• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan agama dan negara : kajian wacana atas pro kontra pasal 12 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan agama dan negara : kajian wacana atas pro kontra pasal 12 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional - USD Repository"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir

Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi Budaya Minat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Pembimbing Utama: Dr. G. Budi Subanar, SJ

Pembimbing Kedua: Dr. St. Sunardi

Oleh: Wakhit Hasim NIM: 02 6322 013

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

PERSEMBAHAN

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Pada mulanya saya terlibat dengan beberapa rapat untuk merespon RUU Sisdiknas pada semester awal tahun 2003. Pada waktu itu banyak sekali pihak yang merespon RU Sisdiknas dari berbagai kalangan baik kalangan pakar pendidikan maupun masyarakat umum. Isu yang paling hangat dan mengemuka diantara isu-isu lainnya yang mengiringi pembahasan RUU Sisdiknas itu adalah isu penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri.

Ada kecemasan yang menjalar pada khalayak ramai dengan munculnya isu ini. Kecemasan itu bermula dari banyak arah dan banyak pihak. Pemerintah pengusul draft RUU Sisdiknas mencemaskan adanya generasi yang hilang. Alasannya adalah adanya perubahan pola perilaku di khalayak sejak munculnya reformasi. Kebebasan berekspresi yang dimungkinkan oleh reformasi dianggap kebablasan. Maka kata ‘reformasi kebablasan’ sering terdengar dalam percakapan umum. Jika hal ini tidak dikendalikan, pemerintah cemas jika generasi setelah reformasi akan menjadi generasi yang tidak jelas arah tujuannya, generasi yang hilang.

Berbeda dengan pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat juga memiliki kecemasan berbeda-beda. Isu penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur langsung oleh pemerintah menyadarkan banyak pihak akan kemungkinan pemerintah intervensi ke dalam lembaga-lembaga pendidikan. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan agama diatur oleh pemerintah, maka ruang privat dari agama-agama akan terancam. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan dibiarkan, maka akan banyak anak-anak yang mendapatkan pendidikan dari agama yang berbeda akan terpengaruh dengan agama tersebut, yang biasanya diselenggarakan oleh lembaga pendidikan keagamaan tertentu. Mereka mengharap pemerintah mengatur itu supaya merasa aman dari pengaruh pendidikan agama lain. Pendek kata ada yang pro dan ada yang kontra, dan masing-masing memiliki pendukung cukup banyak di berbagai daerah di Indonesia.

(8)

kawan-kawan, bahkan dengan beberapa dosen di IRB, termasuk pak Nardi, saya justru lebih tertarik dengan fenomena bagaimana masyarakat membicarakan hal ini dalam respon-respon mereka? Apakah pembicaraan mereka memberikan dampak pembahasan yang lebih mendalam terhadap isu utama pendidikan agama di Indonesia? Apakah komunikasi yang dilandasi rasa cemas dari berbagai pihak ini akan mengantarkan pada hasil wacana yang sehat? Apakah para pengambil kebijakan pada akhirnya mempertimbangkan wacana publik baik dan pro dan kontra ini secara serius?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang membawa saya belajar teori wacana yang saya merasa sulit, tapi tertarik. Tesis ini adalah latihan saya untuk belajar teori wacana, dan mencoba menerapkan sesederhana munkin dalam mengkaji fenomena pro kontra UU Sisdiknas tahun 2003.

(9)

ABSTRAK

Perumusan dan pembahasan RUU Sisdiknas sejak tahun 2001 hingga pengesahannya menjadi UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 diwarnai oleh pro dan kontra dari berbagai pihak di masyarakat. Wacana pro dan kontra muncul dari berbagai saluran baik media massa, gerakan masyarakat terutama dari rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Wacana-wacana ini berjalin berkelindan dan memberikan pengaruh satu dengan yang lain yang mendorong secara cukup kuat terhadap respon masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra terhadap UU Sisdiknas, baik melalui dialog, seminar, workshop, dan yang paling banyak dipresentasikan oleh media adalah demonstrasi di berbagai kota.

Selain wacana-wacana dari berbagai saluran dan tatanan wacana, ada beberapa peristiwa baik kewacanaan maupun non kewacanaan yang melatari dan pada kahirnya mempengaruhi terhadap munculnya gejolak pro dan kontra. Pertama, perganitan rejim totaliter oleh rejim demokrasi sejak tahun 1998, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan dengan adanya amandemen UUD 45 pertama hingga keempat, ketiga, konflik sosial politik yang terus bergejolak di berbagai daerah,keempat, lemahnya penegakan hukum dan kelima, kebijakan yang pro privatisasi.

Perubahan sosial yang diakibatkan oleh hubungan antar wacana dan pengaruh peristiwa non kewacanaan lain diperlihatkan oleh gejolan pro dan kontra UU Sisdiknas yang hingga tahun 2003 terus berproses dan berkembang. Tatatan-tatanan wacana antara lain wacana pendidikan, wacana manajemen pendidikan, wacana ekonomi (biaya) pendidikan, wacana sosial budaya kebebasan berekspresi, wacana politik demokrasi dan reformasi menjadi wacana-wacana yang muncul pada permulaan pro dan kontra. Wacana-wacana ini berjalin berkelindan dan memunculkan wacana baru mengenai wilayah privat dan publik, kewenangan negara terhadap agama dan peran agama terhadap kehidupan berbangsa. Keseluruhan wacana ini mendapatkan respon, namun yang terutama mendominasi gerakan pro dan kontra adalah isu hubungan agama dan Negara.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL --- i

HALAMAN PERSETUJUAN --- ii

HALAMAN PENGESAHAN --- iii

HALAMAN PERNYATAAN --- iv

MOTTO --- v

PERSEMBAHAN --- vi

KATA PENGANTAR --- vii

ABSTRAK --- ix

DAFTAR ISI ---xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang --- 1

B. Perumusan Masalah Penelitian --- 6

C. Tujuan Penelitian --- 7

D. Kegunaan Penelitian --- 8

E. Metodologi Penelitian --- 8

F. Kerangka Analisis --- 8

G. Kajian Pustaka --- 18

H. Sistematika Pembahasan --- 22

BAB II KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi --- 24

B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis --- 28

C. Respon Masyarakat --- 31

(12)

BAB III

PASAL 12 UU SISDIKNAS DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai --- 33

B. Model Hubungan Agama dan Negara --- 40

C. Kesimpulan --- 42

BAB IV AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK A. Kehidupan Privat --- 43

B. Kehidupan Publik --- 47

C. Agama dan Politik --- 51

D. Respon Masyarakat dan Kerentanan Agama dalam Politik --- 54

E. Kesimpulan --- 63

BAB V PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA A. Agama dan Pendidikan Moral --- 64

B. Peran Masyarakat dan Negara--- 66

C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama --- 67

D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral--- 69

E. Kesimpulan --- 71

Bab VI KESIMPULAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan --- 72

(13)

BAB I PENDAHULUAN

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pengantar

Pro dan kontra mengiringi pengesahan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (untuk selanjutnya disebut UU Sisdiknas) menjadi wacana politik hukum yang panas pada semester pertama tahun 2003 terutama menjelang disahkan yang rencananya akan dilakukan pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2003.1 Pro kontra ini terutama mengenai pasal-pasal khusus tentang masalah pendidikan agama. Pasal 12 ayat (1) bagian a. menyebutkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnyadandiajarkan oleh pendidik yang seagama”.2Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa “pendidik dan atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan”.3

Pasal 12 ayat (1) diatas berhubungan dengan pasal 30 tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa “pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dan ayat (5) yang menyebutkan bahwa“ketentuan mengenai pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.4

Pro dan Kontra ini mencuat sejak dikeluarkannya RUU versi pemerintah pada tanggal 20 dan 28 April 2003 yang dipersiapkan sebagai tanggapan atas RUU Sisdiknas yang telah diusulkan oleh DPR setahun sebelumnya, yakni tanggal 27 Mei 2002. Pemerintah dalam mengeluarkan RUU ini tidak menyandingkannya dengan usulan

1

Kompas, 2 Mei 2003

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, Pustaka Widyatama, tt., tt., hal. 12

3Ibid., hal.55 4

(14)

aslinya dari DPR dan mempublikasikannya secara terpisah. Oleh karena itu masyarakat tergerak hati dengan reaksi secara lebih substansial, kemudian secara tak terduga menimbulkan reaksi dari sebagian masyarakat lain secara kontinyu melibatkan isu yang menyentuh sentimen masyarakat akan agama5.

Masalah-masalah yang diperdebatkan pada pasal-pasal mengenai pendidikan agama dalam UU Sisdiknas terkait dengan dua hal. Pertama,apakah pendidikan agama merupakan wilayah negara untuk mengaturnya, ataukah merupakan wilayah otonomi orang tua peserta didik dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan. Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa.

a. Masalah pertama:

Kelompok pendukung UU Sisdiknas tidak secara eksplisit menekankan apakah pendidikan agama merupakan wilayah publik atau privat, namun mereka menekankan bahwa pasal ini merupakanpengakuan negaraatas berbagai macam agama yang ada di Indonesia sekaligus jaminan masing-masing peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Menurut kelompok ini negara telah mengakui “pluralitas” agama dan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya. Pengakuan peran negara atas pluralitas agama dan dukungan kelompok ini terhadap pengesahan UU Sisdiknas dapat diartikan bahwa mereka menyetujui pendidikan agama merupakan wilayah negara, atau setidak-tidaknya tidak menolak ide bahwa pendidikan agama merupakan tanggungjawab negara. Kita dapat bertanya seberapa besar negara diberi wewenang menjalankan pendidikan agama.

