• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tinea Pedis disertai Infeksi Bakteri

2.3.3 Histopatologi 22

Ketika pemeriksaan mikroskopik langsung dan kultur hasilnya negatif, pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mempersempit diagnosis banding, meskipun demikian histopatologi bukan prosedur standar laboratorium.3 Gambaran histopatologi infeksi dermatofita yaitu terdapatnya netrofil, orthokeratosis padat, dan “sandwich sign” (hifa antara stratum korneum bagian atas dan stratum korneum parakeratotik pada lapisan yang lebih bawah). Deteksi elemen jamur ini dilakukan dengan pewarnaan periodic acid schiff (PAS) atau methenamine silver.9

2.3.4 Pemeriksaan PCR

PCR adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro.

Beberapa tahun yang lalu metode molekular ini telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi dermatofita secara langsung dari kulit, rambut dan kuku.43 Metode ini berkembang dikarenakan metode konvensional dikatakan lambat dan kurang spesifik.44

2.3.5 Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik adalah bagian penting dari evaluasi awal pasien dengan lesi kulit dan termasuk di dalamnya pengambilan spesimen yang tepat, interpretasi hapusan pewarnaan Gram dan penggunaan media selektif untuk kultur.33

Kualitas spesimen adalah krusial karena kegagalan dalam pengumpulan spesimen adalah penyebab paling umum kegagalan menetapkan diagnosis

etiologik. Spesimen harus dikirim ke laboratorium segera setelah pengumpulan, karena viabilitas bakteri dapat hilang jika spesimen tertunda pemrosesannya.43 Pemeriksaan pewarnaan Gram menggunakan larutan iodine dalam potassium iodide pada sel-sel yang sebelumnya sudah diwarnai dengan pewarna akridin seperti kristal violet. Perlakuan ini menghasilkan kompleks ungu tidak larut.

Kompleks warna ungu iodine disaring oleh sel Gram negatif, sementara bakteri Gram positif menahannya.43

Media untuk kultur dapat dibedakan atas:

1. Media nutrisi

Komponen media nutrisi dibuat untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan bakteri untuk memungkinkan isolasi dan perkembangbiakan. Media disiapkan dengan enzim atau asam pencernaan dari hewan atau produk tanaman seperti otot, susu atau kacang.43,44

2. Media selektif

Media selektif digunakan ketika organisme patogen spesifik terlihat pada tempat-tempat dengan flora normal ekstensif. Pada kasus ini, bakteri lain dapat berkembang melebihi spesies etiologik yang disangkakan pada media nutrisi sederhana karena patogen tumbuh lebih lambat atau karena terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit. Media selektif biasanya berisi zat warna, zat aditif kimiawi lain atau antimikroba pada konsentrasi yang diperuntukkan untuk menghambat flora kontaminasi tetapi tidak untuk patogen tersangka.43,44

3. Media indikator

Media indikator berisi substansi untuk karakteristik biokimia atau gambaran lainnya dari patogen spesifik. Penambahan satu atau lebih karbohidrat pada media dan indikator pH sering digunakan.43,44

4.Kondisi atmosferik43 a. Aerobik

Kultur bakteri aerobik paling banyak ditempatkan pada inkubator dengan temperatur 35 - 370C.

b. Anaerobik.

Bakteri anaerobik tidak akan tumbuh dan akan mati bila terpapar oksigen atmosferik. Spesimen yang diduga berisi anaerob harus diproses di bawah kondisi untuk mengurangi paparan terhadap oksigen atmosfir.

5. Isolasi mikroorganisme dalam biakan murni

Sifat-sifat mikroorganisme diteliti dengan cara mikroorganisme tersebut dibiak terlebih dahulu dalam biakan murni yang bebas dari jenis-jenis bakteri lain.44

