• Tidak ada hasil yang ditemukan

negara juga akan melibatkan kajian mengenai akar kebijakan negara atas agama sejak jaman Kolonial hingga rejim Orde Baru dan model-model hubungan agama dan negara yang pernah ada. Penelusuran akar sejarah dan akar ideologis ini bertujuan untuk mencari keterkaitan dan menguatkan ingatan mengenai hubungan agama dan negara sebagai pijakan untuk menuju wacana hubungan agama dan negara secara lebih matang.

A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai

Pro kontra pasal 12 UU Sisdiknas mengenai hak peserta didik memperoleh pendidikan agama dari pengajar yang seagama mendapatkan respon yang luar biasa dari masyarakat yang jarang terjadi di masa sebelumnya. Berbagai kelompok masyarakat dari berbagai kalangan dan agama serta tokoh-tokoh masyarakat turut andil dalam membicarakan, mendiskusikan, mengusulkan, mengkritik, menentang atau mendukung terhadap UU Sisdiknas baik yang berkaitan secara khusus dengan pasal 12 atau secara umum dengan keseluruhan batang tubuhnya. Pada waktu menjelang pengesahan UU Sisdiknas ini pada tanggal 11 Juni 2003 reaksi masyarakat menyebar di berbagai kota di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Flores, Meumere, Papua dan lain-lain.1

Pihak-pihak yang terlibat dalam pro kontra juga sangat beragam. Kelompok-kelompok pendukung terdiri dari individu tokoh masyarakat dan agama dan organisasi-organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, sosial dan keagamaan. Beberapa yang diidentifikasi penulis misalnya sebagai berikut:

1

1. Kelompok Masyarakat Pro Kontra UU Sisdiknas2

No. Pihak Yang Mendukung UU Sisdiknas Pihak Yang Menolak UU Sisdi knas

1. Aliansi Pemuda dan Pelajar Indonesia MPPN (Masyarakat Prihatin Pendidikan Nasional) Jakarta

2. PMII Kalimantan Selatan SMU Salam Kudus, SMU Methodist, PT S. Thomas,

3. Para Ulama Pesantren Liga Nasioanl Mahasiswa Untuk Demokrasi (LMND) di Kupang NTT

4. Wapres HAmzah Haz Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) 5. ForumKomunikasi Lembaga Dakwah, DKI,

43 orang

STFK Ledalero dan LSM Meumere 6. AM Fatwa, ketua fraksi reformasi 2000 pelajar di Bajawa Flores

7. Din Syamsuddin, Sekjen MUI 5000 pelajar-mahasiswa (Katolik dan Islam) di Ende Flores

8. Ketua DPW Muhammadiah Jatim Prif Dr. Fasichhul Lisan, juga Ketua MPP HAM yang beranggotakan AL-Irsyad Jatim, HMI Jatim, ICM Jatim, Al-FAlah, Persatuan Guru Muhammadiah,

PDI

9. Amidhan (Ketua Majelis Ulama Indonesia) Forum Cipayung Yogyakarta (GMKI, GMNI, PMKRI, PMII, HMI)

Prof Dr H Abuddin Nata MA (dosen sejarah dan filsafat pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah)

Forum Lintas Agama (FLA) di Jawa Timur

Dr HA Fathoni Rodli (staf ahli bidang pendidikan Komisi VI DPR

Uskup Agung Kupang Prof Dr Soedijarto, Ketua Ikatan Sarjana

Pendidikan (SIPI)

Gerakan Peduli Pendidikan Nasional (GPPN) Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan

Melalui Ketua Umum Al Irsyad Al Islamiah Faruk Zain Bajabir, mengutip pernyataan Wapres di Jakarta

Markus Wanandi S.J., coordinator Masyarak at Prihatian Pendidikan Nasional, memimpin 200 orang ke DPR,

Aliansi Pelajar Wonogiri (APW),

(ditandatangani Ahmad Antoni, Ketua Komunitas Remaja Anti-Narkoba (Koran), Dhani Setiawan, Ketua Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (Kapmi), Adam Palupi, Ketua Himpunan Pelajar Wonogiri (HPW), Siswanto, Ketua Ikatan Pelajar Muslim Wonogiri (Ipmi), dan Muhamad Nur Wahid, Ketua Lingkar Studi Pelajar Kreatif (LSPK).

