• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DERMATOFITA DAN SUPERINFEKSI BAKTERI PADA TINEA PEDIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI DERMATOFITA DAN SUPERINFEKSI BAKTERI PADA TINEA PEDIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DERMATOFITA DAN

SUPERINFEKSI BAKTERI PADA TINEA PEDIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

E. HERIAWATI SITEPU NIM 097105003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

IDENTIFIKASI DERMATOFITA DAN

SUPERINFEKSI BAKTERI PADA TINEA PEDIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

E. HERIAWATI SITEPU NIM 097105003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : E.Heriawati Sitepu NIM : 097105003

Tanda tangan :

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Identifikasi Dermatofita dan Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis di RSUP H.Adam Malik Medan Nama : E. Heriawati Sitepu

Nomor Induk : 097105003

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Bidang : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

(dr. Kamaliah Muis, Sp.KK) (Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK) NIP : 196507252005011001

Dekan Program Magister Kedokteran Klinik Ketua Program Studi

(Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)) Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), SpM(K) NIP. 196605241992031002 197604172005012001

Tanggal Lulus : 27 April 2017

(5)

IDENTIFIKASI DERMATOFITA DAN SUPERINFEKSI BAKTERI PADA TINEA PEDIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

E. Heriawati Sitepu, Kamaliah Muis,Imam Budi Putra

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan-Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki. Gambaran klinis tinea pedis terdiri dari empat bentuk yaitu tipe interdigitalis, hiperkeratotik kronik, vesikobulosa, ulseratif akut atau kombinasi. Tinea pedis terutama tipe interdigitalis sering melibatkan superinfeksi bakteri, awalnya bakteri Gram positif tetapi bakteri Gram negatif dapat juga terlibat. Pada keadaan infeksi yang berat, jamur semakin sulit ditemukan, sebaliknya bakteri semakin mudah ditemukan, sehingga diperlukan pemeriksaan kultur jamur dan juga kultur bakteri disertai tes sensitivitas antibiotika.

Tujuan: Untuk mengetahui gambaran spesies dermatofita dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis di RSUP H. Adam Malik Medan

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Subjek penelitian ini mengikutsertakan sebanyak 45 subjek dengan tinea pedis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis dan pengambilan spesimen kerokan kulit dan apusan pada daerah kaki. Pada spesimen dilakukan pemeriksaan mikroskopik langsung dengan menggunakan KOH dari kerokan kulit. Bila hasil KOH positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur jamur dan dan kultur bakteri.

Hasil: Jumlah subjek yang menderita tinea pedis tidak jauh berbeda antara laki- laki (48,9%) dan perempuan (51,1%), Subjek dengan tinea pedis terbanyak adalah pada kelompok usia 37-46 tahun (28,9 %), pendidikan tamat SD (37,8%), dan pekerjaan pembantu rumah tangga (22,2%).Gambaran klinis tinea pedis terbanyak adalah tipe interdigitalis sebanyak 40 kasus (88,9 %). Dermatofita terbanyak ditemukan adalah T. mentagrophytes sebesar 44,4%, diikuti T. rubrum, E.

floccosum dan T. violaceum. Superinfeksi bakteri yang terbanyak ditemukan adalah S.aureus sebesar 30,8%, selain itu juga ditemukan B.subtilis, S.epidermidis, K.oxytoca, K.pneumoniae, E.coli, P. vulgaris.

Kesimpulan: Dermatofita terbanyak didapat adalah T.mentagrophytes diikuti T.rubrum dan superinfeksi bakteri terbanyak terlibat adalah S.aureus.

Kata kunci : tinea pedis, dermatofita, superinfeksi bakteri

(6)

IDENTIFICATION OF DERMATOPHYTES AND BACTERIAL SUPERINFECTION IN TINEA PEDIS AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

E. Heriawati Sitepu,Imam Budi Putra, Kamaliah Muis Department of Dermatovenereology Faculty of Medicine,

University Sumatera Utara, H.Adam Malik General Hospital Medan-Indonesia

ABSTRACT

Background: Tinea pedis is a dermatophyte infection of the feet, especially the toes and soles of the feet. The clinical features of tinea pedis consists of four forms. They are interdigitalis, chronic hyperkeratotic, vesicobullous, acute ulcerative or combination. Tinea pedis mainly interdigitalis form often involved bacterial superinfection, initially Gram-positive bacteria, but Gram-negative bacteria may also be involved. In a state of severe infection, the fungus is getting hard to find, otherwise the bacteria were easier to find, so it is necessary to do fungal and bacterial culture with antibiotic sensitivity tests.

Objective: To determine dermatophyte species and bacterial superinfection in tinea pedis at H.Adam Malik General Hospital Medan.

Methods: This study is a descriptive observational with cross sectional design.

The results of the study are presented in the form of frequency distribution table.

These research involved 45 subjects with tinea pedis who met the inclusion and exclusion criteria. We conducted anamnesis, dermatologic examination and collection of samples that were skin scrapings and smears on the lesion. The samples then examined on microscopic directly by using KOH. When KOH result was positive, it followed by fungal and bacterial culture.

Results: The number of subjects who suffer from tinea pedis is not much different between men (48.9%) and women (51.1%).The highest prevalence was in age group 37-46 years (28,9%), mostly graduated from elementary school (40%) and mostly housekeepers (22.5%), with the most prevalence type was interdigitale by 40 cases (88.9%). Dermatophytes T. mentagrophytes were most found by 44.4%, followed by T. rubrum, E. floccosum and T. violaceum. Bacterial superinfection were mostly involved S.aureus by 30,8%, but B. subtilis, S.epidermidis, K.oxytoca, K.pneumoniae, E. coli, P. vulgaris were also found.

Conclusion: Dermatophytes T. mentagrophytes were most found followed by T.

rubrum. Bacterial superinfection S.aureus were mostly involved.

Keywords: tinea pedis, dermatophytes, bacterial superinfection

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat, dan kemuliaan penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa Yang Maha Pengasih, karena hanya atas rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam menjalani pendidikan magister ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga terlaksananya seluruh rangkaian pendidikan ini. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Yang Terhormat :

1. dr. Kamaliah Muis, Sp.KK, selaku pembimbing utama tesis ini yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

2. Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK, selaku pembimbing kedua tesis ini dan sebagai Plh Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang juga telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

3. Dr. dr. Nelva K. Jusuf, Sp.KK(K), FINSDV, sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), SpM(K), sebagai Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

6. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan dr. Richard Hutapea, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, sebagai anggota tim penguji yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

8. Para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK(K), Alm.

Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK(K), Alm Prof. dr. Mansur A. Nasution,

(8)

SpKK(K), FINSDV, Prof. dr. Diana Nasution, Sp.KK(K), FINSDV serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

9. Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan ini.

10. dr. Sofyan Lubis,,D.M.M., dr Dian Dwi Wahyuni, Sp.MK, ibu Hj Rafida S.Si.

dan seluruh Staf Departemen Mikrobiologi FK USU yang telah membimbing dan membantu saya selama melaksanakan penelitian ini.

11. Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A., selaku staf pengajar Ilmu Kedokteran Komunitas USU yang telah membantu saya dalam metodologi penelitian ini.

12. Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, atas bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik selama ini.

13. Seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian saya ini, serta seluruh pasien yang telah membantu saya memperoleh ilmu dan kesempatan belajar di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin sejak awal hingga akhir pendidikan.