Apakah negara diserahi sepenuhnya pendidikan agama ini ataukah sebagian saja? Jika sebagian saja, dapat pula ditanyakan dalam hal apa negara diserahi wewenang untuk menyelenggarakan agama?

Menjawab masalah ini pemerintah menegaskan telah disediakan sekitar 70.000 tenaga pengajar agama yang siap diberikan pada satuan pendidikan yang membutuhkan. Hal ini disampaikan oleh Hamzah Haz, ketika itu adalah wakil presiden RI, dengan memberikan tanggapan bahwa perdebatan pendidikan agama seiring dengan pengesahan

5

(15)

UU Sisdiknas hanya masalah teknis pengadaan guru. Alasannya, sebagian satuan pendidikan yang berlatar belakang agama dipandang kesulitan dalam pengadaan guru agama yang bukan dari kalangan agama penyelenggara satuan pendidikan.

Pernyataan pemerintah di atas perlu dikaji lebih jauh. Benarkah perdebatan yang melibatkan gelombang masyarakat selama lebih kurang satu semester pada awal tahun 2003 ini sekedar masalah teknis, yaitu pengadaan guru agama? Penulis berasumsi ada masalah yang lebih mendasar mengenai ketidakjelasan wilayah privat dan publik dalam pendidikan agama. Batasan peran publik pemerintah dalam pendidikan agama belum dibicarakan secara terbuka dengan keterlibatan masyarakat secara luas. Karena dialog persoalan wilayah publik-privat agama ini belum begitu jelas6, kelompok-kelompok keagamaan menyikapi dengan menggunakan anggapan mereka masing-masing. Seiring dengan nuansa dialog yang belum terbuka bagi banyak kalangan, respon kelompok-kelompok agama cukup berhadap-hadapan antara kelompok-kelompok masyarakat yang setuju pengesahan RUU Sisdiknas -yang mayoritas merupakan kelompok muslim- dan kelompok yang menolaknya yang kebanyakan berasal dari kelomok non muslim, terutama dari kalangan Katolik dan Kristen7.

Sebaliknya, kelompok penolak UU Sisdiknas berargumentasi bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentukpembatasan terhadap hak masyarakat untuk mengatur urusannya sendiri. Agama merupakan masalah privat, merupakan urusan lembaga pendidikan dan orang tua. Melalui pasal ini kebebasan untuk memilih pendidikan agama tidak diakui, dan oleh karena itu merupakan bentuk intervensi negara atas pendidikan agama. Argumen kelompok ini berkaitan dengan masalah privat dan publik lembaga pendidikan agama. Jika pendidikan merupakan masalah privat, apakah lembaga

keagamaan penyelenggara pendidikan agama juga bisa disebut privat? Hal ini membawa

6Usaha dialog antar agama di Indonesia sudah cukup banyak, bahkan telah melibatkan

organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiah dan NU. Namun demikian masyarakat umum masih sangat mudah terpengaruh dengan masalah ketegangan hubungan antar agama, terutama karena media memberitakan sentimen-sentimen ini, di mana banyak dari kalangan Kristen yang menolak dan banyak kalangan Islam yang setuju atas pengesahan UU Sisdiknas. Beberapa kalangan sampat mensinyalir adanya muatan politik atas pengesahan UU Sisdiknas ini sebagai agenda lebih lanjut dari pemberlakukan kembali Piagam Jakarta yang sudah tidak berhasil diperjuangkan pada forum sebelumnya dalam pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar. Lihat. Harian Kompas, Jumat 2 Mei 2003

7

Beberapa kalangan yang menolak atau mendukung UU Sisdiknas dalam isu pendidikan agama sebetulnya tidak saja dari kalangan Islam dan Non Islam, namun juga kelompok pluralis baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan beberapa kalangan berasal dari NGO/LSM. Kalangan Islam cenderung setuju dengan

(16)

kita kepada pertanyaan lebih mendasar, apa yang disebut wilayah privat? Apa pula yang disebut wilayah publik? Dimana batas-batas keduanya, khususnya dalam masalah penyelenggaraan pendidikan agama?

Dengan pembacaan berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung UU Sisdiknas, kelompok penolak justru menilai UU Sisdiknas tidak mengakui pluralitas keyakinan dan agama yang sangat beragam di Nusantara sebab sejauh ini pemerintah hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha sebagai agama yang resmi sah di Indonesia. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian masyarakat Jawa Timur yang berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Sisdiknas mengiringi akan disahkannya RUU tersebut pada tanggal 2 Mei 2003. Selain agama yang tidak diakui pemerintah, mereka juga mengatakan bahwa kelompok kepercayaan juga menghadapi masalah serupa, tidak diakui oleh UU Sisidiknas No. 20 tahun 2003.8

Selain dua kelompok pendukung dan penolak UU Sisdiknas di atas, ada pendapat yang mencoba memberi jalan tengah. Pengakuan negara atas agama diperlukan di Indonesia agar tidak terjadi pemisahan tegas antara agama dan negara. Pemisahan tegas antara agama dan negara membawa ironi mengenai pengakuan negara atas agama secara tidak tuntas. Di satu sisi agama diakui haknya untuk berkembang dalam ruang privat warga negara, di sisi lain belum tentu negara memberi pengakuan warga negara untuk mempraktikkan pendirian agamanya di ruang publik, seperti pelarangan penggunaan simbol agama di ruang publik, di pemerintah, di sekolah yang belum lama ini terjadi di negara Perancis. Cita-cita kebaikan yang tidak dapat dicapai oleh negara diharapkan dapat dicapai dalam agama, namun pada saat yang sama agama tidak diberikan ruang untuk mencapai cita-cita kebaikan hidup itu pada ruang publik. Kendatipun pengakuan Negara terhadap agama diperlukan, tetapi pengakuan ini tidak boleh diartikan sebagai intervensi berlebihan dari negara ke wilayah agama. Jika intervensi ini terjadi akan ada kecenderungan agama pihak yang berkuasa mendominasi aturan yang dalam sejarah telah banyak menumpahkan darah masyarakat dan ulama. UU Sisdiknas memiliki kecenderungan intervensi negara terhadap agama.9

8Kompas, Jumat 2 Mei 2003 9

(17)

b. Masalah kedua:

Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa? Pandangan masyarakat pendukung UU Sisdiknas terwakili oleh pernyataan resmi dari pemerintah baik DPR maupun Depdiknas yang menjelaskan bahwa latar belakang perumusan RUU Sisdiknas adalah untuk menjawab tiga masalah utama bangsa Indonesia, pertama, mengatasi krisis moneter, ekonomi dan berkembangnya krisis multi dimensional yang berujung pada krisis moral bangsa. Kedua, kecenderungan globalisasi yang tidak dapat dielakkan, danketigakecenderungan demokratisasi yang sudah dimulai pada 22 Mei 1989 ketika rejim Suharto Tumbang. Pembahasan tesis ini ditempatkan pada masalah pertama. Point pertama menjelaskan anggapan bahwa UU Sisdiknas, terutama pendidikan agama, merupakan kunci bagi penyelesaian krisis moral bangsa.10

Tidak diragukan lagi bahwa agama berkepentingan dengan moral. Jika ada moralitas seseorang bermasalah, masih banyak masyarakat mempercayai hal itu berkaitan dengan kurangnya pendidikan agama. Dengan keyakinan ini terdapat asumsi dalam kelompok yang setuju dengan pengesahan UU Sisdiknas bahwa moralitas bangsa juga dapat diselesaikan dengan pendidikan agama. Bahkan terjadinya masalah moral ini berujung pada pendidikan agama yang selama ini tidak benar. Namun kita dapat bertanya sampai dimana kekuatan agama dalam menjamin moralitas bangsa menjadi baik? Apakah krisis multidimensional yang dialami oleh bangsa Indonesia ini hanya diakibatkan oleh pendidikan agama yang tidak beres? Ataukah ada penyebab lain misalnya kebijakan yang diskriminatif, pemerintahan yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah pendidikan agama berkaitan dengan moralitas pemerintahan ataukah modus dan cara pemerintahan yang justru memberikan peluang buruknya kinerja pemerintah yang menyebabkan masyarakat tidak puas dan terjadi krisis? Penulis beranggapan diperlukan kajian kembali mengenai perumusan masalah moral bangsa dan peran pendidikan agama dalam menyelesaikan masalah moral bangsa.

10Bdk. Darmaningtyas,Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah, Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52,

(18)

Bagi kelompok masyarakat yang menolak, berpendapat bahwa keyakinan krisis bangsa dipersempit ke dalam krisis moral dan terutama krisis pendidikan agama yang akan diselesaikan melalui UU Sisdiknas ini merupakan penyederhanaan masalah yang jauh lebih besar. Masalah-masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru yang masih berlanjut hingga saat ini.11

Baik bagi kelompok yang setuju maupun yang tidak setuju pengesahan UU Sisdiknas, kiranya ada pertanyaan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih sangat relevan karena masyarakat Indonesia sangat yakin dengan peran agama dalam kehidupan sosial. Pertanyaan ini berujung pada keprihatinan bersama bangsa Indonesia untuk penataan masyarakat yang lebih baik, adil dan damai, yaitu seberapa jauh pendidikan agama dapat mendorong perbaikan moral bangsa? Masalah ini ini membutuhkan refleksi mendalam mengenai pengalaman pendidikan agama sejauh dilakukan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia dan bagaimana kita memposisikan agama dan pendidikannya untuk Indonesia kedepan dalam rangka mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab.