2.4 Pengobatan

Tinea pedis interdigitalis ringan tanpa keterlibatan bakteri diterapi secara topikal dengan alilamin, imidazol, ciclopirox, benzylamine, tolnaftat atau krim berbasis asam undesenoik. Terbinafin oral dosisnya 250 mg setiap hari selama 2 minggu. Itrakonazol diberikan 400 mg setiap hari selama 1 minggu pada orang dewasa, 200 mg setiap hari selama 2 – 4 minggu atau 100 mg setiap hari selama 4 minggu dengan efikasi yang sama pada seluruh regimen, sementara itrakonazol

pada anak-anak diberikan pada dosis 5 mg/kg/hari selama 2 minggu. Flukonazol 150 mg setiap minggu selama 3-4 minggu juga efektif. Kortikosteroid topikal atau sistemik dapat membantu untuk perbaikan simtomatis selama periode inisial pengobatan antijamur dari tinea pedis vesikobulosa. Maserasi, denudasi, pruritus, dan malodor menunjukkan terjadinya koinfeksi bakteri yang paling sering adalah oleh organisme Gram negatif termasuk Pseudomonas dan Proteus. Pasien yang diduga koinfeksi dengan Gram negatif harus diobati dengan obat antibakteri topikal atau sistemik berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.2

2.5 Kerangka Teori

Gambaran klinis tinea pedis :

tipe interdigitalis, hiperkeratotik kronis vesikobulosa, ulseratif akut

- Antijamur : topikal, sistemik -Antibiotika: topikal, sistemik sinar UV, suhu & kelembaban, flora

normal, spingosin, asam lemak oleh sel neutrofil dan makrofag.

Kerusakan stratum korneum, oklusi, trauma dan maserasi

Imunosupresi

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Identifikasi dermatofita

Identifikasi bakteri Tinea Pedis :

tipe interdigitalis tipe hiperkeratotik kronis

tipe vesikobulosa tipe ulseratif akut disertai superinfeksi bakteri

Pemeriksaan KOH Kultur jamur

Pemeriksaan Kulturbakteri

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai November 2016.

3.2.2 Tempat penelitian

1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan.

2. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH, kultur jamur dan kultur bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( FK USU).

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

1. Populasi target

Pasien dengan tinea pedis.

2. Populasi terjangkau

Pasien dengan tinea pedis yang datang ke Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari sampai November 2016.

3.3.2 Sampel

Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi:

1. Pasien dengan tinea pedis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH yang positif.

2. Usia di atas 17 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.4.2 Kriteria eksklusi:

Sedang mendapatkan pengobatan berupa anti jamur topikal dalam satu minggu terakhir, anti jamur oral dalam satu bulan terakhir dan antibiotika oral maupun topikal dalam satu minggu terakhir.

3.5 Besar sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut.

Rumus :

n = zα2PQ d2 dimana :

Zα : deviat baku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96 P : proporsi tinea pedis : 0,12

Q : 1 – P = 0,9 d : presisi : 0,09

Maka :

n = 1,962 x 0,1 x 0,9 0,09 x 0,09

= 43

Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 45 orang.

3.6 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.

3.7 Identifikasi Variabel

Variabel- variabel yang akan diteliti adalah spesies dermatofita, spesies bakteri dan tipe klinis tinea pedis.

3.8 Definisi Operasional

1. Umur adalah umur subjek penelitian saat pertama datang dihitung dari tanggal lahir, bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, umur dibulatkan ke atas, bila kurang dari 6 bulan, umur dibulatkan ke bawah berdasarkan rekam medik, yang dikelompokkan menjadi usia 17- 26 tahun, 27-36 tahun, 37-46 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun, 67-76

tahun. Skala ukur adalah nominal.

2. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan

diagnosisnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH dijumpai hifa dan / atau artrokonidia.

3. Berdasarkan gambaran klinis, tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu:

a. Tipe interdigitalis bila dijumpai eritema, skuama, erosi, maserasi atau

fisura pada daerah interdigitalis dan subdigitalis.

b. Tipe hiperkeratotik kronis / mokasin bila dijumpai eritema dan skuama dari ringan sampai hiperkeratosis difus di daerah plantar kaki.

c. Tipe vesikobulosa bila dijumpai vesikel yg tegang, bula atau pustula pada daerah plantar kaki.

d. Tipe ulseratif akut bila dijumpai lesi vesikopustular, ulkus, erosi dan maserasi di daerah interdigitalis dan dapat meluas sampai ke dorsum pedis dan plantar pedis.

