pemilikan media massa) dengan perilaku keterdedahan media massa,” dilakukan
dengan analisis matriks korelasi, analisis biplot dan analisis jalur.
140
Berdasarkan hasil analisis biplot yang tersaji pada Gambar 14, terlihat bahwa terdapat korelasi kuat positif antara peubah tingkat pendidikan formal
peternak (X1) dengan perilaku keterdedahan tayangan televisi (X6) dan perilaku
membaca suratkabar (X7) dengan tingkat keragaman tinggi. Hubungan
tingkat pendidikan peternak dengan perilaku komunikasi terdedah siaran radio
(X5) juga menunjukkan korelasi positif tapi dengan keragaman rendah. Hal ini
diperkuat oleh matriks korelasi Tabel 21 yang menyatakan, tingkat pendidikan berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku keterdedahan peternak sapi potong pada siaran radio dan televisi, serta berhubungan sanyat nyata (p < 0,01) dengan perilaku membaca suratkabar. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan peternak anggota jaringan komunikasi sapi potong, maka semakin tinggi tingkat keterdedahan peternak tersebut pada siaran radio, televisi maupun suratkabar. Begitupun korelasi antara kelas ekonomi responden dengan perilaku komunikasi keterdedahan media massa suratkabar, menunjukkan hub ungan yang sangat nyata (p < 0,01). Dimana, semakin meningkat kelas ekono mi peternak sapi potong di komunitasnya maka semakin terdedah peternak tersebut terhadap informasi media massa suratkabar. Kepemilikan media massa pun ternyata berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku pemanfaatkan media massa radio. Umumnya peternak sapi potong memiliki pesawat radio dan cenderung mendedahkan diri pada siaran yang dapat ditangkap oleh radio transistor mereka.
Ternyata, hasil analisis biplot dan matriks korelasi ini selaras dengan hasil analisis jalur Gambar 15, yang memetakan hubungan kebermaknaan secara nyata (p< 0,05) antara tingkat pendidikan peternak dengan perilaku keterdedahan siaran
radio (X5), televisi (X6) dan suratkabar (X7). Untuk perilaku keterdedahan radio
dan suratkabar menunjukkan pengaruh langsung, dengan koefisien jalur 0,805 dan 0,715. Artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang langsung membuatnya lebih terdedah siaran radio maupun membaca suratkabar. Peternak berpendidikan lebih tinggi, cenderung semakin membutuhkan informasi bagi dirinya. Untuk keterdedahan tayangan televisi menunjukkan pengaruh tidak langsung, dimana
peubah pendidikan formal (X1) harus melewati dulu X3 (kepemilikan media
141 0,35* 0,218* 0.805* 0,3* 0,169* 0,788* 0,516* 0,854* 0,4* 0,922* 0,718* 0,68* 0,466* 0, 537* 0,166* 0,393* 0,168* 0,21* 0,715* 0,287* 0,107*
Keterangan: X1 = Pendidikan formal X4_ 1 = Perilaku menerina informasi X4_4 = Perilaku menyebarkan informasi X8 = Kepemimpinan pemuka pendapat X2 = Kelas ekonomi X4_ 2 = Perilaku mencari informasi X5 = Keterdedahan siaran radio Y1 = Peran anggota dlm jaringan komunikasi X3 = Pemilikan media massa X4_ 3 = Perilaku klarifikasi/diskusi X6 = Keterdedahan televisi Y2= Distorsi/tingkat informasi yang dimiliki. * Tanda jalur yang bermakna untuk dasar perumusan model X7 = Keterdedahan suratkabar
Gambar 15. Bagan model jalur antar peubah yang mempengaruhi peran komunikasi anggota kelompok jaringan komunikasi
penyuluhan sapi potong dan distorsi pesan 141
X1 X3 X2 Y1 Y2 X5 X6 X7 X8 X4_1 X4_2 X4_3 X4_4
142
keterdedahan siaran radio (X5) dengan koefisien jalur 0,169 dan pendidikan
formal (X1) melalui dulu X2 (kelas ekonomi) dengan koefisien 0,718 lalu dari
kelas ekonomi ke perilaku membaca suratkabar (X7) dengan koefisien jalur 0,107.
Maksud bermakna nyata secara tidak langsung di sini ialah pendidikan formal peternak ternyata juga berhubungan dengan kelas ekonomi, bila pendidikan dan kelas ekonominya tinggi maka perilaku membaca suratkabar menjadi tinggi atau berpengaruh. Begitu pun dengan pendidikan tinggi dan memiliki radio, maka peternak tersebut pasti terdedah siaran radio.
