• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

B. Prosesi Adat Pemakaman Pada Masyarakat Pager

2. Hasil Wawancara

a. Mbah Yatemi ketika wawancara pada tanggal 27-12-2014, yang

merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 75 tahun. Mengatakan bahwa prosesi dalam pemakaman jenasah dimulai dari mayit dibujurkan ke utara menghadap kiblat, kemudian disucikan, dikafani, disholatkan dan dimakamkan serta dibacakan fatikhah dan tahlil. beliau tidak tahu menahu asal-usul ritual dalam kematian dilakukan oleh orang-orang tersebut karena sudah ada semenjak beliau masih kecil sudah ada hal seperti itu, dan hanya mengikuti orang tua dulu. Karena hal-hal tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan orang yang masih hidup untuk orang mati. Beliau juga tahu bahwa hukum mengadakan ritual dalam kematian seperti sawur beras, batang pisang harus 7 buah, mecah kendi, dan lain sebagainya tersebut dalam hadis tidak ada, hanya mengikuti orang kuno/orang jaman dahulu. Maksud dari mecah kendi adalah untuk memcahkan pikiran ketika di

alam kubur sehingga dapat menjawab pitakon kubur dan terhindar dari

godaan setan yang dapat menjurumuskan dia dalam api neraka. Di kasih lampu/sentir agar terang, jalan disapu agar terang jalannya, namun sekarang menyapu ketika jenasah di bawa kepemakaman sudah tidak dilakukan lagi karena sudah memiliki caranya sendiri. Maksud dari

sawuran dilakukan adalah untuk menghindarkan godaan di dunia, payung digunakan agar jenasah tidak kepanasan. Kalau jaman dahulu orang-orang masih melakukan menyapu sambil memegang sentir agar jalannya terang. Kemudian bunga-bunga yang ditaburkan akan memberi manfaat bagi mayit karena jika bunga tersebut belum layu maka akan mendoakannya. Makanan dalam surtanah kalau jaman dulu berisi nasi, ingkung ayam, sambal goreng kentang, gorengan, tumpeng seger yang memiliki maksud agar yang ditinggalkan tetap segar/bagas waras/sehat sejahtera. Ketika memperingati hari ke 40 harinya berkat yang diberikan kepada hadirin yang datang berisi beras, telur, jadah untuk tempat duduknya ketika ditanya malaikat, apem digunakan untuk payungan jenasah, pisang itu digunakan untuk tongkat orang yang meninggal, hal tersebut memang tidak dapat dipikirkan oleh akal sehat, karena orang dulu mengjarkan seperti itu. Apabila mengundang orang-orang untuk kenduri namun tidak datang maka perasaannya biasa saja, mungkin orang yang diundang tersebut masih sibuk dengan kegiatannya atau karena sakit. Namun apabila yang diundang yang hadir hanya sekitar 5 orang sedangkan yang diundang berjumlah sikitar 20 orang maka beliau berpikir apa yang salah dengan dirinya sehingga banyak yang tidak hadir, mengapa warga tidak suka dengan beliau dan beliau merasa tersakiti dengan tidak hadirnya warga. Sehingga beliau mengoreksi diri mengapa hal tersebut dapat terjadi pada dirinya. Beliau bercerita ketika ngijing/membuat makam permanen dimakam suaminya, suaminya

tersebut datang dalam mimpi cucunya yang mangatakan ucapan terima kasih sudah membuatkan rumah bagus seperti masjid.

b. Ibu Siti Komsah ketika wawancara pada tanggal 27-12-2014, yang

merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 58 tahun. Mengatakan bahwa prosesi dalam pemakaman jenasah dimulai dari mayit dibujurkan ke utara menghadap kiblat, kemudian disucikan,

dikafani, disholatkan dan dimakamkan. Maksud-maksud dari sawur,

memecah kendi, dan lain-lainnya pada adat dalam prosesi pemakaman tersebut saya tidak tahu-menahu karena apabila beliau melayat selalu dibelakang/hanya di dapur. Dan saya tidak tahu-menahu mengapa jumlah rangkaian bunga selalu berjumlah ganjil. Ketika acara surtanah biasanya