Skala ukur adalah nominal.

4. Hasil pemeriksaan KOH dikatakan positif jika ditemukan hifa dan / atau artrokonidia.

5. Spesies dermatofita merupakan spesies jamur patogen penyebab dermatofitosis yang terdiri dari Trichophyton sp, Microsporum sp,

Epidermophyton sp yang didapat dari pemeriksaan kultur jamur.

Skala ukur adalah nominal.

6. Superinfeksi bakteri adalah keadaan berkembangnya bakteri pada lesi yang sudah ada; spesies bakteri didapat dari pemeriksaan kultur bakteri seperti bakteri S. aureus, S.epidermidis, S.viridans, S.faecalis, Acinetobacter.

Skala ukur adalah nominal.

7. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan imidazol,allilamin, benzilamin, polien, siklopiroksolamin, tolnaftat, undecylenic acid, dan lain lain.

8. Anti jamur oral merupakan obat-obat anti jamur yang diberikan secara

oral ; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol, imidazol, griseofulvin, polien, dan siklopiroksolamin,dan lain-lain.

9. Antibiotika topikal merupakan obat-obat antibakteri yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat antibakteri topikal tersebut seperti asam fusidat, mupirocin, basitracin, gentamisin, neomisin, polymyxin B, kloramfenikol, sulfonamid, tetrasiklin,dan lain- lain.

10. Antibiotika sistemik merupakan obat-obat anti bakteri yang diberikan secara oral ; obat-obat antibakteri oral tersebut seperti golongan ß

Laktam, makrolida, quinolon, tetrasiklin, kotrimoksazol, kloramfenikol, klindamisin,dan lain-lain.

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.9.1 Alat dan bahan

1. Alat yang digunakan adalah gelas objek steril, skalpel dengan blade no 15 steril, wadah spesimen (amplop) bersih, transport medium swabs , alkohol swab 70%, piring petri steril, inkubator, lampu spiritus, lidi kapas steril, pipet tetes, pinset anatomis, dan gelas penutup (cover slip), mikroskop cahaya.

2. Bahan yang digunakan adalah larutan KOH 10%, larutan Lacto phenol cotton blue (LPCB), media Sabaroud’s dextrose agar, sikloheksamid (0,5 g/l), kloramfenikol (0,05 g/l), agar darah (Blood agar), Mac Conkey agar, mannitol salt agar (MSA), reaksi biokimia: karbohidrat, indol, methyl red, vogesproskauter,Simon citrat, triple sugar iron, urease,semi solid.

3.9.2 Cara kerja

1. Pencatatan data dasar

Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di SMF IKKK RSUP H.

Adam Malik Medan meliputi identitas pasien seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, alamat dan nomor telepon.

2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis

3. Penentuan diagnosis klinis dilakukan oleh peneliti bersama dengan pembimbing.

4. Pengambilan spesimen:

a. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan KOH dan kultur jamur dipilih daerah dengan pinggir yang aktif dan atap vesikel, dilakukan dengan cara:

1) Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol 70% dan ditunggu kering.

2) Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel steril pada daerah dengan pinggir yang aktif.

3) Untuk lesi berupa vesikel, bula atau pustula, dilakukan dengan atap vesikel, bula atau pustula dibuka dengan menggunakan skalpel steril dan bagian bawah dari atap dikerok.

4) Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi label identitas pasien.

b. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara:

1) Dilakukan usapan pada daerah yang terdapat maserasi, eritema,

erosi, atau pus dengan kapas lidi steril.

2) Spesimen dimasukkan ke dalam transport medium swabs dan diberi label identitas pasien.

5. Spesimen kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi, FK USU untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, kultur jamur, dan kultur bakteri.

6. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH:

a. Spesimen diambil secukupnya kemudian diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan KOH 10% untuk kerokan kulit dan ditutup dengan gelas penutup.

b. Sediaan dilayangkan di atas api kecil dan dibiarkan selama 15 menit.

c.Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40 untuk melihat ada tidaknya hifa dan artrokonidia.

7. Bila hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dijumpai hifa dan / atau artrokonidia, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur jamur dan kultur bakteri.