Yanti Muhtar, Forum Kumpul

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Pekalongan

Beny Susetyo, Rohaniawan, Anggota/wakil Gerakan Peduli Pendidikan Nasional Surabaya Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI): Pj Ketua Umum MPP ICMI Dr Muslimin

HAR Tilaar

2Data-data ini diolah dari beberapa harian nasional dan lokal diantaranya harian 1) Kompas baik edisi cetak maupun edisi Kompas Cyber Media, diakses melaluiwww.kompas.com, sejak Juni 2002-Juni 2003, 2) harian Suara Pembaharuan yang diakses melaluiwww.suarapembaharuan.com, terutama untuk bulan Mei-Juni 2003, 3) harian The Jakarta Post bulan Mei 2003, 4) harian Warta Kota bulan Mei-Juni 2003, 5) sebuah website yang aktif merelease perkembangan UU Sisdiknas sejak usulan hingga pengesahan yaitu www.mirifica.net.

Nasution

Kasi Madrasah dan Pendidikan Agama (Mapenda) Drs H Musthofa Achmad.

Masyarakat Prihatin Pendidikan Nasional (MPPN) di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi beranggota ribuan

Ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof Dr Fasichul Lisan

Sekolah-sekolah swasta Kristen dan Katolik yang ada di Medan di Surabaya,

Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB Dr KH Nur Iskandar Al Barsani (Gus Nur)

sekitar 300 orang dari 18 kabupaten/kota di Jawa Timur yang tergabung dalam Gerakan Peduli Pendidikan Nasional

BKS-PTIS pimpinan Drs Qomari Anwar MA Dewan Syuro DPP PKB

Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta,

Prof Dr Ki Supriyoko (Taman Siswa)

Gerakan Peduli Pendidikan Nasional Jawa Timur (beranggota lebih kurang 300 orang dari 18 kabupaten/kota di Jawa Timur)

2. Sikap terhadap UU Sisdiknas dan dasar alasannya:3

Ada beberapa ide yang menjadi tema pro dan kontra terhadap UU Sisdiknas. Diantara ide-ide tersebut terdapat tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok pro dan kontra diantara tema yang lain, namun mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya. Tiga ide ini antara lain kesesuaian UU Sisdiknas dengan UUD 1945, peran negara terhadap agama meliputi penyelenggaraan pendidikan dan jaminan agama atas kebabasan beragama.

Mendukung UU Sisdiknas Karena: Menolak UU Sisdiknas Karena:

1. Sesuai dengan UUD 1945 dan HAM - jaminan atas agama-agama

1. Tidak sesuai dengan UUD 1945 - jaminan atas kebebasan beragama 2. Peran Negara:

- mengakui hak pendidikan agama bagi pemeluknya dengan guru seagama - mengakui keragaman/pluralitas agama

2. Peran Negara:

- mengintervensi lembaga pendidikan hingga soal teknis

- diskriminiasi terhadap agama minoritas dan kepercayaan

3. Pendidikan agama sangat penting 3. Makna agama dipersempit secara formal 4. Visi tidak jelas, tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, terlalu jauh ke dalam agama

5. Mendorong Politik Aliran 6. Makna sempit dari nasionalisme 7. Proses Tidak aspiratif, tidak akomodatif 8. Bahaya Sparatisme dan disintegrasi

3Diolah dari sumber yang sama dengan sumber-sumber pembahasan kelompok masyarakat pro dan kontra UU Sisdiknas di atas.

Analisis Tekstual

Berita media meliputi pro kontra UU Sisdiknas, terutama untuk pasal 12, memberikan ruang yang sepadan. Hampir semua struktur kalimat meliputi standar pembuatan berita yakni 5W + 1H, yaitu struktur kalimat memberikan informasi mengenai apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagiamana peristiwa itu terjadi. Dari sisi uraian kalimat tidak ada tekanan yang cukup berbeda antara golongan pro dan kontra. Namun dari sisi pemilihan kata dan wacana yang diangkat sebagai argumentasi cukup menarik untuk diperhatikan sebagai di bawah ini.

