• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU"

Copied!
257
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN

(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)

SKRIPSI

YESI KUSMASARI

100904103

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN

(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politi Universitas Sumatera Utara

YESI KUSMASARI

100904103

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Yesi Kusmasari

NIM : 100904103

Tanda Tangan : ……….

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Yesi Kusmasari

NIM : 100904103

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN

(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU)

Medan, April 2014

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dr. Nurbani, M.Si

NIP. 196108021987012001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

Dekan Fisip USU

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Yesi Kusmasari

NIM : 100904103

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji I : ( )

Penguji II : ( )

Ditetapkan di :

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dan juga junjungan

besar Nabi Muhammad SAW atas berkat dan rahmatNya yang sangat besar

peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penulisan skripsi ini yang

berjudul “Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal

Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU” dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Fakuktas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Saya

menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa

perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Peneliti mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bukti perjuangan

menyelesaikan kuliah S1, serta ucapan terimakasih yang tiada terhingga

kepada kedua orang tua peneliti, Ayah dan Ibu tercinta, H. Jhon Rinaldi

dan Nesmawarni, atas rasa sayang dan cinta, terima kasih diucapkan

karena telah mendukung sepenuhnya melalui dukungan dan doa yang

diberikan kepada penliti yang akhirnya menyelesaikan skripsi ini tepat

pada waktunya. Tak lupa pula peneliti sampaikan rasa terima kasih kepada

kedua adik tercinta Jania Putri dan Indra Alfiansyah yang telah

memberikan doa dan selalu memberikan semangat kepada peneliti.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi serta Ibu Dra. Dayana Manurung, M.Si selaku Sekretaris

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Ibu Dr. Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing, yang dengan tekun dan

sabar dan bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam

memberikan masukan-masukan bagi skripsi ini dan mendorong peneliti

(7)

5. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku dosen pembimbing akademik

selama peneliti menjalani masa perkuliahan.

6. Bapak dan Ibu dosen FISIP USU khususnya dosen Departemen Ilmu

Komunikasi yang sudah begitu banyak memberikan ilmu pengetahuan

selama kuliah.

7. Kak Maya, yang telah membantu peneliti dalam menjalani segala proses

administrasi semasa perkuliahan di FISIP USU, serta seluruh staf

perpustakaan, karyawan bagian pendidikan FISIP USU yang membantu

peneliti semasa perkuliahan.

8. Dian Devita, Nur’aisyah dan Mufatul Ikhwanserta teman-teman kos

Medan Area no. 23 yang selalu memberikan semangat kepada peneliti

selama menulis skripsi.

9. Semua teman-teman Ilmu Komunikasi 2010 terutama Cindy Natasya

Castella, Adinda Meidina Lubis, Liza Rahma Fijri, Marina Azhari,

Triansari Prahara dan Irna Ristiana Satas dukungan dan semangatnya.

10.Teman-teman anggota Pers Mahasiswa PIJAR, Ikatan Mahasiswa

Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) dan P2KM yang mampu

menularkan gairah serta semangat kepada peneliti untuk menjadi insan

yang lebih bernilai dan berkarya nyata.

11.Semua informan peneliti dan teman-teman satu bimbingan yang telah

membantu peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Akhir kata, peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, April 2014

(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara. Saya yang bertanda

tangan di bawah ini :

Nama : Yesi Kusmasari

NIM : 100904103

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekxlusive

Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,

mengalihmedia/format-kan, mengelolah dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai

pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, April 2014

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen” sebuah studi kasus persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi, komunikasi nonverbal, pelanggaran harapan, pengurangan ketidakpastian dan kebohongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis yang membahas tentang komunikasi nonverbal dosen. Bagaimana mahasiswa mempersepsi komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Objek yang menjadi penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi dan yang menjadi subjeknya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen sangat beragam. Secara keseluruhan bentuk komunikasi nonverbal seperti isyarat regulator lebih banyak digunakan oleh dosen laki-laki dan isyarat ilustrator lebih banyak digunakan oleh dosen perempuan. Kontak mata dosen Ilmu Komunikasi kuat, volume suara keras, jarang melakukan sentuhan, kualitas suara baik, lebih menggunakan jarak sosial, warna yang sering dipakai oleh dosen perempuan adalah warna-warna yang cerah sedangkan warna yang sering dipakai oleh dosen laki-laki adalah warna-warna pastel. Secara keseluruhan postur tubuh dosen Ilmu Komunikasi mesomorphy dan endomorphy, wangi dan tepat waktu.

Kata kunci:

(10)

ABSTRACT

The research is titled "Student Perceptions About Nonverbal Communication Lecturer" a case study of students' perceptions of nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The purpose of this study was to determine the students' perceptions of nonverbal communication illustration lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU and to determine the forms of non-verbal communication from a lecturer in the Department of Communication Studies. The theory used in this study is the Perception, Nonverbal Communication, Breach of Hope, Uncertainty Reduction and Lies. The method used in this study is qualitative constructivist paradigm which deals with nonverbal communication lecturer. How students perceive nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The object of this study is that non-verbal communication are the lecturer of Communication Studies and students of the Department of Communication Studies class of 2010 are the subject. Results showed that non-verbal forms of communication are very diverse/various. Overall form of nonverbal communication such as gestures more widely used by regulators male lecturers and illustrator of more cues used by female professors. Eye contact lecturers of Communication Studies robust, high volume, rarely do touch, good sound quality, more use of social distance, the color often worn by female lecturers are bright colors while the colors are often worn by male lecturers arepastel colors. Overall posture and lecturer of Communication Studies mesomorphy endomorphy, fragrant and timely.