8. Pemeriksaan kultur jamur

Spesimen dihapuskan pada permukaan media SDA yang ditambahkan sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l), kemudian diinkubasi pada temperatur ruangan (26 oC). Pengamatan dilakukan hingga terdapat pertumbuhan jamur (maksimal ditunggu sampai minggu ke empat), kemudian diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis.

Identifikasi makroskopis dilakukan dengan mengamati morfologi koloni jamur yang tumbuh yaitu warna permukaan koloni dan warna dasar

koloni, tekstur permukaan koloni (bertepung, granular, berbulu, seperti kapas, kasar), bentuk koloni (meninggi, berlipat), pinggir koloni. Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan larutan LPCB yaitu dengan cara sehelai selotip ditekankan ke permukaan koloni jamur dan ditarik ke atas, hifa dari koloni akan melekat kuat pada selotip kemudian selotip dilekatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi satu tetes LPCB dan dilihat dengan mikroskop cahaya pembesaran 10x40, diamati hifa dan konidia (makrokonidia dan mikrokonidia).

9. Pemeriksaan kultur bakteri

Spesimen dikeluarkan dari transport medium swabs, selanjutnya dioleskan pada media agar darah dan media Mac Conkey agar dekat dengan api spiritus. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila dengan pemeriksaan Gram, koloni kelihatan seperti rantai menandakan suatu kokus Gram positif (streptokokus), pemeriksaan cukup dengan agar darah saja. Bila diduga kokus Gram positif lainnya (stafilokokus) pada pemeriksaan koloninya seperti buah anggur, selanjutnya bahan ditanam pada media MSA selama 24 jam pada suhu 370C (warna koloni S. aureus kuning emas, S.epidermidis putih), sedangkan bila diduga suatu batang Gram negatif (enterobactericaeae) diidentifikasi dengan reaksi biokimia.

10. Interpretasi hasil dilakukan oleh peneliti bersama dengan konsultan mikrobiologi.

11. Penelitian ini disupervisi oleh pembimbing.

3.10 Kerangka Operasional

Gambar 3.1 Kerangka operasional

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologi Pemeriksaan KOH

Kultur bakteri dan pewarnaan Gram

Dianalisis secara deskriptif Kultur jamur

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Identifikasi dermatofita Identifikasi bakteri Pasien yang datang berkunjung ke Divisi Mikologi SMF IKKK

RSUP H.Adam Malik Medan

Sampel penelitian

Pasien dengan tinea pedis disertai superinfeksi bakteri

3.11 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif.

3.12 Ethical Clearance

Penelitian ini sudah memperoleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan nomor: 17/KOMET/FK USU/2016.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak Januari hingga November 2016 di SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan yang melibatkan subjek penelitian sebanyak 45 orang. Seluruh subjek penelitian menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan kerokan kulit dan apusan kulit kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan KOH, kultur jamur dan kultur bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan, dan pekerjaan.

4.1.1 Jenis kelamin

Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin N %

Perempuan Laki-laki

23 22

51,1 48,9

Total 45 100,0

Berdasarkan tabel 4.1, dari total 45 subjek penelitian dijumpai sebanyak 23 orang (51,1%) berjenis kelamin perempuan dan 22 orang (48,9%) berjenis kelamin laki-laki.

Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan hampir sama dengan jumlah subjek laki-laki. Penelitian sebelumnya oleh Mainiadi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2003 mendapatkan proporsi laki-laki dan perempuan pada pasien dermatofitosis dengan infeksi sekunder adalah tidak jauh berbeda.16 Penelitian retrospektif oleh Harahap di Poliklinik IKKK RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009 – 2012 mendapatkan perempuan lebih banyak menderita tinea pedis yaitu sebesar 4,8% daripada laki-laki yaitu sebesar 3,1% dari seluruh infeksi jamur superfisial.8 Sedangkan penelitian oleh Kurniawati pada pemulung di Semarang tahun 2006 menjumpai laki-laki lebih banyak menderita tinea pedis yaitu 55,4% daripada perempuan, yaitu 44,6%.46

Penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia, dari 169 orang dengan klinis dan kultur positif tinea pedis, dijumpai laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding perempuan dimana laki-laki sebanyak 122 orang (72,3%) dan perempuan 47 orang (27,7%).47