Tiga buah ide yang sama-sama diangkat oleh kelompok pro dan kontra UU Sisdiknas pada hakikatnya adalah wacana-wacana format RUU, wacana pluralism, wacana nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan hubungan antar wacana di atas. Kendatipun istilah yang digunakan sama, namun antara kelompok pro dan kelompok kontra UU Sisdiknas memiliki rujukan makna yang berbeda antara satu sama lain.

Intekstualitas dan Antar Wacana

Masing-masing pihak pro dan kontra menggunakan wacana ini dengan cara yang berbeda namun untuk menuju tujuan yang sama, yaitu wacana mereka dapat diterima secara hegemonik oleh masyarakat. Runtutan peristiwa yang memanjang sampai satu semester pada awal tahun 2003 juga memberikan kontribusi pada jalinan wacana, atau anter wacana, untuk member pengaruh satu dengan yang lain. Kesamaan penggunaan kata dalam memproduksi makna yang berbeda salah satunya merupakan bentuk bahwa masing-msing pihak belajar kepada wacana pihak lain untuk membangun basis wacana selanjutnya. Fairclough menyebut hal ini sebagai proses antar wacana yang mempengaruhi terhadap praktik sosial, sementara Laclau akan menyebutnya sebagai perjuangan kewacanaan.

Pasal 13 memberikan jaminan pemenuhan hak pendidikan agama bagi peserta didik dengan pengajar yang seagama dengannya. Kelompok pendukung tampaknya

menganggap bahwa menghargai pluralitas agama dimaksudkan agama-agama yang secara ‘resmi’ diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu. Sehingga dapat dimaknai peserta didik masing-masing sudah disediakan apa yang dibutuhkannya, yaitu pendidikan agama dan guru agama. Wacana penguasa memperkuat hal ini. Hamzah Haz sebagai wakil presiden ketika itu melokalisir masalah pro kontra ke dalam masalah teknis yaitu pengadaan guru agama yang dikeluhkan sementara sekolah swasta yang memiliki ciri keagamaan berbeda dengan siswa.

Kelompok penolak UU Sisdiknas melihat bahwa pengakuan pada lima agama ‘resmi’ berarti menyingkirkan agama-agama selain lima agama resmi tersebut yang jumlahnya sangat banyak di seluruh penjuru Nusantara. Ide kelompok kontra ini sayangnya tidak disambut dengan argumentasi yang lain dari kelompok pro UU Sisdiknas. Komunikasi publik pada hakikatnya belum saling bersambung, belum komunikatif. Efek dari wacana ini pada masyarakat umum akan ditentukan oleh ingatan publik atas apa yang dimaksud dengan agama yang selama ini mereka terima dari wacana dominan. Fakta pluralitas agama dan keyakinan di nusantara masih belum mendapatkan ruang cukup luas dalam pro kontra UU Sisdiknas kendatipun sudah muncul untuk beberapa saat.

Di samping dua sikap pro kontra yang saling berhadapan, ada pihak lain yang tidak berada di dalam kedua klasifikasi sikap pro-kontra. Beberapa ide yang muncul dari golongan yang tidak menentang atau menolak UU Sisdiknas, terkait dengan beberapa hal. Hal tersebut meliputi sikap dan pandangan berikut: menuntut penangguhan, menuntut revisi rancangan, memberi komentar mengani konsep yang masih kurang baik, ketidakjelasan tidak memiliki konsep yang jelas mengenai arah pendidikan dan sebagainya.

Kelompok ini merupakan memberikan kekayaan wacana lebih lanjut untuk membangun hubungan antar wacana. Mereka sebagai produsen sekaligus konsumen dari wacana ini merepresentasikan berbagai kepentingan masyarakat terhadap UU Sisdiknas.

3. Potensi Resistensi Masyarakat dalam Partisipasi Publik dalam Wacana Hubungan Agama dan Negara

Peristiwa komunikatif melalui saluran berita mengenai UU Sisdiknas memberikan banyak wacana yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Paling tidak ada dua tatanan wacana politik dapat diidentifikasi, pertama partisipasi masyarakat dalam politik dan kedua hubungan agama dan negara.Pertama masyarakat berpartisipasi sangat kuat dalam mendorong adanya UU Sisdiknas seperti yang mereka inginkan masing-masing. Ini menandakan adanya harapan kehidupan publik yang sehat secara politik. Kehidupan publik yang sehat terutama ditandai oleh adanya kebebasan, kesetaraan dan partisipasi aktif.4