makanan yang disuguhkan berupa tumepeng marep mungkur/tumpeng

yang dibelah dua yang saling membelakangi maksud dari tumpeng marep mungkur beliau tidak tahu hanya mengikuti orang tua dulu, serta

tumpeng seger untuk bancak‟i orang yang bagas waras dan tumpeng asahan/ambengan. Menurut beliau apabila tidak melakukan hal-hal tersebut tidak apa-apa karena kemantapan orang berbeda-beda. Hal tersebut bisa dikatakan wajib juga bisa tidak diwajibkan karena orang-orang yang melakukan hal tersebut hanya ikut-ikutan orang-orang jaman dulu. Beliau kurang paham maksud dan tujuan dari ritual tersebut karena beliau hanya menjadi makmum saja. Ketika acara tahlilan itu diperuntukan untuk mendoakan arwahnya. Apabila tidak dalam acara tahlilan para undangan yang datang tidak memenuhi jumlah daftar maka

beliau beranggapan bahwa orang yang diundang masih sibuk atau masih ada acara lain sehingga tidak dapat hadir, atau mungkin tidak sepaham

dengan pemahamannya karena berbeda pemahaman dalam

sedekahan/slametan. Apbila tidak mau hadir tetapi ketika diberi berkat

tersebut mau menerimanya namun tidak mau hadir dalam undangan tersebut. Beliau menjelaskan tentang telusupan bahwa karena merupakan

pertemuan terakhir dengan almarhum. Gelu merupakan bantal untuk

jenasah di alam kuburnya. Ketika acara 7 hari. 40 hari dan seterusnya hanya merupakan sebuah peringatan atas kematiannya saja. Ketika masih dalam waktu tiga hari sampai 40 hari arwahnya masih berada disekeliling rumahnya maka ketika membuang air jangan sembarangan apalagi air panas. Beliau juga menyimpulkan bahwa semuanya itu dilakukan hanya untuk rukun kepada warga yang penting dilakukan karena umumnnya para warga juga melakukan hal tersebut.

c. Mbah Tukirah ketika wawancara pada tanggal 27-12-2014, yang

merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 73 tahun. Mengatakan bahwa ritual yang dilaksanakan oleh warga masyarakat hanya mengikuti orang-orang tua dulu. Sekarang ini ketika memandikan tidak menggunakan merang, daun dadap serep, dan daun kelor karena sulit mencarinya, hanya cukup menggunakan sampo dan sabun saja, tetapi kalau jaman dulu hal-hal tersebut harus ada. Semua hal yang terdapat dalam ritual kematian tersebut hanya ikut-ikutan orang zaman dahulu.

d. Ibu Nur ketika wawancara pada tanggal 27-12-2014, yang merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 32 tahun, mengatakan bahwa telusupan itu dilakukan apabila yang meninggal itu meninggalkan anak-cucu, telusupan tersebut dilakukan melambangkan keikhlasan

sedangkan sawuran dilakukan untuk memberi sangu/saku kepada mayit

agar tidak kembali pulang/menjdai roh gentayangan. Sentir

melamnbgkan jalan yang terang. Masyarkat masih mempertahkan karena adat istidat setempat. Dan ketika melakukan acara sedekahan dilakukan seikhlasan sesuai dengan kemampuan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan juga tidak apa-apa tergantung pemahaman warga. Tahlilan dilakukan sesuai sudut pandang masing-masing warga.

e. Saudari Aminah ketika wawancara pada tanggal 27-12-2014, yang

merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 22 tahun, mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu tentang maksud dari adat

tersebut, hanya beberapa saja yang dia tahu seperti telusupan yang

melambangkan keikhlasan atas kepergiannya dan dia menjelaskan tentang pendidikan yang terkandung dari adat tersebut adalah karena ada beberapa ajaran agama yang terkandnung didalamnya seperti tabur bunga yang dianjurkan oleh agama Islam, yang terpenting ketika melakukan adat tersebut tidak meduakan Allah, mereka melakukan hal tersebut karena adat istidat setempat yang menganjurkan seperti itu. Apabila tidak melakukan hal-hal yang terdapat dalam adat tersebut tidak apa-apa. Acara tahlilan berisi tentang doa bersama, dia berpendapat bahwa doa

yang dilakukan oleh seseorang belum tentu dikabulkan oleh Allah sehingga acara tahlilan tersebut dilakukan, namun ada beberpa orang yang hadir dalam acara tahlilan tersebut hanya sekedar hadir saja untuk mengharagai undangan tersebut, karena orang tersebut berbeda tentang pemahaman tahlilan.