Keywords:

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

PERNYATAAN ORISINALITAS ...ii

LEMBAR PERSETUJUAN ...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

KATA PENGANTAR ...v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...vii

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ...ix

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Konteks Masalah ...1

1.2 Fokus Masalah ...6

1.3 Tujuan Penelitian ...7

1.4 Manfaat Penelitian ...7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...8

II.1 Paradigma Penelitian ...8

II.2 Uraian Teoritis ...9

II.2.1 Persepsi ...9

II.2.2 Komunikasi Nonverbal ...13

II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan ...27

II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian ...32

II.2.5 Teori Kebohongan ...34

II.3 Kerangka Pemikiran ...38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...39

III.1 Metodologi Penelitian ...39

III.2 Studi Kasus ...40

III.3 Objek Penelitian ...42

III.4 Subjek Penelitian ...42

III.5 Teknik Pengumpulan Data ...42

III.6 Teknik Analisis Data ...43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...45

IV.1 Hasil ...45

IV.1.1 Proses Penelitian ...45

IV.1.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan terhadap Enam Informan ...47

IV.1.3 Penyajian Data ...72

IV.1.4 Kesimpulan Hasil Penelitian ...126

IV.2 Pembahasan ...131

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...135

(12)

V.2 Saran ...135

DAFTAR PUSTAKA ...137

LAMPIRAN

- Profil Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU - Daftar Pertanyaan Wawancara

- Hasil Wawancara - Biodata Peneliti

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 Data Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 49 Angkatan 2010 Menjadi Informan

4.2 Informan 1 75

4.3 Informan 2 82

4.4 Informan 3 88

4.5 Informan 4 95

4.6 Informan 5 107

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Lima Gerakan Tubuh 17

2.2 Contoh sentuhan (touching) 20

2.3 Contoh sentuhan (touching) 20

2.4 Tipe Postur Tubuh 22

2.5 Jarak Proksemik 23

2.6 Contoh Ekspresi Wajah 26

2.7 Contoh Kewilayahan 33

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen” sebuah studi kasus persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi, komunikasi nonverbal, pelanggaran harapan, pengurangan ketidakpastian dan kebohongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis yang membahas tentang komunikasi nonverbal dosen. Bagaimana mahasiswa mempersepsi komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Objek yang menjadi penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi dan yang menjadi subjeknya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen sangat beragam. Secara keseluruhan bentuk komunikasi nonverbal seperti isyarat regulator lebih banyak digunakan oleh dosen laki-laki dan isyarat ilustrator lebih banyak digunakan oleh dosen perempuan. Kontak mata dosen Ilmu Komunikasi kuat, volume suara keras, jarang melakukan sentuhan, kualitas suara baik, lebih menggunakan jarak sosial, warna yang sering dipakai oleh dosen perempuan adalah warna-warna yang cerah sedangkan warna yang sering dipakai oleh dosen laki-laki adalah warna-warna pastel. Secara keseluruhan postur tubuh dosen Ilmu Komunikasi mesomorphy dan endomorphy, wangi dan tepat waktu.

Kata kunci:

(16)

ABSTRACT

The research is titled "Student Perceptions About Nonverbal Communication Lecturer" a case study of students' perceptions of nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The purpose of this study was to determine the students' perceptions of nonverbal communication illustration lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU and to determine the forms of non-verbal communication from a lecturer in the Department of Communication Studies. The theory used in this study is the Perception, Nonverbal Communication, Breach of Hope, Uncertainty Reduction and Lies. The method used in this study is qualitative constructivist paradigm which deals with nonverbal communication lecturer. How students perceive nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The object of this study is that non-verbal communication are the lecturer of Communication Studies and students of the Department of Communication Studies class of 2010 are the subject. Results showed that non-verbal forms of communication are very diverse/various. Overall form of nonverbal communication such as gestures more widely used by regulators male lecturers and illustrator of more cues used by female professors. Eye contact lecturers of Communication Studies robust, high volume, rarely do touch, good sound quality, more use of social distance, the color often worn by female lecturers are bright colors while the colors are often worn by male lecturers arepastel colors. Overall posture and lecturer of Communication Studies mesomorphy endomorphy, fragrant and timely.

Keywords:

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Menurut Carl I. Hovland

(dalam Effendy, 2006: 10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang

lain. Dalam praktik komunikasi terjadi pertukaran ide, informasi, gagasan,

keterangan, himbauan, permohonan, saran, usul, bahkan perintah. Proses

komunikasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menerima

informasi bahkan membangun persepsi terhadap suatu hal.

Saat berkomunikasi kita tidak hanya melakukan komunikasi secara verbal

namun juga secara nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan

menggunakan kata-kata (verbs), baik lisan maupun tulisan. Ada tiga ciri utama

yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal. Pertama, bahasa verbal

adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi

nonverbal. Jadi, komunikasi verbal ini digunakan setelah pengetahuan dan

kedewasaan kita sebagai manusia tumbuh. Kedua, komunikasi verbal dinilai

kurang universal dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita keluar

negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat

setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat nonverbal. Ketiga,

komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan

bahasa nonverbal. Melalui komunikasi verbal kita mengomunikasikan gagasan

dan konsep-konsep yang abstrak.

