BAB IV: HASIL P ENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Pembahasan
Kuat lemahnya employee engagement karyawan di tiga hotel di Yogyakarta yang menjadi bahan penelitian penulisan ini terbukti secara empiris dipengaruhi oleh kontrak psikologis dan keadilan distributif. Pengaruh kedua variabel independen tersebut terhadap employee
engagement sebesar 92,4% yang artinya employee engagement 92,4%
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kontrak psikologis dan keadilan distributif, sedangkan sisanya 7,6% ditentukan atau dipengaruhi oleh
83
variabel-variabel lain yang tidak tercakup dalam penelitian ini. Beberapa contoh yang dapat menjadi variabel-variabel lain tersebut adalah penghargaan, pengakuan, keadilan prosedural, dan budaya organisasi.
Hasil penelitian ini didukung oleh peneliti terdahulu yaitu Jyotsna Bhatnagar dan Soumendu Biswas yang meneliti kontrak psikologis dimana diperoleh hasil bahwa kontrak psikologis dapat memprediksi level
engagement karyawan. Akan tetapi, dalam penelitian tersebut juga
menganalisi pengaruh kontrak psikologis terhadap komitmen organisasi dan pengaruh keadilan prosedural, persepsi dukungan organisasi, dan kecocokan individu pada organisasinya terhadap kontrak psikologis.
Kontrak psikologis termasuk salah satu hal yang relevan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi dalam perusahaan. Menurut Amstrong dalam Hardiyanto (2011) kontrak psikologis adalah kontrak informal tidak tertulis, terdiri dari harapan karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal-balik. Definisi tersebut didukung oleh Maheswari (2008) yang mengatakan bahwa kontrak psikologis adalah serangkaian pengharapan karyawan mengenai apa yang akan mereka berikan kepada organisasi atau perusahaan dan sebagai timbal-baliknya organisasi atau perusahaan akan memberikan penghargaan atas kontribusi tersebut dengan
reward. Hal ini berarti kontrak psikologis merupakan pertukaran secara
tidak resmi antara karyawan dan perusahaannya dimana keduanya secara seimbang memberi dan menerima. Seorang karyawan pasti memiliki harapan-harapan pada perusahaan dimana ia bekerja. Sebagai contoh sebuah
84
perusahaan menuntut karyawannya dapat bekerja sesuai target atau bahkan melebihi target. Karyawan yang bekerja selalu memenuhi target akan berharap keberadaannya di perusahaan terjamin dan karyawan yang bekerja melebihi target mengharapkan adanya promosi atau kenaikan jabatan.
Konsep kontrak psikologis adalah kepercayaan dari karyawan dalam kewajiban timbal-balik dengan organisasinya. Kepercayaan ini berhubungan dengan pemahaman dan pertimbangan terhadap janji-janji tidak tertulis yang diharapkan karyawan yang bersifat mengikat pihak pekerja dan organisasinya. Kepercayaan muncul saat karyawan masuk ke dalam organisasi atau perusahaan dengan membuat kontrak tidak tertulis yang harus dipatuhi. Kontrak ini mengenai harapan timbal-balik antara pekerja dan atasannya. Kontrak ini didasarkan pada pemahaman antara pekerja dan pemilik pekerjaan dalam pemenuhan kontribusi masing-masing, sehingga dengan adanya proses timbal balik mengenai harapan antara pekerja dengan pemilik pekerjaan ini, menimbulkan adanya penerapan sistem kontrak psikologis. Hal ini didukung (Subagyo, 2012) yang mengemukakan terbentuknya kontrak psikologis antara pekerja dengan pemilik pekerjaan berasal dari hubungan timbal-balik mengenai harapan dan pemahaman mengenai pemenuhan kontribusi. Beberapa contoh harapan perusahaan terhadap karyawannya adalah bersedia bekerja lembur, loyalitas, dengan sukarela mengerjakan yang bukan tugasnnya, menolak membantu kompetitor, dan menjaga rahasia perusahaan. Berapa contoh harapan karyawan terhadap perusahaannya adalah mendapatkan pelatihan,
85
pengembangan karir, keamanan keberadaan, dan bayaran yang sesuai dengan kinerja.
