PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN
(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)
SKRIPSI
YESI KUSMASARI
100904103
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN
(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politi Universitas Sumatera Utara
YESI KUSMASARI
100904103
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Yesi Kusmasari
NIM : 100904103
Tanda Tangan : ……….
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Yesi Kusmasari
NIM : 100904103
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN
(Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP USU)
Medan, April 2014
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Dr. Nurbani, M.Si
NIP. 196108021987012001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A
Dekan Fisip USU
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Yesi Kusmasari
NIM : 100904103
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : ( )
Penguji I : ( )
Penguji II : ( )
Ditetapkan di :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dan juga junjungan
besar Nabi Muhammad SAW atas berkat dan rahmatNya yang sangat besar
peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penulisan skripsi ini yang
berjudul “Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal
Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU” dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Fakuktas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Peneliti mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bukti perjuangan
menyelesaikan kuliah S1, serta ucapan terimakasih yang tiada terhingga
kepada kedua orang tua peneliti, Ayah dan Ibu tercinta, H. Jhon Rinaldi
dan Nesmawarni, atas rasa sayang dan cinta, terima kasih diucapkan
karena telah mendukung sepenuhnya melalui dukungan dan doa yang
diberikan kepada penliti yang akhirnya menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya. Tak lupa pula peneliti sampaikan rasa terima kasih kepada
kedua adik tercinta Jania Putri dan Indra Alfiansyah yang telah
memberikan doa dan selalu memberikan semangat kepada peneliti.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi serta Ibu Dra. Dayana Manurung, M.Si selaku Sekretaris
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Ibu Dr. Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing, yang dengan tekun dan
sabar dan bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam
memberikan masukan-masukan bagi skripsi ini dan mendorong peneliti
5. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
selama peneliti menjalani masa perkuliahan.
6. Bapak dan Ibu dosen FISIP USU khususnya dosen Departemen Ilmu
Komunikasi yang sudah begitu banyak memberikan ilmu pengetahuan
selama kuliah.
7. Kak Maya, yang telah membantu peneliti dalam menjalani segala proses
administrasi semasa perkuliahan di FISIP USU, serta seluruh staf
perpustakaan, karyawan bagian pendidikan FISIP USU yang membantu
peneliti semasa perkuliahan.
8. Dian Devita, Nur’aisyah dan Mufatul Ikhwanserta teman-teman kos
Medan Area no. 23 yang selalu memberikan semangat kepada peneliti
selama menulis skripsi.
9. Semua teman-teman Ilmu Komunikasi 2010 terutama Cindy Natasya
Castella, Adinda Meidina Lubis, Liza Rahma Fijri, Marina Azhari,
Triansari Prahara dan Irna Ristiana Satas dukungan dan semangatnya.
10.Teman-teman anggota Pers Mahasiswa PIJAR, Ikatan Mahasiswa
Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) dan P2KM yang mampu
menularkan gairah serta semangat kepada peneliti untuk menjadi insan
yang lebih bernilai dan berkarya nyata.
11.Semua informan peneliti dan teman-teman satu bimbingan yang telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Akhir kata, peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, April 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara. Saya yang bertanda
tangan di bawah ini :
Nama : Yesi Kusmasari
NIM : 100904103
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekxlusive
Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelolah dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Medan, April 2014
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen” sebuah studi kasus persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi, komunikasi nonverbal, pelanggaran harapan, pengurangan ketidakpastian dan kebohongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis yang membahas tentang komunikasi nonverbal dosen. Bagaimana mahasiswa mempersepsi komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Objek yang menjadi penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi dan yang menjadi subjeknya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen sangat beragam. Secara keseluruhan bentuk komunikasi nonverbal seperti isyarat regulator lebih banyak digunakan oleh dosen laki-laki dan isyarat ilustrator lebih banyak digunakan oleh dosen perempuan. Kontak mata dosen Ilmu Komunikasi kuat, volume suara keras, jarang melakukan sentuhan, kualitas suara baik, lebih menggunakan jarak sosial, warna yang sering dipakai oleh dosen perempuan adalah warna-warna yang cerah sedangkan warna yang sering dipakai oleh dosen laki-laki adalah warna-warna pastel. Secara keseluruhan postur tubuh dosen Ilmu Komunikasi mesomorphy dan endomorphy, wangi dan tepat waktu.
Kata kunci:
ABSTRACT
The research is titled "Student Perceptions About Nonverbal Communication Lecturer" a case study of students' perceptions of nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The purpose of this study was to determine the students' perceptions of nonverbal communication illustration lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU and to determine the forms of non-verbal communication from a lecturer in the Department of Communication Studies. The theory used in this study is the Perception, Nonverbal Communication, Breach of Hope, Uncertainty Reduction and Lies. The method used in this study is qualitative constructivist paradigm which deals with nonverbal communication lecturer. How students perceive nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The object of this study is that non-verbal communication are the lecturer of Communication Studies and students of the Department of Communication Studies class of 2010 are the subject. Results showed that non-verbal forms of communication are very diverse/various. Overall form of nonverbal communication such as gestures more widely used by regulators male lecturers and illustrator of more cues used by female professors. Eye contact lecturers of Communication Studies robust, high volume, rarely do touch, good sound quality, more use of social distance, the color often worn by female lecturers are bright colors while the colors are often worn by male lecturers arepastel colors. Overall posture and lecturer of Communication Studies mesomorphy endomorphy, fragrant and timely.
