• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN T EORI

C. Hipotesis

Kontrak psikologis dipandang sebagai hal yang relevan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi dalam perusahaan. Rousseau (1995) menyatakan bahwa kontrak psikologis merupakan kepercayaan individu terhadap perjanjian pertukaran antara perusahaan tersebut dengan karyawan. Pelanggaran kontrak psikologis terjadi ketika karyawan yang bersangkutan tidak menerima balas jasa yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh perusahaan (Zottoli, 2003). Pelanggaran kontrak psikologis terkait dengan efektifitas manajemen retensi karena sementara manajemen retensi merujuk

58

pada imbalan yang diberikan oleh perusahaan dalam rangka mengurangi

turnover nyata karyawan, kontrak psikologis pada karyawan berfokus pada

evaluasi terhadap imbalan yang diberikan perusahaan dan bagaimana hal ini mempengaruhi tekad mereka untuk tetap berada di perusahaan. Ketika karyawan mengevaluasi bahwa imbalan yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi, pelanggaran kontrak psikologis terjadi dan manajemen retensi akan gagal. Jadi, dapat diasumsikan bahwa pelanggaran kontrak psikologis berhubungan positif dengan intensi turnover pada karyawan. Hal serupa juga dikemukakan Turnley dan Feldman (1998) bahwa persepsi akan adanya pelanggaran kontrak psikologis dapat mengarah pada keengganan untuk berkontribusi dalam perusahaan

Konsep kontrak psikologis adalah kepercayaan dari individu dalam kewajiban timbal-balik dengan pemilik pekerjaan. Kepercayaan ini menyatakan tentang pemahaman terhadap janji-janji yang dibuat dan menawarkan pertimbangan-pertimbangan dalam perubahan yang mengikat antara pekerja dan organisasi dalam rangka menyusun sebuah kewajiban timbal-balik. Selain itu, kepercayaan tersebut muncul ketika individu masuk dalam organisasi atau perusahaan dengan membuat kontrak tidak tertulis yang harus dipatuhi. Kontrak ini mengenai harapan timbal-balik, pekerja dan pemilik pekerjaan. Kontrak psikologis didasarkan pada pemahaman antara pekerja dan pemilik pekerjaan dalam pemenuhan kontribusi masing-masing, sehingga dengan adanya proses timbal balik mengenai harapan antara pekerja dengan pemilik pekerjaan ini, menimbulkan adanya

59

penerapan sistem kontrak psikologis. Terbentuknya kontrak psikologis antara pekerja dengan pemilik pekerjaan berasal dari hubungan timbal-balik mengenai harapan dan pemahaman mengenai pemenuhan kontribusi (Subagyo, 2012).

Secara garis besar, perusahaan hendaknya memahami apa yang karyawan inginkan dan butuhkan dalam menentukan perilaku dan tanggapan di tempat kerja, begitu pula sebaliknya. Karyawan akan cenderung memiliki harapan yang implisit maupun eksplisit tentang apa yang akan mereka dapatkan dari perusahaan. Harapan inilah yang dapat dijadikan dasar kontrak psikologis yang melibatkan kewajiban timbal-balik antara karyawan dan perusahaan (Gruman dan Saks, 2011).

Selain itu, kontrak psikologis mengacu kepada imbal jasa sebagai balasan dari kontribusi kewajiban yang telah dilakukan, menetapkan syarat keterlibatan psikologis masing-masing karyawan sengan suatu sistem, dimana karyawan setuju mencurahkan tenaga dan loyalitasnya dalam kadar tertentu, tetapi sebaliknya mereka menuntut lebih dari sekedar imbalan ekonomi. Keseimbangan antara upaya mencapai tujuan pribadi dan tujuan organisasi memengaruhi perilaku kerja karyawan yaitu rasa engagementnya.

H1: Kontrak psikologis memiliki pengaruh positif terhadap employee

engagement.

Penelitian di bidang organizational justice menunjukkan bahwa ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan

60

perilaku yang baik. Sugiarti (2005) mendukung hal ini dan berpendapat ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun. Sebaliknya, ketika keputusan organisasi dan tindakan manajerial dianggap tidak adil maka pekerja akan merasa marah dan menolak upaya perubahan untuk perbaikan organisasi. Beberapa pekerja kemungkinan mendapatkan outcome yang mereka harapkan sedangkan pekerja lain kemungkinan mendapat sebaliknya.

Perusahaan yang baik adalah yang dapat memberikan kebutuhan karyawannya secara adil. Upaya perusahaan untuk memberikan perlakuan maupun imbalan yang adil kepada setiap karyawannya agar tidak mengakibatkan kecemburuan sosial dan rasa kecewa dapat meningkatkan rasa engagementnya terhadap perusahaan.

Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Yusnaini, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa respon sikap dan perilaku terhadap penghasilan berkaitan dengan penghasilan yang didasarkan pada persepsi mengenai keadilan. Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan finansial dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi. Ketika para karyawan merasa diperlakukan secara adil setelah

61

berpartisipasi dalam rencana pembagian keuntungan, mereka mengalami perasaan dari keadilan distributif.

H2: Keadilan distributif memiliki pengaruh positif terhadap employee

engagement

Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan employee engagement para karyawannya karena hal tersebut sangat berkaitan erat dengan outcome bisnis penting seperti: kesediaan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan, produktivitas, keuntungan, loyalitas dan kenyamanan pelanggan. Semakin karyawan memiliki rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, maka semakin meningkat pula pertumbuhan pendapatan bisnis tersebut. Employee engagement muncul sebagai upaya pengembangan dari konsep-konsep sebelumnya seperti kepuasan kerja karyawan, komitmen karyawan, serta perilaku organisasi karyawan. Dengan adanya karyawan yang terlibat secara aktif di dalam perusahaan menandakan bahwa perusahaan tersebut memiliki iklim kerja yang positif. Hal ini disebabkan karena dengan adanya karyawan yang memiliki

engagement yang baik dengan perusahaan tempat ia bekerja, maka mereka

akan memiliki antusiasme yang besar untuk bekerja, bahkan terkadang jauh melampaui tugas pokok yang tertuang dalam kontrak kerja mereka.

Seorang karyawan yang engaged memiliki kesadaran terhadap bisnis, dan bekerja dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh

62

karyawan akan membuatnya memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan kinerja mereka. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka. Rasa engagement ini membuat mereka bekerja dengan efektif demi kebaikan perusahaan.

H3: Employee engagement memiliki pengaruh positif terhadap keefektifan kerja

Dokumen terkait