Dalam penelitian ini diperoleh hasil rata-rata dari skala Likert: Tabel 4.11 : Mean Tiap Variabel
Variable Mean
Kontrak Psokologis 3,8 Keadilan distributif 4,0 Employee engagement 3.9 Keefektifan kerja 3,8
Menurut hasil mean kontrak psikologis didapat hasil 3,8 dari skala 1 sampai 5. Hal ini menunjukkan ketiga hotel tersebut dalam hal memperhatikan kontrak psikologis telah cukup baik. Pihak perusahaan telah menerapkan manajemen imbalan yang cukup sesuai dengan harapan karyawan. Selain itu, pengaruh kontrak psikologis terhadap employee
engagement dalam penelitian ini yang ditunjukkan oleh koefisien jalur
sebesar 0,606. Hal ini menunjukkan kuat dan lemahnya kontrak psikologis di ketiga hotel memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap menurun dan meningkatnya tingkat engagement karyawannya.
Saat karyawan hotel pertama kali masuk dan bekerja, seringkali karyawan belum memiliki pemahaman seutuhnya mengenai hubungan kerja yang ada. Kontrak psikologis awal yang diyakini oleh karyawan bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dijanjikan oleh perusahaan dalam bentuk kesempatan berkarir, penghargaan financial, serta pekerjaan yang menarik maupun komitmen kerja yang telah dijanjikan oleh karyawan bagi
86
perusahaan seperti loyalitas, fleksibilitas, kinerja yang baik, dan penuntasan tugas di luar tanggung jawab utamanya.
Karyawan yang telah menjadi bagian dari hotel akan terikat dengan kontrak psikologis dimana mereka setuju mencurahkan tenaga dan loyalitasnya dalam kadar tertentu, tetapi sebaliknya mereka menuntut lebih dari sekedar imbalan ekonomi. Menurut Rousseau (1995), kontrak psikologis terdiri dari 3 dimensi, yaitu transactional Contract, relational
contract dan balanced contract. Transactional Contract atau kontrak transaksional bersifat jangka pendek (short term) dan berfokus pada aspek pertukaran ekonomis, jenis pekerjaan yang sempit (narrow) dan keterlibatan minimal karyawan dalam organisasi. Kontrak transaksional dikarakteristikan dengan perjanjian yang bersifat moneter dengan keterlibatan karyawan yang terbatas dalam organisasi maupun hubungannya dengan individu lain di organisasi.
Lain halnya dengan relational contract atau kontrak relasional yang memiliki jangka waktu yang panjang tetapi berakhirnya tidak dapat ditentukan. Jenis kontrak ini juga melibatkan faktor sosio-emosional, seperti kepercayaan, keamanan, dan loyalitas. Masing-masing pihak berharap terjadi hubungan timbal balik (reciprocal). Kontrak relasional menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi stability dan loyalty. Stability menyangkut karyawan diwajibkan untuk bekerja pada organisasi untuk jangka waktu yang relatif lama dan melakukan hal-hal lain untuk mempertahankan pekerjaannya. Organisasi dalam hal ini menawarkan paket kompensasi yang
87
stabil dan hubungan kerja jangka panjang. Sedangkan loyalty adalah karyawan diwajibkan untuk mendukung organisasi, menunjukkan kesetiaan dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan organisasi. Selain itu, karyawan diharapkan menjadi anggota organisasi yang baik. Organisasi sebaliknya memberikan komitmen untuk menjamin kesejahteraan dan kebutuhan karyawan beserta keluarganya.