f. Bapak Syamsudin ketika wawancara pada tanggal 01-01-2015, yang

merupakan salah satu warga desa Pager yang usianya sekitar 63 Tahun mengatakan bahwa telusupan yang dilakukan untuk menghormati orang tua atau saudara yang sudah meninggal, sedangkan sawuran ketika akan diberangkatkan ke pemakaman yang dilakukan untuk mengingatkan bahwa yang meninggal sudah tidak butuh duniawi lagi. Ketika membuat liang lahat di Desa Pager menggunakan dua sistem pemakaman yaitu

dengan mayat ditaruh samping barat/liang landak, dan mayat ditaruh

ditengah-tangah liang/juganggan, tetapi kedua sistem itu tidak digunakan secara bersamaan akan tetapi menurut kuncen makamnya. Kemudian makna dari nisan/maesan memiliki makna bahwa memang asli rumahnya

sehingga diberi tanda. Kata maesan yang berasal dari kata maejan yang

bermakna “jan omahe tenan”.

Ketika sebagian muslim/keluarga mengadakan acara surtanah bermaksud untuk menghormati bumi/tanah yang dipakai untuk makamnya dan untuk mendoakannya. Acara tiga hari/telong dinonan selain untuk mendoakan juga untuk mengingatkan kepada yang masih hidup bahwa mayat yang dikuburkan sudah mulai terjadi pembusukan. Acara tujuh hari selain

untuk mendoakan juga untuk mengingatkan kepada yang masih hidup bahwa mayat yang dikuburkan sudah mengalami pembengkakan. Acara 40 hari selain untuk mendoakan juga untuk mengingatkan kepada yang masih hidup bahwa daging dari mayat yang dikuburkan sudah mulai dimakan binatang tanah. Acara 100 hari tulang-belulang dari mayat sudah mulai terlepas dari persendian-persendiannya. Sedangankan acara pendhak pisan, pendhak pindo dan nyewu hanya untuk mengingat kemataian atas mayat tersebut.

Dalam acara sedekahan/slametan pasti diisi dengan tahlilan. Tahlilan yang dilakukan selaian untuk mendoakan dengan membaca tahlil dimaksudkan juga untuk memberikan sedekah kepada orang lain yang

berbebtuk berkat dengan tujuan untuk mendapat pahala. Talkin yang

dilakukan setelah prosesi pemakaman selesai dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada yang masih hidup bahwa suatu hari nanti pasti akan meninggal, pada saat minggal di dalam kuburnya setelah semua orang pergi malaikat akan datang dan bertanya tentang siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, apa agamamu, apa kiblatmu, siapa pemimpinmu, dan siapakah saudara-saudaramu. Kemudian tali wangsul yang digunakan dalam mengikat pocongnya bermakna bahwa orang yang meninggal sudah kembali kepada Allah/wangsul dumateng Allah. Sedangkan uboramp dalam acara surtanah dan acara-acara setelah surtanahan hanyalah adat yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat. Kemudaian manfaat dari adat pemakaman tersebut adalah supaya yang

mati mendapat tempat yang baik dengan mendoakkannya. Dan pendidikan yang dapat diambil dari prosesi-prosesi tersebut adalah orang

yang mati perlu dihormati namun tidak boleh ngalap berkah/meminta

tolong kepada yang sudah mati. Serta ketika bermasyarakat harus baik terlihat dari rasa gotong royong ketika memandikan jenasah, dan ketika hidup hendaklah hidup bermasyarakat jangan egois.