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi

dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi

nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna

jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan. Ucapan atau ungkapan klise

seperti “Sebuah gambar sama nilainya dengan seribu kata” menunjukkan bahwa

alat-alat indera yang kita gunakan untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal

sebetulnya berbeda dari hanya kata-kata yang kita gunakan. Salah satu dari

beberapa alasan yang dikemukakan oleh Richard L. Weaver II (1993) bahwa

(18)

pendengaran, sedangkan komunikasi nonverbal dapat memicu sejumlah alat

indera seperti penglihatan, penciuman, dan perasaan. Sejumlah alat indera yang

terangsang tampaknya orang akan merespon isyarat-isyarat nonverbal secara

emosional, sedangkan reaksi mereka kepada hanya kata-kata lebih bersifat

rasional.

Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak

menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan verbal. Pada

gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran-pikiran kita lewat

petunjuk-petunjuk nonverbal.

Cara kita berdiri, cara kita berjalan, gaya yang kita tampilkan saat kita

mengangkat bahu kita, mengernyitkan dahi kita, menggoyangkan kepala kita dan

sebagainya itu tentu saja adalah komunikasi. Kita tidak perlu untuk melakukan

suatu tindakan yang khusus untuk melakukan semua itu.

Kita juga dapat dikatakan melakukan komunikasi nonverbal melalui

pakaian yang kita gunakan, mobil yang kita kendarai, atau kantor yang kita

tempati. Memang benar, bahwa yang dikomunikasikan mungkin kurang akurat,

namun demikian mau tidak mau tetap saja ada yang dikomunikasikan melalui cara

itu. Menurut Birdwhistell tidak lebih dari 30%-35% makna sosial percakapan atau

interaksi dilakukan dengan kata-kata, dan sisanya dilakukan dengan pesan

nonverbal

Komunikasi nonverbal sangat penting dikarenakan komunikasi nonverbal

dapat memperkuat dan memperjelas atau melengkapi komunikasi verbal.

Komunikasi nonverbal juga merupakan penggambaran emosi yang tidak dapat

diungkapkan dalam komunikasi verbal. Hal itu dikarenakan komunikasi nonverbal

tidak dapat dipisahkan (saling berkaitan) dengan komunikasi verbal. Komunikasi

nonverbal dapat digunakan kapan saja dan oleh siapa saja termasuk orang-orang

yang memiliki kelainan fisik serta saat seseorang itu sulit mengungkapkan

perasaan melalui komunikasi verbal.

Sejak lahir hingga akhir hayat manusia, komunikasi nonverbal merupakan

sistem simbol yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bayi mulai

memahami kata-kata ketika umur 6 bulan. Akan tetapi, sebelum usia tersebut

(19)

nonverbal bersifat omnipresent (ada di mana-mana), namun ia merupakan resep

penting dalam interaksi manusia.

Perilaku nonverbal dalam suatu situasi interaksi selalu mengomunikasikan

sesuatu. Kita tidak mungkin tidak bertingkah laku, dan karenanya kita tidak

mungkin tidak mengomunikasikan sesuatu. Apapun yang kita lakukan atau tidak

kita lakukan, dan apakah tindak-tanduk kita disengaja atau tidak disengaja,

perilaku nonverbal kita mengomunikasikan sesuatu. Misalnya seorang mahasiswa

memandang hampa ke luar jendela selama dosen mengajar mengomunikasikan

isyarat kepada sang dosen bahwasanya kita mengatakan “Saya jemu.” Tetapi,

sadarilah perbedaan penting antara pernyataan nonverbal dan pernyataan verbal.

Mahasiswa yang memandang keluar jendela ketika dosen bertanya “Mengapa

kamu jemu?.” selalu dapat mengelak dengan mengatakan bahwa ia tiba-tiba

tertarik oleh sesuatu di luar. Tetapi, mengatakan “Saya jemu” merupakan pesan

yang jauh lebih jelas. Jadi, semua perilaku nonverbal betapapun kecilnya

sangatlah penting. Setiap perilaku itu mempunyai makna; masing-masing

melakukan komunikasi (DeVito, 2011).

Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang

memperoleh statusnya karena ikatan dengan Perguruan Tinggi. Mahasiswa juga

merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan

masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Dari pendapat di

atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh

seseorang karena hubungannya dengan Perguruan Tinggi yang diharapkan

menjadi calon-calon intelektual.

Mahasiswa menurut peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah

peserta didik yang terdaftar dan belajar di Perguruan Tinggi tertentu. Sedangkan

menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi

terdaftar untuk mengikuti pelajaran di Perguruan Tinggi dengan batas usia sekitar

18-30 tahun.

Selanjutnya, guru/dosen adalah seseorang profesional yang mengelola

kelas serta membimbing siswa di lingkungan sekolah. Guru/dosen dituntut untuk

memiliki kompetensi selain mengajar juga melakukan penelitian. Menurut UU no

(20)

yaitu kompetensi mengajar (pedagogik), kompetensi kepribadian (personalitas),

kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Oleh karena itu, selain terampil

mengajar, seorang pendidik juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan

dapat bersosialisasi dengan baik.