Pada umumnya, karyawan akan cenderung memiliki harapan yang implisit maupun eksplisit tentang apa yang akan mereka dapatkan dari perusahaan. Harapan inilah yang dapat dijadikan dasar kontrak psikologis yang melibatkan kewajiban timbal-balik antara karyawan dan perusahaan. Saat harapan karyawan terpenuhi dan timbal balik dianggap seimbang, maka akan terbentuk kontrak psikologis yang kuat antara karyawan dan organisasinya. Keseimbangan antara upaya mencapai tujuan pribadi dan tujuan organisasi memengaruhi perilaku kerja karyawan yaitu rasa
engagement karyawan. Kontrak psikologis yang terbina kuat akan membuat
karyawan berperilaku positif dan tingkat engagement karyawan akan meningkat. Hal ini dikarenakan karyawan merasa diperhatikan dan dihargai oleh perusahaannya. Sehubungan dengan kontrak psikologis yang tidak hanya terkait dengan masalah uang dan gaji namun juga harapan karyawan lainnya seperti kenyamanan ditempat kerja, diberi kesempatan dalam promosi, perlakuan atasan yang sama kepada semua karyawan, dan diberi andil dalam menyampaikan pendapat. Saat harapan tersebut terpenuhi maka karyawan akan merasa bahwa perusahaannya peduli terhadap keberadaan
88
dan kesejahteraannya sehingga karyawan semakin bersedia untuk terikat dan berhubungan baik dengan perusahaannya.
Sebaliknya, jika harapan karyawan tidak terpenuhi maka pelanggaran kontrak psikologis pun terjadi. Hal ini dikarenakan karyawan yang bersangkutan tidak menerima balas jasa yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh perusahaan. Pelanggaran kontrak psikologis berhubungan dengan sejauh mana manajemen imbalan berjalan dengan baik sehingga setiap karyawan mendapatkan sesuai dengan kerjanya. Ketika karyawan mengevaluasi bahwa imbalan yang dijanjikan perusahaan tidak terpenuhi, pelanggaran kontrak psikologis terjadi.
Morrinson dan Robinson dalam Hussain et al (2011) mendefinisikan pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh. Morrinson dan Robinson (2000) juga memaparkan bahwa terjadinya pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud, namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu, ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam hubungan tenaga kerja.
Perusahaan sebaiknya memahami dengan benar apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh karyawannya. Hal ini penting karena dapat
89
menentukan perilaku dan tanggapan karyawan di tempat kerja. Saat kontrak psikologis telah rusak maka karyawan akan merasa bahwa pihak perusahaan telah gagal dalam memenuhi janji dan komitmennya sehingga karyawan akan merasa enggan untuk melaksanakan kewajibannya pada perusahaan. Hal ini akan memberikan dampak seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, menurunkan kepuasan kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan. Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat mendorong kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan melakukan penyelewengan dalam lingkungan kerja. Menurut Hussain et al (2011) perilaku yang menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim seperti pulang lebih cepat dan kurang menghargai rekan kerja, hingga pada taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian, membocorkan data perusahaaan pada pihak lain, dan tidak bekerja dengan baik. Perilaku tersebut menunjukkan tingkat engagment karyawan yang rendah karena kontrak psikologis yang telah rusak.
Faktor pendukung employee engagement yang lainnya dalam penelitian ini adalah keadilan distributif. Keadilan distributif berpengaruh pada employee engagement yang ditunjukkan oleh koefisien jalur sebesar 0,375. Hal ini didukung oleh Alan M. Saks yang meneliti bahwa keadilan distributif berpengaruh positif terhadap employee engagement. Akan tetapi, beliau juga meneliti variable lainnya yaitu karakteristik pekerjaan, persepsi
90
dukungan organisasi, persepsi dukungan atasan, penghargaan dan pengakuan, dan keadilan prosedural yang juga berpengaruh positif terhadap
employee engagement. Selain itu, konsekuensi dari employee engagement
juga diteliti dimana employee engagement berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan organizational citizenship
behaviour (OCB) dan berpengaruh negatif pada keinginan untuk berhenti.