Masalah yang lebih mendalam disampaikan oleh kalangan pakar dan sebagian masyarakat yang kontra pengesahan UU Sisdiknas yaitu ketidakjelasan visi dari pendidikan nasional. Hal ini tercermin dalam, sebagaimana disampaikan oleh Prof Dr. HAR Tilaar, rumusan tujuan sistem pendidikan nasional (pasal 3) yang panjang dan sulit dijabarkan dalam pasal operasional.12UU Sisdiknas juga kehilangan ruh pendidikan, menurut Ki Supriyoko, seperti kejujuran, cinta kasih, pengorbanan selayaknya kasih sayang orang tua kepada anaknya.13Menurut Ketua Umum Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) Prof Dr Lily R Rilantono UU Sisdiknas tidak mempunyai konsep mengenai PADU atau pendidikan dini usia, tidak memungkinkan mencerap nilai-nilai modern.14

B. Perumusan Masalah

11

Ibid, hal. 19-20.

12Kompas, 1 April 2003 13Kompas, 11 April 2003 14

(19)

Masalah pendidikan agama merupakan yang menjadi isu utama yang diangkat oleh gelombang protes atas pengesahan UU Sisdiknas diantara isu-isu lain seperti isu ancaman disintegrasi bangsa, isu pluralisme agama, isu hubungan antar umat beragama dan lain-lain. Penulis ingin merefleksikan masalah pendidikan agama ini yang tercermin dari gelombang protes masyarakat mengiringi pengesahah UU Sisdiknas untuk

mendalami wacana hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Wacana hubungan agama dan negara penulis kaji melalui pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan inti sebagai berikut.

Pertama, bagaimana negara menjawab krisis multi dimensional dan krisis moral bangsa melalui pengundangan UU Sisdiknas? Pertanyaan ini diajukan untuk memberikan konteks bagi pasal 12 UU Sisdiknas dari sisi latar belakang dirumuskannya UU Sisdiknas dan proses pembahasan serta struktur internal UU Sisdiknas.

Kedua, bagaimana kedudukan Pasal 12 dalam Wacana Hubungan Agama dan Negara? Melalui pertanyaan ini diajukan konteks bahwa pembahasan mengenai hubungan agama dan negara belum selesai. Pembahasan ini akan ditelusuri melalui beberapa kajian mengenai kebijakan agama di Indonesia dari waktu ke waktu dan konteks teologis yang melatari pro dan kontra UU Sisdiknas.

Ketiga, sejauh mana negara dapat mengurusi masalah agama? Melalui pertanyaan ini akan diajukan pembahasan mengenai ruang publik dan privat, agama dalam wilayah publik dan privat serta hubungan agama dengan politik/negara dan bagaimana pro kontra UU Sisdiknas dalam memproduksi wacana tersebut.

Keempat, sejauh mana agama membentuk moral bangsa? Pertanyaan ini akan mengeksplorasi peran spesifik agama dalam pendidikan moral bangsa meliputi kajian masalah-masalah agama dan latar belakang masalah moralitas di Indonesia dan wacana pendidikan agama yang diproduksi oleh pro dan kontra UU Sisdiknas.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk tujuan-tujuan sebagai berikut.

(20)

Kedua, memperoleh gambaran proses wacana hubungan agama dan negara hingga munculnya pro kontra UU Sisdiknas, khususnya dari sisi pasal 13 UU Sisdiknas.

Ketiga, memperoleh gambaran wacana wilayah negara dalam mengatur agama melalui perspektif privat dan publik yang terbangun dalam pro kontra UU Sisdiknas.

Keempat, memperoleh gambaran peran agama dalam membangun moral bangsa melalui perspektif peran privat-publik agama.

D. Kegunaan penelitian

Hasil dari penelitian ini saya harapkan dapat memberikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, menyumbangkan wacana perbedaan pendapat keagamaan dalam konteks negara bangsa dari segi wilayah publik dan privat.Kedua, pengembangan dialog antara agama dalam kaitannya dengan keterlibatan agama dalam politik.Ketiga, pengembangan kebijakan yang memperhitungkan peran agama dan negara dalam pengembangan kehidupan publik secara adil.

E. Metodologi Penelitian

E.1. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil data dari sumber data sebagai pemberitaan media masa dan rekaman proses rapat pembahasan UU

Sisdiknas di DPR. Pemberitaan media masa seputar pro kontra UU Sisdiknas diambil dari tahun 2002 hingga semester pertama tahun 2003. Rekaman proses rapat-rapat DPR dalam pembahasan UU Sisdiknas mulai dari usulan inisiatif hingga pembahasan di sidang paripurna. Sumber data diperoleh dari: 1) koran harian dan majalah, baik cetak maupun elektronik dan 2) gedung sekretariat DPR-MPR bagian pusat data.

(21)

Kerangka analisis thesis ini memakai pendekatan analisis wacana, terutama teori wacana kritis dari Fairclough15, dan analisis sosial lain seperti analisis politik mengenai hubungan masalah privat dan public dan analisis kepanikan moral.

Analisis ini Wacana merupakan salah satu dari pendekatan konstruksionisme sosial yang kesemuanya memiliki titik temu dalam hal beberapa premis utama dan asumsi mengenai bahasa dan subeknya.

Premis-Premis Utama

Premis-premis utama yang diyakini oleh pendekatan konstruksionime sosial antara lainpertama,pengetahuan kita dan representasi akan dunia ini merupakan produk wacana. Pengetahuan kita akan realitas dengan mengkategorikan berbagai hal dalam bentuk pengertian-pengertian tidak benar-benar merupakan refleksi atas realitas itu sendiri, melainkan produk dari cara kita memberi makna terhadapnya. Kedua, cara kita memahami dunia dan memandang dunia bersifat khusus dan mungkin, artinya pandangan dunia dan identitas kita bisa berbeda dan berubah sepanjang waktu, sebab kita adalah manusia kultural dan historis. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan kaum fundasionalisyang meyakini adanya pengetauan kokoh yang didasarkan atas metateori yang lebih penting dari tindakan manusia yang bersifat kontekstual. Pandangan ini juga bertentangan dengan pandangan kaumesensialisyang meyakini bahwa masyarakat memiliki esensi dan sifat yang tetap dan otentik.Ketiga, cara kita memahami dunia diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial, yakni melalui interaksi sosial tempat kita membentuk kebenaran bersama dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah.Keempat,cara pandang kita terhadap dunia bahwa pengetahuan dan kebenaran merupakan konstruksi sosial membawa konsekuensi-konsekuensi sosial berbeda dan tidak mengenal bentuk tindakan sosial yang alami.16

Premis-premis faham konstruksionisme sosial di atas tidak dapat diartikan bahwa seluruh identitas sosial selalu berubah dan tidak ajek sehingga tidak dapat dikenali. Meskipun premis dasar mengatakan bahwa pada prinsipnya pengetahuan dan identitas

15

Penjelasan kerangka analisis ini didasarkan pada buku “Analisis Wacana; Teori dan Metode” karangan Marianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan oleh Imam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna (Pustaka Pelajar: 2007)

16

(22)

adalah bersifatmungkin,namun pengetahuan dan identitas sosial tersebut relatif tidak fleksibel dalam situasi-situasi khusus dan bahwa bidang sosial termasuk bidang yang lebih teratur dan terikat pada aturan.17

Asumsi Kebahasaan dalam Analisis Wacana

Pendekatan-pendekatan analisis wacana memiliki titik temu dalam pandangan mengenai bahasa dan konsekuensinya terhadap wacana seperti berikut.Pertama, analisis wacana mengambil pijakan dari pernyataan filsafat strukturalisme dan post strukturalisme dalam bahasa. Akses kita terhadap realitas, berdasarkan pijakan filsafat ini, selalu melalui bahasa. Melalui bahasa kita membuat representasi atas realitas, namun hal itu bukan merupakan refleksi realitas murni, namun ada keterlibatan subyektif kita dalam merepresentasikannya, sehingga kita juga memberikan kontribusi terhadap konstruksi realitas itu. Obyek-obyek fisik dengan bagitu mendapatkan makna melalui wacana, walaupun hal itu bukan berarti bahwa yang ada hanyalah representasi tanpa objek-objek riil. Representasi dan objek riil ada, namun melalui wacanalah keduanya diproduksi menjadi makna.18

Bahasa dalam hal ini tidak dipahami sebagai alat mengkomunikasikan keadaan mental utama, perilaku atau fakta-fakta. Bahasa lebih merupakan alat untuk

menggerakkan, menyusun dunia sosial itu sendiri. Bahasa menata hubungan-hubungan dan identitas-dentitas sosial, yakni perubahan-perubahan yang terjadi pada wacana merupakan alat untuk mengubah dunia sosial. Perjuangan yang terjadi pada wacana pada hakikatnya adalah perjuangan untuk mengubah dan membentuk realitas sosial.

Keyakinan kebahasaan ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa sebagai suatu system tidak memiliki hubungan instrinsik dengan realita yang dirujukknya. Antara bahasa dan maknanya terjadi dengan kebetulan melalui kesepakatan-kesepakatan. Makna bahasa tidak ditentukan oleh kata, bunyi, atau benda rujukan dari makna itu.