Sedangkan untuk hubungan peubah tingkat pendidikan formal (X1) dengan
keterdedahan tayangan televisi (X6) pengaruhnya tidak langsung tapi koefisien
jalurnya bermakna nyata. Misalnya, pendidikan formal harus melewati dulu X3
(kepemilikan media massa) dengan koefisien jalur 0,788 baru dari kepemilikan
media massa ke keterdedahan tayangan televisi (X6) dengan koefisien jalur 0,68
atau melalui X2 (kelas ekonomi) dengan koefisien 0,718 lalu dari kelas ekonomi
ke keterdedahan tayangan televisi (X6) dengan koefisien jalur 0,287. Hal ini
berarti bahwa tingkat pendidikan tidak secara langsung berpengaruh terhadap perilaku keterdedahan televisi, melainkan berkaitan dengan kepemilikan media massa televisi tersebut. Bila memiliki pesawat tv maka membuat peternak lebih terdedah tayangan televisi. Begitu pun peternak berpendidikan lebih tinggi dengan kelas ekonomi tinggi akan lebih terdedah tayangan televisi.
Kondisi keterikatan karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) dengan perilaku keterdedahan media massa yang diulas dengan analisis jalur, matriks korelasi dan analisis biplot di atas membuktikan, bahwa hipotesis II yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan
media massa) dengan keterdedahan media massa” diterima.
Analisis Jaringan Komunikasi Sapi Potong
Untuk menguji hipotesis butir tiga yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku komunikasi interpersonal informalnya,” juga
143
digunakan matriks korelas i dan analisis biplot yang tersaji pada Tabel 21 dan Gambar 14.
Menurut Gambar 14, terlihat bahwa hubungan peubah tingkat pendidikan formal anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku mereka menerima informas i penyuluhan menunjukkan korelasi yang positif dengan tingkat variabilitas yang rendah. Peternak dengan tingkat pendidikan formal yang tidak terlalu tinggi, perilaku menerima informasi penyuluhannya cenderung sedang, yakni sekitar dua sampai tiga kali setiap bulannya.
Seiring dengan tingkat pendidikan yang meningkat maka perilaku menerima informasi penyuluhan sapi potong juga meningkat. Hal ini bisa dilihat dari perilaku menerima informasi peternak berpendidikan sekolah lanjutan (SLTP dan SLTA) yang cenderung tinggi, sekitar empat sampai enam kali per bulannya. Dari sekitar seperlima peternak yang mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam menerima pesan penyuluhan sapi potong kategori rendah (dari tidak pernah mendengar sampai hanya satu kali sebulan), umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah yakni tidak sekolah atau tidak lulus/tamat SD.
Sedangkan hubungan tingkat pendidikan formal responden peternak sapi potong dengan perilaku mereka mencari informasi penyuluhan menunjukkan korelasi yang sangat nyata dengan tingkat variabilitas yang juga cukup tinggi. Maksudnya adalah peternak dengan tingkat pendidikan formal rendah, variasi keragamannya dalam mencari secara aktif informasi penyuluhan sapi potong relatif lebih tinggi, yakni cenderung sedang (3-4 saluran komunikasi yang digunakan per bulan) dan tinggi (lebih dari empat saluran komunikasi) dalam mencari sumber informasi yang relevan dalam berusahaternak sapi potong. Adapun peternak berpendidikan sekolah lanjutan, cenderung rendah bahka n rendah sekali (tidak pernah) perilaku mencari informasi- informasi yang mereka butuhkan lewat saluran komunikasi interpersonal.
Sama seperti perilaku menerima informasi, hubungan tingkat pendidikan formal responden peternak sapi potong dengan perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informasi menunjukkan korelasi positif tapi sedikit lebih rendah
144
derajat korelasinya dibanding perilaku menerima informasi, dengan tingkat keragaman relatif tinggi. Artinya, peternak berpendidikan formal rendah cenderung berperilaku klarifikasi/mendiskusikan informasi penyuluhan menyebar dikategori rendah sekali (tidak pernah melakukan) dan kategori rendah, yakni sekitar satu sampai dua kali setiap bulannya. Peternak dengan tingkat pendidikan tamat SD perilaku mendiskusikan informasi cenderung terdistribusi dikategori rendah dan sedang (tiga kali setiap bulan) Adapun peternak berpendidikan sekolah lanjutan atau berpendidikan kategori tinggi, cenderung mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam mendiskusikan pesan penyuluhan sapi potong kategori sedang sampai tinggi (tiap minggu).