C.Pemahaman Masyarakat Ds. Pager, Kec. Kaliwungu, Kab. Semarang Terhadap Prosesi Pemakaman

Adat yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam prosesi pemakaman adalah sebuah pengaruh dari ajaran Hindu yang berbaur dengan ajaran Islam yang disamapaikan oleh para Wali songo pada jaman dahulu, yang masih dilestarikan sampai sekarang walaupun ada beberapa yang sudah dilakukan lagi oleh masyarakat. Masyarakat sebenarnya tidak mengetahui tentang asal-usul dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam prosesi tersebut karena hanya mengikuti orang-orang jaman dulu, sehingga masyarakat hanya ikut-ikutan saja, namun ada sebagian warga yang tidak melakukan acara sedekahan, dan tahlilan karena berbeda pemahamannya denagn warga yang lainnya dan didalam ajaran agama Islam tidak dianjurkan. Sehingga tidak perlu dilakukan, apabila ingin sedekah cukup dimasukkan di kotak masjid yang diperuntukkan untuknya. Masyarakat Pager melakukan hal tersebut karena sudah umum dilakukan oleh warga masyarakat sehingga apabila tidak dilakukan maka akan diguncing oleh tetangga. Jika tidak mampu melakukan sedekah/slametan

secara besar-besaran cukup dengan beberapa orang saja yang penting melakukan acara sedekah/slametan. Mereka juga mengatakan bahwa adat yang terdapat dalam prosesi pemakaman tersebut hanya sebuah tradisi dari nenek moyang.

Mereka tidak tahu maksud dan tujuan dari jenis-jenis makanan yang disajikan dalam acara surtanah dan peringatan pada hari-hari berikutnya. Karena makanan yang disajikan selalu seperti itu tidak pernah berubah dari jaman dulu, hanya berubah sedikit saja dari bahan matang ke bahan mentah.

Makanan tersebut antara lain adalah tumpeng marep mungkur, tumpeng seger,

lauk pauk yang selalu seperti itu, jadah, apam, dan pisang. Hanya segelintir yang tahu maksud dan tujuan dari makanan tersebut dan hal-hal lain yang terdapat dalam adat tersebut, namun penjelasannyapun tidak terlalu jelas. Mereka mengaku mendapat penjelasan tersebut dari orang tuanya dulu. Mereka mengatakan bahwa maksud dari hal-hal yang ganjil seperti rangkaian bunga

yang berjumlah 7 buah melambangakan bahwa wong mati kui ben entuk

pitulungan marang Gusti/orang yang meninggal agar mendapat pertolongan

dari Allah. Apem yang terdapat dalam berkat kenduri melambangkan payung

yang dipergunakan mayit agar tidak kepanasan, kemudian jadah

melambangakan bantalan duduk/bantalan untuk kepalanya, sedangkan pisang

melambangkan tongkat/teken yang dipergunakannya untuk berjalan.

Sedangkan gelu yang digunakan untuk menopang agar mayit dapat mengadap

kiblat dengan sempurna juga memiliki makna yaitu gelu/rasa kecewa

sudah mati dan orang yang hidup agar tidak gelu/rasa kecewa karena ditinggal

mati oleh salah satu keluarganya. Kemudian tali wangsul yang digunakan

untuk mengikat pocong tersebut memiliki makna bahwa yang mati sudah

kembali kepada Allah/wangsul marang Gusti. Dan tumpeng ungkur-ungkur

mempunyai makna bahwa orang yang mati sudah tidak kembali lagi kedunia. Ritual dalam prosesi pemakaman tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat bukan berasal dari agama. Walaupun ada beberapa yang berasal dari ajaran agama seperti mengurus, memandikan, mengkafani, menyolatkan, menguburkannya dan mendoakannya. Mereka melakukannya untuk mempermudah mengumpulkan dan mengajak warga berdoa bersama dan silaturrahmi. Karena para warga tidak akan mungkin menyempatkan diri untuk berkunjung ke satu-persatu rumah-rumah warga untuk silaturrahmi. Karena kebanyakan warga sudah disibukkan dengan kegiatan masing-masing yang menyebabkan kelelahan sehingga tidak mungkin berkunjung ke rumah warga apabila tidak ada kepentingan. Hanya segelintir warga yang melakukan silaturrahmi tersebut, hal itu dilakukan karena suntuk di rumah ingin mencari udara segar, dan setelah dari warung yang melewati perkumpulan warga yang berada di teras rumah salah satu warga maka menyempatkan sebentar untuk mampir.