Keywords:
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
PERNYATAAN ORISINALITAS ...ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...iii
HALAMAN PENGESAHAN ...iv
KATA PENGANTAR ...v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...vii
ABSTRAK ...viii
ABSTRACT ...ix
DAFTAR ISI ...x
DAFTAR TABEL ...xii
DAFTAR GAMBAR ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Konteks Masalah ...1
1.2 Fokus Masalah ...6
1.3 Tujuan Penelitian ...7
1.4 Manfaat Penelitian ...7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...8
II.1 Paradigma Penelitian ...8
II.2 Uraian Teoritis ...9
II.2.1 Persepsi ...9
II.2.2 Komunikasi Nonverbal ...13
II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan ...27
II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian ...32
II.2.5 Teori Kebohongan ...34
II.3 Kerangka Pemikiran ...38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...39
III.1 Metodologi Penelitian ...39
III.2 Studi Kasus ...40
III.3 Objek Penelitian ...42
III.4 Subjek Penelitian ...42
III.5 Teknik Pengumpulan Data ...42
III.6 Teknik Analisis Data ...43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...45
IV.1 Hasil ...45
IV.1.1 Proses Penelitian ...45
IV.1.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan terhadap Enam Informan ...47
IV.1.3 Penyajian Data ...72
IV.1.4 Kesimpulan Hasil Penelitian ...126
IV.2 Pembahasan ...131
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...135
V.2 Saran ...135
DAFTAR PUSTAKA ...137
LAMPIRAN
- Profil Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU - Daftar Pertanyaan Wawancara
- Hasil Wawancara - Biodata Peneliti
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
4.1 Data Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 49 Angkatan 2010 Menjadi Informan
4.2 Informan 1 75
4.3 Informan 2 82
4.4 Informan 3 88
4.5 Informan 4 95
4.6 Informan 5 107
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 Lima Gerakan Tubuh 17
2.2 Contoh sentuhan (touching) 20
2.3 Contoh sentuhan (touching) 20
2.4 Tipe Postur Tubuh 22
2.5 Jarak Proksemik 23
2.6 Contoh Ekspresi Wajah 26
2.7 Contoh Kewilayahan 33
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen” sebuah studi kasus persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi, komunikasi nonverbal, pelanggaran harapan, pengurangan ketidakpastian dan kebohongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis yang membahas tentang komunikasi nonverbal dosen. Bagaimana mahasiswa mempersepsi komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Objek yang menjadi penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi dan yang menjadi subjeknya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen sangat beragam. Secara keseluruhan bentuk komunikasi nonverbal seperti isyarat regulator lebih banyak digunakan oleh dosen laki-laki dan isyarat ilustrator lebih banyak digunakan oleh dosen perempuan. Kontak mata dosen Ilmu Komunikasi kuat, volume suara keras, jarang melakukan sentuhan, kualitas suara baik, lebih menggunakan jarak sosial, warna yang sering dipakai oleh dosen perempuan adalah warna-warna yang cerah sedangkan warna yang sering dipakai oleh dosen laki-laki adalah warna-warna pastel. Secara keseluruhan postur tubuh dosen Ilmu Komunikasi mesomorphy dan endomorphy, wangi dan tepat waktu.
Kata kunci:
ABSTRACT
The research is titled "Student Perceptions About Nonverbal Communication Lecturer" a case study of students' perceptions of nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The purpose of this study was to determine the students' perceptions of nonverbal communication illustration lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU and to determine the forms of non-verbal communication from a lecturer in the Department of Communication Studies. The theory used in this study is the Perception, Nonverbal Communication, Breach of Hope, Uncertainty Reduction and Lies. The method used in this study is qualitative constructivist paradigm which deals with nonverbal communication lecturer. How students perceive nonverbal communication lecturer in the Department of Communication Studies Faculty of Social USU. The object of this study is that non-verbal communication are the lecturer of Communication Studies and students of the Department of Communication Studies class of 2010 are the subject. Results showed that non-verbal forms of communication are very diverse/various. Overall form of nonverbal communication such as gestures more widely used by regulators male lecturers and illustrator of more cues used by female professors. Eye contact lecturers of Communication Studies robust, high volume, rarely do touch, good sound quality, more use of social distance, the color often worn by female lecturers are bright colors while the colors are often worn by male lecturers arepastel colors. Overall posture and lecturer of Communication Studies mesomorphy endomorphy, fragrant and timely.
Keywords:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Menurut Carl I. Hovland
(dalam Effendy, 2006: 10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang
lain. Dalam praktik komunikasi terjadi pertukaran ide, informasi, gagasan,
keterangan, himbauan, permohonan, saran, usul, bahkan perintah. Proses
komunikasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menerima
informasi bahkan membangun persepsi terhadap suatu hal.
