• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi dan Masyarakat

Komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Berlo, 1960). Konsep komunikasi ini berasal

dari bahasa latin, yaitu communicare yang secara harfiah berarti berpartisipasi

atau memberitahukan; bisa juga berasal dari kata communis yang berarti milik

bersama (kebersamaan). Komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi untuk mencapai saling pengertian atau kebersamaan (Rogers , 1986; Kincaid dan Schramm, 1987). Hybels dan Weaver II (1998) menambahkan bahwa komunikasi itu bukan saja proses orang-orang berbagi informasi, melainkan juga ide (gagasan) dan perasaan. Se lanjutnya Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana para partisipan saling mengembangkan dan membagi informasi antara satu dengan lainnya untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Rogers, 1995). Di sini tersirat pengertian bahwa antara satu partisipan dengan partisipan lainnya masing-masing menyadari kekurangannya atas informa si-informasi yang lengkap mengenai suatu isu. Karena itu penting untuk mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan antara satu dengan yang lain untuk membangun suatu pemahaman bersama yang sempurna. Effendy (2001) menambahkan bahwa komunikasi di sini merupa kan proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain sebagainya yang muncul dari benaknya. Sedang perasaan bisa merupakan keyakinan, kepastian, keragu-raguan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kese mpatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997).

Baik Miller (1986), Hovland (Effendy, 2000) maupun Mulyana dan Rakhmat (2001) melih at komunikasi sebagai proses mengubah perilaku seseorang. Dimana kegiatan komunikasi tersebut berupa proses penyampaian

16

pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui saluran tertentu dengan efek tertentu (Effendy, 2000; Laswell, 1976). Hal ini sejalan dengan pemikiran Slamet (2003) yang melihat kegiatan komunikasi pembangunan (development communication) sebagai aktivitas penyuluhan pertanian (agricultural extension atau extension education), karena pada dasarnya tiga istilah itu semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di sini beliau menyatakan bahwa tujuan penyuluhan pertanian yang sebenarnya adalah perubahan perila ku kelompok sasaran (Slamet, 1978). Mardikanto (1993) menegaskan melalui penyuluhan pertanian ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap informasi baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan bahwa proses komunikasi antara lain terdiri dari

model komunikasi lin ea r dan relational. Dalam model linear, informasi yang

berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima disebut umpan balik. Di sini penerima hanya memberikan umpan balik kepada sumber, tetapi tidak menciptakan dan meneruskan pesan-pesannya. Model komunikasi seperti ini

biasanya terjadi secara vertikal. Dalam model komunikasi relational, setiap

partisipan komunikasi dapat saling meneruskan atau memberikan pesan baru karena setiap pesan dapat dipakai sebagai perangsang untuk mendapat umpan balik dari pesan-pesan sebelumnya. Proses komunikasi ini tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik, melainkan kembali ke peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan yang baru lagi (Kincaid dan Schramm, 1987). Dengan demikian dalam model ini proses komunikasi berlangsung bolak-balik, yang

menur ut Effendy (2001) dikenal sebagai two -way traffic communication atau

komunikasi dua arah. Rahim (Depari dan MacAndrew s, 1998) menyebutkan bahwa arah komunikasi dalam pembangunan desa biasanya mengalir dari atas yang bersumber pada perencana pembangunan ata u pejabat daerah. Selain itu arus komunikasi bisa terjadi antar anggota masyarakat yang setara (horisontal).

17

Ruben dalam Muhammad (2000) mendefinisikan komunikasi manusia

adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirim dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain.

Sendjaja et al. (1994) sepakat melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan untuk

berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kebersamaan makna. Tindakan komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks. Konteks komunikasi tersebut menurut Tubbs dan Moss (2000) terdiri dari komunikasi dua orang, wawancara, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi antarbudaya.

Komunikasi yang diartikan sebagai suatu proses dimana informasi terbagi, lebih lanjut ditambahkan oleh Middleton (1980) bahwa proses ini sering disebut juga sebagai jaring-jaring masyarakat (web of society) dimana individu, kelompok dan pranata-pranata diatur bersama untuk membentuk suatu masyarakat. Middleton pun menjelaskan bahwa sebagai suatu proses yang luas, komunikasi melibatkan beberapa fungsi, seperti memberi dan menerima informasi, mempengaruhi dan dipengaruhi, belajar dan mengajar, menghibur dan dihibur. Pernyataan Middleton ini pernah disinggung oleh Rao (1966) yang pernah menjadi anggota Departemen Komunikasi Massa UNESCO yang mengemukakan bahwa komunikasi lebih mengacu pada proses sosial, yakni arus informasi, peredaran pengetahuan dan gagasan-gagasan dalam masyarakat, pengembangan dan internalisasi pikiran.

