• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SAKRAMEN BAPTIS DALAM KEHIDUPAN MENGGEREJA

B. Hidup Menggereja Kaum Muda

1. Hidup Menggereja

Sebagai warga Gereja, tentunya memeluk agama Katolik tidak hanya sebagai setatus di KTP. Namun juga kita wujudkan melalui hidup menggereja. Melalui hidup menggerja maka akan menampakkan iman kita terhadap Yesus. Hidup menggereja itu mencangkup arti dan dasar-dasar hidup menggereja.

a. Arti Hidup Menggereja

Hidup menggereja itu adalah hidup menampakkan iman kepada Yesus Kristus jadi setiap kegiatan menampakkan iman adalah hidup menggereja. Berarti kalau dia menampakkan imannya di dalam masyarakat dia menggereja dalam masyarakat, maka kalau kita melihat batasan yang sempit hidup menggereja itu sebenarnya adalah hidup menggereja lingkup parokial yang teritorial sifatnya, maka pengertian hidup menggereja dalam arti yang lebih luas adalah perwujudan iman dalam hidup sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

Dari penjelasan di atas memang ada perbedaan pengertian hidup menggereja secara sempit dan hidup menggereja secara luas. Pengertian hidup menggereja secara sempit memang diartikan bahwa iman kepada Kristus itu dinampakkan sesuai dimana kegiatan itu dilakukan. Seperti sudah dijelaskan

bahwa kegiatan yang dinampakkan di masyarakat maka dia menggereja dalam masyarakat. Sedangkan dalam arti luas hidup menggereja adalah perwujudan iman yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Dasar-dasar Hidup Menggereja

Hidup menggereja didasari oleh semangat dari Yesus Kristus sendiri selama hidupnya. Oleh karena itu Gereja sebagai tubuh Kristus mempunyai kewajiban untuk melanjutkan dan mengambil bagian dalam tugas Yesus Kristus. Dasar-dasar hidup menggereja mencangkup lima dasar yaitu koinonia atau yang dikenal dengan paguyuban, kerygma atau pewartaan, martyria atau kesaksian hidup, liturgia atau ibadat dan diakonia atau pelayanan.

1) Koinonia (Paguyuban)

Panggilan Tuhan bukan panggilan secara personal saja untuk berelasi dan bersatu dengan Tuhan. Panggilan Tuhan juga diarahkan untuk mengembangkan persekutuan (koinonia) antar umat beriman dalam kesatuan iman akan Tuhan. Sehingga antara umat yang satu dengan yang lainnya terbangun suatu persekutuan yang erat (Komkat KAS, 2012: 47)

Di satu pihak dikatakan bahwa koinonia merupakan pangkal dan tujuan dan dilain pihak merupakan tugas. Dengan koinonia sebagai pangkal dimaksudkan bahwa Gereja, dan dengan demikian juga paroki, dalam arti tertentu betapapun tidak sempurnanya sedikit banyak sudah merupakan koinonia. Dengan koinonia sebagai tujuan dimaksudkan bahwa Gereja dan dengan demikian paroki,

hanyalah pangkal yang harus terus tumbuh dan berkembang menjadi koinonia dalam arti yang lebih mendalam dan penuh, tanpa dapat disebut di mana batas-batasnya yang jelas.

Koinonia disebut sebagai tugas paroki yang fundamental dan sentral. Koinonia disebut sebagai tugas paroki yang fundamental karena dari koinonia sebagai subjek mengalir tugas-tugas lainnya seperti kerygma-martyria, liturgia dan diakonia baik sebagai ungkapan maupun sebagai sarana vitalitas paroki. Koinonia disebut sebagai tugas paroki yang sentral karena pengembangan koinonia harus menjadi arah dan tolak ukur aneka kegiatan paroki (Sumarno Ds, 2013: 56).

2) Kerygma (Pewartaan)

Kerygma artinya pewartaan, pengajaran tentang karya keselamatan sebagaimana Yesus juga melakukannya. Jadi sebagai anggota Gereja bukan hanya menerima pewartaan tetapi juga menjadi pewarta bagi yang lain. Pewartaan bisa dilakukan dengan ikut serta membahas Kitab Suci, memimpin pendalaman iman, maupun memberikan renungan dalam suatu kelompok tertentu (Komkat KAS, 2012: 48).