Asumsi kebahasaan ini diambil dari teori Ferdinan de Saussure yang menyatakan bahwa tanda (sign) terdiri dari dua sisi, bentuk (significant) dan isi (signifie), dan bahwa hubungan keduanya bersifatarbitrer. Makna kata-kata hanyalah produk kesepakatan,

17Ibid,hal. 11. 18

(23)

bukan secara hakiki ada dengan sendirinya. Kata “anjing” tidak berhubungan dengan rujukan makna secara hakiki, tetapi karena diberikan oleh masyarakat untuk menandai bahwa bunyi kata “anjing” merujuk pada hewan berkaki empat yang bisa menyalak.19

Saussure mengembangkan penelitian terhadap bahasa dan kebudayaan, dan mengkategorikan struktur tanda di atas sebagai masalah pokok bahasa. Dia

mengkategorikan ada dua tataran bahasa, yaitulanguedanparole.Langue merupakan struktur bahasa, yakni jaringan-jaringan tanda-tanda yang member makna, dan sifatnya tetap tak bisa diganti-ganti. Sedangkanparolemerupakan penerapan bahasa dalam situasi kongkrit tertentu oleh pewicara.Paroleselalu mengacu kepadalanguesebagai struktur acuan, sebabparolesangat rentan berubah-ubah sesuai situasi subyek dan sejarah. Dengan dasar ini, Saussure mengusulkanlanguesebagai perhatian utama analisis bahasa untuk menghasilkan makna. Makna tentulah harus dihasilkan dari struktur yang tetap yang menjadi pijakan bagi pengertian yang jelas dan memungkinkan adanya

komunikasi.20

Pemaknaan yang dihasilkan oleh struktur yang tetap model Saussure, darimana istilah strukturalisme berasal, beroperasi pada beberapa gagasan bahwa: 1) tanda-tanda mendapatkan makna bukan melalui hubungannya dengan realitas melainkan dari hubungan intrernal dalam jaringan tanda-tanda, 2) jaringan tanda-tanda sebagai system pemaknaan merupakan struktur yang stabil. Perumpamaan jaringan tanda-tanda dengan struktur yang stabil dan tetap untuk menghasilkan makna adalah seperti jaring ikan, dimana setiap tanda memiliki tempatnya sendiri pada masing-masing mata jaring. Posisi mata jaring itu akan tetap pada tempatnya kendatipun kita menebarkannya, demikian pun tanda-tanda untuk menghasilkan makna. Tempat tanda-tanda sudah tetap tak berubah meskipun ditebarkan untuk menjaring makna, atau meskipun pemaknaan dilakukan dengan berbagai cara.

Teori wacana mengambil gagasan jaringan tanda-tanda untuk menghasilkan makna, namun tidak menyetujui pada gagasan bahwa bahasa merupakan struktur yang tetap. Bahasa bukanlah struktur stabil, tak bisa berubah dan menyeluruh. Tanda masih dapat memperoleh makna tidak perbedaannya dengan tanda lain, namun tanda yang

19Ibid.,hal. 17-18. 20

(24)

berbeda dengan tanda lain itu masih bisa berubah makna sesuai dengan konteks penggunaan tanda itu sendiri. Misalnya kata “bekerja” pada satu saat merupakan kebalikan dari kata “santai”, namun dalam konteks lain bisa berlawanan dengan kata “pasivitas”. Kata-kata, sebagai tanda dalam jaringannya dengan kata lain, oleh karenanya tidak memiliki makna yang tetap. Perumpamaannya tidak sesederhana “jaring ikan” namun lebih menyerupai hubungan “antar jaring (internet)”, yang sewaktu-waktu bisa berubah, terputus, tersambung dengan jaring lain yang menghasilkan makna yang terus bisa diubah dan dikembangkan. Analisis wacana mengambil ide ini dari aliran

posstrukturalisme dalam bahasa.21

Analisis Wacana dan Kekuasaan

Analisis wacana kritis bertujuan untuk mengungkap hubungan sosial yang timpang dan tidak adil agar dapat terlibat dalam advokasi perubahan sosial. Oleh karna itu analisis wacana tidak dapat disebut netral nilai, sebab ada keberpihakan terhadap entitas masyarakat yang dilemahkan dan dipinggirkan. Analisis dibangun dalam rangka mengungkapkan bekerjanya huungan kekuasaan dalam praktik sosial kemasyarakatan. Untuk itu analisis wacana berkempentingan terhadap analisis kekuasaan dan ideologi.

Analisis wacana kritis mengambil ide kekuasaan dari Foucault. Mitcheal Foucault mengenalkan analisis kekuasaan dengan dua teori mengenai arkeologi dan genealogi. Kajian arekeologi diambil karena adanya kaidah pemaknaan yang berlaku bahwa terdapat kaidah yang menentukan mana kalimat yang diterima, mana kalimat yang benar dan mana yang salah dalam epos sejarah tertentu. Wacana, bagi Foucault, merupakan

sekelompok pernyataan milik formasi kewacanaan yang sama, terdiri dari sejumlah kecil pernyataan tempat ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi, bersifat historis, memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri. Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana merupakan produk wacana. Kebenaran ditentukan oleh rejim pengetahuan yang dari waktu ke waktu dapat berubah. Wacana, dalam hal ini dimengerti sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberikan makna.22

21Ibid,hal. 20-21 22

(25)

Kekuasaan/pengetahuan dikembangkan oleh Foucault dalam kerja genealogisnya. Kekuasaan tidak dipahami sebagai suatu miliki istimewa dari agen tertentu baik individu, Negara atau struktur lainnya, namun kekuasaan tersebar dalam praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan tidak dipahami sebagai kekuatan yang bersifat menindas, namun bersifat produktif; kekuasaan menyusu dan menghasilkan wacana, pengetahuan, benda-benda dan subyeksitifitas pada setiap agen yang terlibat, tersebar. Misalnya, wacana tindak kejahatan, melahirkan berbagai bidang yang memiliki lembaga sendiri, misalnya penjara, agen misalnya penjahat, praktik tertentu misalnya pemasyarakatan. Kekuasaan terikat dengan pengetahuan, satu sama lain saling mengandaikan, misalnya kejahatan selalu mengandaikan adanya ilmu tentang kejahatan atau kriminologi.23

Kekuasaan memiliki kaitan erat dengan pengetahuan yang dilahirkan oleh proses wacana. Wacana memproduksi subyek pengetahuan dan obyek yang diketahui. Dunia pengetahuan, termasuk subyek dan obyeknya, dalam proses tertentu tersusun oleh wacana. Karena pengetahuan merupakan produk wacana yang bersifat historis, maka kebenaran yang dihasilkan juga kebenaran historis. Tidak ada kebenaran mutlak, namun selalu ada kebenaran, atau efek kebenaran, yang dihasilkan oleh wacana. Kebebaran bagi Foucault, merupakan prosedur untuk produksi, pengaturan dan difusi kalimat, dan kebenaran dihasilkan oleh system kekuasaan.24

Analisis Wacana dan Ideologi

Analisis wacana kirits mengambil gagasan ideology dari Foucault yang dikembangkan dari gurunya, Louis Althusser. Ideologi selalu terkait dengan ide mengenai subyek dan gagasan imaginer bersama. Bagi Althusser, ideology merupakan system representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat dengan cara membangun hubungan-hubungan imajiner antar orang-orang dan antar mereka sendiri dan formasi sosial. Hubungan yang dapat dikatakan bukan hubungan semestinya ini mengendalikan semua aspek hubungan sosial. Seseorang dibentuk dan menempati posisi sosial dalam proses bahasa yang wajar, namun tanpa sadar dia telah menjadi subyek ideology karena memerankan diri dalam

hubungan-23Ibid,hal 26 24

(26)

hubungan sosial dimana ideology bekerja. Proses ini dinamakan interpelasi, yakni proses bahasa yang dialami dalam membentuk suatu posisi sosial individu atau seseorang yan dengan demikian dia menjadi subyek ideology. Misalnya cara hidup modern mengenai kesehatan, membuat seseorang menyesuaikan diri untuk merawat kesehatan mereka masing-masing dengan cara mengikuti berbagai prosedur yang disediakan oleh

masyarakat modern. Ideology modernitas mengajak orang sebagai subyek pelaku ide-ide modernitas tanpa dapat dielak oleh individu tersebut dan dengan sendirinya menjadi subyek ideology.

Dengan pengertian ini, Althusser menempatkan subjek yang lemah di hadapan ideology. Keyakinan subyek tidak terpusat pada Althusser ini diambil oleh Foucault. Subyek diciptakan dalam wacana, bukan menentukan wacana. Wacana bukan penuturan subyek mandiri, namun subyek dibentuk oleh dan dalam wacana.25

Posisi subyek yang lemah tanpa pilihan di hadapan ideology ini mendapatkan kritik yang tajam pada tahun 1970-an.Pertama, dalam kajian sosial, komunikasi dan analisis wacana telah lahir konsensus bahwa tesis ideology dominan telah meremehkan kemampuan manusia dalam memberikan perlawanan terhadap ideologi. Subyek dan agensi sebetulnya memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan terhadap ideologi.

Kedua, pandangan Althusser yang menyatakan bahwa semua wacana dikendalikan oleh sat ideologi yang utuh ditolak. Posisi Foucault telah menggeser ideology Althusser bahwa walaupun individu diciptakan oleh wacana, namun pluralitas wacana bisa saling bersaing satu dengan yang lain dengan beroperasinya kekuasaan secara menyebar dan kreatif. Analisi wacana kritis menekankan bahwa subyek tidak terinterpelasi hanya dalam satu posisi subyek, sebab wacana-wacana yang berbeda bisa dikatakan member subyek posisi berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Analisis wacana kritis menekankan bahwa orangmenggunakan wacana sebagai

sumberdaya yang mereka gunakan dalam menciptakan konstelasi-konsteleasi baru kata-katan, kalimat-kalimat, yang tidak pernah diucapkan sebelumnya. Hasilnya aka nada wacana silangan baru, dan dengan demikian perubahan sosial dimungkinkan. Subjek menjadi agen perubahan sosial. Bagi fairclough tindakan-tindakan kreatif individu secara

25

(27)

komulatif menciptakan tatanan-tatanan wacama yang terstruktur. Dalam penelitian hal ini penting dalam rangka untuk melacak praktik-praktik kewacanaan yang dinamis, tempat para penggguna bahasa bertindak sebagai produsen dan produk kewacanaan dalam perubahan sosial.