Hubungan tingkat pendidikan formal peternak sapi potong dengan perilaku mereka menyebarkan informasi menunjukkan korelasi yang negatif dengan tingkat keeratan yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka perilaku menyebarkan informasi yang mereka miliki semakin rendah. Dilihat dari asal kelompok, ternyata peternak berpendidikan lebih baik dan rata -rata berperilaku menyebarkan informasi yang relatif tinggi adalah peternak Cisitu dan Surade (Peternak kelompok kurang maju). Peternak yang menyebarkan informasi
penyuluhan di sini ternyata didominasi oleh peternak pe meran star, yakni
beratribut tokoh pendidikan dan tokoh tani/pengurus kelompok.
Keragaman perilaku menyebarkan informasi di kalangan peternak Gedangsari dan Polokarto (kelompok peternak maju) yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, umumnya masuk dikategori tidak menyebarkan informasi yang mereka peroleh atau mereka miliki kepada peternak lain atau keluarga maupun tetangga.
Lebih rinci Gambar 14 menyimpulkan bahwa kelompok Surade dan Cisitu (kelompok kurang maju) menunjukkan rata-rata perilaku menyebarkan informasi relatif tinggi dibanding kelompok maju. Kelompok Gedangsari menunjukkan perbedaan signifikan tentang hubungan tingkat pendidikan formal dan perilaku klarifikasi/ mendiskusikan informasi, dibanding dengan kelompok kurang maju (Cisitu dan Surade) juga kelompok Polokarto. Begitu pun kelompok Polokarto menunjukkan perbedaan antara hubungan tingkat pendid ikan formal dengan
145
perilaku menerima informasi (pasif) dan perilaku (aktif) mencari informasi di kalangan peternak, dibanding tiga kelompok lainnya. Secara gabungan menurut analisis matriks korelasi pada Tabel 21, terdapat hubungan sangat nyata (p < 0,01) antara tingkat pendidikan peternak sapi potong dengan perilaku aktif mencari informasi, dan berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informasi.
Pada peubah kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong yang diliba tkan dalam penelitian ini, seperti yang ditampilkan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa hubungan nyata positif dengan perilaku mereka menerima informasi penyuluhan sapi potong dengan tingkat variabilitas yang relatif tinggi. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis matriks korelasi pada Tabel 21, yang menyebutkan bahwa peubah kelas ekonomi peternak sapi potong yang berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku komunikasi interpersonal, hanyalah dengan perilaku menerima informasi. Terlihat bahwa peternak sapi potong berstatus kelas ekonomi rendah, menunjukkan perilaku menerima informasi penyuluhan yang cenderung rendah, yakni tidak pernah atau hanya satu kali setiap bulannya. Sedangkan peternak yang kelas ekonomi sedang, umumnya keragaman perilaku menerima informasi penyuluhan menyebar di kategori rendah sampai sedang. Selanjutnya, peternak berstatus ekonomi tinggi berkorelasi dengan perilaku mereka yang tinggi dalam menerima informasi penyuluhan sapi potong.
Adapun hubungan kelas ekonomi responden peternak sapi potong dengan perilaku mencari informasi teknologi sapi potong menunjukkan korelasi lemah (mendekati nilai koefisien korelasi nol) dengan tingkat variabilitas yang juga rendah. Maksudnya adalah peternak dengan kelas ekonomi rendah, variasi keragamannya dalam mencari secara aktif informasi sapi potong lewat saluran komunikasi interpersonal cenderung rendah dan rendah sekali (tidak pernah). Peternak dengan kelas ekonomi sedang menunjukkan keragaman perilaku mencari informasi lewat saluran komunikasi interpersonal yang tidak terlalu besar, yakni menyebar dikategori sedang (3-4 saluran komunikasi yang digunakan per bulan) dan tinggi (lebih dari empat saluran komunikasi). Begitu pun dengan kelas
146
ekonomi tinggi berkorelasi positif yang tidak kuat dalam mencari sumber informasi yang relevan dalam berusaha ternak sapi potong.