14. Kedua orangtuaku tercinta, ayahanda Alm Piher Sitepu, S.E. dan ibunda Lusiana Bangun, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya, dan selalu senantiasa mendoakan, membantu dan menyemangati saya di dalam menjalani pendidikan ini. Kiranya hanya Tuhan Yang Mahakuasa yang dapat membalas segalanya dan semoga ayahanda alm tercinta mendapat tempat di sisi Allah Bapa Yang Maha Pengasih .

15. Suamiku tercinta, Ir. Rudi Warsa Tarigan, terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan di setiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

16. Anak-anakku tersayang, Cynthia Veronika Tarigan, Kevin Randal Tarigan, Kevan Liasta Tarigan dan Christian Marcelino Tarigan atas segala pengertian dan menjadi pendorong semangat untuk menyelesaikan pendidikan ini.

17. Adik-adik saya tercinta dan seluruh keluarga, terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya selama ini.

18. Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan dan kerjasama kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

(9)

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Medan, 27 April 2017 Penulis

dr. E.Heriawati Sitepu

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

DAFTAR SINGKATAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.3.1 Tujuan umum 3

1.3.2 Tujuan khusus 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.4.1 Bidang akademik 3

1.4.2 Bidang pelayanan masyarakat 3

1.4.3 Bidang pengembangan penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Tinea Pedis 4 2.1.1 Epidemiologi 4

2.1.2 Etiologi 5 2.1.3 Patogenesis 6 2.1.4 Faktor predisposisi 9

2.1.5 Gambaran klinis 9 2.1.6 Diagnosis banding 11

2.1.7 Diagnosis 12

2.2 Tinea Pedis disertai Infeksi Bakteri 12

2.2.1 Mikrobiota normal kulit 12

2.2.2 Bakteri Gram positif 14

2.2.3 Bakteri Gram negatif 15 2.2.4 Patogenesis infeksi bakteri 15

2.2.5 Infeksi bakteri sekunder pada tinea pedis 16 2.3 Pemeriksaan Penunjang 17

2.3.1 Mikroskopis langsung 18

2.3.2 Kultur jamur 18

2.3.3 Histopatologi 22 2.3.4 Pemeriksaan PCR 22 2.3.3 Bakteriologik 22 2.4 Pengobatan 24

2.5 KerangkaTeori 26

(11)

2.6 Kerangka Konsep 27

BAB III METODE PENELITIAN 28

3.1 Desain Penelitian 28

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 28

3.2.1 Waktu penelitian 28

3.2.2 Tempat penelitian 28

3.3 Populasi dan Sampel 28

3.3.1 Populasi 28

3.3.2 Sampel 29

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 29

3.6.1 Kriteria inklusi 29

3.6.2 Kriteria eksklusi 29

3.5 Besar Sampel 29

3.6 Cara Pengambilan Sampel Penelitian 30

3.7 Identifikasi Variabel 30

3.8 Definisi Operasional 30

3.9 Alat,Bahan dan Cara Kerja 32

3.9.1 Alat dan bahan 32

3.9.2 Cara kerja 32

3.10 Kerangka Operasional 36

3.11 Pengolahan dan Analisis Data 37

3.12 Ethical Clearance 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 38

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian 38

4.1.1 Jenis kelamin 38

4.1.2 Kelompok usia 40

4.1.3 Pendidikan 41

4.1.4 Pekerjaan 42

4.2 Hasil pemeriksaan KOH 44

4.3 Gambaran Klinis Tinea Pedis 45

4.4 Identifikasi Spesies Dermatofita pada Tinea Pedis 47 4.5 Identifikasi Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis 50 4.6 Identifikasi Spesies Dermatofita Berdasarkan

Tipe Klinis Tinea Pedis 52 4.7 Identifikasi Spesies Bakteri Berdasarkan

Tipe Klinis Tinea Pedis 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 57

5.1 Kesimpulan 57

5.2 Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 64

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 38

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia... 40

Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pendidikan ... 41

Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan ... 42

Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH ... 44

Tabel 4.6 Distribusi tinea pedis berdasarkan gambaran klinis ... 45

Tabel 4.7 Distribusi spesies dermatofita dan nondermatofita dari kultur jamur ... 47

Tabel 4.8 Distribusi spesies bakteri dari hasil kultur ... 50

Tabel 4.9 Distribusi spesies dermatofita berdasarkan tipe klinis tinea pedis ... 52

Tabel 4.10 Distribusi spesies bakteri berdasarkan tipe klinis tinea pedis ... 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1 Karakteristik dermatofita pada media kultur 20

2.2 Kerangka teori 26

2.3 Kerangka konsep 27

3.1 Kerangka operasional 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Naskah penjelasan pada subjek penelitian ... 64

Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian ... 66

Lampiran 3 : Status penelitian ... 67

Lampiran 4 : Health research ethical committee ... 70

Lampiran 5 : Hasil SPSS ... 71

Lampiran 6 : Data penelitian ... 76

Lampiran 7 : Foto gambaran klinis tinea pedis ... 78

Lampiran 8 : Foto hasil kultur jamur ... 80

Lampiran 9 : Daftar riwayat hidup ... 82

(15)

DAFTAR SINGKATAN B.epidermidis = Brevibacterium epidermidis B. subtilis = Bacillus subtilis

C.minutissimum = Corynebacterium minutissimum

CO2 = Karbondioksida

E.coli = Escherichia coli

E.floccosum = Epidermophyton floccosum

FK USU = Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara IKKK = Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

IL = Interleukin

INF = Interferon

KOH = Kalium Hidroksida

K.oxytoca = Klebsiella oxytoca K.pneumoniae = Klebsiella pneumonia

LPCB = Lacto phenol cotton blue

M.luteus = Micrococcus luteus

MSA = Mannitol salt agar

M.sedentarius = Micrococcus sedentarius

NK = Natural Killer

PAMPS = Pathogen associated molecular pattern P. aeruginosa = Pseudomonas aeruginosa

P.mirabilis = Proteus mirabilis P.vulgaris = Proteus vulgaris

PCR = Polymerase Chain Reaction

pH = Power of Hidrogen

RSUP H. Adam Malik = Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik S.aureus = Staphylococcus aureus

S. epidermidis = Staphylococcus epidermidis

SDA = Sabouraud’s dextrose agar

SMF = Satuan Medis Fungsional

sp = species

S.pyogenes = Streptococcus pyogenes

staph = Staphylococcus

TAPB = Tidak ada pertumbuhan bakteri

TEWL = Trans epidermal water lose

T.interdigitale = Trichophyton interdigitale

TLR = Toll like receptor

T.mentagrophytes = Trichophyton mentagrophytes

TNF = Tumor necrosis factor

T.rubrum = Trichophyton rubrum T. violaceum = Trichophyton violaceum

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis dan berskuama hingga penyakit yang akut, eksfoliatif, pustula dan bulosa.1 Penyakit ini diperkirakan mengenai 10% populasi dunia.2,3 Prevalensinya di beberapa negara Asia cukup tinggi, antara 16,38% sampai 27,2%.4-6 Di Indonesia sendiri, berapa tepatnya prevalensi tinea pedis tidak diketahui. Penelitian pada siswa pendidikan militer di Sumatera Utara pada tahun 2009 mendapatkan proporsi tinea pedis sebesar 55%.7 Data dari rekam medis RSUP H.Adam Malik Medan antara tahun 2009 – 2012 menunjukkan proporsi pasien tinea pedis dari seluruh kunjungan ke SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) adalah 7,9%.8