Fungsi komunikasi menurut Laswell adalah (1) pengamatan terhadap lingkungan, (2) penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut dan (3) pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya (Laswell, 1976). Konsep pengamatan terhadap lingkungan mengandung arti proses mengumpulkan dan mendistribusikan “informasi” mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Konsep penghubung bagian-bagian masyarakat

18

mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara -cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Sedangkan konsep pemindahan warisan sos ial dari satu generasi ke generasi yang berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kegiatan yang terakhir ini dikenal dengan sebutan pendidikan (Wright, 1986).

Ketiga fungsi komunikasi tersebut harus dijalankan seluruhnya. Bila salah satu fungsi komunikasi itu terhambat, maka perkembangan masyarakat tidak akan berjalan secara wajar, dan pada gilirannya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan yang merusak masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan ketiga macam fungsi komunikasi tersebut, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan oleh masyarakat yang maju.

Komunikasi dalam masyarakat sederhana atau primitif cenderung berlangsung secara tatap muka. Misalnya mereka merasa perlu berkomunikasi antar sesamanya, baik waktu bermain maupun waktu beristirahat, berkumpul di goa untuk melawan hawa dingin atau berlindung dari bahaya. Kelompok masyarakat primitif ini juga menunjuk seorang penjaga yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling dan segera memberikan laporan bila musuh datang atau memberi tahu bila ada binatang buruan yang dapat dijadikan bahan makanan muncul. Informasi yang sampai pada masyarakat yang tinggal di goa ini, dipakai untuk membuat keputusan mengenai hal yang harus dilakukan. Pemimpin atau dewan pimpinan harus membuat keputusan setelah melakukan tukar-menukar pendapat. Pimpinan kemudian menjelaskan situasi, mengeluarkan perintah dan membagi tanggung jawab. Kebijakan yang diambil dalam masyarakat primitif dapat juga didasarkan atas kepercayaan, kebiasaan atau hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Jadi kewajiban penting yang harus dilakukan oleh masyarakat ini adalah mengajarkan kepercayaan, kebiasaan, hukum dan keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan oleh masyarakat yang masih muda. Orang tua mengajari anak-anak mereka, orang yang lebih tua dan pemuka agama mengajari orang-orang yang sudah dewasa. Peranan komunikasi yang tampak pada masyarakat yang masih sangat sederhana ini adalah berupa: peranan

19

penjagaan (melakukan pengawasan terhadap alam sekeliling dan melaporkannya), peranan kebijaksanaan (memutuskan kebijakan yang perlu diambil, memimpin dan mengatur), dan peranan mengajar agar masyarakatnya mempunyai keterampilan dan kepercayaan yang dipandang bernilai oleh masyarakat yang bersa ngkutan. Di samping fungsi komunikasi formal tersebut, ada fungsi komunikasi yang bersifat tidak formal, yaitu percakapan antar mereka sehari-hari. Seperti mengungkapkan ekspresi cinta, persahabatan, menantang, berargumen dan bertukar pikiran, barter dan perdagangan, menari, menyanyi, bercerita dan melakukan komunikasi informal lainnya, memberi warna dan daya pengikat masyarakat tersebut (Schramm, 1964).