Departemen Ilmu Komunikasi merupakan salah satu jurusan yang ada di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Departemen ini pertama kali dibuka

di FISIP USU pada tahun 1983 dengan nama Jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam

proses pengembangannya pada tahun 1994-1997 Jurusan Ilmu Komunikasi

membuka dua program studi yaitu program studi Public Relations (Humas) dan

program studi Jurnalistik (Komunikasi Massa).

Pada tahun ajaran 2001/2002, berdasarkan Surat Keputusan Rektor No.

2162/ J05/TU/2001 Departemen Ilmu Komunikasi membuka Program Ektensi

Ilmu Komunikasi. Setelah berhasil membuka Program Ekstensi, pada tahun ajaran

2004/2005 Departemen Ilmu Komunikasi membuka Program Reguler Mandiri

Departemen Ilmu Komunikasi sebagai salah satu Depatemen yang ada di

FISIP USU, memiliki ratusan mahasiswa serta puluhan dosen yang datang dari

latar belakang yang berbeda-beda. Banyak faktor yang melatarbelakanginya

seperti faktor budaya, suku maupun agama. Setiap harinya mereka berinteraksi

baik secara verbal maupun nonverbal. Mahasiswanya setiap hari berinteraksi

dengan dosen-dosen pengajar yang berpengalaman dalam proses komunikasi baik

secara teori maupun terapan. Di dalam kegiatan belajar mengajar, seorang dosen

pastilah banyak melakukan komunikasi nonverbal. Dan komunikasi nonverbal

para dosen itupun dipersepsikan beragam oleh setiap mahasiswa.

Terkadang tanpa sadar dosen mengeluarkan isyarat-isyarat tertentu dengan

gerakan tubuhnya, ekspresi wajah, maupun tekanan suara yang tidak mampu

diartikan oleh para mahasiswa. Meskipun tidak secara langsung berpengaruh

terhadap efektivitas komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar, namun tidak

dapat dipungkiri pula bahwa hal itu berpengaruh dalam terciptanya komunikasi

yang efektif. Komunikasi nonverbal biasanya mencerminkan tentang kondisi

emosional seseorang. Komunikasi nonverbal juga dapat mewakili pesan-pesan

(21)

dosen-dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Ada suatu masa mungkin

mereka akan lebih nyaman untuk menyampaikan suatu pesan di dalam kelas lewat

komunikasi nonverbalnya seperti gerakan kepala, tatapan mata, ekspresi wajah,

dan sebagainya. Atau bisa jadi seorang dosen merasa dalam kondisi tidak nyaman

akibat tekanan-tekanan dari luar, kekhawatiran akan suatu hal, dan hal ini terbawa

hingga ke dalam kelas.

Sebagai seorang dosen khususnya dosen Ilmu Komunikasi harus sadar dan

wajib mengetahui akan pentingnya komunikasi nonverbal ini. Hal ini dianggap

penting karena dosen Ilmu Komunikasi tentunya telah melewati dan lebih paham

apa yang dikatakan dengan komunikasi nonverbal. Sebab bentuk komunikasi ini

sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan mereka

bekerja.

Di samping itu, sebagai seorang dosen khususnya dosen Ilmu Komunikasi

harus mampu melakukan komunikasi nonverbal untuk menciptakan kesan yang

baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam kehidupannya sehari-hari di

kampus. Misalnya dengan memerhatikan penampilan, menjaga emosi, mengatur

ekspresi wajah, gerakan tubuh dan lain sebagainya. Dosen juga harus pandai

mengatur cara berinteraksi dengan baik.Tindakan nonverbal baik disengaja

ataupun tidak dapat memberikan petunjuk mengenai bagaimana dosen itu dinilai

dan dipandang oleh mahasiswanya, misalnya bagaimana seseorang dosen

memulai perkuliahan dan mengakhiri perkuliahan atau kemampuan dosen melihat

komunikasi nonverbal mahasiswa saat proses belajar mengajar berlangsung.

Seorang dosen yang harus dapat mengesampingkan kehidupan pribadinya saat

sedang mengajar mahasiswanya. Seorang dosen bermain peran dengan menutupi

keadaan kehidupan pribadinya seberat apapun masalah yang sedang dihadapi

demi tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. Hal semacam itu

tentunya membawa kesan-kesan tersendiri yang tercermin lewat gerak-gerik sang

dosen. Gerak-gerik atau bahasa tubuh inilah yang kemudian akan dipersepsikan

oleh mahasiswa sehingga tanpa mengatakannya pun, mahasiswa diharapkan tahu

apa yang sedang dialami dosen atau apa yang sebenarnya ingin disampaikan

(22)

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi

kedalam otak manusia. Gibson, dkk (1989) dalam buku Organisasi Dan

Manajemen Perilaku, Struktur; memberikan definisi persepsi adalah proses

kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami

dunia sekitarnya (terhadap objek). Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi

merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena

itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun

objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada

situasi itu sendiri.