Penyebab tinea pedis adalah dermatofita. Dermatofita yang paling sering dijumpai pada lesi tinea pedis adalah Trichophyton rubrum (T.rubrum), Trichophyton mentagrophytes var interdigitale (T.mentagrophytes var interdigitale) dan Epidermophyton floccosum (E.floccosum).2,3,9,10

Mikroflora normal pada sela jari kaki antara lain Micrococcae (staph), coryneform aerobik dan beberapa bakteri Gram negatif. Daerah ini dapat dikolonisasi oleh dermatofita dan kandida. Ketika sawar stratum korneum dirusak oleh dermatofita, bakteri pun mampu berproliferasi.11-13 Mula-mula koloni difteroid berproliferasi namun dengan meningkatnya keparahan menyebabkan bakteri Gram negatif menjadi dominan. Perubahan ini bermanifestasi dengan

(17)

berkembangnya infeksi jamur superfisial yang tidak terkomplikasi menjadi lebih agresif dengan erosi dan maserasi pada daerah sela jari kaki.12,13 Beberapa penelitian mengenai superinfeksi bakteri pada infeksi jamur di kulit menemukan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif pada lesi.14,15 Mainiadi yang meneliti infeksi sekunder pada dermatofitosis mendapatkan Staphylococcus aureus sebagai bakteri penyebab utama infeksi sekunder di RSUP H.Adam Malik Medan.15

Gambaran klinis tinea pedis terdiri dari empat bentuk yaitu tipe interdigitalis, hiperkeratotik kronik (mokasin), vesikobulosa, ulseratif akut atau kombinasi. 2,9 Pada banyak penelitian, tinea pedis yang paling sering dijumpai adalah tipe interdigitalis.16 Tinea pedis terutama tipe interdigitalis sering melibatkan superinfeksi bakteri yang menyebabkan pengobatan menjadi sulit.17-19 Di samping itu, tinea pedis yang tidak segera mendapat pengobatan ataupun mendapat pengobatan yang tidak tepat dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.9 Pada keadaan infeksi yang berat, jamur semakin sulit ditemukan, sebaliknya bakteri semakin mudah ditemukan, sehingga diperlukan pemeriksaan kultur jamur dan juga kultur bakteri disertai tes sensitivitas antibiotika.2,12,13

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berminat untuk meneliti identifikasi spesies dermatofita penyebabnya dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran spesies dermatofita dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis di RSUP H. Adam Malik Medan ?

(18)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui gambaran spesies dermatofita dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui spesies dermatofita berdasarkan gambaran klinis tinea pedis.

2. Mengetahui superinfeksi bakteri berdasarkan gambaran klinis tinea pedis.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang akademik

Menambah wawasan tentang spesies dermatofita penyebab tinea pedis dan superinfeksi bakteri di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.2 Bidang pelayanan masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat bahwa penyebab infeksi pada kaki dapat disebabkan jamur, bakteri atau keduanya sehingga masyarakat mampu melakukan pencegahan.

1.4.3 Bidang pengembangan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar atau data

pendukung untuk penelitian selanjutnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinea Pedis

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki atau jari kaki. Sinonimnya yaitu foot ringworm atau athlete’s foot.1-3 Istilah athlete’s foot digunakan untuk semua bentuk intertrigo di sela jari kaki yang selain disebabkan dermatofita dapat pula karena sebab lain yaitu bakteri, kandida serta kapang nondermatofita.3

2.1.1 Epidemiologi

Tinea pedis dijumpai di seluruh dunia, merupakan dermatofitosis yang paling umum dan insidensinya tidak berhubungan dengan ras dan etnik tertentu.2,9 Prevalensinya tinggi, diperkirakan 10%pada populasi dunia.2,3 Tinea pedis lebih sering dijumpai di negara maju, yang dikaitkan dengan pemakaian sepatu tertutup modern.2,9 Prevalensi tinea pedis di beberapa negara Asia seperti di Filipina, Hongkong dan Singapura berturut-turut adalah 16,38%, 20,4% dan 27,2%.4-6 Pada satu penelitian didapatkan proporsi tinea pedis 55% pada siswa pendidikan militer di Sumatera Utara.7 Di RSUP H.Adam Malik Medan antara tahun 2009 – 2012 diketahui proporsi pasien tinea pedis dari seluruh kunjungan ke SMF IKKK adalah 7,9%.8

Prevalensi tinea pedis meningkat dengan bertambahnya umur dan lebih sering dijumpai pada orang dewasa umur 31-60 tahun, diikuti umur di atas 60 tahun, dan jarang dijumpai pada anak-anak.Pria lebih sering terinfeksi daripada wanita.11

(20)

Insidensi tinea pedis lebih tinggi pada orang yang menggunakan tempat mandi, shower dan kolam renang umum.2,9,15 Pekerjaan tertentu juga berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi seperti pada pekerja tambang, tentara dan atlet karena keterpaparan kelompok populasi ini terhadap keringat, trauma, sepatu tertutup dan area bersama.9,15,20-22

2.1.2 Etiologi

Dermatofita mempunyai sifat mencerna keratin dan terbagi dalam 3 genus yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Dermatofita juga dapat dibedakan berdasarkan tempat dimana jamur biasanya ditemukan yaitu yang bersifat zoofilik, geofilik dan antropofilik. Zoofilik terutama menyerang binatang dan kadang-kadang manusia, geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, sedangkan antropofilik adalah jamur yang hanya patogen pada manusia. Umumnya gejala klinik yang ditimbulkan golongan zoofilik dan golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan moderat dan lebih mudah sembuh sedangkan golongan antropofilik bersifat kronis dengan radang yang relatif ringan dan residif.1-3,23-25

Hingga kini diketahui 42 spesies dermatofita, terdiri dari 24 spesies Trichophyton, 16 spesies Microsporum dan 2 spesies Epidermophyton.26 Organisme penyebab tinea pedis yang utama adalah T.rubrum , T. interdigitale dan E. floccosum yang antropofilik,1,2,10,11,23 namun dermatofita zoofilik dan geofilik juga dapat ditemukan pada lesi di kaki meskipun kurang sering.1,3,9 Tarigan et al mendapatkan T. mentagrophytes 89,6%, T. rubrum 3,9%, E.

floccosum 6,5% pada kultur lesi tinea pedis dari siswa pendidikan militer.7

(21)

Transmisi dermatofitosis terjadi melalui kontak langsung dengan hewan dan manusia yang terinfeksi atau secara tidak langsung dengan fomite yang terkontaminasi.1-3,23,27

2.1.3. Patogenesis

Elemen terkecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filamen yang terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur dengan bakteri karena banyak mengandung substrat nitrogen yang disebut dengan chitin. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium.28

Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan).3,28

Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah yaitu perlekatan jamur ke keratinosit, penetrasi diantara sel dan perkembangan respon imun pejamu.