Pada masyarakat maju atau masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi jangkauan komunikasi sangat luas. Aktivitas yang semula tidak formal dan santai telah diformalkan. Sesuatu yang semula cukup ditangani oleh seorang atau beberapa orang, sekarang diperlukan suatu lembaga sosial tersendiri untuk menanganinya dengan memasukkan pula mesin-mesin ke dalam proses komunikasi. Mesin-mesin digunakan untuk melihat, mendengar, berbicara dan menulis dengan kemampuan jangkauan kerja yang sangat tinggi. Di lingkungan mesin-mesin ini muncul pula institusi komunikasi yang sangat besar yang disebut media massa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa fungsi dasar komunikasi sendiri tetap sama. Pekerjaan mengawasi lingkungan sekarang ditugaskan kepada media massa. Pekerjaan yang membutuhkan konsensus, pembuatan kebijakan, dan pengarahan tindakan-tindakan terutama menjadi tugas pemerintah. Organisasi seperti partai politik dan media massa telah masuk jauh ke dalam proses pembentukan opini dan tindakan. Tugas yang semula dilakukan oleh suatu kelompok kecil dalam suatu percakapan singkat, sekarang menjadi diskusi berbulan-bulan, yang melibatkan beratus-ratus ribu atau bahkan berjuta -juta manusia dan mungkin memerlukan kampanye berskala nasional. Namun, esensi kewajiban mereka tetap sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat sederhana, yaitu memutuskan kebijakan dan memimpin. Kewajiban melakukan proses sosialisasi terhadap anggota masyarakat dibebankan kepada sekolah dan media pendidikan lainnya, seperti buku, radio, televisi pendidikan, film instruksional dan

20

ensiklopedi. Kebutuhan akan pengetahuan dan latihan tidak hanya tersedia terbatas untuk anak-anak, melainkan juga untuk orang dewasa berupa lembaga dan instruksi khusus, misalnya penyuluh pertanian, petugas peneliti dan universitas , penyalur (dealer) penyediaan sarana, perbankan maupun lembaga swadaya masyaraka t (LSM). Organisasi ini disebut “pelayanan informasi” (Lionberger dan Gwin, 1982). Seluruhnya menjadi makin kompleks dan makin canggih. Namun esensinya tetap sama, yaitu keperluan akan pelayanan informasi (Schramm, 1964).

Di banyak desa di Indonesia, media komunikasi tradisional masih sering dijumpai. Ketika sewaktu-waktu akan mengumpulkan warga masyarakat, cukup dengan membunyikan kentongan yang dipukul dengan cara tertentu (kode) yang berarti ada bahaya ataupun keadaan aman. Pertunjukan kesenian, se lain sebagai alat hiburan juga merupakan sumber nilai-nilai atau petuah untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan yang mengarus melalui dialog ataupun perilaku yang diperdengarkan dan dipertunjukan dalam kesenian seperti nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat dan drama rakyat. Menurut Jahi (1993) media tradisional yang dekat dengan rakyat sangat efektif untuk menyampaikan pesan pembangunan.

Soesanto (1985) menyebutkan bahwa seni tradisional merupakan nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat. Nilai budaya merupakan dasar kehidupan sehari-hari dan karenanyalah merupakan pula dasar dan titik bertolaknya komunikasi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan proses komunikasi. Pertunjukan tradisional ini haruslah mengandung tiga aspek yaitu pendidikan, penerangan dan hiburan (Departemen Penerangan, 1984), atau bermaksud menghibur, menjelaskan, mengajar dan mendidik (Jahi, 1993) .

Jadi, komunikasi di sini didefinisikan sebagai proses penyampaian dan pemahaman pesan dari satu orang ke orang lain atau kepada kelompok, organisasi, publik maupun kepada masyarakat luas. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh

21

tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dalam hal ini berupa kegiatan membagi perasaan/gagasan dan nilai-nilai melalui bahasa, visualisasi, fasilitas sarana komunikasi yang digunakan, sehingga terjadi suatu kesamaan makna tentang pesan yang disampaikan antara penyampai pesan dan penerima pesan. Kesamaan makna inilah yang menjadi tujuan komunikasi dan sekaligus menentukan efektif tidaknya suatu kegiatan komunikasi. Dalam melaksanakan fungsi komunikasi, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan masyarakat maju. Namun, perbedaan cara tersebut tidak mengurangi makna dari ketiga fungsi proses komunikasi. Perbedaannya adalah pada masyarakat sederhana menggunakan cara yang sederhana, sedangkan masyarakat maju menggunakan cara-cara yang lebih kompleks yang menuntut dimilikinya keterampilan yang lebih tinggi.

Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam Masyarakat Desa

Komunikasi Pembangunan

Seperti sudah dijelaskan di sub bab di atas, secara umum dapa t dijelaskan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian informasi/pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna (Berlo, 1960, Rogers, 1995, Kincaid dan Schramm, 1987). Sedangkan pembangunan, yang bila dikaitkan dengan perubahan, dia adalah

perubahan berencana. Menurut Boyle (1981) apabila perubahan atau segala

sesuatu yang terlihat atau terasa berbeda dalam suatu jangka waktu tertentu,

dimana perbedaan-perbedaan tersebut dengan sengaja ditimbulkan dan telah direncanakan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, maka dikatakanlah sebagai perubahan berencana.