Ketika masyarakat melakukan acara 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya merupakan alat ukur untuk mengetahui dan mengingatkan kepada yang hidup bahwa mayat yang dikuburkan mengalami kerusakan, serta untuk mengenang dan mengingat atas kematiannya. Hal-hal

tersebut hanyalah tradisi yang dilakukan masyarakat bukan berasal dari ajaran agama Islam.

Ritual dalam adat tersebut dari segi sosial dan budaya sangatlah berguna untuk masyarakat, karena dari segi sosial banyak masyarakat yang datang ke rumah duka memberikan energi positif/semangat bagi tuan rumah karena sudah mau menyempatkan diri dari kesibukkannya untuk hadir dalam acara kenduri. Dari segi budaya bagi masyarakat sangat bervariasi dalam menafsirkan makna yang terdapat dalam prosesi pemakaman. Karena dari budaya yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan masyarakat, budaya yang terkandung di dalam adat pemakaman sebenarnya sangat memilki makna yang mendalam seperti yang dijelaskan oleh ibu Nur bahwa:

Telusupan yang dilakukan adalah memberikan jalan untuk yang meninggal agar diberi kelancaran karena keluarga yang ditinggalkan sudah ikhlas atas

kepergiannya, sawuran bermakna bahwa memberikan saku agar tidak kembali

pulang dan agar tidak menjadi roh yang gentayangan, sentir bermakna

memberikan jalan terang kepada mayit tersebut, tahlilan bermakna untuk mendoakannya, benang yang digunakan dalam rangkaian bunga yang tidak dibundeli/di tali mati bermakna agar perjalanannya lancar. Kalau zaman dahulu ganjel debok/batang pisang yang ditancapi dengan uang logam setelah selesai digunakan dalam memandikan untuk meberikan riski bagi orang yang mau membuangkannya.

Sebenarnya yang dapat memberi saku kepada mayit tersebut bukanlah

beras yang disawurkan namun yang dapat memberinya adalah doa yang

diperuntukkan pada dirinya. Yang memberi jalan terang bukanlah sentir namun amal perbuatannya yang akan memberi jalan terang. Yang memberi kelancaran perjalanannya bukanlah benang yang tidak di tali mati namun amal perbuatannya di dunia. Dan ketika roh sudah lepas dari jasadnya maka tidak

akan kembali pulang, yang kembali pulang adalah hanya jin yang menyerupai dirinya.

Masyarakat menggunakan budaya tersebut hanya untuk menyimbolkan saja agar masyarakat dapat lebih berfikir lagi tentang maksud dan tujuan dari simbol-simbol yang terdapat di dalam adat tersebut. Sebenarnya maksud dari makanan yang berupa apem, jadah, dan pisang hanyalah merupakan sebuah adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat sampai sekarang ini dan apabila tidak dilaksanakan sebenarnya tidak apa-apa.

BAB IV PEMBAHASAN

A.Prosesi Adat Pemakaman Pada Masyarakat Desa Pager Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2014

Ketika salah satu keluarga ada yang meninggal dunia, maka pihak keluarga akan mengadakan prosesi pemakaman yang diwujudkan dalam serangkaian prosesi perawatan jenasah dan prosesi pemberangkatan jenasah ke pemakaman. Kemudian dilakukan tahlilan pada hari-hari tertentu.

1. Waktu Penyelenggaraan Prosesi Pemakaman

Ketika ada seorang warga yang meninggal dunia, maka hal yang pertama dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat yang mengetahuinya adalah mengkondisikan jenasah untuk memejamkan mata apabila belum terpejam, menutup mulutnya apabila masih terbuka, dan menutup tubuhnya dengan kain sambil menunggu modin datang ke rumah. Dikatakan oleh ibu Nur (27-12-2014) bahwa:

Awale wong mati kuwi lak napase nyendal-nyendal, terus pripate ngono kae, terus lak ditat/dipas-paske, tutukke nak rodok plongoh terus ditaleni, terus dimeremke, terakhire diseuceni, dipocong, dioshlokatke, terus diterke ning pemakaman.