Langkah pertama infeksi dermatofita adalah inokulasi jamur di kulit. Jamur superfisial harus melewati beberapa rintangan agar arthrokonidia (struktur yang dihasilkan dari fragmentasi sebuah hifa menjadi sel-sel tersendiri) yang merupakan elemen infeksius, dapat melekat ke keratinosit. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlekatan jamur antara lain sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan spingosin dan asam lemak yang bersifat fungistatik.2,29

(22)

Kemudian jamur menjalani fase germinasi dan pembentukan hifa yang menyebar secara sentrifugal terutama di lapisan bawah stratum korneum. Setelah miselium melekat, spora akan bertambah banyak di kulit dan berpenetrasi ke stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan dengan proses deskuamasi. Pada saat penetrasi, jamur akan mensekresikan sejumlah enzimnya yaitu proteinase, lipase dan musinolitik yang dapat mencerna keratin, sehingga tersedia nutrisi untuk jamur. Kerusakan stratum korneum, oklusi, trauma dan maserasi juga memudahkan penetrasi. Mannan, komponen dari dinding sel jamur dapat juga menurunkan proliferasi keratinosit. Mekanisme pertahanan baru muncul apabila lapisan lebih dalam epidermis telah dicapai oleh jamur, mencakup kompetisi terhadap zat besi oleh transferin dan kemungkinan inhibisi pertumbuhan jamur oleh hormon progesteron.2,29

Keratinosit berperan langsung dalam respon terhadap infeksi dermatofita.

Keratinosit mengekspresikan toll-like receptor (TLR) terutama TLR-2 yang dapat mengenali patogen (pattern recognation receptor) dan ligand nya pada permukaan jamur (seperti pathogen-associated mollecular pattern (PAMPS)).

Interaksi keratinosit dengan dermatofita selanjutnya menghasilkan proliferasi keratinosit, terjadi gangguan pembentukan keratinosit yang normal dan perubahan cornified envelope yang menyebabkan perubahan fungsi sawar epidermal seperti meningkatkan trans epidermal water loss (TEWL). Selain itu keratinosit (dan infiltrat mononuklear) melepaskan sejumlah sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1β, IL-8 dan IL-16 sebagai reaksi jaringan terhadap inflamasi.30

(23)

Pertahanan nonspesifik juga berperan pada infeksi dermatofita. Beberapa bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa (P.aeruginosa) dapat menginhibisi pertumbuhan T. rubrum dan T. mentagrophytes, mencegah perkembangan tinea dan kemudian berperan dalam respon imun nonspesifik. Peningkatan proliferasi keratinosit juga dapat mempercepat deskuamasi elemen jamur. Selain itu transferin dapat menginhibisi pertumbuhan jamur. Sel-sel pertahanan nonspesifik diperankan oleh neutrofil dan makrofag yang dapat membunuh dermatofita, kemudian dapat menarik komplemen ke tempat infeksi.29,30

Setelah jamur masuk ke kulit, hal ini akan merangsang pembentukan sistem imun dan sel-sel inflamasi dengan sejumlah mekanisme. Ikatan antara komponen dermatofita dengan sel dendritik dapat merangsang respon imun spesifik. Respon imun ini tergantung pada spesies dermatofita dan imunitas pejamu. Spesies dermatofita zoofilik dan geofilik menimbulkan reaksi peradangan yang lebih kuat dibandingkan dengan spesies antropofilik. Sementara respon imun pada pejamu tergantung usia, jenis kelamin, status imun dan faktor genetik. Respon imun seluler dimulai dari sel dendritik epidermal mengenali antigen jamur kemudian terjadi maturasi sel dendritik, dan dihasilkan IL-12. IL-12 akan menginduksi sel T dan sel natural killer (NK) untuk memproduksi interferon (IFN)-γ. Selanjutnya IFN-γ dapat merangsang migrasi, proses fagositosis dan oxidative killing oleh sel neutrofil dan makrofag. Respon imun humoral juga dapat ditemukan pada penderita infeksi dermatofita, namun respon imun humoral ini tidak memiliki efek protektif. Bagamana peranan imunitas humoral pada infeksi dermatofita belum diketahui dengan jelas sampai sekarang karena terbentuknya antibodi tampaknya tidak melindungi terhadap infeksi dermatofita.29,30

(24)

2.1.4. Faktor predisposisi

Temperatur tinggi, pH alkali dan hiperhidrosis memudahkan infeksi dermatofita pada kaki. Faktor pejamu yang dapat meningkatkan infeksi ini termasuk kulit yang rusak, maserasi pada kulit dan imunosupresi.9

2.1.5. Gambaran klinis

Tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu:

1.Tipe interdigitalis atau intertriginosa kronik merupakan bentuk yang paling sering, terutama disebabkan oleh T.rubrum diikuti oleh T. interdigitale antropofilik. Keluhan yang umum dijumpai rasa gatal, terbakar dan bau tidak sedap. Ruamnya berupa eritema, skuama, erosi, maserasi dan fisura pada daerah interdigitalis dan subdigitalis kulit kaki, khususnya jari 4 dan 5 dan disebut dengan dermatofitosis simpleks. Permukaan dorsal kaki pada umumnya tidak terkena, tetapi daerah plantar yang berdekatan dapat terlibat. Interaksi dengan bakteri dapat terjadi pada sela jari kaki dengan gambaran klinis yang lebih berat dengan etiologi polimikroba disebut dengan dermatofitosis kompleks yang menyebabkan fisura pada sela jari kaki disertai dengan hiperkeratosis atau erosi. 2,3,9

2. Tipe hiperkeratotik kronis atau mokasin, tipikal disebabkan oleh T.rubrum, ditandai dengan eritema plantar kronis yang dapat berupa skuama ringan sampai hiperkeratosis difus. Skuama hiperkeratotik kering dapat melibatkan seluruh permukaan plantar kaki, meluas ke bagian lateral kaki, sementara permukaan dorsal biasanya bersih. Eritemanya ringan dan dapat tanpa keluhan, namun kadang-kadang dapat berkembang skuama

(25)

hiperkeratotik dengan fisura. Tipe ini dapat dijumpai pada satu atau kedua kaki. 2,3,9

3.Tipe vesikobulosa atau inflamatori biasanya disebabkan oleh T.interdigitale antropofilik, ditandai dengan vesikel yang keras dan tegang, bula dan pustula pada telapak kaki atau permukaan plantar mid anterior dengan diameter 1 - 5 mm. Isi bula biasanya jernih atau berwarna kuning tetapi dapat menjadi purulen karena superinfeksi bakteri Staphylococcus aureus (S.aureus) atau Streptococcus grup A. Bula tampak bulat, polisiklik, herpertiformis atau serpiginosa dengan dasar eritematosa dan berlokasi pada lengkungan kaki, bagian samping kaki, jari kaki dan lipatan subdigitalis. Vesikel yang baru muncul pada bagian perifer, dengan fisura sering muncul pada lipatan dan celah subdigitalis (cleft and subdigital crease). Puncak vesikel terlepas setelah beberapa hari disebabkan abrasi, tampak permukaan merah dan keluar cairan dikelilingi oleh skuama kering yang terlepas dengan cepat. Rasa gatal mungkin berat, disertai rasa terbakar, nyeri dan inflamasi membuat sulit berjalan. Selain itu lesi dapat disertai reaksi hipersensitivitas vesikular ( dermatifitid atau id). 2,3,9

4. Tipe ulseratif akut disebabkan oleh T. interdigitale antropofilik, ditandai dengan lesi vesikopustular yang menyebar dengan cepat, ulkus dan erosi dan sering disertai infeksi bakteri sekunder. Lesi ini biasanya mengalami maserasi dan mempunyai pinggir yang berskuama. Infeksi ini mulai pada daerah interdigitalis ketiga dan keempat dan meluas ke dorsum lateral dan permukaan plantar dan adakalanya meluas sampai seluruh telapak kaki mengelupas. Tipe ini umumnya diamati pada pasien imunokompromais dan