Ketiga, konsep ideologi, termasuk konsep Althusser, menyiratkan dapat dicapainya kebenaran mutlak. Hal itu disebabkan keutuhan kerangka ideologi, dan tak adanya kemungkinan individu untuk keluar dari ideologi. Hal ini dikritik menyebabkan distorsi hubungan sosial yagn riil dan juga mendistorsi upaya untuk keluar dari ideologi. Foucault menolak ideology, karena baginya kebenaran, subyek, dan hubungan antar subyek dikonstruk oleh wacana secara historis. Teori wacana Laclau dan Moffe mengadobsi pendapat Foucault ini sementara teori wacana kritis Fairclough masih

mempertahankan konsep ideologi untuk member ruang adanya wacana ideologis dan non ideologis, dan untuk memberi ruang bahwa perjuangan keluar dari ideologi itu

mungkin.26

Praktik Wacana

Bagi analisis wacana kritis, termasuk analisis wacana Fairclough, fungsi wacana atau praktik kewacanaan merupakan praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Praktik sosial mengisyaratkan tindakan itu bersifat kongkrit dimana indifidu dan konteks bersifat terikat, namun juga bersifat tindakan ini terlembagakan dan terkat sosial, dan oleh karena itu muncul regularitas. Fairclough lalu membedakan antara praktis sosial berupa konsep wacana meliputi teks, pembicaraan dan system semiologis lainnya, dengan praktik sosial lainnya yang non kewacanaan.Tiap jenis praktik sosial, baik praktik wacana maupun praoktin non wacana, saling berhubungan secara dialektis untuk membentuk fakta sosial dengan piranti logika masing-masing.27

26Ibid,hal 32-35 27

(28)

Prosedur Analisis Wacana Kritis Fairclough28

Analisis wacana kritis Fairclough mengacu pada yang disebut Tiga Dimensi Fairclough. Tiga dimensi itu merupakan fokus dari analisis wacana kritis, meliputi Teks, Praktik Kewacanaan dan Praktik Sosial. Teks meluputi semua fungsi pencitraan, tuturan atau gabungan dari semuanya yang diperiksa melalui cirri-ciri kebahasaan. Praktik Kewacanaan meliputi proses bagaimana teks itu diproduksi dan dikonsumsi oleh subyek wacana dan Praktik sosial meliputi praktik kewacanaan dan non kewacanaan, yang keduanya berkontribusi terhadap dunia ini.

PRAKTIK SOSIAL

PRAKTIK KEWACANAAN

Konsumsi teks TEKS Produksi Teks

Beberapa konsep turunan menjadi penting untuk menunjang operasi analisis tiga dimensi meliptui: 1) wacana, 2) fungsi wacana, 3) peristiwa komunikaatif dan tatanan wacana, 4) jenis wacana dan aliran wacana, 5) intertekstualitas.

Wacana dimaknai sebagai a) penggunaan bahasa sebagai praktik sosial, b) jenis bahasa yang digunakan pada bidang sosial khusus misalnya dalam bidan politik,

28

(29)

kesehatan, keamanan dan lain-lain, dan c) cara tutur yang member makana, berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif khusus, misalnya marxisme, feminism, nasionalisme dan sebagainya. Wacana memiliki kontribusi terhadap realitas melalui fungsi-fungsinya: a) membentuk identitas sosial (fungsi identitas), b) berfungsi dalam hubungan-hubungan sosial (relasional) dan c) membangun system pengetahuan dan makna (ideasional).

Wacana memiliki dimensi-dimensi misalnya peristiwa komunikatif tempat bahasa digunakan dan tatanan wacana, yakni konfigurasi jenis wacana dalam lembaga sosial. Dalam tatanan wacana terdapat praktik wacana khusus tempat diproduksinya teks dan pembicaraan diproduksi, dikonsumsi dan diartikulasikan. Misalnya wacana pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Aliran wacana dimengerti sebagai penggunaan khusus bahasa yang mendukung penyusunan bagi praktik sosial terntentu, misalnya iklan, berita, wawancara dan sebagainya.

Intertekstualitas. Praktik sosial merupakan produk artikulasi bersama dengan unsur-unsur yang berbeda, dimana unsur yang diartikulasikan merupakan moment kewacanaan dan moment non kewacanaan. Peristiwa komunikatif, yakni semua jensi praktik yang melibatkan system semiotis, memiliki hubungan dialektik dengan tatanan wacana (yakni praktik kewacanaan pada suatu bidang tertentu) mempengaruhi praktik sosial, baik berubah maupun status quo. Pada tatanan wacana, sifanya adalah kewacanaan di satu bidang. Namun konfigurasi wacana-wacana berpotensi menimbulkan konflik dibidang sosial tertentu. Wacana-wacana yang banyak dan berpotensi adanya konflik menunjukkan hal penting dalam kerangka perubahan sosial, dimana wacana yang dilakukan semakin banyak dan bercampur sementara teks yang dirujuk juga semakin banyak melengkapi, berpengaruh satu dengan yang lainnya (intertekstualitas). Intertenkstualitas mengacu pada kondisi tempat begantungnya peristiwa komunikatif pada peritiwa-peristiwa terdahulu atau bisa disebut sebagai rantai tekstual.

Antar kewacanaan. Mengacu pada pengaruh kesejarahan terhadap satu teks dan bagaimana pengaruh teks terhadap sejarah. Teks bergantung terhadap teks terdahulu dan berkontribusi pada perkembangan sejarah.

(30)

Teks. Seperti disebutkan di atas, fokus analisis wacana terdapat pada tiga ranah, teks, praktik wacana dan praktik sosial. Pada ranah teks, ciri-ciri linguistik menjadi penting untuk dianalisis sebab hal ini mempengaruhi terhadap proses produksi dan konsumsi teks. Ciri-ciri linguistik meliputi kosa kata, tata bahasa, entitias, koherensi dan sebagainya.

Praktitik kewacanaan. Praktik wacana meliptui bagaiman pengarang teks tergantung pada aliran wacana utnuk memproduksi wacana, dan penerima teks menerapkan aliran wacana yang ada dalam mengonsumsi dan menafsirkan teks.

Konteks dalam Penelitian Ini

Penelitian ini berusaha mengeksplorasi hubungan kewacanaan antar satu wacana dengan yang lain dalam rangka untuk mengidentifikasi potensi perubahan sosial yang mungkin dari peristiwa wacana pasal 12 UU Sisdiknas tahun 2003. Pemeriksaan kebahasaan dilakukan untuk melihat pola wacana, ideologi dan agen-agen wacana yang muncul. Pemeriksaan juga dilakukan pada praktik wacana, terutama darimana mana wacana bergulir, dilakukan dengan saluran wacana mana, oleh siapa, dan lalu bagaimana konsumsi wacana dilakukan baik oleh golongan pro maupun kontra UU Sisdiknas 2003.

Praktik sosial lain akan diperiksa baik dari praktik kewacanaan meliputi proses politik dan sejarah latar belakang, juga dari praktik non kewacanaan meliputi

ketersediaan infrastruktur politik penunjang berlakunya praktik wacana.

Analisis sosial selain analisis wacana juga didukung oleh analisis politik mengenai pembagian ruang publik dan prifat, serta analisis mengenai kecenderungan wacana moral, apakah bersifat visoner dan dingin atau reaktif dan panik.

Analisis Sosial Lainnya

Analisis sosial dalam kajian ini akan diperkuat dengan memanfaatkan teori privat-publik dari Chocran dan teori kepaikan moral dari Kenneth Thompson. Kedua analisis ini akan disajikan dalam bab tersendiri.

(31)

Mengkaji hubungan agama dan negara dalam wacana pro kontra UU Sisdiknas mengasumsikan adanya berbagai persoalan dalam masyarakat mengenai hubungan agama dan negara. Masalah-masalah sosial yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak menjelang runtuhnya rejim Suharto hingga era reformasi sangat banyak dan kompleks. Krisis moneter pada tahun 1997 ditandai dengan likuidasi bank-bank bermasalah, berlanjut menjadi krisis ekonomi secara lebih luas dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali sehingga sangat menyengsarakan masyarakat. Kondisi ini memicu krisis sosial secara lebih luas ditandai dengan unjuk rasa dimana-mana menuntut penurunan harga, penyelesaian pengangguran, penuntasan KKN, pembubaran dwi fungsi ABRI, pengadilan Suharto dan lain-lain. Kerusuhan-kerusuhan tak terkendalikan yang memaksa presiden Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 22 Mei tahun 1998.

Masalah-masalah ini muncul sebagai ujud dari salah urus pemerintahan yang dipenuhi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, mandeknya mekanisme demokrasi, system hukum yang masih diskriminatif, penegakan hukum yang lemah yang kesemuanya memiliki dimensi moralitas yang kritis. Agama memiliki arti penting untuk dibicarakan dalam konteks ini sebagai lembaga sosial yang berurusan dengan perbaikan moral. Peran agama dalam perbaikan moral ini menjadi isu krusial dalam pro kontra UU Sisdiknas. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal hal-hal yang disandarkan pada kekuasaan yang adi kodrati yang berada di luar kontrol manusia. Agama meliputi dimensi pikiran, perasaaan dan tindakan.29 Agama dalam penelitian ini juga merujuk pada agama yang terorganisir, bukan suatu keyakinan individual tanpa suatu komunitas keagamaan atau semisalnya.30Selain itu demi kelancaran analisis dalam penelitian ini cakupan arti agama juga meliputi kelembagaan agama, tokoh-tokoh dan penganutnya.

Perhatian terhadap moral dalam kaitan dengan kehidupan politik bernegara banyak dibahas dalam literatur etika politik, baik yang bersifat teoritis maupun analisis. Secara teoritis banyak kajian mengaitkan antara agama dan negara dalam

pengalaman-29

Cochran, Clarke E.,Religion in Public and Private Life.(New York and London: Roudledge, 1990) hal. 7.