Mungkin ketika dosen meninggikan tekanan suaranya pada siang hari,

sebagian mahasiswa menganggap dosen itu sedang marah. Namun sebagian

mahasiswa lainnya beranggapan bahwa mungkin dosen tersebut sedang berusaha

membangunkan dirinya, atau ada yang beranggapan bahwa dosen sedang dalam

tekanan, dan masih banyak lagi persepsi lain. Namun berdasarkan stimuli

inderawi yang ditangkap oleh para mahasiswa, hal tersebut belum tentu sesuai

dengan apa yang dimaksudkan dosen. Inilah persepsi itu. Persepsi dari setiap

mahasiswa berbeda-beda dalam menangkap makna dibalik kerasnya suara dosen

dalam menerangkan pelajaran siang itu. Apa yang dimaksudkan dosen belum

tentu sama dengan persepsi mahasiswa.

Oleh karena itu, bagaimana persepsi mahasiswa terhadap komunikasi

nonverbal dosen sangat penting. Persepsi akan mempengaruhi sikap mahasiswa

terhadap pesan nonverbal dari dosen. Demikian pentingnya persepsi, apalagi

mengingat bahwa manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu dan selalu

mencari. Penafsiran lewat persepsi adalah salah satu bentuk naluri manusia.

Dalam hal ini, untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian ini.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka fokus

masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana persepsi mahasiswa tentang

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi

nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di

Departemen Ilmu Komunikasi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi positif terhadap perkembangan keilmuan Ilmu Komunikasi,

khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan

menambah pengetahuan dan wawasan peneliti maupun mahasiswa

lain, khususnya mengenai komunikasi nonverbal.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi

referensi bagi yang membutuhkan informasi yang lebih mendalam

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma Penelitian

Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian

keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan

dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan

dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia”

sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut

beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln

menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme,

konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu

pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel

membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan

Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti

mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55).

Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan

tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu

(epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana

kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi).

Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia,

sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek

tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55).

Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan

oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau

strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi

desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian

kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme.

Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi

pelaksanaan penelitian.

Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan

(25)

di dalamnya. Paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi,

yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun

dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang

menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi

peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna di baliknya. Dalam proses

penafsiran teks, pengalaman, latarbelakang hingga perasaan peneliti dapat

mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis

(Ardianto dan Q-Anees, 2007:155) adalah:

1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu

merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang

perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur

konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan

dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis

tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks

sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigma ini, penelitian akan

membahas bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen

Ilmu Komunikasi FISIP USU.

II.2 Uraian Teoritis II.2.1 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)

(Rakhmat, 1949: 57)

Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan

(26)

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap

orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat

penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk

memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu

merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu

pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Seperti yang

dikatakan oleh David Krech

“The cognitive map of the individual is not, then, a photographic

representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal

construction in which certain objects, selected out by the individual for a

major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it

were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the

world that expresses his individual view of reality.”

Secara ringkas pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi

adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik

tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.

Ada beberapa subproses dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan

sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.

Subproses yang pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang

hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu

situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa

stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan

sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi,

interpretasi dan umpan balik (feedback).

Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :

1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan

dari luar, intensitasdan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga

mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut,

motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung

(27)

informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang

kompleks menjadi sederhana.

3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk

tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, dalam Alex Sobur, 2003).

Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan

terhadap informasi yang sampai.

Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi

seseorang antara lain :

1. Psikologi

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat

dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya

matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai

bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.

2. Famili

Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya.

Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di

dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap

dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.

3. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah

satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara

seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

Sementara itu, menurut DeVito (dalam Sobur, 2003) menyebutkan enam

proses yang mempengaruhi persepsi, yakni:

1. Teori kepribadian implisit

Teori pribadi implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang

diyakini seseorang dan mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada

orang lain (DeVito, dalam Sobur, 2003: 455).

Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang suatu sifat berkaitan

dengan sifat lainnya. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang

(28)

Karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personaliy theory

(Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455).

2. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy)

Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila Anda membuat ramalan atau

merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena Anda membuat

ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (DeVito, 1997:

89).

Jadi, ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan

atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya

dan bertindak seakan-akan itu benar, seperti disinggung di muka. Ada empat

langkah dasar dalam proses ini (DeVito, dalam Sobur, 2003: 457):

1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang

atau situasi. Misalnya kita meramalkan bahwa Pat adalah orang yang

canggung dalam komunikasi antarpribadi.

2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan

atau keyakinan kita benar. Misalnya di depan Pat kita bersikap

seakan-akan Pat memang orang yang canggung.

3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar),

keyakinan kita itu menjadi kenyataan. Misalnya, karena cara kita

bersikap di depan Pat, Pat menjadi tegang dan “salah-tingkah” serta

menunjukkan kecanggungan.

4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap

situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita.

Misalnya, kita menyaksikan kecanggungan Pat, dan ini memperkuat

keyakinan kita bahwa Pat memang orang yang canggung.

3. Aksentuasi perseptual

Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan

apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai itu lebih

tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra

argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang

yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini,

(29)

4. Primasi resensi

Primasi resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat

urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar

pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian

mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi.

5. Konsistensi

Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang

memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis

di antara berbagai sikap dan hubungan antara mereka.

6. Stereotype

Stereotip mengacu kepada kecenderungan untuk mengembangkan dan

mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai

sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi

anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual

yang unik.