(26)

diabetes. Komplikasi yang paling sering adalah selulitis, limfangitis, demam dan malaise. 2,3,9

2.1.6 Diagnosis banding

Diagnosis banding termasuk kelainan kulit lainnya yang memproduksi skuama, vesikel atau pustul pada kaki seperti dermatitis kontak, kandidiasis, eritrasma dan psoriasis.2,12

Dermatitis kontak adalah peradangan kulit yang disebabkan oleh bahan-bahan eksternal karena paparan terhadap bahan alergen maupun iritan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dijumpai keluhan gatal atau nyeri dan riwayat kontak dengan bahan yang dicurigai dan pada pemeriksaan klinis dijumpai gambaran ruam polimorfik berupa eritema, edema, papul, vesikel, skuama dan likenifikasi tergantung dari stadium penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis.31

Kandidiasis intertriginosa adalah infeksi yang disebabkan oleh yeast dari genus Candida pada daerah intertriginosa. Erupsi pruritik muncul sebagai bercak eritematosa maserasi dan plak tipis dengan satelit vesikulopustul. Pustul kemudian membesar dan ruptur, meninggalkan dasar eritematosa dengan kolaret yang mudah dilepaskan yang berkontribusi untuk terjadinya maserasi dan fisura.

Maserasi pada daerah sela jari kaki atau tangan dengan lapisan tanduk yang tebal dan putih. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH ( kalium hidroksida) dan kultur yaitu dijumpainya yeast.32

Eritrasma adalah infeksi bakteri superfisial pada kulit yang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum (C. minutissimum) yang merupakan batang Gram

(27)

positif, ditandai dengan bercak coklat kemerahan yang berbatas jelas tetapi tidak teratur, muncul pada daerah intertriginosa atau adanya fisura dan maserasi putih pada sela jari kaki terutama antara jari keempat dan kelima. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood menunjukkan fluoresensi coral-red.33

Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit kronis yang ditandai dengan adanya gambaran berupa plak eritematosa yang berbatas tegas dan menebal dengan permukaan skuama yang berwarna putih keperakan.34

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis tinea pedis adalah berdasarkan gambaran klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH dan kultur jamur dari kerokan kulit.2,3 Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi dan yang terkini yaitu pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).9

2.2 Tinea Pedis disertai Infeksi Bakteri

2.2.1 Mikrobiota normal kulit

Mikrobiota normal adalah populasi kelompok mikroorganisme yang mendiami kulit dan selaput mukosa hewan dan manusia yang normal serta sehat. Mikrobiom manusia adalah populasi organisme yang kompleks yang termasuk di dalamnya banyak bakteri baik komensal maupun patogen.35

Mikrobiota dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu mikrobiota residen yang terdiri atas mikroorganisme yang jenisnya relatif tetap dan biasa ditemukan di daerah-daerah tertentu dan pada umur tertentu; bila terganggu

(28)

mikroorganisme itu tumbuh kembali dengan segera; berikutnya adalah mikrobiota transien yang terdiri atas mikroorganisme non patogen atau potensial patogen, berasal dari lingkungan sekitarnya, tidak menimbulkan penyakit, dan tidak menetap secara permanen pada permukaan kulit. Anggota mikrobiota transien umumnya kurang berarti apabila mikrobiota normal tetap utuh. Akan tetapi, bila mikrobiota residen terganggu, mikroorganisme transien dapat berkoloni, berproliferasi dan menimbulkan penyakit.35,36

Sebagian besar mikroorganisme yang menetap pada kulit adalah basil difteroid aerob dan anaerob (misalnya corynebacterium, propionibacterium); stafilokokus nonhemolitik aerob dan anaerob (Staphylococcus epidermidis (S.epidermidis)), kadang-kadang S. aureus dan spesies peptostreptococcus),29,37 bakteri Gram positif, aerob, pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air dan tanah;

streptokokus alfa hemolitik (Streptococcus viridans) dan enterokokus (Streptococcus faecalis); serta bakteri koliform Gram negatif dan Acinetobacter.

Jamur dan ragi sering terdapat pada lipatan kulit.38

Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh merupakan komensal. Mikrobiota residen pada daerah-daerah tertentu memegang peranan dalam mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Pada selaput mukosa dan kulit, mikrobiota residen dapat mencegah kolonisasi oleh bakteri patogen dan kemungkinan timbulnya penyakit melalui “interferensi bakteri”.35,36,38 Mekanisme interferensi bakteri ini tidak jelas, dapat berupa persaingan untuk mendapatkan reseptor atau tempat ikatan pada sel-sel inang, persaingan mendapatkan makanan, saling menghambat melalui hasil metabolik atau racun, saling menghambat dengan zat-zat antibiotika atau bakteriosin atau mekanisme lainnya. Penekanan

(29)

flora normal akan menimbulkan sebagian kekosongan lokal yang cenderung diisi oleh organisme dari lingkungan atau bagian tubuh lain. Organisme ini berlaku sebagai oportunis dan dapat menjadi patogen.35,36

Sebaliknya anggota mikrobiota normal sendiri dapat menimbulkan penyakit dalam keadaan tertentu. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit bila dalam jumlah besar masuk ke tempat asing dan bila terdapat faktor-faktor predisposisi.35 2.2.2 Bakteri Gram positif

Staphylococcus sp adalah kokus gram positif yang berkumpul dalam kluster.

Staphylococcus sp komensal dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk memproduksi koagulase, enzim terkait virulensi yang penting. Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus hominis adalah komensal koagulase negatif.39 Micrococcus sp adalah kokus Gram positif juga, dibedakan dari staphylococcus oleh ketidakmampuannya untuk memproduksi asam secara anaerob dari gliserol. Paling sedikit 8 spesies telah diisolasi dari kulit manusia, yang paling sering adalah Micrococcus luteus (M.luteus).39

Coryneform adalah basil pleomorfik Gram positif. Komensal kulit termasuk Corynebacterium sp, Propionibacterium sp, Dermabacter sp dan Brevibacterium sp. Dermabacter sp dan Brevibacterium sp menyukai kulit glabrous yang lembab seperti daerah sela jari kaki. Produksi methanethiol oleh Brevibacterium sp adalah penyebab dari bau kaki.39

(30)

2.2.3 Bakteri Gram negatif

Organisme Gram negatif normalnya tidak tinggal pada lingkungan kulit normal yang kering. Kadang-kadang daerah intertriginosa yang lembab memungkinkan tumbuhnya Acinetobacter sp.39

2.2.4 Patogenesis infeksi bakteri

Perkembangan dan evolusi infeksi bakteri melibatkan 3 faktor utama yaitu pintu masuk dan fungsi sawar kulit, pertahanan pejamu dan respon inflamasi terhadap invasi mikroba dan sifat patogenik organisme.36

Kulit normal yang intak relatif tahan terhadap infeksi dan kebanyakan infeksi kulit terjadi ketika terdapat kerusakan sawar kulit. Maserasi, pencukuran, luka kronis, ekskoriasi karena gigitan serangga yang gatal dan kerusakan sawar epidermal oleh patogen lain adalah beberapa jalan bakteri dapat menerobos sawar kulit. Contohnya trauma kulit, maserasi interdigitalis atau tinea pedis dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya selulitis pada tungkai bawah pada orang sehat tanpa inkompetensi vena atau ulkus pada kaki.36

Bakteri tidak mampu memasuki lapisan berkeratin kulit normal dan ketika diberikan ke permukaan, jumlahnya dengan cepat berkurang. Maserasi dan oklusi mengakibatkan pH, kandungan CO2, dan kandungan air epidermal yang lebih tinggi. Hal ini menghasilkan peningkatan flora bakteri secara dramatis. Beberapa bakteri seperti Gram negatif, dapat hanya dijumpai pada tempat tertentu, diduga kondisi kulit normal mencegah bakteri ini mengkolonisasi kulit. Kulit normal yang relatif kering terutama berkontribusi pada terbatasnya pertumbuhan bakteri, terutama basil Gram negatif.36

(31)

Lipid yang dijumpai pada permukaan kulit juga mempunyai efek antibakteri.