Menjadi pewarta tidak berarti bisa menguasai sabda, tetapi menempatkan sabda sebagai tuan atasnya. Tugas pewartaan yaitu mengaktualisasikan apa yang disampaikan Allah dalam Kristus seperti yang diwartakan para rasul. Sabda Allah sungguh datang kepada manusia dan menyelamatkan mereka yang mendengarkan pewartaan Gereja. Pewartaan bukan sekedar informasi mengenai Allah dan Yesus

Kristus, tetapi benar-benar menghadirkan Allah dan Kristus yang menyelamatkan, menyembuhkan hati orang yang mendengar dan membuka diri terhadap sabda yang disampaikan (KWI, 1996: 382-386).

3) Martyria (Kesaksikan Hidup)

Martyria artinya pewartaan dengan tindakan nyata yaitu dengan memberikan kesaksian tentang Yesus di tengah dunia. Dengan memberi kesaksian tentang Yesus berarti kita berperan sebagai saksi. Saksi berarti menyampaikan atau menunjukkan dengan kata-kata maupun dengan tindakan apa yang dialami dan diketahui tentang Kristus kepada orang lain. Karena bersaksi itu menuntut pengorban maka dalam memberikan kesaksian kita juga bisa meneladan dari pribadi Yesus sendiri yang rela mengorbankan diri-Nya dengan rela mati demi mewartakan Kerajaan Allah (Adrilamadua, 2014: 1).

Kita dipanggil oleh Tuhan Yesus secara individu maupun persekutuan untuk melaksanakan misi Tuhan di bumi. Kita percaya bahwa Tuhan datang ke dunia melalui anak-Nya yaitu Yesus yang telah rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita. Pemberitaan dan kesaksian itu harus dilakukan oleh orang percaya baik secara individu maupun sebagai persekutuan (Midiankhsirait, 2014: 1).

4) Liturgia (Ibadat)

Liturgia merupakan tanda kehidupan paroki yang kualitatif paling mencolok. Liturgi tidak dapat dirayakan secara abstrak, melainkan konkret dalam

jemaat, maka liturgi sungguh merupakan kehidupan paroki. Dalam Sacrosanctum Concilium 42 Konsili Vatikan II menegaskan:

Paroki-paroki itu sedikit banyak mementaskan Gereja yang nampak dan tersebar di seluruh bumi. Maka kehidupan liturgis paroki dan hubungannya dengan Uskup dalam budi dan perbuatan kaum beriman dan klerus harus diperdalam, harus diusahakan agar cita-rasa berparoki tumbuh terutama dalam perayaam ekaristi Minggu.

Dari pernyataan itu ingin ditegaskan bahwa kehidupan liturgi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan cita-rasa berparoki. Semakin orang mendalami kehidupan liturginya maka orang akan semakin mudah dalam mewujudkan imannya.

Liturgi harus menjadi sumber untuk hidup umat sehari-hari, dan hidup sehari-hari harus memuncak dalam liturgi, maka liturgi tidak dilihat terkucil dari hidup. Liturgi bukan dan tidak boleh menjadi tempat pelarian dari hidup sehari-hari, melainkan justru perutusan dan penugasan (Sumarno Ds, 2013: 57).

5) Diakonia (Pelayanan)

Kehadiran Gereja di tengah umatnya dan masyarakat adalah untuk meneladan Yesus Kristus yaitu melayani, khususnya melayani mereka yang termasuk dalam kelompok KLMTD. Pelayanan itu bisa terwujud dalam bentuk pelayanan spontan, pelayanan karitatif dan pelayanan pemberdayaan (Komkat KAS, 2012: 47-48).

Pelayanan spontan adalah pelayanan yang diberikan kepada orang lain secara spontan dan dengan tulus. Misalnya membantu menyebrangkan orang, membantu orang lain mengerjakan sesuatu. Pelayanan karitatif adalah pelayanan

yang diberikan dalam bentuk uang atau dana, dana itu diberikan untuk kebutuhan mendesak mereka. Misalnya membantu pengobatan, beasiswa, bencana, dsb. Sedangkan pelayanan pemberdayaan adalah bantuan yang diberikan untuk tujuan pemberdayaan orang dalam hidup dan usaha. Misalnya memberikan dana untuk modal usaha atau untuk suatu pelatihan keterampilan (Komkat KAS, 2012: 48).

Melalui pelayanan atau diakonia maka kita diharapkan untuk menyadari bahwa kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi orang lain, sehingga dalam kehidupan kita tidak hanya menuntut untuk meminta dilayani, namun kita pun juga mau untuk melayani sesama kita, seperti halnya Yesus sendiri sudah memberikan teladan dari diri-Nya (Komkat KAS, 2012: 48).

Dokumen terkait