Saat berkomunikasi kita tidak hanya melakukan komunikasi secara verbal
namun juga secara nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan
menggunakan kata-kata (verbs), baik lisan maupun tulisan. Ada tiga ciri utama
yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal. Pertama, bahasa verbal
adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi
nonverbal. Jadi, komunikasi verbal ini digunakan setelah pengetahuan dan
kedewasaan kita sebagai manusia tumbuh. Kedua, komunikasi verbal dinilai
kurang universal dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita keluar
negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat
setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat nonverbal. Ketiga,
komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan
bahasa nonverbal. Melalui komunikasi verbal kita mengomunikasikan gagasan
dan konsep-konsep yang abstrak.
Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi
dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi
nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna
jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan. Ucapan atau ungkapan klise
seperti “Sebuah gambar sama nilainya dengan seribu kata” menunjukkan bahwa
alat-alat indera yang kita gunakan untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal
sebetulnya berbeda dari hanya kata-kata yang kita gunakan. Salah satu dari
beberapa alasan yang dikemukakan oleh Richard L. Weaver II (1993) bahwa
pendengaran, sedangkan komunikasi nonverbal dapat memicu sejumlah alat
indera seperti penglihatan, penciuman, dan perasaan. Sejumlah alat indera yang
terangsang tampaknya orang akan merespon isyarat-isyarat nonverbal secara
emosional, sedangkan reaksi mereka kepada hanya kata-kata lebih bersifat
rasional.
Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak
menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan verbal. Pada
gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran-pikiran kita lewat
petunjuk-petunjuk nonverbal.
Cara kita berdiri, cara kita berjalan, gaya yang kita tampilkan saat kita
mengangkat bahu kita, mengernyitkan dahi kita, menggoyangkan kepala kita dan
sebagainya itu tentu saja adalah komunikasi. Kita tidak perlu untuk melakukan
suatu tindakan yang khusus untuk melakukan semua itu.
Kita juga dapat dikatakan melakukan komunikasi nonverbal melalui
pakaian yang kita gunakan, mobil yang kita kendarai, atau kantor yang kita
tempati. Memang benar, bahwa yang dikomunikasikan mungkin kurang akurat,
namun demikian mau tidak mau tetap saja ada yang dikomunikasikan melalui cara
itu. Menurut Birdwhistell tidak lebih dari 30%-35% makna sosial percakapan atau
interaksi dilakukan dengan kata-kata, dan sisanya dilakukan dengan pesan
nonverbal
Komunikasi nonverbal sangat penting dikarenakan komunikasi nonverbal
dapat memperkuat dan memperjelas atau melengkapi komunikasi verbal.
Komunikasi nonverbal juga merupakan penggambaran emosi yang tidak dapat
diungkapkan dalam komunikasi verbal. Hal itu dikarenakan komunikasi nonverbal
tidak dapat dipisahkan (saling berkaitan) dengan komunikasi verbal. Komunikasi
nonverbal dapat digunakan kapan saja dan oleh siapa saja termasuk orang-orang
yang memiliki kelainan fisik serta saat seseorang itu sulit mengungkapkan
perasaan melalui komunikasi verbal.
Sejak lahir hingga akhir hayat manusia, komunikasi nonverbal merupakan
sistem simbol yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bayi mulai
memahami kata-kata ketika umur 6 bulan. Akan tetapi, sebelum usia tersebut
nonverbal bersifat omnipresent (ada di mana-mana), namun ia merupakan resep
penting dalam interaksi manusia.
Perilaku nonverbal dalam suatu situasi interaksi selalu mengomunikasikan
sesuatu. Kita tidak mungkin tidak bertingkah laku, dan karenanya kita tidak
mungkin tidak mengomunikasikan sesuatu. Apapun yang kita lakukan atau tidak
kita lakukan, dan apakah tindak-tanduk kita disengaja atau tidak disengaja,
perilaku nonverbal kita mengomunikasikan sesuatu. Misalnya seorang mahasiswa
memandang hampa ke luar jendela selama dosen mengajar mengomunikasikan
isyarat kepada sang dosen bahwasanya kita mengatakan “Saya jemu.” Tetapi,
sadarilah perbedaan penting antara pernyataan nonverbal dan pernyataan verbal.
Mahasiswa yang memandang keluar jendela ketika dosen bertanya “Mengapa
kamu jemu?.” selalu dapat mengelak dengan mengatakan bahwa ia tiba-tiba
tertarik oleh sesuatu di luar. Tetapi, mengatakan “Saya jemu” merupakan pesan
yang jauh lebih jelas. Jadi, semua perilaku nonverbal betapapun kecilnya
sangatlah penting. Setiap perilaku itu mempunyai makna; masing-masing
melakukan komunikasi (DeVito, 2011).
Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang
memperoleh statusnya karena ikatan dengan Perguruan Tinggi. Mahasiswa juga
merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan
masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Dari pendapat di
atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh
seseorang karena hubungannya dengan Perguruan Tinggi yang diharapkan
menjadi calon-calon intelektual.
Mahasiswa menurut peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di Perguruan Tinggi tertentu. Sedangkan
menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi
terdaftar untuk mengikuti pelajaran di Perguruan Tinggi dengan batas usia sekitar
18-30 tahun.
Selanjutnya, guru/dosen adalah seseorang profesional yang mengelola
kelas serta membimbing siswa di lingkungan sekolah. Guru/dosen dituntut untuk
memiliki kompetensi selain mengajar juga melakukan penelitian. Menurut UU no
yaitu kompetensi mengajar (pedagogik), kompetensi kepribadian (personalitas),
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Oleh karena itu, selain terampil
mengajar, seorang pendidik juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan
dapat bersosialisasi dengan baik.
Departemen Ilmu Komunikasi merupakan salah satu jurusan yang ada di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Departemen ini pertama kali dibuka
di FISIP USU pada tahun 1983 dengan nama Jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam
proses pengembangannya pada tahun 1994-1997 Jurusan Ilmu Komunikasi
membuka dua program studi yaitu program studi Public Relations (Humas) dan
program studi Jurnalistik (Komunikasi Massa).
Pada tahun ajaran 2001/2002, berdasarkan Surat Keputusan Rektor No.
2162/ J05/TU/2001 Departemen Ilmu Komunikasi membuka Program Ektensi
Ilmu Komunikasi. Setelah berhasil membuka Program Ekstensi, pada tahun ajaran
2004/2005 Departemen Ilmu Komunikasi membuka Program Reguler Mandiri
Departemen Ilmu Komunikasi sebagai salah satu Depatemen yang ada di
FISIP USU, memiliki ratusan mahasiswa serta puluhan dosen yang datang dari
latar belakang yang berbeda-beda. Banyak faktor yang melatarbelakanginya
seperti faktor budaya, suku maupun agama. Setiap harinya mereka berinteraksi
baik secara verbal maupun nonverbal. Mahasiswanya setiap hari berinteraksi
dengan dosen-dosen pengajar yang berpengalaman dalam proses komunikasi baik
secara teori maupun terapan. Di dalam kegiatan belajar mengajar, seorang dosen
pastilah banyak melakukan komunikasi nonverbal. Dan komunikasi nonverbal
para dosen itupun dipersepsikan beragam oleh setiap mahasiswa.
Terkadang tanpa sadar dosen mengeluarkan isyarat-isyarat tertentu dengan
gerakan tubuhnya, ekspresi wajah, maupun tekanan suara yang tidak mampu
diartikan oleh para mahasiswa. Meskipun tidak secara langsung berpengaruh
terhadap efektivitas komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar, namun tidak
dapat dipungkiri pula bahwa hal itu berpengaruh dalam terciptanya komunikasi
yang efektif. Komunikasi nonverbal biasanya mencerminkan tentang kondisi
emosional seseorang. Komunikasi nonverbal juga dapat mewakili pesan-pesan
dosen-dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Ada suatu masa mungkin
mereka akan lebih nyaman untuk menyampaikan suatu pesan di dalam kelas lewat
komunikasi nonverbalnya seperti gerakan kepala, tatapan mata, ekspresi wajah,
dan sebagainya. Atau bisa jadi seorang dosen merasa dalam kondisi tidak nyaman
akibat tekanan-tekanan dari luar, kekhawatiran akan suatu hal, dan hal ini terbawa
hingga ke dalam kelas.
Sebagai seorang dosen khususnya dosen Ilmu Komunikasi harus sadar dan
wajib mengetahui akan pentingnya komunikasi nonverbal ini. Hal ini dianggap
penting karena dosen Ilmu Komunikasi tentunya telah melewati dan lebih paham
apa yang dikatakan dengan komunikasi nonverbal. Sebab bentuk komunikasi ini
sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan mereka
bekerja.
Di samping itu, sebagai seorang dosen khususnya dosen Ilmu Komunikasi
harus mampu melakukan komunikasi nonverbal untuk menciptakan kesan yang
baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam kehidupannya sehari-hari di
kampus. Misalnya dengan memerhatikan penampilan, menjaga emosi, mengatur
ekspresi wajah, gerakan tubuh dan lain sebagainya. Dosen juga harus pandai
mengatur cara berinteraksi dengan baik.Tindakan nonverbal baik disengaja
ataupun tidak dapat memberikan petunjuk mengenai bagaimana dosen itu dinilai
dan dipandang oleh mahasiswanya, misalnya bagaimana seseorang dosen
memulai perkuliahan dan mengakhiri perkuliahan atau kemampuan dosen melihat
komunikasi nonverbal mahasiswa saat proses belajar mengajar berlangsung.