Sebelum modin datang ke rumah duka, akan mengumumkan terlebih dahulu melalui pengeras suara yang berada di masjid agar para warga masyarakat mengetahui bahwa ada kabar duka/lelayu, serta agar para warga segera datang ke rumah duka untuk membantu prosesi pemakaman. Para warga berusaha agar jenasah segera dimakamkan.

Keluarga yang ditinggalkan hendaknya sabar dan menyerahkan semua kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 156-157:









































“(156) (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali)”. (157)

Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(Mushaf, 2014:24)

Beberapa orang bergegas ke pemakaman untuk mempersiapkan liang lahat. Beberapa orang mengambil keranda/bandhoso di makam, dan

beberapa orang lainnya membeli uborampe yang diperlukan seperti kain

mori sak perangkat, kembang setaman sak perangkat, papan sak perangkat, dan menyiapkan perlengkapan untuk merawat jenasah serta yang lainnya menyiapkan tempat untuk memandikan dan menyolatkan, ada yang menyiapakan tempat untuk para pelayat yang datang, bahkan ada yang menyiapkan makanan yang akan di kirim ke makam untuk para penggali makam dan menyiapkan makanan ringan seperti roti dan permen untuk para pelayat yang hadir.

Ketika menunggu tempat untuk memandikan siap, modin menggunting pakaian yang masih melekat dibadannya, agar ketika

memandikan lebih mudah. Sesudah itu, jenasah ditutupi kain jarik agar

mengangkat jenasah untuk dimandikan ke tempat yang sudah disediakan. Tempat yang digunakan dalam memandikannya biasanya disiapkan diluar

rumah atau dihalaman yang tempatnya memungkinkan untuk

memandikan. Tempat memandikannya dikelilingi oleh tabir dari kain jarik

atau kain yang panjang dan lebar yang memungkikan untuk menutupi jenasah agar tidak terlihat oleh banyak orang ketika memandikannya, kain tersebut dibentangkan dan dipegangi oleh tetangga di ujung-ujungnya yang

saling berjejeran, disamping jenasah diletakkan sebuah drim

(gentong)/tempat penampungan air. Dikatakan oleh ibu Tukirah (27-12-2014) bahwa:

Nak pas ngedusi saiki kuwi gur gawa sampo mbi sabun, nak wong biyen mbah-mbah buyut do nggunakke godong kelor, merang di bakar, godong dadap serep gawe nyabuni mayite kuwi.

Dikatakan oleh ibu Siti (27-12-2014) bahwa: Debok ling cacahe

pitu ling digunakke gawe ganjel pas ngedusi kuwi fungsine gur gawe ganjel ben gampang ling ngedusi.

Jenasah diletakkan di atas keranda yang sudah ditatani

debok/batang pisang sebagai alasnya. Dalam memandikan jenasah hal yang pertama dilakukan adalah membersihkan kotoran-kotoran yang didalam tubuhnya agar keluar. Setelah kotoran-kotaran tersebut keluar dan dibersihkan maka prosesi memandikan jenasah dapat dimulai. Ketika memandikan jenasah hendaknya orang yang memandikannya dapat menjaga rahasia jenasah tersebut, sebagaimana sebuah riwayat:

ُو بَر َِْٛ ًَِعْغَ١ٌِ

)ٗجبِ ٓثا ٖاٚز( َْ ُْٛٔ ُِْٛ ْ أٌَّْا ُْ

“Hendaklah yang memandikan jenasah-jenasah itu orang-orang yang

jujur dan dapat dipercaya.” (HR.Ibnu Majah).

Memandikan jenasah dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki tanpa terputus-putus dengan menyiram seluruh tubuhnya pada bagian yang kanan terlebih dahulu kemudian bagian yang kiri.

)ٞزبَجٌا ٖاٚز( بَِِْٕٙ ِ ُْٛض ٌُْٛا ِغ ِض اَََِٛٚ بَِِِٕٙ بَ١َِّث ْ أَدْثِإ

“Mulailah dengan bagian-bagian yang kanan dan anggota-anggota

wudhu.” (HR. al-Bukhori).

Dalam menyiram jenasah dilakukan secara perlahan-lahan dan tubuhnya disabun, kemudian dibilas hingga bersih dengan air yang jernih, dan yang terakhir jenasah diwudhukan. Kemudian air yang masih melekat di

Dokumen terkait