30Bdk. dengan Marsden, George M.,Agama dan Budaya Amerika,alih bahasa oleh B. Dicky Soetadi

(32)

pengalaman masyarakat yang berbeda. Pengalaman masyararakat liberal misalnya dapat dilihat dalam buku karya Robert Audi berjudul Agama dan Nalar Sekuler Dalam Masyarakat Liberal(Yogyaikarta: UII Press, 2002) yang menjelaskan prinsip Pemisahan Agama dan Negara, pandangan baik dari sisi agama maupun politik, dan usulan integrasi agama, etika dan demokrasi. Muhammad Abid Al-Jabiri dalam bukunya berjudulAgama, Negara dan Penerapan Syari’ah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001) menjelaskan konteks kemunculan dan perkembangan paham sekularisme dalam bentuk pemisahan agama dan negara untuk membedakannya dengan pengalaman masyarakat Arab Islam dalam dinamika hubungan agama dan negara. Menurutnya masyarakat Arab Islam tidak mengalami sejarah pemisahan agama dan negara, sehingga ide sekularisme cukup asing. Jika sekularisme muncul dipermukaan, maka sesungguhnya hal itu merupakan representasi dari masalah-masalah regional Arab dalam kadar yang berbeda-beda di negara-negara Arab, misalnya masalah kemerdekaan negara-negara Arab Timur dari Kesultanan Turki Utsmani, diskriminasi kelompok minoritas, penerapan demokrasi yang tidak berkembang dan lain-lain. Hal yang penting dicatat dari Al-Jabiri adalah usahanya dalam penerapan etika politik dalam negara-bangsa modern dengan prinsip agama sebagai perwujudan kebaikan umum (mashlahah) dan penghindaran keburukan (madlarat).

(33)

Dari tulisan-tulisan tersebut, kajian yang berbicara secara khusus mengenai kehidupan privat, kehidupan publik, agama dalam kehidupan privat dan publik, batas antara agama dan politik, masih belum banyak dilakukan. Kajian hubungan agama dan negara dalam pengalaman pro kontra UU Sisdiknas ini diarahkan untuk mengeksplorasi wacana kehidupan publik dan privat yang muncul darinya. Melalui konsep publik-privat hubungan agama dan negara akan dikaji untuk melihat pandangan-pandangan mengenai kewenangan agama dan politik (negara) dalam masalah publik dan privat.

Terkait dengan masalah rumusan pengertian, istilah negara penulis maksudkan sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, merupakan organisasi pokok dalam kekuasaan politik dan memiliki unsur-unsur wilayah, penduduk, pemerintah dan kedaulatan.31Sedangkan politik kami artikan secara lebih luas sebagai hal-hal yang menyangkut penyebaran dan operasi kekuasaan, baik oleh negara maupun satuan politik lainnya.32

Buku mengenai hubungan agama dan negara yang dijadikan acuan dalam thesis ini adalahAgama, Negara dan Penerapan Syari’ah, karyaMuhammad Abid Al-Jabiri, alih bahasa oleh Drs. Mujiburrahman, MA. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001). Dalam buku ini diperlihatkan konteks muncul dan berkembangnya gagasan pemisahan agama dan negara serta posisi Islam dalam menghadapinya. Literatur mengenai dinamikan hubungan agama dan negara di Indonesia penulis ambil dari karya Jazim Hamidi S.H., M. Hum dan M. Husnu Abadi., S.h., M. Hum. berjudulIntervensi Negara terhadap Agama, Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia.(Yogyakarta: UII Press, 2001) dan buku karya Anas Saidi, (ed.) berjudulMenekuk Agama, Membangun Tahta, Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara, 2004).

Literatur mengenai publik dan privat penulis ambil dari buku karya Clarke E. Cochran berjudulReligion in Public and Private Life(New York and London:

Roudledge, 1990) dan buku karya Dr.Haryatmoko berjudulEtika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

31Budiardjo, Miriam, Prof.,Dasar-Dasar Ilmu Politik.Hal. 8, 38, 41-44. 32

(34)

Literature mengenai moral dan pendidikan agama penulis ambil dari karya A. Sudiarja, SJ berjudulNorma-norma di Taman Etika, dalam bukuSesudah Filsafat Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno(Yogyakarta: Kanisius, 2006), buku karya Kenneth Thompson berjudulMoral Panics(London and New York:1998) dan karya Luther S. Luedtke berjudulMengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat (Jilid II), alih bahasa oleh Hermoyo dan Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994) dan buku berjudul Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam karya Ahmad A Sofyan dan M. Roychan Madjid (Bandung: Titian Ilahi Press, 2003).

Kajian selanjutnya adalah kajian isi dari data-data yang telah dikumpulkan mengenai hubungan agama dan negara dalam pro kontra UU Sisdiknas dari harian baik cetak maupun elektronik dan dari rekaman proses rapat-rapat pembahasan UU Sisdiknasi di DPR.

G. Sistematika Pembahasan

Pembahasan kajian penelitian hubungan agama dengan negara dengan mengambil kasus pro kontra UU Sisdiknas ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, metodologi penelitian, studi pustaka dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas krisis multi dimensional bangsa dan solusi negara, berisi konteks sosial politik era reformasi, wacana negara menjawab tantangan krisis, dan respon masyarakat .

Bab ketiga membahas pasal 12 UU Sisdiknas dan wacana hubungan agama dan negara, meliputi hubungan agama dan negara belum selesai, kebijakan negara atas agama, respon masyarakat dan model hubungan agama dan negara.

Bab keempat membahas agama dalam kehidupan privat dan publik, meliputi pembahasan pengertian publik dan privat, agama dan politik, respon masyarakat dan kerentanan agama dalam politik.

(35)
(36)

BAB II

KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimana negara merespon masalah krisis multidimensional dan bagaimana negara mengajukan cara penyelesaian melalui perbaikan moral melalui inisiatif amandemen UU Sisdiknas. Dalam bab ini juga dipaparkan mengenai respon masyarakat atas kebijakan negara dalam menyelesaikan masalah krisis moral melalui pengesahan UU Sisdinas No. 20 tahun 2003.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 digagas pada tahun 2002 oleh tim khusus yang disebut Komite Reformasi Pendidikan. Komite Reformasi Pendidikan ini menghasilkan rancangan akademik yang selanjutnya menjadi dasar perumusan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian disahkan menjadi UU Sisdiknas pada tanggal 11 Juni 2003. Naskah akademik yang mendasari perumusan RUU Sisdiknas dimaksudkan menjawab tiga masalah mendasar yaitu pertama, krisis ekonomi yang berujung pada krisis moral, kedua, kecenderungan ekonomi yang tidak mungkin dielakkan dan ketiga, kecenderungan demokratisasi yang muncul sejak tanggal 22 Mei 1998 ketika presiden Suharto lengser keprabon.1

Latar belakang masalah yang diajukan Komite Reformasi Pendidikan yang kemudian mendasari perumusan RUU Sisdiknas perlu dicermati lebih lanjut untuk mendefinisikan ulang persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia sehingga membutuhkan UU Sisdiknas Baru menggantikan UU Sisdiknas lama, yaitu UU No.2 tahun 1989.

A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi

Ada beberapa peristiwa penting melatari lahirnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Beberapa peristiwa sosial politik itu antara lain pertama, pergantian rejim totaliter oleh rejim demokrasi, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan, ketiga, konflik sosial politik yang terus bergolak dan keempat, lemahnya penegakan hukum, kelima, kebijakan privatisasi.

1Dharmaningtyas,Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah,Basis Nomor 07-08, Tahun ke-52,

(37)

Pertama, pergantian rejim totaliter menuju demokrasi. Suharto turun dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 22 Mei tahun 1998 setelah dituntut oleh berbagai pihak masyarakat melalui berbagai macam unjuk rasa baik melalui demonstrasi maupun cara-cara lainnya. Krisis moneter yang tidak cepat teratasi membawa dampak yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya berupa hancurnya tatanan sosial ekonomi. Nilai mata rupiah turun drastis setahap demi setahap sampai titik yang paling rawan di atas angka 10 ribu rupiah. Pembangunan ekonomi menghadapi masalah kemacetan kredit karena naiknya mata uang, larinya investor karena ketidakaman ekonomi, permainan jual beli uang dan valas oleh para pemegang kapital, pelarian dana ke luar negeri, dibubarkannya bank-bank yang tidak sehat. Hal-hal ini menyebabkan dunia ekonomi tidak terkendali, harga-harga naik tidak terkontrol, masyarakat kesulitan mendapatkan sembilan bahan pokok (sembako), banyak perusahaan gulung tikar sehingga pengangguran ada di mana-mana dan terus naik. Beberapa usaha pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi sepertinya berjalan sangat lambat karena salah satunya tidak didukung dengan budaya hukum yang jujur. Banyak dana yang diatujukan untuk perbaikan bank melalui bantuan BLBI malah menjadi lading korupsi oleh para pejabat dan birokrasi terkait.

Gerakan mahasiswa bersama dengan masyarakat berada di garis depan dalam menuntut kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Demonstrasi terjadi di mana-mana hampir setiap hari. Masyarakat menuntut turunnya harga sembako, mahasiswa memperkuat tuntutan masyarakat, menuntut pembubaran dwi fungsi ABRI dan menuntut turunnya Suharto dari jabatannya sebagai presiden.