Dikaitkan dengan perilaku mengklarifikasi atau mendiskusikan informasi yang mereka butuhkan lewat saluran komunikasi interpersonal, Tabel 16 menunjukkan bahwa kelas ekonomi tinggi berkorela si positif dengan perilaku mengklarifikasi informasi, dengan tingkat keragaman yang moderat. Artinya, peternak dengan kelas ekonomi rendah cenderung berperilaku klarifikasi/ mendiskusikan informasi menyebar dikategori rendah sekali (tidak pernah melakukan) dan kategori rendah, yakni sekitar satu sampai dua kali setiap bulannya. Peternak dengan kelas ekonomi sedang, perilaku mengklarifikasi atau mendiskusikan informasi cenderung terdistribusi di kategori sedang (tiga kali setiap bulan). Adapun peternak kategori kelas ekonomi tinggi, cenderung mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam mendiskusikan pesan penyuluhan sapi potong kategori sedang sampai tinggi (tiap minggu).
Hubungan kelas ekonomi peternak dan perilaku menyebarkan informasi menunjukkan korelasi negatif, dengan keragaman yang rendah. Artinya, peternak dengan kelas ekonomi tinggi, cenderung rendah perilaku menyebarkan informasi. Gambar 14 juga menjelaskan bahwa hubungan peubah kepemilikan media massa anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku mereka menerima informasi (X4_1) menunjukkan korelasi positif dengan tingkat variabilitas yang tinggi. Peternak dengan kepemilikan media massa yang rendah (tidak punya atau memiliki satu macam media massa) perilaku menerima informasi penyuluhannya cenderung rendah, yakni nol sampai satu kali setiap bulannya. Sedangkan peternak dengan kepemilikan media massa yang sedang (mempunyai dua macam media massa), perilaku menerima informasi menyebar dikategori sedang. Peternak yang memiliki media massa tiga macam atau lebih, berkorelasi positif dengan perilaku menerima informasi yang juga tinggi, sekitar empat sampai enam kali per bulannya.
Begitupun hubungan peubah kepemilikan media massa dengan perilaku komunikasi aktif mencari informasi (X4_2) dan hubungan kepemilikan media massa dengan perilaku klarifik asi/ mendiskusikan informasi (X4_3) menunjukkan
147
korelasi positif. Terlihat yang berkorelasi negatif adalah hubungan kepemilikan media massa responden dengan perilaku menyebarkan informasi (X4_4) yang diperoleh, dengan tingkat keragaman yang rendah. Artinya, peternak dengan kepemilikan media massa tinggi (punya tiga atau lebih media massa) cenderung rendah perilaku menyebarkan informasi. Dari matriks korelasi pada Tabel 21, terekam bahwa peubah kepemilikan media massa berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku komunikasi peternak dalam mencari informasi sapi potong.
Dari uraian di atas, berkaitan hubungan peubah tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa dengan perilaku komunikasi interpersonal responden peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini mulai dengan perilaku menerima, mencari, mendiskusikan dan menyebarkan informasi sapi potong; umumnya menunjukkan korelasi positif. Hanya perilaku menyebarkan informasi (X4_4) yang berkorelasi negatif dengan karakteristik personal responden peternak sapi potong (tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa ).
Perbedaan atas dasar kelompok maju dan kurang maju pun terlihat jelas pada Gambar 14, dimana terlihat bahwa peternak kelompok maju cenderung menunjukkan korelasi negatif antara karakteristik personal peternak denga n perilaku mencari informasi dan perilaku menyebarkan informasi, sedangkan pada kelompok kurang maju (Surade dan Cisitu) umumnya berkorelasi positif.
Secara keseluruhan uraian hasil analisis biplot (Gambar 14 ) dan analisis matriks korelasi (Tabel 21) yang menguji hubungan karakteristik pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa responden anggota kelompok peternak sapi potong dengan perilaku komunikasi interpersonal mereka membuktikan hipotesis III, yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan nyata antara karakteristik persona l dengan perilaku komunikasi interpersonal informal”
148
Hubungan Karakteristik Personal dengan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong
Untuk menguji hipotesis butir empat yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong” digunakanlah analisis jalur (path analysis), yakni dengan melihat besarnya koefisien-koefisien lintasan
(pij) yang disajikan pada Ga mbar 15.