Seorang dosen yang harus dapat mengesampingkan kehidupan pribadinya saat
sedang mengajar mahasiswanya. Seorang dosen bermain peran dengan menutupi
keadaan kehidupan pribadinya seberat apapun masalah yang sedang dihadapi
demi tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. Hal semacam itu
tentunya membawa kesan-kesan tersendiri yang tercermin lewat gerak-gerik sang
dosen. Gerak-gerik atau bahasa tubuh inilah yang kemudian akan dipersepsikan
oleh mahasiswa sehingga tanpa mengatakannya pun, mahasiswa diharapkan tahu
apa yang sedang dialami dosen atau apa yang sebenarnya ingin disampaikan
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi
kedalam otak manusia. Gibson, dkk (1989) dalam buku Organisasi Dan
Manajemen Perilaku, Struktur; memberikan definisi persepsi adalah proses
kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami
dunia sekitarnya (terhadap objek). Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi
merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena
itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun
objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada
situasi itu sendiri.
Mungkin ketika dosen meninggikan tekanan suaranya pada siang hari,
sebagian mahasiswa menganggap dosen itu sedang marah. Namun sebagian
mahasiswa lainnya beranggapan bahwa mungkin dosen tersebut sedang berusaha
membangunkan dirinya, atau ada yang beranggapan bahwa dosen sedang dalam
tekanan, dan masih banyak lagi persepsi lain. Namun berdasarkan stimuli
inderawi yang ditangkap oleh para mahasiswa, hal tersebut belum tentu sesuai
dengan apa yang dimaksudkan dosen. Inilah persepsi itu. Persepsi dari setiap
mahasiswa berbeda-beda dalam menangkap makna dibalik kerasnya suara dosen
dalam menerangkan pelajaran siang itu. Apa yang dimaksudkan dosen belum
tentu sama dengan persepsi mahasiswa.
Oleh karena itu, bagaimana persepsi mahasiswa terhadap komunikasi
nonverbal dosen sangat penting. Persepsi akan mempengaruhi sikap mahasiswa
terhadap pesan nonverbal dari dosen. Demikian pentingnya persepsi, apalagi
mengingat bahwa manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu dan selalu
mencari. Penafsiran lewat persepsi adalah salah satu bentuk naluri manusia.
Dalam hal ini, untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian ini.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka fokus
masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana persepsi mahasiswa tentang
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi
nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di
Departemen Ilmu Komunikasi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif terhadap perkembangan keilmuan Ilmu Komunikasi,
khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
menambah pengetahuan dan wawasan peneliti maupun mahasiswa
lain, khususnya mengenai komunikasi nonverbal.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi
referensi bagi yang membutuhkan informasi yang lebih mendalam
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Paradigma Penelitian
Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia”
sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut
beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan
Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti
mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55).
Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan
tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu
(epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana
kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi).
Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia,
sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek
tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55).
Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan
oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau
strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi
desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian
kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme.
Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi
pelaksanaan penelitian.
Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan
di dalamnya. Paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi,
yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun
dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).
Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang
menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi
peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna di baliknya. Dalam proses
penafsiran teks, pengalaman, latarbelakang hingga perasaan peneliti dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis
(Ardianto dan Q-Anees, 2007:155) adalah:
1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan
dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis
tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks
sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigma ini, penelitian akan
membahas bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen
Ilmu Komunikasi FISIP USU.
II.2 Uraian Teoritis II.2.1 Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)
(Rakhmat, 1949: 57)
Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan
Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu
merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu
pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Seperti yang
dikatakan oleh David Krech
“The cognitive map of the individual is not, then, a photographic
representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal
construction in which certain objects, selected out by the individual for a
major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it
were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the
world that expresses his individual view of reality.”
Secara ringkas pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik
tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.
Ada beberapa subproses dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan
sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.
Subproses yang pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang
hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu
situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa
stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan
sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi,
interpretasi dan umpan balik (feedback).
Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :
1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan
dari luar, intensitasdan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut,
motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung
informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang
kompleks menjadi sederhana.
3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, dalam Alex Sobur, 2003).
Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan
terhadap informasi yang sampai.
Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi
seseorang antara lain :
1. Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya
matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai
bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.
2. Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya.
Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di
dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap
dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah
satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
Sementara itu, menurut DeVito (dalam Sobur, 2003) menyebutkan enam
proses yang mempengaruhi persepsi, yakni:
1. Teori kepribadian implisit
Teori pribadi implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang
diyakini seseorang dan mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada
orang lain (DeVito, dalam Sobur, 2003: 455).
Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang suatu sifat berkaitan
dengan sifat lainnya. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang
Karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personaliy theory
(Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455).
2. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy)
Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila Anda membuat ramalan atau
merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena Anda membuat
ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (DeVito, 1997:
89).
Jadi, ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan
atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya
dan bertindak seakan-akan itu benar, seperti disinggung di muka. Ada empat
langkah dasar dalam proses ini (DeVito, dalam Sobur, 2003: 457):
1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang
atau situasi. Misalnya kita meramalkan bahwa Pat adalah orang yang
canggung dalam komunikasi antarpribadi.
2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan
atau keyakinan kita benar. Misalnya di depan Pat kita bersikap
seakan-akan Pat memang orang yang canggung.