II.2.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi

dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi

nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna

jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:

110).

Komunikasi nonverbal pastilah merupakan kata yang sedang populer saat

ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh

gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak

(ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar

bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku,” begitu kata sebuah buku

yang populer (Nierenberg & Calero, 1971). Kita ingin bisa melihat apa yang ada

di balik pesan-pesan verbal yang “jelas” (DeVito, 2011: 193).

Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset

nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam

(30)

1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk

menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.

Misalnya saja, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau

ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tanganAnda ke meja

untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan

komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum

yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin

tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan

kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang.

3. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau

mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan nonverbal.

Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat

gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan

sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda juga

mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) Anda

(misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan

bahwa Anda belum selesai berbicara.

4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja

mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.

Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau

mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan

adalah tidak benar.

5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi dan merumuskan

ulang makna dari pesan verbal, misalnya Anda dapat menyertai

pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda,

atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi

pesan verbal “Ayo kita pergi.”

6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat

menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misalnya, mengatakan “Oke”

(31)

menganggukkan kepala untuk mengatakan “Ya” atau menggelengkan

kepala untuk mengatak “Tidak.”

Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal

dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006:

101-110):

a. Kinesics

Ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.

Menurut Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (dalam DeVito, 2011) kedua periset

ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal, di antaranya:

1. Emblim

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung

menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, isyarat untuk

“Oke,” “Jangan ribut,” “kemarilah,” dan “Saya ingin menumpang.”

Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan

tertentu. Walaupun emblim bersifat alamiah dan bermakna, mereka

mempunyai kebebasan makna seperti sembarang kata apapun dalam

sembarang bahasa. Oleh karenanya, emblim dalam kultur kita

sekarang belum tentu sama dengan emblim dalam kultur kita 300

tahun yang lalu atau dengan emblim dalam kultur lain.

2. Ilustrator

Ilustratoradalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah

“mengilustrasikan” pesan verbal. dalam mengatakan “Ayo, bangun,”

misalnya, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan anda ke

arah menaik. Dalam menggambarkan lingkaran atau bujur sangkar

Anda mungkin sekali membuat gerakan berputar atau kotak dengan

tangan Anda. Begitu biasanya kita melakukan gerakan demikian

sehingga sukar bagi kita untuk menukar-nukarnya atau menggunakan

gerakan yang tidak tepat.

Kita hanya menyadari sebagian ilustrator yang kita gunakan.

Kadang-kadang ilustrator ini perlu kita perhatikan. Ilustrator bersifat lebih

(32)

sesekali ilustrator ini mengandung komponen-komponen yang sudah

dibawa sejak lahir selain juga yang dipelajari.

3. Affect Display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung

makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa

takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Ekspresi

wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha

menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata,

“Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?” tetapi, kita dapat secara

sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memerankan

peran tertentu. Affect display kurang bergantung pada pesan verbal

daripada ilustrator. Selanjutnya, kita tidak secara sadar mengendalikan

affect display seperti yang kita lakukan pada emblim atau ilustrator.

Affect display dapat tidak disengaja—seperti ketika gerakan-gerakan

ini membuka rahasia kita—tetapi mungkin juga disengaja. Kita

mungkin ingin memperlihatkan rasa marah, cinta, benci, atau terkejut

dan biasanya kita mampu melakukannya dengan baik.

4. Regulator

Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur,” memantau,

memelihara atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda

mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif. Anda menganggukkan

kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata dan membuat

berbagai suara paralinguistik seperti “mm-mm” atau “tsk.” Regulator

jelas terikat pada kultur dan tidak universal. Regulator mengisyaratkan

kepada pembicara apa yang kita harapkan mereka lakukan–misalnya,

“Teruskanlah,” “Lalu apalagi?,” atau “Tolong agak lambat sedikit.”

Bergantung pada kepekaan mereka, mereka mengubah perilaku sesuai

dengan pengarahan dari regulator.

5. Adaptor

Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara

(33)

memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai. Misalnya,

bila Anda sedang sendiri mungkin Anda akan menggaruk-garuk

kepala sampai rasa gatal hilang. Di muka umum bila orang-orang

melihat Anda melakukan perilaku adaptor ini hanya sebagian. Anda

mungkin misalnya, hanya menaruh jari Anda di kepala dan

menggerakkannya sedikit, tetapi barangkali tidak akan menggaruk

[image:33.595.132.499.249.529.2]

cukup keras untuk menghilangkam gatal.

Gambar II.1 Lima Gerakan Tubuh Sumber: (DeVito, 2011 : 206)

b. Gerakan Mata (Eye Gaze)

Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat

tanpa kata. Dari observasi puitis Ben Jonson’s “Drink to me only with thin eyes,

and I will pledge with mine” sampai ke observasi ilmiah para periset kontemporer

(Hess, Marshall, dalam DeVito, 2011), mata dipandang sebagai sistem pesan

(34)

bervariasi bergantung pada durasi, arah dan kualitas dari perilaku mata. Ada yang

menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan isi hati seseorang.

Mark Knapp dalam risetnya menemukan empat fungsi utama gerakan

mata, yakni:

1. Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya.

Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal

itu?.

2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya

waktu untuk bicara.

3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata

akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan.

Sebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghindari

terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau

berutang akan menghindari orang yang bisa menagihnya.