Penelitian retrospektif oleh Tan di The National Skin Centre Singapura pada tahun 2005 mendapatkan laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan menderita tinea pedis.6 Penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand pada tahun 2004, mendapatkan rasio laki-laki dengan perempuan menderita tinea pedis adalah 3:1.48 Penelitian oleh Wahab et al di Bangladesh juga mendapatkan laki-laki lebih banyak menderita tinea pedis daripada perempuan.49

Pada banyak penelitian di seluruh dunia, tinea pedis paling sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan pada laki-laki aktivitas dan keterpaparan yang lebih besar terhadap trauma dan kondisi yang lembab dan panas.9

4.1.2 Kelompok usia

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia

Usia N % tahun dan usia paling rendah adalah 18 tahun sedangkan usia paling tinggi adalah 68 tahun.

Mainiadi dalam penelitiannya di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan usia 21-30 tahun (35%) yang terbanyak menderita dermatofitosis dengan infeksi sekunder.16 Penelitian retrospektif di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan usia dewasa (18-45 tahun) yang terbanyak menderita tinea pedis diikuti dengan usia lansia (> 45 tahun) yaitu 3,7% dan 3,5% dari seluruh dermatomikosis.8

Ungpakorn et al di Thailand mendapatkan pasien tinea pedis terbanyak pada usia 21-40 tahun.48 Wahab et al di Bangladesh mendapatkan dari 200 pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai tinea pedis didapatkan paling banyak berusia 30-40 tahun sebanyak 60 orang (30%) dan usia 30-40-50 tahun sebanyak 62 orang (31%).49 Tan di The National Skin Centre Singapura menjumpai tinea pedis paling banyak pada usia dewasa dekade 3 sampai 5.5 Penelitian oleh Elmegeed et al di

Kairo mendapatkan tinea pedis paling sering pada usia 31-50 tahun.50 Penelitian di Tunisia mendapatkan prevalensi paling tinggi mikosis pada kaki adalah pada usia 50-59 tahun, yaitu 76 %.51 Penelitian oleh Aste et al di Italia mendapatkan prevalensi tinea pedis paling tinggi pada usia 31-45 tahun yaitu 30,8% diikuti usia 16-30 tahun yaitu 24,9%.47

Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa prevalensi tinea pedis paling banyak pada usia dewasa dan meningkat dengan bertambahnya usia.9 Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa kelompok umur ini terutama aktif dalam bekerja sehingga lebih mudah terpapar dengan penyebab penyakit.47

4.1.3 Tingkat pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan N Persentase (%) subjek dengan tinea pedis paling banyak dijumpai adalah tamat SD sebanyak 17 orang (37,8%) dan berikutnya adalah tamat SMP dan tamat SMA masing-masing sebanyak 13 orang (28,9%).

Kurniawati yang meneliti tinea pedis pada populasi pemulung menjumpai pendidikan terbanyak adalah tamat SD diikuti dengan tamat SMP.46 Szepietowski et al yang meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi ko-eksistensi onikomikosis dan tinea pedis menyatakan tingkat pendidikan yang rendah secara signifikan

mempengaruhi terjadinya tinea pedis dan onikomikosis dimana dijumpai persentase yang lebih tinggi pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (tingkat SD 42,9%, SMA 33,4%, perguruan tinggi 30,9%).52 Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia mendapatkan pendidikan terbanyak adalah tingkat lanjut/ sekunder47 dan penelitian oleh Viegas et al di Portugis mendapatkan tingkat pendidikan tinggi yang lebih banyak dijumpai pada pasien tinea pedis.53

4.1.4 Pekerjaan

Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan n % banyak adalah pembantu rumah tangga sebanyak 10 orang (22,2%), diikuti dengan ibu rumah tangga dan wiraswasta masing-masing sebanyak 7 orang (15,6 %).