Penelitian di bidang organizational justice menunjukkan bahwa ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Sugiarti (2005) mendukung hal ini dan berpendapat ketika para karyawan diperlakukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun.
Keadilan distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu atau input kelompok, dan keadilan ini didominasi oleh teori kesamaan (Thornhill dan Saunders, 2003), khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi dan bereaksi terhadap perlakuan yang berbeda. Keadilan distributif juga didefinisikan oleh Homans (1961) yaitu bagaimana seseorang membandingkan antara masukan dengan hasil sedangkan menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan distributif adalah persepsi seseorang terhadap keadilan atas pendistribusian sumber-sumber di antara para karyawan. Kreithner dan Kinicki (2003) menyatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan sumberdaya dan imbalan penghargaan,
91
mencerminkan keadaan yang dirasakan mengenai bagaimana sumberdaya dan penghargaan dialokasikan. Dengan kata lain, merupakan pandangan karyawan tentang pembagian imbalan di perusahaan. Hal ini berkaitan dengan apakah mereka menerima hasil yang pantas dan seimbang dengan rekan kerjanya. Individu yang menerima hasil yang menguntungkan dalam artian yang obyektif masih bisa merasa tidak senang jika mereka menganggap bahwa yang diterima orang lain lebih baik.
Perusahaan yang baik adalah yang dapat memberikan kebutuhan karyawannya secara adil. Upaya perusahaan untuk memberikan perlakuan maupun imbalan yang adil kepada setiap karyawannya agar tidak memunculkan kemarahan dan kecemburuan sosial. Respon dan perilaku karyawan berkaitan dengan penghasilan didasarkan pada persepsi mengenai keadilan. Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan finansial dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi. Ketika para karyawan merasa diperlakukan secara adil setelah berpartisipasi dalam rencana pembagian keuntungan, mereka akan semakin berperilaku positif dan semakin engaged terhadap perusahaannya.
Sesuai dengan hasil mean keadilan distributif pada tabel yang menunjukkan nilai rata-rata 4,0 dari skala Likert. Hasil data ini membuktikan secara keseluruhan persepsi karyawan hotel terhadap keadilan distributif cukup baik. Ketiga hotel tersebut dianggap telah cukup adil dalam pendistribusian imbalan kepada karyawannya. Karyawan hotel merasakan
92
keadilan yang berkaitan dengan beberapa hal seperti gaji, tunjangan, kompensasi, serta pembagian tanggung jawab dan beban kerja. Semakin keadilan distributif ditegakkan dan diterapkan oleh pihak hotel maka karyawan akan semakin engaged.
Meskipun kontrak psikologis dan keadilan distributif sama-sama mempengaruhi employee engagement, hasil penelitian membuktikan pengaruh kontrak psikologis lebih besar dibangdingkan pengaruh keadilan distributif. Hal ini dapat dikarenakan cakupan kontrak psikologis yang lebih luas. Karyawan hotel dan karyawan pada umumnya pasti memiliki banyak harapan terhadap perusahaannya. Harapan tersebut mencakup keinginan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat finansial seperti gaji, promosi, dan uang lembur dan yang bersifat psikologis seperti kepercayaan atasan, didengarkan pendapatnya, dan dianggap keberadaannya. Kedua hal tersebut termasuk dalam dua dimensi kontrak psikologis yaitu transaksional dan relasional. Sedangkan keadilan distributif, walaupun penting peranannya agar tidak menimbulkan rasa iri dan kecewa, proporsi pengaruhnya lebih kecil karena cakupannya yang lebih sempit yaitu hanya menyangkut persepsi keadilan karyawan dalam pendistribusian imbalan.