Asam lemak bebas, asam linoleik dan linolenik lebih menginhibisi S.aureus daripada stafilokokus koagulase negatif yang merupakan bagian dari flora normal kulit. Spingosin, glukosilseramid, dan cis-6-hexadeconic acid mempunyai aktivitas antimikroba melawan S.aureus. Interferensi bakteri memberikan pengaruh utama pada keseluruhan komposisi flora kulit.36

2.2.5 Infeksi bakteri sekunder pada tinea pedis

Infeksi sekunder berkembang pada daerah kulit yang sudah rusak. Meskipun kehadiran bakteri tidak menyebabkan penyakit kulit yang mendasari, proliferasi dan invasi pada daerah sekitarnya dapat memperburuk dan memperlama penyakit.

Infeksi sekunder ini dapat terjadi ketika integritas kulit terganggu atau lingkungan imun lokal berubah oleh kondisi awal kulit.36

Daerah kaki menunjukkan diversitas jamur yang banyak dan stabilitas yang lebih rendah sepanjang waktu. Ketidakstabilan komunitas mikroba menguntungkan mikroba yang berpotensi patogen untuk menimbulkan penyakit.

Daerah tumit, sela jari kaki dan kuku kaki merupakan tempat sering berulangnya penyakit jamur yang dapat rekalsitrans terhadap pengobatan.40

Pada pemakai sepatu, sela jari keempat sering mengalami hiperhidrasi dan kulit mengalami maserasi. Kondisi ini mempertahankan jumlah bakteri yang luar biasa besar terutama flora residen yang umum seperti Brevibacterium sp, tetapi organisme Gram negatif seperti Acinetobacter sp, Alkaligenes sp juga ditemukan pada tempat ini. Pada orangtua dan pada iklim tropis, koliform dan organisme lain dari flora intestinal dapat juga dijumpai.38

(32)

Leyden & Kligman menemukan baik sela jari kaki yang normal dan patologis sering dikolonisasi oleh bakteri dalam jumlah besar termasuk famili Micrococcaceae (staphylococcus dan micrococcus), bakteri difteroid aerobik (khususnya strain lipofilik), dan bakteri Gram negatif.11 Ragi dan dermatofita kadang-kadang diisolasi dari individu tanpa tanda-tanda terkini atau riwayat gejala athlete’s foot sebelumnya. Pada dermatofitosis kompleks (pada sela jari kaki yang maserasi), jamur kurang sering dijumpai tetapi S. aureus, bakteri Gram negatif, C.

minutissimum, Brevibacterium epidermidis (B.epidermidis) dan Micrococcus sedentarius (M.sedentarius) meningkat secara signifikan. Pada stratum korneum yang rusak, spesies bakteri patogen menginduksi inflamasi dan maserasi.11,13 Dermatofitosis kompleks yang berkembang menjadi bentuk yang lebih berat dengan maserasi yang putih, basah, pruritus hebat, sangat bau, kemerahan, edema, nyeri dan fisura, pada keadaan ini jumlah bakteri meningkat tiga kali lipat termasuk di dalamnya bakteri kokus Gram positif dan basil serta organisme Gram negatif terutama Proteus sp dan Pseudomonas sp.41

Penelitian lain menunjukkan tipe bakteri yang paling banyak berhubungan dengan infeksi jamur pada kulit pada keadaan lembab dan ulserasi adalah Eschericia coli (E.coli), Proteus mirabilis (P.mirabilis), Bacillus subtilis (B.subtilis) dan Klebsiella pneumoniae (K.pneumoniae).14

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tinea pedis antara lain pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH, kultur jamur, histopatologi dan PCR.9 Bila diduga disertai infeksi

(33)

bakteri sekunder dilakukan pewarnaan Gram dan kultur bakteri dan pemeriksaan lampu Wood bila dicurigai infeksi oleh C.minutissimum atau Pseudomonas sp.9

2.3.1 Mikroskopis langsung

Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH adalah alat skrining pertama untuk mengidentifikasi spora dan hifa. Untuk diagnosis mikroskopik yang akurat, tehnik sampling adalah penting. Lesi pertama dibersihkan dengan alkohol 70%, hapus dengan lembut untuk mengangkat sisa obat atau produk perawatan kulit. Kerokan kulit dibuat dengan menggunakan skalpel tumpul no.15.

Jika dijumpai lesi multipel maka daerah lesi dipilih untuk sampling yaitu daerah dengan pinggir aktif dan atap vesikel. Bahan kerokan ini kemudian ditempatkan pada slide mikroskop dan ditetesi dengan larutan KOH 10-20%. Setelah 15-30 menit, spesimen dapat diperiksa di bawah mikroskop. Terdapatnya hifa yang bersepta dan spora menyatakan diagnosis infeksi dermatofita.9,42

2.3.2 Kultur jamur

Pada lesi maserasi atau vesikobulosa erosif, koinfeksi bakteri Gram negatif membuat sulit untuk menemukan elemen jamur, karena itu hasil mikroskopik yang negatif tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi jamur sehingga biasanya kultur jamur digunakan untuk menemukan jamur penyebab.9

Jamur tumbuh dengan cepat pada media sederhana berisi glukosa dan sumber nitrogen organik. Banyak laboratorium menggunakan agar glukosa/pepton sederhana, dengan gula 4%, pepton 1% dan pH asam (Sabouraud’s dextrose agar (SDA)) atau dengan gula 2%, pepton 1% dan pH netral (modifikasi Emmon).

Antibiotik antibakteri seperti gentamisin (0,0025%) dan / atau kloramfenikol

(34)

(0,005%) ditambahkan untuk mengurangi kontaminasi dan jika infeksi dermatofita didiagnosis, penambahan sikloheksimid 0,04% akan menghambat pertumbuhan jamur kapang nondermatofita.3

Medium harus diisi lebih tebal untuk mencegah kekeringan, 30 ml / 90 ml piring petri adalah cukup. Suhu inkubasi harus 26-28°C dan kultur harus ditunggu maksimum 3-4 minggu, meskipun secara rutin digunakan waktu 2 minggu.3

Jamur dermatofita dapat diidentifikasi dari hasil kultur yang tumbuh.

Identifikasi untuk mengetahui genus atau spesies dermatofita adalah dengan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik jamur untuk melihat struktur jamur.2,3,42

Pada pemeriksaan makroskopik yang harus diamati adalah morfologi koloni jamur yang tumbuh meliputi warna, permukaan koloni dan warna dasar koloni, tekstur permukaan koloni (bertepung, granular, berbulu, seperti kapas, kasar), bentuk koloni (meninggi, berlipat/ bertumpuk), pinggir koloni dan kecepatan pertumbuhan.3

Pemeriksaan struktur mikroskopik jamur berguna untuk membedakan karakteristik masing-masing dermatofita dengan cara mengamati hifa dan konidia (makrokonidia dan mikrokonidia) atau struktur jamur lainnya.3

(35)

Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan gambaran karakteristik beberapa spesies dermatofita yang umum dijumpai berdasarkan morfologi koloni dan gambaran mikroskopisnya pada media kultur.