Mainiadi dalam penelitiannnya menjumpai ibu rumah tangga yang paling banyak menderita dermatofitosis dengan infeksi sekunder yaitu sebesar 40%.16 Tarigan dalam penelitiannya di asrama pendidikan militer di Sumatera Utara pada tahun 2009 mendapatkan proporsi tinea pedis adalah 80,2% di antara siswa militer menunjukkan calon tentara mempunyai faktor risiko untuk terjadinya tinea pedis.7 Penelitian oleh Jamaliyah mendapatkan proporsi tinea pedis sebesar 27,8% pada pekerja pabrik tahu di Medan.54

Sahin et al meneliti tentang dermatofitosis pada petani di Turki menemukan porporsi tinea pedis yang tinggi yaitu pada 21 orang petani dari 467 orang penduduk(17,7%).55 Penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan prevalensi tinea pedis tertinggi pada pekerja manual sebesar 70,8% dan pensiunan sebesar 71,4%.51 Dari penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia diketahui pekerjaan pasien yaitu pekerja industri kimia, pekerja di pertanian, pekerja kantor, ibu rumah tangga, dan pelajar.47

Subjek penelitian ini paling banyak adalah pembantu rumah tangga, yang dalam pekerjaannya sehari-hari selalu terpapar dengan air dalam waktu lama sehingga berisiko untuk terinfeksi jamur karena keadaan lembab atau basah akan memudahkan masuknya jamur.2,5 Demikian juga kelompok pekerja lainnya dalam penelitian ini berisiko untuk terjadinya tinea pedis karena kemungkinan keterpaparan kelompok ini dengan keringat, sepatu tertutup, keadaan lembab dan trauma.5

4.2 Hasil pemeriksaan KOH

Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH

KOH N Persentase (%)

Dari penelitian oleh Mainiadi diketahui hasil pemeriksaan KOH dari 40 kasus dermatofitosis disertai infeksi sekunder dijumpai struktur jamur yang paling sering adalah hifa sebesar 62,5%, berikutnya hifa disertai spora sebesar 37,5%.16 Demikian juga penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan dari 63 subjek dengan KOH positif dijumpai filamen pada 46 kasus (73 %), spora pada 6 kasus (9,5%) dan keduanya pada 11 kasus (17,5%).51

Struktur hifa jamur dermatofita yang dijumpai pada pemeriksaan langsung dengan KOH berbentuk filamen yang panjang, bercabang dan bersepta dengan diameter 3-8μ. Filamen tersebut memiliki indeks bias yang berbeda dengan sekitarnya. Artrokonidia yang dijumpai berupa deretan spora di ujung hifa (chains of rectangular spores).1

Hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH dilaporkan sebesar 5-15% dimana pemeriksaan ini sangat tergantung pada keahlian pengamat dan kualitas sampling, namun demikian pemeriksaan ini dapat menjadi alat skrining yang sangat efisien.23

4.3. Gambaran Klinis Tinea Pedis

Tabel 4.6 Distribusi tinea pedis berdasarkan gambaran klinis

Tipe Tinea pedis n Persentase (%)

Tabel 4.6 menunjukkan tipe klinis tinea pedis yang terbanyak dijumpai adalah tipe interdigitalis yaitu pada 40 kasus (88,9 %), diikuti dengan tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa pada 2 kasus (4,4%), tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa pada dua kasus (4,4%) dan tipe vesikobulosa dijumpai pada satu kasus (2,2%).

Tarigan menjumpai tinea pedis tipe interdigitalis yang paling banyak pada siswa militer yaitu pada 60 orang dari 77 orang (78,3%) yang hasil kulturnya positif.7

Tan di Singapura melaporkan tinea pedis tipe kering interdigitalis dan mokasin yang paling sering dijumpai diikuti dengan tipe vesikular.5 Sedangkan Ungpakorn di Thailand menjumpai tinea pedis pada telapak kaki 5,5 kali lebih sering daripada sela jari kaki dari pasien rawat jalan yang berkunjung ke Institusi

Tan di Singapura melaporkan tinea pedis tipe kering interdigitalis dan mokasin yang paling sering dijumpai diikuti dengan tipe vesikular.5 Sedangkan Ungpakorn di Thailand menjumpai tinea pedis pada telapak kaki 5,5 kali lebih sering daripada sela jari kaki dari pasien rawat jalan yang berkunjung ke Institusi

Dokumen terkait