Hasil penelitian ini juga telah membuktikan secara empiris bahwa kefektifan kerja tiga hotel di Yogyakarta yang diteliti dipengaruhi secara positif oleh employee engagement. Implikasinya, semakin kuatnya employee
engagement yang ada dalam diri karyawan, maka keefektifan kerja akan
93
rendah maka keefektifan kerja cenderung akan menurun. Pengaruh tersebut sebesar 80,6%, yang berarti keefektifan kerja karyawan 80,6% ditentukan oleh kuat lemahnya employee engagement karyawan di departemen tersebut; sedangkan sisanya 19.4% ditentukan oleh variabel-variabel lain yang tidak tercakup dalam model penelitian ini. Beberapa contoh yang dapat menjadi variabel-variabel lain adalah kepemimpinan, imbalan, dan kepuasan kerja.
Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Heather K, Piotr Wilk, Julia Cho, and Paula Greco dimana
employee engagement berpengaruh positif terhadap keefektifan kerja.
Penelitian tersebut meneliti pengaruh employee engagement terhadap keefektivan untuk perawat rumah sakit dan hubungannya dengan pengalaman kerja.
Employee engagement, menurut Cho et al (2013) adalah hubungan
positif dengan organisasinya yang dapat mengarah kepada kinerja dan profitabilitas yang lebih baik. Hal ini didukung oleh Blessing White (2008) dimana employee engagement meliputi rasa antusiasme atau gairah dan komitmen yang membuat seseorang mampu menginvestasikan dan mengembangkan usahanya secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong kesuksesan perusahaan.
Menurut Schaufeli & Bakker (2008) employee engagement adalah sikap yang positif, penuh makna, dan motivasi yang memiliki 3 karakterisitik yaitu vigor dimana karyawan memiliki energi yang tinggi,
94
ketangguhan mental ketika bekerja, keinginan untuk memberikan usaha terhadap pekerjaan dan juga ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Dedication dikarakteristikan dengan rasa antusias, inspirasi, kebanggaan,
dan tantangan. Absobtion dikarakterisitikan dengan berkonsentrasi penuh dalam pekerjaan dan senang ketika dilibatkan dalam pekerjaan, sehingga waktu akan tersa berjalan dengan cepat.
Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan employee engagement para karyawannya karena hal tersebut sangat berkaitan erat dengan outcome bisnis penting seperti: kesediaan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan, produktivitas, keuntungan, loyalitas dan kenyamanan pelanggan. Semakin karyawan memiliki rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, maka semakin meningkat pula pertumbuhan pendapatan bisnis tersebut. Perusahaan yang karyawannya memiliki tingkat employee
engagement tingkat ditandakan dengan karyawan yang terlibat secara aktif
dan perusahaan tersebut memiliki iklim kerja yang positif.
Baumruk dan Gorman (2006) mengatakan jika karyawan memiliki rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, hal tersebut akan meningkatkan tiga perilaku umum yang akan meningkatkan kinerja perusahaan:
1) Say (mengatakan)—karyawan akan memberikan masukan untuk organisasi dan rekan kerjanya, dan akan memberikan masukan mengenai karyawan dan konsumen yang berpotensi
95
2) Stay (tetap tinggal)—karyawan tetap akan bekerja di organisasi tersebut walaupun ada peluang utuk bekerja di tempat lain
3) Strive (upaya)—karyawan akan memberikan lebih banyak waktu, usaha dan inisiatif untuk dapat berkontribusi demi kesuksesan organisasi.
Gallup (1998) berpendapat bahwa ada 4 dimensi employee
engagement yang diambil dari Gallup’s Q12, yaitu What do I give?, What do I get?, Do I belong?, dan how can We grow? Pada tingkat dasar (Apa
yang aku dapatkan?) karyawan ingin mengetahui apa yang diharapkan perusahaan terhadap dirinya serta apa yang ia dapatkan dari pekerjaannya. Pada tingkat 1 (Apa yang aku berikan?) karyawan fokus pada kontribusi individu dan persepsi orang lain mengenai hal tersebut. Pada tingkat 2 (Apakah aku cocok berada di sini?) karyawan ingin mengetahui apakah dirinya cocok berada di perusahaan. Pada tingkat 3 (Bagaimana kita semua bisa berkembang?) karyawan ingin membuat perusahaan menjadi lebih baik, berkeinginan untuk belajar, dan berinovasi. Jika karyawan telah mencapai tingkat 3 maka dapat dikatakan karyawan tersebut sudah sangat engaged dengan perusahaannya.