3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar),
keyakinan kita itu menjadi kenyataan. Misalnya, karena cara kita
bersikap di depan Pat, Pat menjadi tegang dan “salah-tingkah” serta
menunjukkan kecanggungan.
4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap
situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita.
Misalnya, kita menyaksikan kecanggungan Pat, dan ini memperkuat
keyakinan kita bahwa Pat memang orang yang canggung.
3. Aksentuasi perseptual
Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan
apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai itu lebih
tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra
argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang
yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini,
4. Primasi resensi
Primasi resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat
urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar
pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian
mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi.
5. Konsistensi
Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang
memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis
di antara berbagai sikap dan hubungan antara mereka.
6. Stereotype
Stereotip mengacu kepada kecenderungan untuk mengembangkan dan
mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai
sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi
anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual
yang unik.
II.2.2 Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi
dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi
nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna
jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011:
110).
Komunikasi nonverbal pastilah merupakan kata yang sedang populer saat
ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh
gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak
(ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar
bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku,” begitu kata sebuah buku
yang populer (Nierenberg & Calero, 1971). Kita ingin bisa melihat apa yang ada
di balik pesan-pesan verbal yang “jelas” (DeVito, 2011: 193).
Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset
nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam
1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk
menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.
Misalnya saja, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau
ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tanganAnda ke meja
untuk menekankan suatu hal tertentu.
2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan
komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum
yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin
tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan
kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang.
3. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau
mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan nonverbal.
Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat
gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan
sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda juga
mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) Anda
(misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan
bahwa Anda belum selesai berbicara.
4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja
mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.
Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau
mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan
adalah tidak benar.
5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi dan merumuskan
ulang makna dari pesan verbal, misalnya Anda dapat menyertai
pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda,
atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi
pesan verbal “Ayo kita pergi.”
6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat
menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misalnya, mengatakan “Oke”
menganggukkan kepala untuk mengatakan “Ya” atau menggelengkan
kepala untuk mengatak “Tidak.”
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal
dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006:
101-110):
a. Kinesics
Ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.
Menurut Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (dalam DeVito, 2011) kedua periset
ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal, di antaranya:
1. Emblim
Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung
menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, isyarat untuk
“Oke,” “Jangan ribut,” “kemarilah,” dan “Saya ingin menumpang.”
Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan
tertentu. Walaupun emblim bersifat alamiah dan bermakna, mereka
mempunyai kebebasan makna seperti sembarang kata apapun dalam
sembarang bahasa. Oleh karenanya, emblim dalam kultur kita
sekarang belum tentu sama dengan emblim dalam kultur kita 300
tahun yang lalu atau dengan emblim dalam kultur lain.
2. Ilustrator
Ilustratoradalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah
“mengilustrasikan” pesan verbal. dalam mengatakan “Ayo, bangun,”
misalnya, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan anda ke
arah menaik. Dalam menggambarkan lingkaran atau bujur sangkar
Anda mungkin sekali membuat gerakan berputar atau kotak dengan
tangan Anda. Begitu biasanya kita melakukan gerakan demikian
sehingga sukar bagi kita untuk menukar-nukarnya atau menggunakan
gerakan yang tidak tepat.
Kita hanya menyadari sebagian ilustrator yang kita gunakan.
Kadang-kadang ilustrator ini perlu kita perhatikan. Ilustrator bersifat lebih
sesekali ilustrator ini mengandung komponen-komponen yang sudah
dibawa sejak lahir selain juga yang dipelajari.
3. Affect Display
Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung
makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa
takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Ekspresi
wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha
menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata,
“Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?” tetapi, kita dapat secara
sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memerankan
peran tertentu. Affect display kurang bergantung pada pesan verbal
daripada ilustrator. Selanjutnya, kita tidak secara sadar mengendalikan
affect display seperti yang kita lakukan pada emblim atau ilustrator.
Affect display dapat tidak disengaja—seperti ketika gerakan-gerakan
ini membuka rahasia kita—tetapi mungkin juga disengaja. Kita
mungkin ingin memperlihatkan rasa marah, cinta, benci, atau terkejut
dan biasanya kita mampu melakukannya dengan baik.
4. Regulator
Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur,” memantau,
memelihara atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda
mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif. Anda menganggukkan
kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata dan membuat
berbagai suara paralinguistik seperti “mm-mm” atau “tsk.” Regulator
jelas terikat pada kultur dan tidak universal. Regulator mengisyaratkan
kepada pembicara apa yang kita harapkan mereka lakukan–misalnya,
“Teruskanlah,” “Lalu apalagi?,” atau “Tolong agak lambat sedikit.”
Bergantung pada kepekaan mereka, mereka mengubah perilaku sesuai
dengan pengarahan dari regulator.