Partisipasi ini memunculkan munculnya budaya keterbukaan yang menandai alam reformasi sejak tahun 1998, salah satunya adalah bucaya sikap tegas dan resistensi terhadap wacana penguasa. Respon pemerintah terhadap mereka yang cenderung ingin menilai masyarakat terlambat dari mereka, tidak menyurutkan gerakan pro kontra di masyarakat yang semakin meluas. Justru dari respon pemerintah muncul kritik dari masyarakat mengenai ketertutupan proses uji publik RUU Sisdiknas dan kritikan menenai akses yang tidak memadai terhadap komunikasi politik antara DPR dan masyarakat. Penjelasan pemerintah bahwa usaha sosialisasi yang telah dilakukan di beberapa kota dinilai tidak memadai sehingga masyarakat melakukan kritik dan unjuk rasa mengenai pilihan politiknya. Sampai akhir tahun 2002 sosialisasi hanya dilakukan di lima kota besa meliputi Medan, Makasar, Denpasar, Surabaya dan Jakarta.5

Kedua, wacana agama dan negara menjadi pembicaraan yang mulai melibatkan masyarakat luas. Wacana ini pada jamaknya menjadi konsumsi wacana di kalangan tertentu, intelektual, negarawan, politisi. Namun dengan munculnya pro kontra UU Sisdiknas, hubungan negara dan agama dipertanyakan ulang oleh masyarakat luas. Pembicaraan ini belum mencapai kematangan ketika sampai pada UU Sisdiknas diundangkan.6

4

Bandingkan dengan refleksi atas pemikiran etika politik Hannah Arendt oleh Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003) hal. 154-215.

5Kompas, Jumat, 02 Mei 2003

6

Hubungan antar agama dan negara salah satunya dapat diperiksa dari kebijakan Negara atas agama dari waktu ke waktu. Bermula dari penafsiran Muhamad Yamin terhadap pasal 29 UUD 1945 (ayat 2) sebelum diamandemen mengenai agama menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya. Agama itu antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu Bali dan agama Budha.7 Hal ini diperkuat oleh Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.8 Pada tahun tahun 1973 Konghucu dilarang kembali berdasarkan Memo No. M/039/XI/1973 dari NBKMC-BAKIN9, namun direhabilitasi lagi pada oleh presiden Abdurrahman Wahid melalui Keppress No. 6/2000. Hal ini diperkuat lagi oleh SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974 yang mengharuskan mencantumkan agama dalam KTP, sehingga semua orang terpaksa harus menyesuikan diri dengan memeluk salah satu lima agama resmi. Namun hal ini sudah dianulir oleh Presiden Wahid.10

Wacana seperti dilihat dalam media masa tidak sampai pada pengolahan secara mendalam dan historis seperti ini. Hal ini tak lepas dari sifat media yang tidak memberikan ruang berita yang memadai terhadap suatu wacana yang butuh pendalaman. Namun demikian munculnya wacana seperti ini memberikan dorongan terhadap agen-agen wacana seperi masyarakat yang tergabung dalam aksi-aski pro dan kontra untuk mematangkan pendapat mereka di internal jaringan masing-masing. Rapat-rapat persiapan demonstrasi merupakan ajang untuk menguatkan posisi politik masing-masing pihak dan penguatan argumentasi mereka. Pertimbangan wacana dan strategi tidak dapat dilepaskan dari respon mereka atas wacana pihak lain, sehingga terciptalah jalinan wacana, pro dan kontra, yang memperkaya terhadap kemungkinan perubahan sosial yang

7Hamidi, Jazim, S.H. M.HUM dan Abadi, M. Husnu, S.H.M.HUM,Intervensi Negara terhadsap Agama Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,

(Yogyakarta: UII Press, 2001) hal. 12.

8

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama

9

Saidi, Anas (ed),Menekuk Agama, Membangun Tahta, Kenbijakan Agama Orde Baru,(Jakarta: Desantara, 2004), hal. 201.

terjadi. Masyarakat paling tidak lebih peka terhadap kebijakan-kebijakan publik secara mandiri, dan memiliki akses untuk menyuarakan pilihan mereka secara bebas.

Dokumen terkait