Seorang karyawan yang engaged memiliki kesadaran terhadap bisnis, mau bekerja sama dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi, dan memiliki antusiasme yang besar untuk bekerja, bahkan terkadang jauh melampaui tugas pokok yang tertuang dalam kontrak kerja mereka. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh karyawan akan membuatnya memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan
96
kinerja mereka. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka. Rasa engagement ini membuat mereka bekerja dengan efektif demi kebaikan perusahaan. Keefektifan kerja dapat dilihat dari kemampuan karyawan untuk memilih tujuan atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan (Handoko dalam Zuliyanti, 2005).
Sebaliknya jika rasa engagement tersebut tidak ada, maka akan muncul perilaku seperti karyawan bekerja tidak efektif dan efisien, tidak menunjukkan komitmen penuh terhadap pekerjaannya, tidak tertarik untuk melakukan perubahan dalam organisasi, serta selalu merasa khawatir terhadap segala bentuk evaluasi seperti survei kinerja (Blessing White, 2008).
Hasil kuesioner menunjukkan rata-rata employee engagement pada ketiga hotel 3.9 dari 5 skala Likert. Hal ini membuktikan tingkat
engagement karyawan yang cukup baik. Selain itu, nilai koefisien jalur
sebesar 0,898 yang menandakan besarnya pengaruh employee engagement terhadap kefektifan kerja. Namun, nilai pengaruh employee engagement terhadap kefektifan kerja lebih rendah yaitu 80,6% dibandingkan pengaruh kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap employee engagement yang sebesar 92,4%.
Melihat pentingnya meningkatkan tingkat employee engagement karena dapat berpengaruh pada keefektifan kerja, maka ketiga hotel ataupun perusahaan lainnya dapat melakukan upaya untuk mempertahankan dan
97
meningkatkan kontrak psikologi dan keadilan distributif yang terbukti berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya employee engagement.
98
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada tiga hotel di Yogyakarta yang diolah dengan PLS-SEM dan berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kontrak psikologis berpengaruh positif terhadap employee engagement dengan koefisien jalur sebesar 0.606. Saat karyawan dan perusahaan saling mengerti dan memenuhi harapan masing-masing maka akan terbentuk suatu hubungan kerja yang baik. Karyawan akan merasa bahwa perusahaannya peduli terhadap keberadaan dan kesejahteraannya sehingga karyawan semakin bersedia untuk terikat dan terlibat penuh dengan perusahaannya.
2. Keadilan distributif berpengaruh positif terhadap employee engagement dengan koefisien jalur sebesar 0.375. Karyawan yang merasa diperlakukan adil akan menganggap perusahaan mereka baik, profesional, dan objektif. Hal ini akan membuat mereka berperilaku positif dan bersedia untuk memiliki keterikatan terhadap perusahaan mereka.
3. Employee engagement berpengaruh positif terhadap keefektifan kerja
dengan koefisien jalur sebesar 0.898. Seorang karyawan yang engaged akan memiliki kesadaran terhadap bisnis, mau bekerja sama dengan rekan kerja, dan memiliki antusiasme yang besar untuk bekerja. Mereka sadar
99
bahwa keberhasilan perusahaan sangat dipengaruhi oleh hasil kerja mereka sehingga mereka bekerja dengan efektif demi kebaikan perusahaan yaitu dengan memilih tujuan atau peralatan yang tepat sehingga tercapai tujuan perusahaan.