Hasil analisis jalur pada Gambar 15 (di halaman 141) menunjukkan bahwa
pendidikan formal (X1) sebagai peubah anteseden atau eksogenus, tidak memberi
pengaruh langsung kepada peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam
jaringan komunikasi sapi potong (Y1). Tetapi melalui peubah anteseden lainnya
dan atau peubah intervining/endogenus, baru kemudian mempengaruhi Y1. Ini
berarti, bahwa meskipun tingkat pendidikan formal tidak secara langsung memberi pengaruh kepada peran-peran komunikasi yang dimainkan oleh anggota kelompok peternak sapi potong, namun tetap dianggap penting. Karena peubah pendidikan formal tersebut ternyata secara tidak langsung turut mempengaruhi
peubah terikat Y1, dengan beberapa jalur yang bermakna di antaranya:
(a) pendidikan formal mempengaruhi melalui kelas ekonomi (X2) dengan nilai
koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan televisi (X6)
dengan nilai koefisien jalur 0,287 dan keterdedahan televisi mempengaruhi peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,466.
Dengan memperhatikan bagan jalur di atas, maka dapat diturunkan model yang menggambarkan bahwa peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong ada lah fungsi dari keterdedahan tv
(CY1 X6), kelas ekonomi (Cx6 x2) dan pendidikan formal (Cx2 x1), dengan nilai
koefisien jalur pij > 0,05 dianggap bermakna (meaningful) untuk dasar
pengujian atau perumusan model. Berarti, bila tingkat pendidikan peternak menjadi lebih baik maka kelas ekonominya cenderung meningkat, dan perubahan kedua peubah peternak sapi potong tersebut turut mempengaruhi keterdedahan peternak terhadap siaran televisi, yakni lebih terdedah pesan televisi. Alur kecenderungan ini akhirnya akan turut mempengaruhi peran
149
komunikasi yang dimainkan oleh anggota kelompok peternak sapi potong tersebut, dimana semakin peternak tersebut terdedah siaran televisi maka
semakin mengarah ke pe meran komunikasi “star.”
(b) pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap kelas ekonomi (X2) dengan
nilai koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan televisi (X6)
dengan nilai koefisien jalur 0,287 dan keterdedahan televisi berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif menerima
informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,4 dan perilaku komunikasi
interpersonal informal pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(c) pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap kelas ekonomi (X2) dengan
nilai koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan suratkabar
(X7) dengan nilai koefisien jalur 0,107 dan keterdedahan suratkabar
berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif
menerima informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,21 dan perilaku
pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(d) pendidikan formal punya arti/bermakna terhadap pemilikan media massa
(X3) dengan nilai koefisien jalur 0,788 lalu berpengaruh nyata ke
keterdedahan siaran radio (X5) dengan nilai koefisien jalur 0,169,
keterdedahan siaran radio berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi
interpersonal informal: pasif menerima informasi (X4_1) dengan nilai
koefisien jalur 0,218 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(e) pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap pemilikan media massa (X3)
dengan nilai koefisien jalur 0,788 lalu pemilikan media massa berpengaruh
nyata ke keterdedahan siaran televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,68
dan keterdedahan siaran televisi mempengaruhi peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,466.
(f) pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap pemilikan media massa (X3)
150
nyata ke keterdedahan siaran televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,68,
keterdedahan siaran televisi berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi
interpersonal informal pasif menerima informasi (X4_1) dengan nilai
koefisien jalur 0,4 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(g) pendidikan formal punya arti/bermakna terhadap keterdedahan siaran radio
(X5) dengan nilai koefisien jalur 0,805, keterdedahan siaran radio
berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif
menerima informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,218 dan perilaku
pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
Jadi, ketujuh model jalur yang diungkapkan di atas menunjukkan pengaruh yang kuat atau keterikatan kuat yang ada antara peubah-peubah melalui jalur hubungan di antara mereka . Hal ini ditandai oleh nilai koefisien-koefisien jalur
yang menunjukkan kebermaknaan nyata dengan efek tidak langsung mulai dari X1
(pe ndidikan formal) sampai ke peubah endogenus Y1 (peran komunikasi anggota
kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong). Begitu pun peubah
eksogenus X2 (kelas ekonomi) menunjukkan kebermaknaan nyata dengan efek
tidak langsung ke Y1 sebanyak tiga jalur , dan peubah eksogenus X3 (kepemilikan
media massa) juga memiliki tiga jalur ke peran komunikasi anggota kelompok
peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong (Y1) menunjukkan
kebermaknaan nyata dengan efek tidak langsung.