4. Sebagai pengganti jarak fisik. Bagi orang yang berkunjung ke suatu

pesta, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung,

maka melalui kontak mata mereka dapat mengatasi jarak pemisah yang

ada. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi

tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada

suatu obyek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada obyek itu

tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata

cenderung menjadi besar.

c. Sentuhan (Touching)

Sentuhan atau touch secara formal dikenal sebagai haptics, sentuhan ialah

menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Ini merupakan

bentuk pertama dari komunikasi nonverbal yang kita alami. Bagi seorang balita,

sentuhan merupakan alat utama untuk menerima pesan-pesan mengenai kasih

sayang dan kenyamanan. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental

komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri atau

self-presentation pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita dan

bagian-bagian tubuh lainnya untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul,

(35)

macam-macam emosi dan pesan. Dalam budaya Barat, orang berjabat tangan

untuk bergaul dan menunjukkan rasa hormat, menepuk seseorang di punggungnya

untuk memberi semangat, merangkul seseorang untuk menunjukkan kasih sayang,

bertepuk tangan sambil diangkat, menunjukkan solidaritas.

Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam (Cangara,

2006: 105) yakni :

1. Kinesthetic

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama

lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.

2. Sociofugal

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling

merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam

menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan

orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat

sentuhan pundak atau berpelukan.

3. Thermal

Ialah syarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu

emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya

[image:35.595.240.390.480.665.2]

menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.

Gambar II.2

(36)
[image:36.595.211.415.83.264.2]

Gambar II.3

Contoh sentuhan (touching) Sumber: (DeVito, 2011 : 222)

d. Paralanguage

Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga

penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya

“Datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar

basa-basi. Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung

dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa disalahartikan oleh

etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski menurut kata hatinya tidak

demikian, sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi etnik tersebut.

Ada pengendalian empat utama karakteristik vokal, yaitu (Budyatna,

2011):

1. Pola titinada

Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal.

Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal atau vocal pitch

dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan,

menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan.

2. Volume

Volume merupakan kerasnya atau lembutnya nada.

3. Kecepatan

Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang

(37)

4. Kualitas

Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang.

e. Diam

Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode

nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak

semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan

sikap positif.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit untuk

diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap

diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain,

misalnya menyatakan “Tidak.” Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat

menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu diam tidak selamanya berarti

menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam

karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.

Untuk memahami sikap diam, kita perlu belajar terhadap budaya atau

kebiasaan-kebiasaan seseorang. Pada suku-suku tertentu ada kebiasaan tidak

senang menyatakan “Tidak” tetapi juga tidak berarti “Ya.” Diam adalah perilaku

komunikasi sekarang ini makin banyak dilakukan oleh orang-orang yang bersikap

netral dan mau aman.

f. Postur tubuh

Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel

(dalam Cangara, 2006: 106-107) dua orang ahli psikologi melalui studi yang

mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan

karakternya. Kedua ahli ini membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni

ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy

bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi dan atletis, dan

endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.

Pada tubuh yang bertipe ectomorphy dilambangkan sebagai orang yang

punya sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Bagi mereka yang tergolong

bertubuh mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat,

aktif dan kompetitif, sedangkan tubuh yang bertipe endomorphy digambarkan

(38)
[image:38.595.125.498.84.215.2]

Gambar II.4 Tipe Postur Tubuh Sumber: (DeVito 2011 : 211)

g. Kedekatan dan Ruang (proximity and spatial)

Proximity adalah kode nonverbal yang menunjukkan kedekatan dari dua

obyek yang mengandung arti. Proximity dapat dibedakan atas territoryatau zone.

Edwart T. Hall (dalam Cangara, 2006: 107-108) membagi kedekatan menurut

territory atas empat macam, yaitu :

1. Wilayah intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18

inchi.

2. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak anatar 18 inchi hingga 4

kaki.

3. Wilayah sosial, ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki.

4. Wilayah umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai

12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.

Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari

sudut ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Sommer (dalam

Cangara, 2006: 108) dalam bukunya Leadership and Group Geography

menemukan, bahwa para pemimpin yang duduk di depan meja segi empat persegi

panjang, cenderung dipilih sebagai pimpinan kelompok, sedangkan Here dan

Bales (dalam Cangara, 2006: 108) menemukan bahwa orang yang banyak bicara

dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.

Hal yang mirip juga ditemukan oleh Flor (dalam Cangara, 2006: 109)

dalam risetnya, bahwa posisi meja para eksekutif pada suatu kantor senantiasa

(39)
[image:39.595.173.448.85.258.2]

Gambar II.5 Jarak Proksemik Sumber: (DeVito 2011 : 216)

h. Artifak dan Visualisasi

Hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para

antropolog dan arkeolog sudah lama memberi perhatian terhadap benda-benda

yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya, antara lain artifacts.

Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri

manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain

dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau

identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, pakaian dinas,

cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung

dan sebagainya.

i. Warna

Warna juga memberi arti terhadap suatu obyek. Di Indonesia, warna hijau

seringkali diidentikkan dengan warna Partai Persatuan Pembangunan, kuning

sebagai Golongan Karya dan merah sebagai warna partai Demokrasi Indonesia.

Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini

dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual

lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.

j. Waktu

Ungkapan “Time is Money” membuktikan bahwa waktu itu sangat penting

bagi orang yang ingin maju. Karena itu orang yang sering menepati waktu dinilai

(40)

kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan

seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi,

melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya.

Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan

pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita

berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi

orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau

masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir

mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang

lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang (Chen & Starosta, 1998

dalam Budyatna & Ganiem, 2011).

k. Bunyi

Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari

mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang

dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage.

Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur,

sirine dan sebagainya.

Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh

dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan

tentara, pandu dan sebagainya.

l. Bau

Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan

status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya

posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.

m. Gerakan wajah

Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga

kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman,

Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth (dalam DeVito, 2011) menyatakan

bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi”

berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan

(41)

gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati

[image:41.595.173.454.146.290.2]

(DeVito, 2011: 208).

Gambar II.6 Contoh Ekspresi Wajah

Sumber:

Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi

nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang

berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance,

chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication

berkaitan dengan masalah penciuman (Verderber et al., dalam Budyatna dan

Ganiem, 2011).

Budaya Maskulin dan Feminin

Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas,

berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang

baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya

“feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk

mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut.

Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat

mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya

maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk

segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan

masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan

(42)

bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari

win-win solutions(Arrindell, Steptoe, & Wardle, dalam DeVito, 2009: 39).

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah

Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang

tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa

yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga,

ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang

ketidakpastian.

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi

ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak

pasti/diketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan

orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul (Hofstede; Lustig & Koester,

dalam DeVito, 2009: 39).

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan

toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari

ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak

mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian

sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. (Hofstede, dalam

DeVito, 2009: 39-40).

Orientasi Kolektivis dan Individualis

Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan

nilai-nilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme,

dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan

penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya

bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat.

Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan

kelompok.

Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita

melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di

(43)

pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan

berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain.

(Han & Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41).

Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah

Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim(dalam DeVito,

2009: 41) budaya tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya

konteks-rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang

kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan

eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis.

Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu

untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum

transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah

menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan

karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya

konteks-tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi

komunikasi. Menurut Basso (dalam DeVito, 2009: 41),diam, sebagai contoh

sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang

dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang

sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut

Gudykunst(dalam DeVito, 2009: 41) untuk anggota budaya konteks-tinggi,

ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi

personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis

sama.

II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT)

pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal

(NonverbalExpectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee

Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap

pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon

(44)

area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di

akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam

mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku.

Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations Theory—EVT),

menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang

lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak

perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang

tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu.

Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian

khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan

jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti

dari teori ini (West dan Turner, 2009 : 154-155)

Hubungan Ruang

Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai

proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang

dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang.

Menurut Mark Knapp dan Judith Hall (dalam West dan Turner 2009) penggunaan

ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan.

Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon

memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi

dari pelanggaran ruang.

Burgoon (dalam West dan Turner, 2009) mulai dari sebuah premis bahwa

manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi.

Ruang personal (personal space), menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai

“sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi

seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang

terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya

bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain,

tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi

(45)

keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan

privasi.

- Zona Proksemik

Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya

dari seorang antropolog Edward Hall (dalam West dan Turner, 2009). Setelah

mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara (di daerah Timur Laut), Hall

mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu:

1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0

sampai 18 inci (46 sentimeter). Hall (dalam West dan Turner, 2009)

mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku

yangbervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim)

hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya

digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat

menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal

yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada

dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama

pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha

untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim.

2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki,

digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall (dalam West dan

Turner 2009), perilaku dalam jarak personal (personal distance)

termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan

seseorang sejauh panjang lengan.

3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan

untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan

sekerja. Hall (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa jarak

sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang

kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit

jauh, Hall mengingatkan kita

Gambar

Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar II.3
Gambar II.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Belanja Jasa Kantor Belanja Telepon BELANJA LANGSUNG BELANJA BARANG DAN JASA Belanja Bahan Pakai Habis Belanja Alat Tulis Kantor. Belanja Peralatan Kebersihan dan

Biaya-biaya setelah pengakuan awal aset diakui sebagai bagian dari nilai tercatat aset atau sebagai aset yang terpisah, sebagaimana seharusnya, hanya apabila kemungkinan

Bantuan beasiswa pendidikan tinggi bagi putera puteri Kabupaten Maros yang berprestasi melalui pemberian biaya pendidikan hingga ke jenjang S3.. Peningkatan

In this chapter we report on a comparison of the two mentioned software packages, in particular the bundle adjustment results, the point clouds and the orthophotos

Bantuan beasiswa pendidikan tinggi bagi putera puteri Kabupaten Maros yang berprestasi melalui pemberian biaya pendidikan hingga ke jenjang S3.. Peningkatan keterampilan

This paper briefly presents two approaches for effective three-dimensional (3D) building model reconstruction from terrestrial laser scanning (TLS) data and single perspective

perubahan atas Peraturan Walikota No.80 Tahun 2009 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja serta rincian tugas Jabatan pada Kelurahan Kota Bekasi Pernyataan yang jelas seseorang

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5, 2014 ISPRS Technical Commission V Symposium, 23 – 25 June 2014, Riva