Pembangunan itu sendiri merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya (Slamet, 1986). Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah

22

dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya.

Proses perubahan manusia itu sendiri melibatkan banyak usaha dan tenaga. Usaha -usaha pendidikan yang lazim dikenal dengan penyuluhan, ya ng di dalamnya tak lain adalah kegiatan proses komunikasi persuasif merupakan salah satu faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan manusia tersebut. Menurut Slamet (1986) perubahan semacam inilah yang perlu diperhatikan, karena inti utama dari pembangunan tidak lain daripada pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pembangunan fisik yang sering kali menarik banyak perhatian, tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai dengan pembangunan manusianya.

Kalau di tahun 50-an dan 60-an pemerhati pembangunan menekankan pada investasi, modal, teknologi, produktivitas sebagai hal yang penting bagi pembangunan. Kemudian, sebelum tahun 70-an telah dimulai proses penyeimbangan. Hal ini menekankan pada kebutuhan redistribusi, kebutuhan mengejar tujuan lain seperti pendidikan, kesehatan dan kualitas umum kehidupan daripada penambahan volume barang dan jasa (Jayaweera, 1989). Dengan kata

lain pembangunan jangan hanya dilihat dari Gross National Product (GNP)

melainkan juga harus diukur dengan peningkatan Indeks Hidup Kualitas Fisik (IHKF) dan GNP, yang satu sama lain tidak terpisah. Dengan hal ini kualitas fisik kehidupan jauh lebih baik, jelas Jayaweera (1989). Indikatornya adalah perbaikan angka buta huruf (illiteracy), kesehatan, kematia n bayi, harapan hidup dan pendidikan. Di tahun 80-an, orang melihat pembangunan sebagai suatu paket dari

konsep kebutuhan dasar, berdikari atau mandiri dan partisipasi, yang

merupakan alternatif bentuk pembangunan yang dihasilkan dari penekanan pada

pertumbuhan dan output. Pengertian kebutuhan dasar meliputi metode analisis

permasalahan masyarakat desa, yaitu merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang terdapat dalam masyarakat (Slamet, 1986), yang menurut Slamet (2003) bisa digali dari berbagai kebutuhan dan keinginan dalam diri warga masyarakat yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk

23

dikembangkan. Kata potensi dan kemampuan warga masyarakat merupakan kunci

pengertian me-mandiri-kan masyarakat. Hal ini sesuai dengan falsafah

penyuluhan “membantu diri sendiri” itu menunjukkan dinamika pribadi SDM-klien sangat menonjol (Asngari, 2001). Kemandirian (selfhelp ) masyarakat,

termasuk kemandirian pertanian (baca: tanpa subsidi) yang secara bertahap telah

mulai diusahakan dari sekarang, perlu diikuti dengan pengurangan keterikatan

pada program-program pemerintah (Slamet, 2003). Pengertian partisipasi

masyarakat dalam pembangunan dikatakan oleh Slamet (2003) bermakna sebagai ikutsertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Perlu ditekankan di sini bahwa partisipasi dalam pembangunan

bukan hanya berarti ikut menyumbangkan sesuatu input ke dalam proses

pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Pembangunan harus dilihat dalam karakter holistik. Tidak ada pembangunan yang mengabaikan produktivitas dan pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan harus diimbangi dengan reformasi struktural yang tidak menghambat daya produktif masyarakat. Pada waktu yang sama, itu harus didukung oleh keseluruhan tindakan yang menjamin keadilan, menjamin peningkatan kualitas hidup serta menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan demokrasi (Jayaweera, 1989). Sebagai suatu istilah teknis Seers (Nasution, 1996) melihat pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di Negara-negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan sosial.

Dalam pengertian sehari-hari pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu mas yarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Rogers (1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada tingkat sistem sosial. Sama halnya seperti diseminasi, pengembangan (development), spesialisasi, integrasi dan adaptasi (Slamet, 1986). Sedangkan modernisasi ialah proses yang terjadi pada tingkat individu, termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Untuk perubahan demikian disebut

24

perubahan mikro karena lebih memfokuskan pada perilaku perubahan individual. Pembangunan di sini diartikan Rogers (1976) sebagai proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untuk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (pemerataan, kebebasan dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik). Sementara Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.