Gambar 2.1 Karakteristik dermatofita pada media kultur Dikutip dari kepustakaan 2

(36)

Lanjutan gambar 2.1 Dikutip dari kepustakaan 2

(37)

2.3.3 Histopatologi

Ketika pemeriksaan mikroskopik langsung dan kultur hasilnya negatif, pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mempersempit diagnosis banding, meskipun demikian histopatologi bukan prosedur standar laboratorium.3 Gambaran histopatologi infeksi dermatofita yaitu terdapatnya netrofil, orthokeratosis padat, dan “sandwich sign” (hifa antara stratum korneum bagian atas dan stratum korneum parakeratotik pada lapisan yang lebih bawah). Deteksi elemen jamur ini dilakukan dengan pewarnaan periodic acid schiff (PAS) atau methenamine silver.9

2.3.4 Pemeriksaan PCR

PCR adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro.

Beberapa tahun yang lalu metode molekular ini telah dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi dermatofita secara langsung dari kulit, rambut dan kuku.43 Metode ini berkembang dikarenakan metode konvensional dikatakan lambat dan kurang spesifik.44

2.3.5 Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik adalah bagian penting dari evaluasi awal pasien dengan lesi kulit dan termasuk di dalamnya pengambilan spesimen yang tepat, interpretasi hapusan pewarnaan Gram dan penggunaan media selektif untuk kultur.33

Kualitas spesimen adalah krusial karena kegagalan dalam pengumpulan spesimen adalah penyebab paling umum kegagalan menetapkan diagnosis

(38)

etiologik. Spesimen harus dikirim ke laboratorium segera setelah pengumpulan, karena viabilitas bakteri dapat hilang jika spesimen tertunda pemrosesannya.43 Pemeriksaan pewarnaan Gram menggunakan larutan iodine dalam potassium iodide pada sel-sel yang sebelumnya sudah diwarnai dengan pewarna akridin seperti kristal violet. Perlakuan ini menghasilkan kompleks ungu tidak larut.

Kompleks warna ungu iodine disaring oleh sel Gram negatif, sementara bakteri Gram positif menahannya.43

Media untuk kultur dapat dibedakan atas:

1. Media nutrisi

Komponen media nutrisi dibuat untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan bakteri untuk memungkinkan isolasi dan perkembangbiakan. Media disiapkan dengan enzim atau asam pencernaan dari hewan atau produk tanaman seperti otot, susu atau kacang.43,44

2. Media selektif

Media selektif digunakan ketika organisme patogen spesifik terlihat pada tempat-tempat dengan flora normal ekstensif. Pada kasus ini, bakteri lain dapat berkembang melebihi spesies etiologik yang disangkakan pada media nutrisi sederhana karena patogen tumbuh lebih lambat atau karena terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit. Media selektif biasanya berisi zat warna, zat aditif kimiawi lain atau antimikroba pada konsentrasi yang diperuntukkan untuk menghambat flora kontaminasi tetapi tidak untuk patogen tersangka.43,44

(39)

3. Media indikator

Media indikator berisi substansi untuk karakteristik biokimia atau gambaran lainnya dari patogen spesifik. Penambahan satu atau lebih karbohidrat pada media dan indikator pH sering digunakan.43,44

4.Kondisi atmosferik43 a. Aerobik

Kultur bakteri aerobik paling banyak ditempatkan pada inkubator dengan temperatur 35 - 370C.

b. Anaerobik.

Bakteri anaerobik tidak akan tumbuh dan akan mati bila terpapar oksigen atmosferik. Spesimen yang diduga berisi anaerob harus diproses di bawah kondisi untuk mengurangi paparan terhadap oksigen atmosfir.

5. Isolasi mikroorganisme dalam biakan murni

Sifat-sifat mikroorganisme diteliti dengan cara mikroorganisme tersebut dibiak terlebih dahulu dalam biakan murni yang bebas dari jenis-jenis bakteri lain.44

2.4 Pengobatan

Tinea pedis interdigitalis ringan tanpa keterlibatan bakteri diterapi secara topikal dengan alilamin, imidazol, ciclopirox, benzylamine, tolnaftat atau krim berbasis asam undesenoik. Terbinafin oral dosisnya 250 mg setiap hari selama 2 minggu. Itrakonazol diberikan 400 mg setiap hari selama 1 minggu pada orang dewasa, 200 mg setiap hari selama 2 – 4 minggu atau 100 mg setiap hari selama 4 minggu dengan efikasi yang sama pada seluruh regimen, sementara itrakonazol

(40)

pada anak-anak diberikan pada dosis 5 mg/kg/hari selama 2 minggu. Flukonazol 150 mg setiap minggu selama 3-4 minggu juga efektif. Kortikosteroid topikal atau sistemik dapat membantu untuk perbaikan simtomatis selama periode inisial pengobatan antijamur dari tinea pedis vesikobulosa. Maserasi, denudasi, pruritus, dan malodor menunjukkan terjadinya koinfeksi bakteri yang paling sering adalah oleh organisme Gram negatif termasuk Pseudomonas dan Proteus. Pasien yang diduga koinfeksi dengan Gram negatif harus diobati dengan obat antibakteri topikal atau sistemik berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.2

(41)

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Dermatofita : Trichophyton sp Microsporum sp Epidermophyton sp

Perlekatan jamur ke keratinosit

Penetrasi antar sel

Perkembangan respon imun pejamu

Gambaran klinis tinea pedis :

tipe interdigitalis, hiperkeratotik kronis vesikobulosa, ulseratif akut

Tinea pedis disertai infeksi bakteri

Pengobatan

superinfeksi bakteri Gram (+),

bakteri Gram (-)

- Antijamur : topikal, sistemik -Antibiotika: topikal, sistemik Pemeriksaan:

KOH Kultur jamur Kultur bakteri + pewarnaan Gram

Histopatologi PCR

Jamur mengeluarkan enzim proteinase, lipase, musinolitik sinar UV, suhu & kelembaban, flora

normal, spingosin, asam lemak

Kompetisi zat besi oleh transferin ,inhibisi pertumbuhan jamur oleh hormon progesteron

Peran keratinosit : - ekspresi TLR-2 - proliferasi keratinosit - sitokin inflamasi: TNFα, IL-1β, IL-8 dan IL-16

Pertahanan nonspesifik:

-bakteri P.aeruginosa menginhibisi T.

rubrum dan T. mentagrophytes, - neutrofil dan makrofag Respon imun seluler :

sel dendritik epidermal mengenali Ag jamur  maturasi sel dendritik  IL-12  sel T dan sel NK  IFN-γ  migrasi, fagositosis dan oxidative killing oleh sel neutrofil dan makrofag.

Kerusakan stratum korneum, oklusi, trauma dan maserasi

Imunosupresi

(42)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Identifikasi dermatofita

Identifikasi bakteri Tinea Pedis :

tipe interdigitalis tipe hiperkeratotik kronis

tipe vesikobulosa tipe ulseratif akut disertai superinfeksi bakteri

Pemeriksaan KOH Kultur jamur

Pemeriksaan Kulturbakteri

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai November 2016.