Wakil presiden Habibie dilantik oleh MPR menggantikan Suharto sebagai presiden RI tahun 1998-1999. Habibie mengubah cara kepemimpinan totaliter pendahulunya dengan cara yang lebih demokratis, terutama kelihatan dari peristiwa jajak pendapat untuk masyarakat Timor Timur yang mendapatkan protes dari banyak pihak. Hasilnya adalah lepasnya Timor-Timur dari kedaulatan Indonesia. Pada tahun 1999 pemilu diadakan untuk memilih calon legislatif dan presiden secara langsung. Tidak kurang dari 48 partai politik menjadi peserta pemilu tahun 1999.2 Pemilu berikutnya

2

(38)

adalah pemilu presiden yang dimenangkan oleh Gus Dur berpasangan dengan Megawati Sukarnoputri.

Kedua, perubahan kelembagaan dan tata hukum yang menunjukkan desentralisasi kekuasaan dan harapan proses demokratisasi politik. Dalam ketatanegaraan, terdapat beberapa produk hukum dihasilkan pada masa ini yaitu Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Otonomi Daerah. Amandemen UUD 1945 berlangsung selama empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.3 Amandemen UUD 1945 konstitusi ini mengubah tatanan politik dari pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan politik. Konsekuensi Amandemen UUD 1945 adalah adanya perubahan kelembagaan negara dan mekanisme ketatanegaraan. Secara kelembagaan, ada perubahan dalam lembaga legislative. MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak lagi dikenal dan mulai dikenalkan adanya parlemen yang terdiri dari DPR yang merupakan representasi dari partai politik dan DPD yang merupakan representasi dari kepentingan lokal.

Lembaga judicativ juga berkembang dengan munculnya Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai penjaga konstitusi. Ketidakjelasan tatanan hukum dan penyelewengan terhadap konstitusi pada sebuah peraturan dapat diajukan perkaranya melalui Mahkamah Konstitusi.

Dengan filosofi pemisahan kekuasaan dan pembaruan lembaga menjadi parlemen, fungsi dan mekanisme pengawasan antar lembaga negara menjadi sangat efektif yang sebelumnya tidak berjalan, terutama dari badan legislatif terhadap lembaga eksekutif. Kini lembaga pengadilan juga tidak sulit untuk mengajukan perkara anggota DPR yang melanggar aturan legislative ke pangadilan. Konsekuensi lainnya dari Amanndemen UUD 1945 adalah runtuhnya mitos bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah seperti yang terjadi pada rejim Orde Baru.

Prestasi berikutnya adalah Undang-Undang Otonomi Daerah. Melalui undang-undang ini wewenang pusat dibatasi secara sangat signifikan dari masa sebelumnya menjadi lima wilyah yaitu pertahanan keamanan, keuangan dan viskal, agama, hukum

3Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam Satu

(39)

dan hubungan luar negeri. Melalui undang-undang ini pengelolaan berbagai hal pembangunan dikonsentrasikan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan nasional.4

Prestasi hukum lainnya yang menonjol adalah diberlakukannya Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tahun 2001 yang secara radikal menandai berubahnya status keluarga dari wilayah hukum privat menjadi wilayah hukum publik dalam hal kejadian kekerasan. Perspektif gender mendasari perumusan Undang-Undang ini yang dipelopori oleh kelompok masyarakat sipil terutama dari gerakan perempuan. Pada tahun 2001 juga dicanangkan gerakan pengarusutamaan gender dalam kebijakan pemerintah.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Prestasi dalam perubahan kelembagaan hukum dan mekanisme kearah yang lebih demokratis belum diimbangi dengan penegakan hukum yang baik. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih mewarnai dunia kekuasaan dan peradilan. Banyak kasus hukum tidak tuntas, para koruptor dibebaskan, mafia peradilan merajalela. Indonesia mengalami krisis kepercayaan karena lembaga peradilan sebagai senjata paling akhir menyelesaikan masalah hukum tidak dapat berfungsi dengan baik. Namun sedikit demi sedikit penegakan hukum mulai dapat dilakukan meskipun masih kurang memadai dibandingkan dengan perkara yang harus diselesaikannya. Misalnya penuntasan kasus korupsi, sedikit demi sedikit para koruptor diperkarakan di pengadilan di berbagai pengadilan baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu banyak pengamat masih melihat adanya upaya tebang pilih dalam menyelesaikan kasus korupsi.

Keempat, kebijakan privatisasi. Pada tahun 2003 ditandatangi letter of intens paket utang dari IMF sebesar 400 juta dolar AS oleh pemerintahan Megawati. Peminjaman hutang luar negeri harus diikuti dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) berupa pembukaan pasar bagi investasi dan produk asing, pengurangan subsidi dan pelaksanaan privatisasi BUMN. Ini menandakan bahwa pemeritnah belum memperhatikan nasip masyarakat yang akan menanggung semua beban hutang di masa depan, kekalahan dari pasar pihak asing yang bebas masuk Indonesia, kenaikan harga minyak dan BBM disertai dengan kenaikan harga segala hal kebutuhan pokok di pasar, dan hilangnya kekayaan rakyat dalam BUMN karena dialih statuskan menjadi milik

4

(40)

pribadi para pemodal besar. Privatisasi tidak saja dialami oleh perusahaan BUMN namun juga oleh lembaga-lembaga pendidikan yaitu perguruan tinggi seperti yang sudah dipelopori oleh UI dan UGM. Orang dengan kemampuan ekonomi biasa tidak akan mampun sekolah di dua universitas tersebut karena berbeaya tinggi.

B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis

Pada rapat paripurna DPR RI tertanggal 27 September 2001 pemerintah sebagai pengusul inisiatif amandemen UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 memberikan penjelasan mengenai inti dari usulan inisiatif. Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu pertama, pemerataan pendidikan didasarkan atas fakta adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penyediaan budget pendidikan,kedua relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja untuk menjawab kebutuhan pekerjaan bagi lulusan sekolah sampai tingkat perguruan tinggi yang semakin banyak menganggur, ketigapeningkatan mutu pendidikan dimana Indonesia merupakan negara yang memiliki skor rendah dibanding negara-negara Asia dankeempat, efisiensi pengelolaan pendidikan melalui pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pada latar belakang di atas beberapa wacana dimunculkan sehubungan dengan perlunya UU Sisdiknas. Pertama, wacana pemerataan pendidikan, kedua, wacana ekonomi, yakni biaya pendidikan, ketiga, wacana kualitas pendidikan, dimana mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, dan keempat, wacana manajemen pendidikan. Wacana-wacana ini dijadikan sebagai latar belakang pentingnya UU Sisdiknas baru. Namun selain isu yang secara formal merupakan alasan dasar usulan RUU Sisdiknas, terdapat wacana yang penting untuk diperhatikan yaitu wacana pendidikan agama.

(41)

Pemerintah juga menyampaikan mengenai wacana pendukung lainnya bagi adanya UU Sisdiknas antara lain 1) tunttan reformasi, 2) demokratisasi, 3) otonomi, 4) desentralisasi, 5) kemajuan teknologi dan industry. lainnya adalah mengenai tuntutan reformasi berupa demokratisasi, otonomi dan desentralisasi dalam bidang pendidikan dan tuntutan kemajuan teknologi dan industri.

Ketika pemerintah mengajukan usulan RUU Sisdiknas pada tahun 2001 di atas, pemerintah telah memiliki lembaran yang dibacakan di depan siding paripurna DPR. Kalimat-kalimat yang disusun dan disampaikan menunjukkan ketegasan pendapat dengan memberikan latar belakang masalah, mengusulkan masalah, dan mengelaborasi masalah dalam persidangan.

Wacana yang diproduksi pemerintah, dan kemudian diterima oleh DPR sebagai bahan keputusan sidang memberikan makna yang tegas mengenai perlunya UU Sisdiknas Baru. Ada hal yang menarik dari hubungan antar wacana yang disampaikan oleh pemerintah, yakni menguatkan wacana pendidikan agama dibanding dengan wacana lainnya. Hal ini dibuktikan dari respon masyarakat luas terhasap wacana pendidikan agama tersebut.

Terdapat perubahan mendasar atas masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Usul pertama terkait dengan Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi dunia pendidikan namun beralih ke masalah di luar pendidikan. Bahkan kemudian tekanan dialihkan kepada masalah pendidikan Agama! Rendahnya mutu pendidikan yang menyebabkan merosotnya akhlak disebabkan karena pendidikan yang menekankan pada pendekatan akal dan bukan pendekatan agama. Melalui hal ini pemerintah melupakan masalah pendidikan umum dan masalah dibelokkan pada penekanan pendidikan agama untuk menghindari kemungkinan hilangnya generasi karena tidak berakhlak.

Penekanan RUU Sisdiknas yang dialihkan pada masalah pendidikan keagamaan ini ada kaitannya dengan dua fenomena dalam dunia sosial politik mengiringi turunnya rejim Suharto. Pertama, kepanikan moral yang menghantui masyarakat.5 Hal ini dapat

5

(42)

bar-dilihat dari banyaknya ungkapan masyarakat mengenai ‘reformasi kebablasan’ jika menyaksikan demonstrasi, kerusuhan-kerusuhan dan terutama pers yang semakin bebas menayangkan adegan pornografi, baik cetak maupun elektroni. Kedua, kecenderungan melihat merosotnya akhlaq dari tanggungjawab individual. Kemerosotan akhlaq tidak dilihat sebagai hal yang bersifat struktural, dimana struktur budaya politik memberikan situasi untuk berkembangnya sikap hipokrit dan mental korups karena tradisi militeristik rejim Suharto yang masih berlanjut hingga era reformasi. Ada reduksi pengertian dan kekaburan pemahaman mengenai hubungan agama dan struktur sosial, sehingga pilihan perbaikan akhlak difokuskan pada pendidikan agama dengan sasaran individu-individu. Dan pendidikan agama ini menjiwai UU Sisdiknas yang kemudian disahkan.