Rogers dan Shoemaker (1971) lebih lanjut menyebutkan bahwa besar kemungkinan sem ua analisis perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi, karena dilihat dari kenyataan semua penjelasan tentang perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan mengenai bagaimana orang-orang

itu memperoleh dan mengubah gagasannya (membuat keputusan) melalui

komunikasi dengan orang lain, maupun dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik radio, televisi dan media cetak. Teknologi komunikasi ini memiliki kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan “kesan baru” ( new images) dari apa yang seseorang ingin aspirasikan, menciptakan “mobilitas fisik” dan membangkitkan “empati” (Jayaweera dan Amunugama, 1989).

Dari ilustrasi di atas, istilah Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pemba ngunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang “diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan pote nsial manusiawi” (Nasution, 1996).

Definisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lerner, Pye dan Schramm bahwa komunikasi pembangunan berhubungan dengan teknologi yang didasari pada jaringan komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk

25

pembanguna n, tanpa memperhatikan pesan dan isi pesan. Di lain pihak, ada istilah komunikasi penunjang pembangunan (KPP), yang diutarakan oleh Erskine Childers dari UNDP, sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program pembangunan tersebut (Jaya weera dan Amunugawa, 1989). Komunikasi pembangunan (KP) lebih besar dibandingkan dengan KPP . Seperti halnya KPP yang merupakan bagian yang terkecil, dapat bekerja dengan efektif pada bidang terbatas, walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembangunan. Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan (KP) dibedakan dengan komunikasi penunjang pembangunan (KPP).

Tabel 1. Perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan

KP KPP

1. Secara umum digunakan untuk nasional atau makro.

2. Berfungsi tidak langsung dan samar -samar.

3. Bersifat persuasif dan terbuka. 4. Mengandalkan pengaruh yang kuat

dari karakteristik teknologi. 5. Dibatasi teknologi media massa.

6. Bersifat top-down dan hierarkhi.

7. Penelitian banyak masalah, jumlah peubah banyak, kesulitan dalam mengontrol. Secara konsekuen kekurangan penelitian.

8. Semakin kehilangan kredibilitas.

1. Secara umum digunakan untuk lokal atau mikro.

2. Berfungsi langsung yang sesuai dengan efek dan tujuan.

3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok.

4. Berorientasi pesan. Secara teliti menunjukkan kepuasan.

5. Menggunakan semua budaya media 6. Selalu interaksi dan partisipasi. 7. Penelitian mudah, peubah dapat

diisolasi, dikontrol dan diukur. Secara konsekuen masih ada

penelitian.

8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi oleh sistem UN dan seluruh agen pembangunan nasional dan internasional.

Studi penelitian yang mengambil topik “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” mer upakan dasar dari kredibilitas KPP, dan ini menjadi fokus penyelidikan yang ingin dideskripsikan.

26

Komunikasi dalam Masyarakat Desa

Tinjauan komunikasi pembangunan da lam penelitian ini lebih melihat pada studi komunikasi yang mendukung pembangunan/KPP (development support communication) yang melihat pelaksanaan komunikasi pembangunan dengan membatasinya atas waktu dan mengambil bentuk kelompok sebagai unit analisis. Tinjauan berdasarkan pendekatan komunikasi penunjang pembangunan (KPP) ini sebenarnya mengikuti rekomendasi Rogers (1995), dimana pada penelitian difusinya dia beranjak dari komunikasi pembangunan (KP) dan konsekuensinya kehilangan validitasnya (Jayaweera dan Amunugawa, 1989).

Homan (dalam Blau, 1975) memberikan batasan tentang struktur sosial

sebagai perilaku yang ajeg (enduring), yaitu suatu ekspresi yang menunjukkan konfigurasi hubungan antar orang seorang dan posisinya, yang bisa dilihat dari karakteristik personal. Kelom pok formal ialah salah satu contoh perilaku yang ajeg tersebut, menunjukkan suatu keadaan saling terkait antara posisi dan peranan, suatu tatanan distribusi stratifikasi berdasarkan ciri personal, suatu pola interaksi dan aktivitas antar partisipan anggota suatu kelompok. Dimana hal tersebut dapat diperlakukan sebagai suatu sistem, yakni kelompok sebagai sistem sosial (Slamet,

Dokumen terkait