3.2.2 Tempat penelitian

1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan.

2. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH, kultur jamur dan kultur bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( FK USU).

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

1. Populasi target

Pasien dengan tinea pedis.

2. Populasi terjangkau

Pasien dengan tinea pedis yang datang ke Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari sampai November 2016.

(44)

3.3.2 Sampel

Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi:

1. Pasien dengan tinea pedis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH yang positif.

2. Usia di atas 17 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.4.2 Kriteria eksklusi:

Sedang mendapatkan pengobatan berupa anti jamur topikal dalam satu minggu terakhir, anti jamur oral dalam satu bulan terakhir dan antibiotika oral maupun topikal dalam satu minggu terakhir.

3.5 Besar sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut.

Rumus :

n = zα2PQ d2 dimana :

Zα : deviat baku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96 P : proporsi tinea pedis : 0,12

Q : 1 – P = 0,9 d : presisi : 0,09

(45)

Maka :

n = 1,962 x 0,1 x 0,9 0,09 x 0,09

= 43

Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 45 orang.

3.6 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.

3.7 Identifikasi Variabel

Variabel- variabel yang akan diteliti adalah spesies dermatofita, spesies bakteri dan tipe klinis tinea pedis.

3.8 Definisi Operasional

1. Umur adalah umur subjek penelitian saat pertama datang dihitung dari tanggal lahir, bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, umur dibulatkan ke atas, bila kurang dari 6 bulan, umur dibulatkan ke bawah berdasarkan rekam medik, yang dikelompokkan menjadi usia 17- 26 tahun, 27-36 tahun, 37-46 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun, 67-76

tahun. Skala ukur adalah nominal.

2. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan

diagnosisnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH dijumpai hifa dan / atau artrokonidia.

3. Berdasarkan gambaran klinis, tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu:

a. Tipe interdigitalis bila dijumpai eritema, skuama, erosi, maserasi atau

(46)

fisura pada daerah interdigitalis dan subdigitalis.

b. Tipe hiperkeratotik kronis / mokasin bila dijumpai eritema dan skuama dari ringan sampai hiperkeratosis difus di daerah plantar kaki.

c. Tipe vesikobulosa bila dijumpai vesikel yg tegang, bula atau pustula pada daerah plantar kaki.

d. Tipe ulseratif akut bila dijumpai lesi vesikopustular, ulkus, erosi dan maserasi di daerah interdigitalis dan dapat meluas sampai ke dorsum pedis dan plantar pedis.

Skala ukur adalah nominal.

4. Hasil pemeriksaan KOH dikatakan positif jika ditemukan hifa dan / atau artrokonidia.

5. Spesies dermatofita merupakan spesies jamur patogen penyebab dermatofitosis yang terdiri dari Trichophyton sp, Microsporum sp,

Epidermophyton sp yang didapat dari pemeriksaan kultur jamur.

Skala ukur adalah nominal.

6. Superinfeksi bakteri adalah keadaan berkembangnya bakteri pada lesi yang sudah ada; spesies bakteri didapat dari pemeriksaan kultur bakteri seperti bakteri S. aureus, S.epidermidis, S.viridans, S.faecalis, Acinetobacter.

Skala ukur adalah nominal.

7. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan imidazol,allilamin, benzilamin, polien, siklopiroksolamin, tolnaftat, undecylenic acid, dan lain lain.

8. Anti jamur oral merupakan obat-obat anti jamur yang diberikan secara

(47)

oral ; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol, imidazol, griseofulvin, polien, dan siklopiroksolamin,dan lain-lain.

9. Antibiotika topikal merupakan obat-obat antibakteri yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat antibakteri topikal tersebut seperti asam fusidat, mupirocin, basitracin, gentamisin, neomisin, polymyxin B, kloramfenikol, sulfonamid, tetrasiklin,dan lain- lain.

10. Antibiotika sistemik merupakan obat-obat anti bakteri yang diberikan secara oral ; obat-obat antibakteri oral tersebut seperti golongan ß

Laktam, makrolida, quinolon, tetrasiklin, kotrimoksazol, kloramfenikol, klindamisin,dan lain-lain.

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.9.1 Alat dan bahan

1. Alat yang digunakan adalah gelas objek steril, skalpel dengan blade no 15 steril, wadah spesimen (amplop) bersih, transport medium swabs , alkohol swab 70%, piring petri steril, inkubator, lampu spiritus, lidi kapas steril, pipet tetes, pinset anatomis, dan gelas penutup (cover slip), mikroskop cahaya.

2. Bahan yang digunakan adalah larutan KOH 10%, larutan Lacto phenol cotton blue (LPCB), media Sabaroud’s dextrose agar, sikloheksamid (0,5 g/l), kloramfenikol (0,05 g/l), agar darah (Blood agar), Mac Conkey agar, mannitol salt agar (MSA), reaksi biokimia: karbohidrat, indol, methyl red, vogesproskauter,Simon citrat, triple sugar iron, urease,semi solid.

(48)

3.9.2 Cara kerja

1. Pencatatan data dasar

Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di SMF IKKK RSUP H.

Adam Malik Medan meliputi identitas pasien seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, alamat dan nomor telepon.

2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis

3. Penentuan diagnosis klinis dilakukan oleh peneliti bersama dengan pembimbing.

4. Pengambilan spesimen:

a. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan KOH dan kultur jamur dipilih daerah dengan pinggir yang aktif dan atap vesikel, dilakukan dengan cara:

1) Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol 70% dan ditunggu kering.

2) Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel steril pada daerah dengan pinggir yang aktif.

3) Untuk lesi berupa vesikel, bula atau pustula, dilakukan dengan atap vesikel, bula atau pustula dibuka dengan menggunakan skalpel steril dan bagian bawah dari atap dikerok.

4) Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi label identitas pasien.

b. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara:

1) Dilakukan usapan pada daerah yang terdapat maserasi, eritema,

Gambar

Gambar 2.1 Karakteristik dermatofita pada media kultur  Dikutip dari kepustakaan 2
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.3. Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka operasional
+4

Referensi

Dokumen terkait

Nilai Income Over Feed and Chick Cost berpengaruh nyata antar perlakuan karena meskipun bobot potong yang diperoleh selama penelitian tidak berbeda nyata tetapi

Pemain boleh menggunakan semua kemahiran asas sepak takraw seperti sepak sila, sepak kuda, tandukan, rejaman dan hadangan dalam permainan ini namun hanya sepakan

Sehingga dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian untuk merancang jaringan akses fiber to the home (FTTH) melalui saluran pencatu bawah tanah (SPBT) atau yang

Jika vaksin tidak disimpan di lemari es dalam suhu (+2°C) – (+8°C) atau vaksin telah melewati tanggal kadaluarsa atau vaksin DPT memiliki VVM bukan A atau B maka kualitas rantai

Dormansi pada benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim, bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari dormansinya (Sutopo, 2012). Dormansi

Selain itu PDAM juga dapat membandingkan jumlah air yang dikeluarkan dengan air yang diterima oleh pelanggan, dengan tujuan untuk mengantisipasi tindak pencurian air

Dari ketiga item tersebut item yang memberikan kontribusi terbesar terhadap mencerminkan indikator hasil pekerjaan (Y.1.2) adalah item karyawan dapat melaksanakan

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan pematahan dormansi pada benih kopi Arabika (Coffea arabica L.) dengan lama pemanasan