menjelaskan banyak hal ibaratnya antara yang berbicara dan yang mendengarkan. Jadi kebanyakan rata-rata yang berbicara posisinya kelihatan lebih berkuasa dari yang mendengarkan. Nah, ada beberapa dosen yang dia bener-bener menjaga jaraknya sama mahasiswa. Contohnya Bu Inon, dia ya duduk aja di tempat duduknya. Seolah-olah dia memang bener-bener “Saya dosen, kalian mahasiswa,” seperti itu. Kemudian seperti postur

tubuh. Bu Inon sering sekali saya lihat membusungkan dada nggak tau apa maksudnya. Selain Bu Inon ada Pak Danan.”

Banyak hal yang menarik ketika kita membahas komunikasi nonverbal. Salah satunya adalah mengenai postur tubuh dosen di Ilmu Komunikasi. Menurut

cewek yang hobi baca ini, kebanyakan dosen Komunikasi memiliki postur tubuh endomorphy dimana endomorphy adalah mereka yang memiliki bentuk tubuh

pendek, bulat dan gemuk. Hal menarik lainnya yang dapat dilihat adalah dalam segi penggunaan waktu, rata-rata dosen Ilmu Komunikasi saat kuliah mereka tidak bisa melaksanakan waktu yang telah ditentukan oleh pendidikan. Mayoritas dari dosen juga tidak tepat menggunakan waktu dalam proses belajar mengajar. Ada dosen yang terlambat masuk, cepat keluar dan bahkan sudah terlambat masuk kemudian keluar kelas lebih awal. Penggunaan waktu yang paling tidak efektif terlihat pada saat kuliah pengganti yang sering dilaksanakan pada sore hari.

Berbicara mengenai komunikasi nonverbal, kita tidak bisa terlepas dari bentuk komunikasi nonverbal yang satu ini yaitu kontak mata. Kontak mata sangat diperlukan untuk menjaga komunikan agar tetap fokus kepada komunikator. Hal ini juga yang dilakukan oleh dosen Ilmu Komunikasi. Kontak mata yang mereka lakukan seperti menatap mahasiswa dengan waktu yang cukup lama, dapat memastikan apakah si mahasiswa itu benar-benar memperhatikan mereka atau tidak.

“Yang sering melakukannya itu biasanya Bu Mazda, Bang Hendra”

Hal lain yang tidak bisa terlepas dari komunikasi nonverbal adalah ekspresi wajah. Banyak macam ekspresi wajah yang ditampilkan oleh dosen Komunikasi baik ketika mengajar di dalam kelas maupun di kehidupan sehari-hari mereka di kampus. Menurut MA ada dosen yang serius, ada yang memang senang mengajar, dan ada yang peduli tidak peduli.

“Kalau seneng sih biasanya Bu Mazda. Kayaknya humble gitu, ramah.

Emang passionnya gitu ngajar. Kalau yang kayaknya yang penting ngajar aja gitu Bu Inon. Kalau yang serius itu Pak Humaizi. Yang berpikir “Ah terserah orang ini,” itu Pak Suwardi. Yang seneng ngajar itu juga Kak Emil.”

Waktu terus berjalan, pembicaraanpun semakin lama semakin hangat. Semua uneg-uneg yang selama ini terpendam, MA salurkan lewat penelitian ini.

MA merasa senang bisa terpilih sebagai informan karena menurutnya dia senang memperhatikan komunikasi nonverbal dosen ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Dia berharap apa yang disampaikannya ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi dosen untuk menjadi lebih baik lagi ke depannya. Dia ingin tidak ada lagi dosen yang peduli tidak peduli dengan mahasiswanya. Meskipun secara verbal mereka berbicara di dalam kelas, namun ada beberapa dosen secara gesturenya sangat terlihat bahwa mereka mengajar hanya karena dibayar.

Kesimpulan Kasus

Kemampuan komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi sudah cukup mempuni meskipun ada beberapa dosen yang tidak terlalu mempedulikan hal itu. Penggunaan komunikasi nonverbal dosen Komunikasi pada saat mengajar di kelas menurut MA dikategorikan sering. Mayoritas yang sering melakukan komunikasi nonverbal adalah dosen yang berjenis kelamin perempuan. Penggunaan komunikasi nonverbal oleh dosen yang berjenis kelamin perempuan berbeda dengan dosen yang berjenis kelamin laki-laki. Selain jenis kelamin, faktor yang membedakan penggunaan komunikasi nonverbal oleh dosen juga dapat dilihat pada usia, namun untuk suku tidak terdapat perbedaan menurut MA.

Dalam penggunaan komunikasi nonverbal yang disengaja, ada beberapa dosen yang sudah sesuai pada tempatnya dan ada juga yang tidak. Dalam hal penggunaan warna, dosen Komunikasi suka menggunakan warna-warna yang netral.

Selama MA belajar di Departemen Ilmu Komunikasi dia sudah cukup banyak tahu tentang kepribadian dosen di sini. Ada beberapa dosen yang menjaga jarak dengan mahasiswanya dan ada beberapa dosen yang mendekatkan diri pada mahasiswanya. Dosen yang menjaga jarak bisa dilihat dari komunikasi ruang yang dia tampilkan. Bisanya mereka menggunakan jarak sosial antara 125 cm hingga 4 meter. Sedangkan dosen yang mendekatkan diri dengan mahasiswanya terlihat sangat peduli dan terkadang melakukan sentuhan-sentuhan seperti menyentuh bahu, tangan bahkan pelukan.

Informan 3

Nama/Inisial : TP

Usia : 20 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Angkatan : 2010

Tanggal Wawancara : Jumat, 24 Januari 2014

TP adalah salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berhasil peneliti jadikan informan ketiga. TP mengetahui semua dosen Ilmu Komunikasi dan merupakan mahasiswa yang cukup aktif di kelas. Selain aktif di kelas, TP juga aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Tingkat kehadiran TP juga tinggi meskipun ada salah satu mata kuliah yang jarang dia ikuti. Menurutnya cara pengajaran dosen tersebut sangat membosankan, sehingga dia sering mengurungkan niat untuk mengikuti mata kuliah dosen tersebut. TP memiliki ciri fisik dengan tubuh mungil, berjilbab dan menggunakan kacamata.

Dokumen terkait