5. Adaptor
Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara
memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai. Misalnya,
bila Anda sedang sendiri mungkin Anda akan menggaruk-garuk
kepala sampai rasa gatal hilang. Di muka umum bila orang-orang
melihat Anda melakukan perilaku adaptor ini hanya sebagian. Anda
mungkin misalnya, hanya menaruh jari Anda di kepala dan
menggerakkannya sedikit, tetapi barangkali tidak akan menggaruk
[image:33.595.132.499.249.529.2]cukup keras untuk menghilangkam gatal.
Gambar II.1 Lima Gerakan Tubuh Sumber: (DeVito, 2011 : 206)
b. Gerakan Mata (Eye Gaze)
Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat
tanpa kata. Dari observasi puitis Ben Jonson’s “Drink to me only with thin eyes,
and I will pledge with mine” sampai ke observasi ilmiah para periset kontemporer
(Hess, Marshall, dalam DeVito, 2011), mata dipandang sebagai sistem pesan
bervariasi bergantung pada durasi, arah dan kualitas dari perilaku mata. Ada yang
menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan isi hati seseorang.
Mark Knapp dalam risetnya menemukan empat fungsi utama gerakan
mata, yakni:
1. Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya.
Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal
itu?.
2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya
waktu untuk bicara.
3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata
akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan.
Sebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghindari
terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau
berutang akan menghindari orang yang bisa menagihnya.
4. Sebagai pengganti jarak fisik. Bagi orang yang berkunjung ke suatu
pesta, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung,
maka melalui kontak mata mereka dapat mengatasi jarak pemisah yang
ada. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi
tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada
suatu obyek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada obyek itu
tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata
cenderung menjadi besar.
c. Sentuhan (Touching)
Sentuhan atau touch secara formal dikenal sebagai haptics, sentuhan ialah
menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Ini merupakan
bentuk pertama dari komunikasi nonverbal yang kita alami. Bagi seorang balita,
sentuhan merupakan alat utama untuk menerima pesan-pesan mengenai kasih
sayang dan kenyamanan. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental
komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri atau
self-presentation pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita dan
bagian-bagian tubuh lainnya untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul,
macam-macam emosi dan pesan. Dalam budaya Barat, orang berjabat tangan
untuk bergaul dan menunjukkan rasa hormat, menepuk seseorang di punggungnya
untuk memberi semangat, merangkul seseorang untuk menunjukkan kasih sayang,
bertepuk tangan sambil diangkat, menunjukkan solidaritas.
Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam (Cangara,
2006: 105) yakni :
1. Kinesthetic
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama
lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.
2. Sociofugal
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling
merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam
menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan
orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat
sentuhan pundak atau berpelukan.
3. Thermal
Ialah syarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu
emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya
[image:35.595.240.390.480.665.2]menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.
Gambar II.2
Gambar II.3
Contoh sentuhan (touching) Sumber: (DeVito, 2011 : 222)
d. Paralanguage
Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga
penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya
“Datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar
basa-basi. Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung
dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa disalahartikan oleh
etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski menurut kata hatinya tidak
demikian, sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi etnik tersebut.
Ada pengendalian empat utama karakteristik vokal, yaitu (Budyatna,
2011):
1. Pola titinada
Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal.
Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal atau vocal pitch
dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan,
menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan.
2. Volume
Volume merupakan kerasnya atau lembutnya nada.
3. Kecepatan
Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang
4. Kualitas
Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang.
e. Diam
Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode
nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak
semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan
sikap positif.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit untuk
diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap
diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain,
misalnya menyatakan “Tidak.” Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat
menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu diam tidak selamanya berarti
menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam
karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.
Untuk memahami sikap diam, kita perlu belajar terhadap budaya atau
kebiasaan-kebiasaan seseorang. Pada suku-suku tertentu ada kebiasaan tidak
senang menyatakan “Tidak” tetapi juga tidak berarti “Ya.” Diam adalah perilaku
komunikasi sekarang ini makin banyak dilakukan oleh orang-orang yang bersikap
netral dan mau aman.
f. Postur tubuh
Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel
(dalam Cangara, 2006: 106-107) dua orang ahli psikologi melalui studi yang
mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan
karakternya. Kedua ahli ini membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni
ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy
bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi dan atletis, dan
endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.
Pada tubuh yang bertipe ectomorphy dilambangkan sebagai orang yang
punya sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Bagi mereka yang tergolong
bertubuh mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat,
aktif dan kompetitif, sedangkan tubuh yang bertipe endomorphy digambarkan
Gambar II.4 Tipe Postur Tubuh Sumber: (DeVito 2011 : 211)
g. Kedekatan dan Ruang (proximity and spatial)
Proximity adalah kode nonverbal yang menunjukkan kedekatan dari dua
obyek yang mengandung arti. Proximity dapat dibedakan atas territoryatau zone.
Edwart T. Hall (dalam Cangara, 2006: 107-108) membagi kedekatan menurut
territory atas empat macam, yaitu :
1. Wilayah intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18
inchi.
2. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak anatar 18 inchi hingga 4
kaki.
3. Wilayah sosial, ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki.
4. Wilayah umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai
12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.
Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari
sudut ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Sommer (dalam
Cangara, 2006: 108) dalam bukunya Leadership and Group Geography
menemukan, bahwa para pemimpin yang duduk di depan meja segi empat persegi
panjang, cenderung dipilih sebagai pimpinan kelompok, sedangkan Here dan
Bales (dalam Cangara, 2006: 108) menemukan bahwa orang yang banyak bicara
dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.
Hal yang mirip juga ditemukan oleh Flor (dalam Cangara, 2006: 109)
dalam risetnya, bahwa posisi meja para eksekutif pada suatu kantor senantiasa
Gambar II.5 Jarak Proksemik Sumber: (DeVito 2011 : 216)
h. Artifak dan Visualisasi
Hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para
antropolog dan arkeolog sudah lama memberi perhatian terhadap benda-benda
yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya, antara lain artifacts.
Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri
manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain
dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau
identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, pakaian dinas,
cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung
dan sebagainya.
i. Warna
Warna juga memberi arti terhadap suatu obyek. Di Indonesia, warna hijau
seringkali diidentikkan dengan warna Partai Persatuan Pembangunan, kuning
sebagai Golongan Karya dan merah sebagai warna partai Demokrasi Indonesia.
Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini
dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual
lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.
j. Waktu
Ungkapan “Time is Money” membuktikan bahwa waktu itu sangat penting
bagi orang yang ingin maju. Karena itu orang yang sering menepati waktu dinilai
kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan
seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi,
melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya.
Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan
pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita
berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi
orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau
masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir
mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang
lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang (Chen & Starosta, 1998
dalam Budyatna & Ganiem, 2011).
k. Bunyi
Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari
mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang
dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage.
Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur,
sirine dan sebagainya.
Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh
dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan
tentara, pandu dan sebagainya.
l. Bau
Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan
status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya
posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.
m. Gerakan wajah
Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga
kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman,
Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth (dalam DeVito, 2011) menyatakan
bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi”
berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan
gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati
[image:41.595.173.454.146.290.2](DeVito, 2011: 208).
Gambar II.6 Contoh Ekspresi Wajah
Sumber:
Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi
nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang
berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance,
chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication
berkaitan dengan masalah penciuman (Verderber et al., dalam Budyatna dan
Ganiem, 2011).
• Budaya Maskulin dan Feminin
Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas,
berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang
baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya
“feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk
mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut.
Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat
mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya
maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk
segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan
masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan
bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari
win-win solutions(Arrindell, Steptoe, & Wardle, dalam DeVito, 2009: 39).
• Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah
Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang
tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa
yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga,
ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang
ketidakpastian.
Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi
ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak
pasti/diketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan
orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul (Hofstede; Lustig & Koester,
dalam DeVito, 2009: 39).
Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan
toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari
ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak
mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian
sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. (Hofstede, dalam
DeVito, 2009: 39-40).
• Orientasi Kolektivis dan Individualis
Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan
nilai-nilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme,
dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan
penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya
bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat.
Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan
kelompok.
Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita
melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di
pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan
berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain.
(Han & Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41).
• Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah
Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim(dalam DeVito,
2009: 41) budaya tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya
konteks-rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang
kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan
eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis.
Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu
untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum
transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah
menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan
karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya
konteks-tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi
komunikasi. Menurut Basso (dalam DeVito, 2009: 41),diam, sebagai contoh
sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang
dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang
sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut
Gudykunst(dalam DeVito, 2009: 41) untuk anggota budaya konteks-tinggi,
ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi
personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis
sama.
II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan
Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT)
pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal
(NonverbalExpectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee
Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap
pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon
area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di
akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam
mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku.
Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations Theory—EVT),
menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang
lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak
perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang
tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu.
Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian
khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan
jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti
dari teori ini (West dan Turner, 2009 : 154-155)
Hubungan Ruang
Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai
proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang
dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang.
Menurut Mark Knapp dan Judith Hall (dalam West dan Turner 2009) penggunaan
ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan.
Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon
memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi
dari pelanggaran ruang.
Burgoon (dalam West dan Turner, 2009) mulai dari sebuah premis bahwa
manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi.
Ruang personal (personal space), menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai
“sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi
seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang
terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya
bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain,
tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi
keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan
privasi.
- Zona Proksemik
Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya
dari seorang antropolog Edward Hall (dalam West dan Turner, 2009). Setelah
mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara (di daerah Timur Laut), Hall
mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu:
1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0
sampai 18 inci (46 sentimeter). Hall (dalam West dan Turner, 2009)
mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku
yangbervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim)
hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya
digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat
menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal
yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada
dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama
pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha
untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim.
2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki,
digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall (dalam West dan
Turner 2009), perilaku dalam jarak personal (personal distance)
termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan
seseorang sejauh panjang lengan.
3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan
untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan
sekerja. Hall (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa jarak
sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang
kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit
jauh, Hall mengingatkan kita