Dari kondisi keterikatan karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) dengan peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong yang diulas dengan analisis jalur di atas menunjukkan, hipotesis IV yang menya takan bahwa “terdapat hubungan nyata (kebermaknaan nyata) antara karakteristik personal dengan peran
151
Hubungan Perilaku Komunikasi Interpersonal dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong
Untuk menjawab hipotesis butir V yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi inte rpersonal dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong” digunakan analisis matriks korelasi dan biplot. Hasil olahan analisis biplot tersebut ditampilkan dalam Gambar 16.
Gedangs ari Polokarto
Surade Cisitu
Keterangan: AT = Perilaku menerima informasi AV = Perilaku mengklarifikasi informasi AX = Perilaku mencari informasi AW= Perilaku menyebarkan informasi Gambar 16. Keragaan umum keterkaitan peubah perilaku komunikasi
inter-personal dengan peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong per desa amatan
1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 AX AW AV A T Star Mutual Pair
Neglectee F2: 28.4% F1: 71.6% 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 AX AW AV AT Star Mutual Pair Neglectee F1: 77.7% F1: 22.3% 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 AX AW AV AT Star Mutual Pair Neglectee F1: 95% F2: 5% 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 AX AW AV AT Star Mutual Pair Neglectee F1: 75.7% F2: 24.3%
152
Menurut Gambar 16, hubungan peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong di kelompok Gedangsari dengan perilaku komunikasi interpersonal informal, menunjukkan kecenderungan
bahwa peternak pemeran star (bintang) relatif kecil perilaku klarifikasi (AV) dan
menyebarkan (AW) informasi sapi potong, dibanding peternak berperan mutual
pairs. Peternak Gedangsari pemeran star lebih tinggi melakukan upaya mencari informasi sapi potong untuk kepentingan usahanya da n juga untuk
mempertahannya fungsi gate keeping. Peternak tersebut cenderung tidak
menyebarkan informasi, tetapi dijadikan sebagai tempat bertanya bagi anggota peternak atau masyarakat desa lainnya. Perilaku mencari informasi (AX) peternak Gedangsari ini berkorelasi rendah dengan perilaku klarifikasi (AV) dan berkorelasi relatif tinggi dengan perilaku menerima informasi (AT), tetapi korelasi antar peubah tersebut cenderung negatif.
Di Surade perilaku menerima informasi (AT) dan perilaku menyebarkan
informasi (AW) terlihat tinggi, tapi negatif. Peternak berartibut star cenderung
berperilaku menyebarkan informasi sapi potong, tapi tidak berperilaku menerima informasi tersebut. Malahan yang cenderung berperilaku menerima informasi
(AT) adalah peternak Surade beratribut neglectee. Hal ini bertolak belakang
dengan peternak sapi potong kelompok Gedangsari, yang menunjukkan tidak ada kaitan antara perilaku menerima informasi (AT) dan perilaku menyebarkan informasi (AW) sapi potong atau nilai korelasinya nol, teta pi cenderung berkorelasi tinggi antara perilaku menerima (AT) dengan klarifikasi (AV). Menurut Tabel 21, antara perilaku menerima (AT) dengan mengklarifikasi (AV) informasi di kalangan peternak sapi potong berhubungan sangat nyata (p < 0,01). Untuk peternak kelompok maju cenderung berkorelasi positif, sedangkan peternak kurang maju berkorelasi negatif antara perilaku menerima dengan klarifikasi.
Sedangkan dua kelompok peternak lainnya, yaitu kelompok Polokarto dan Cisitu menunjukkan korelasi positif antara perilaku menerima (AT) dan menyebarkan (AW) informasi sapi potong. Kedua macam perilaku pemanfaatan media interpersonal ini rata-rata relatif tinggi di peternak sapi potong pe meran star, dibandingkan peternak pe meran neglectee maupun mutual pairs.
153
Sama seperti kelompok Gedangsari, rata -rata peternak pemeran star di
kelompok Polokarto lebih tinggi perilaku mencari informasi sapi potong. Terlihat bahwa pada perilaku aktif mencari informasi (AX) lebih besar keragamannya dibandingkan dengan perilaku menerima informasi (AT) penyuluhan sapi potong. Perilaku aktif mencari informasi ini, menurut Tabel 21 berkorelasi sangat nyata (p < 0,01) negatif dengan perilaku komunikasi mengklarifikasi/ mendiskusikan informasi sapi potong yang diperoleh. Semakin peternak sapi potong tersebut