Catatan kedua, terdapat masalah kontradiktif dari hasil rapat DPR mengenai jaminan pendidikan bagi warga negara di satu sisi dan kebijakan privatisasi dalam pengelolaan pendidikan di sisi yang lain. Penyediaan subsidi pendidikan sebanyak 20% dari total anggaran APBN merupakan jawaban atas klausul jaminan pendidikan untuk rakyat. Namun pada sisi yang lain semangat demokratisasi yang dilandasi oleh kebijakan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi di dunia kerja diterjemahkan dengan kecenderungan pengelolaan pendidikan yang mendorong semangat swastanisasi pendidikan. Kecenderungan privatisasi dapat dilihat dari dua ide, pertama pendekatan pelibatan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan terutama faktor dana, dan kedua pembuatan status badan hukum bagi universitas yang dimaknai sebagai otonomi dalam pendapatan dan pengelolaan keuangan kampus, seperti yang sudah diterpakan oleh UGM di Yogyakarta dan UI di Jakarta. Meskipun dalam rapat DPR hal ini dibicarakan, pembahasannya tidak sampai pada inti masalah. Pada akhirnya semangat untuk memberikan jaminan atas pendidikan bagi warga melalui subsidi 20% APBN tidak memiliki kontribusi ketahanan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi yang beayanya sangat mahal. Sudah banyak contoh mahasiswa yang sudah diterima di UGM pada tahun 2003 tidak melanjutkan kuliahnya karena tidak kuat membayar dana pendidikan. Warga

(43)

negara akan terus berada dalam kerugian ketika kelembagaan hukum dan penyelenggaraan pendidikan “dibiarkan” memakai mekanisme swastanisasi.6

C. Respon Masyarakat

Pada tahun 2002 banyak usulan dan dengar pendapat dari tokoh-tokoh elit masyarakat ke DPR baik dari lembaga keagamaan maupun para pakar pendidikan dan tokoh-tokoh masyarakat umum. Pada intinya ada harapan yang besar terhadap UU Sisdiknas baru karena UU Sisdiknas 1989 sudah tidak memadai. Beberapa isu dimunculkan seperti pentingnya agama, pendidikan usia dini, prinsip nasionalisme dan NKRI, pentingnya konsep yang singkat dan padat dan sebagainya. Diantara ormas keagamaan tersebut antara lain Ormas tersebut di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Perwalian Umat Buddha (Walubi), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Taman Siswa.7 Tokoh-tokoh yang terlibat merespon sejak awal antara lain wakil Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sunarno dari Taman Siswa, Guru Independen Indonesia (FGII) Bandung Kongres I FGII yang berlangsung di Bandung, 8-11 Juli 2002, 26 organisasi guru independen dari seluruh Indonesia Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Sumatera Barat dan Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia (PGTTI) Jawa Timur,8dan sebagainya.

Masyarakat tidak banyak terlibat menanggapi usulan UU Sisdiknas baru sampai awal Maret 2003 ketika pemerintah mengajukan rancangan tandingan UU Sisdiknas tanpa menyertakan sandingannya dari versi DPR. Ketika berita itu dipublikasi, maka respon terus mengalir baik yang pro maupun kontra sampai disahkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Respon yang paling banyak dikeluarkan adalah soal pendidikan agama dalam pasal 12 UU Sisdiknas.

Berita media masa sebagai saluran wacana respon masyarakat ini menunjukkan dinamika yang menarik untuk dikaji. Pertama, proses komunikasi politik di dunia publik mengenai RUU Sisdiknas pada mulanya telah diikuti oleh para elit masyarakat dari

6Bdk. Dharmaningtyas,Ibid. 7Kompas,Kamis, 20 Juni 2002 8

(44)

berbagai golongan di masyarakat. Dinamika wacana politik para elit tidak menujukkan perubahan sosial secara partisipatif, namun ada kemungkinan akan terwujud kebijakan pendidikan yang mengikat publik secara keseluruhan. Kedua, produksi wacana melalui saluran media massa sangat berbeda dampak sosialnya dengan sosialisasi dengan cara lain tanpa melibatkan media secara massif. Sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah meliputi 1) menyampaikan pendapat dalam rapat dengar pendapat, 2) menyampaikan surat kepada dewan, 3) melalui forum sosialisasi yang dilakukan DPR kepada masyarakat di 5 kota besar di Indonesia tidak cukup mengundang publik untuk terlibat secara itnens kecuali elit-elit tertentu. Hal ini mengingatkan tentang peran media sebagai saluran wacana dapat memproduksi wacana secara massif dan dikonsumsi publik secara dinamis. Ketiga, wacana pendidikan agama yang mendominasi wacana publik yang dimunculkan dari media massa mengundang publik secara antusias terlibat untuk merespon RUU Sisdiknas sampai dengan pengundangannya.

D. Kesimpulan

(45)

BAB III

PASAL 12 UU SISDIKNAS

DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Bab ini membahas tentang wacana hubungan agama dan negara belum selesai dipetik dari pelajaran pro dan kontra UU Sisdiknas. Pembahasan hubungan agama dan negara juga akan melibatkan kajian mengenai akar kebijakan negara atas agama sejak jaman Kolonial hingga rejim Orde Baru dan model-model hubungan agama dan negara yang pernah ada. Penelusuran akar sejarah dan akar ideologis ini bertujuan untuk mencari keterkaitan dan menguatkan ingatan mengenai hubungan agama dan negara sebagai pijakan untuk menuju wacana hubungan agama dan negara secara lebih matang.

A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai

Pro kontra pasal 12 UU Sisdiknas mengenai hak peserta didik memperoleh pendidikan agama dari pengajar yang seagama mendapatkan respon yang luar biasa dari masyarakat yang jarang terjadi di masa sebelumnya. Berbagai kelompok masyarakat dari berbagai kalangan dan agama serta tokoh-tokoh masyarakat turut andil dalam membicarakan, mendiskusikan, mengusulkan, mengkritik, menentang atau mendukung terhadap UU Sisdiknas baik yang berkaitan secara khusus dengan pasal 12 atau secara umum dengan keseluruhan batang tubuhnya. Pada waktu menjelang pengesahan UU Sisdiknas ini pada tanggal 11 Juni 2003 reaksi masyarakat menyebar di berbagai kota di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Flores, Meumere, Papua dan lain-lain.1

Pihak-pihak yang terlibat dalam pro kontra juga sangat beragam. Kelompok-kelompok pendukung terdiri dari individu tokoh masyarakat dan agama dan organisasi-organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, sosial dan keagamaan. Beberapa yang diidentifikasi penulis misalnya sebagai berikut:

1

(46)

1. Kelompok Masyarakat Pro Kontra UU Sisdiknas2

No. Pihak Yang Mendukung UU Sisdiknas Pihak Yang Menolak UU Sisdi knas

1. Aliansi Pemuda dan Pelajar Indonesia MPPN (Masyarakat Prihatin Pendidikan Nasional) Jakarta

2. PMII Kalimantan Selatan SMU Salam Kudus, SMU Methodist, PT S. Thomas,

3. Para Ulama Pesantren Liga Nasioanl Mahasiswa Untuk Demokrasi (LMND) di Kupang NTT

4. Wapres HAmzah Haz Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) 5. ForumKomunikasi Lembaga Dakwah, DKI,

43 orang

STFK Ledalero dan LSM Meumere

6. AM Fatwa, ketua fraksi reformasi 2000 pelajar di Bajawa Flores

7. Din Syamsuddin, Sekjen MUI 5000 pelajar-mahasiswa (Katolik dan Islam) di Ende Flores

8. Ketua DPW Muhammadiah Jatim Prif Dr. Fasichhul Lisan, juga Ketua MPP HAM yang beranggotakan AL-Irsyad Jatim, HMI Jatim, ICM Jatim, Al-FAlah, Persatuan Guru Muhammadiah,

PDI

9. Amidhan (Ketua Majelis Ulama Indonesia) Forum Cipayung Yogyakarta (GMKI, GMNI, PMKRI, PMII, HMI)

Prof Dr H Abuddin Nata MA (dosen sejarah dan filsafat pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah)

Forum Lintas Agama (FLA) di Jawa Timur

Dr HA Fathoni Rodli (staf ahli bidang pendidikan Komisi VI DPR

Uskup Agung Kupang

Prof Dr Soedijarto, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan (SIPI)

Gerakan Peduli Pendidikan Nasional (GPPN)

Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan Melalui Ketua Umum Al Irsyad Al Islamiah Faruk Zain Bajabir, mengutip pernyataan Wapres di Jak

Referensi

Dokumen terkait

Sikap tanggung jawab merupakan ciri orang yang memiliki kepercayaan diri (Iswidharmanjaya & Enterprise, 2014:48-49). Pernyataan positif yang keenam terkait dengan proses

Dalam usaha untuk mencapai integrasi antara elemen-elemen fisik (karakter bangunan dan lingkungan) suatu kawasan, perlu pula memahami tentang budaya dan karakteristik

Pengendalian internal yang memadai yaitu didalamnya terdapt unsur-unsur pengendalian yang diharapkan dapat menjamin kelancaraan proses pemberian kredit dan dapt melindungi hak

Hasil ekstraksi diuapkan dan didapat ekstrak kental berwarna kuning. Kemudian diuji dengan pereaksi Lie- bermaon-Burchard memberikan warna merah ungu. Eluen tersebut

Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat

46 tahun 2013 dengan kondisi implementasi di lapangan, khususnya untuk: Menganalisis dan mendeskripsikan persepsi wajib pajak tentang kebijakan pajak penghasilan

- Boneless chicken, - Receiving (<40 o F) for packaging and reject (W 001) - Review form - Each delivery skin temperature - No off color/odor product integrity -

Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara mengambil nilai maximum aturan, kemudian menggunakanya untuk memodifikasi daerah fuzzy, dan