• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada rapat paripurna DPR RI tertanggal 27 September 2001 pemerintah sebagai pengusul inisiatif amandemen UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 memberikan penjelasan mengenai inti dari usulan inisiatif. Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu pertama, pemerataan pendidikan didasarkan atas fakta adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam penyediaan budget pendidikan,kedua relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja untuk menjawab kebutuhan pekerjaan bagi lulusan sekolah sampai tingkat perguruan tinggi yang semakin banyak menganggur, ketigapeningkatan mutu pendidikan dimana Indonesia merupakan negara yang memiliki skor rendah dibanding negara-negara Asia dankeempat, efisiensi pengelolaan pendidikan melalui pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pada latar belakang di atas beberapa wacana dimunculkan sehubungan dengan perlunya UU Sisdiknas. Pertama, wacana pemerataan pendidikan, kedua, wacana ekonomi, yakni biaya pendidikan, ketiga, wacana kualitas pendidikan, dimana mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, dan keempat, wacana manajemen pendidikan. Wacana-wacana ini dijadikan sebagai latar belakang pentingnya UU Sisdiknas baru. Namun selain isu yang secara formal merupakan alasan dasar usulan RUU Sisdiknas, terdapat wacana yang penting untuk diperhatikan yaitu wacana pendidikan agama.

Pendidikan agama bukan merupakan alasan formal yang diwacanakan oleh pemerintah. Namun wacana ini justru yang menggugah publik untuk terlibat karena sifat kontroversialnya. Dalam rapat Paripurna DPR RI itu pemerintah menyampaikan bahwa terdapat masalah besar yang mengancam kehidupan bangsa jika tidak segera dibenahi melalui system pendidikan yang baru. Masalah itu adalah kemerosotan akhlak dan ancaman adanya generasi yang hilang (lost generation). Bagi pemerintah, ancaman ini tidak terlepas dari lemahnya system pendidikan sebelumnya yang lebih menggunakan pendekatan kecerdasan otak daripada pendidikan agama.

Pemerintah juga menyampaikan mengenai wacana pendukung lainnya bagi adanya UU Sisdiknas antara lain 1) tunttan reformasi, 2) demokratisasi, 3) otonomi, 4) desentralisasi, 5) kemajuan teknologi dan industry. lainnya adalah mengenai tuntutan reformasi berupa demokratisasi, otonomi dan desentralisasi dalam bidang pendidikan dan tuntutan kemajuan teknologi dan industri.

Ketika pemerintah mengajukan usulan RUU Sisdiknas pada tahun 2001 di atas, pemerintah telah memiliki lembaran yang dibacakan di depan siding paripurna DPR. Kalimat-kalimat yang disusun dan disampaikan menunjukkan ketegasan pendapat dengan memberikan latar belakang masalah, mengusulkan masalah, dan mengelaborasi masalah dalam persidangan.

Wacana yang diproduksi pemerintah, dan kemudian diterima oleh DPR sebagai bahan keputusan sidang memberikan makna yang tegas mengenai perlunya UU Sisdiknas Baru. Ada hal yang menarik dari hubungan antar wacana yang disampaikan oleh pemerintah, yakni menguatkan wacana pendidikan agama dibanding dengan wacana lainnya. Hal ini dibuktikan dari respon masyarakat luas terhasap wacana pendidikan agama tersebut.

Terdapat perubahan mendasar atas masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Usul pertama terkait dengan Inisiatif ini didasarkan atas empat tantangan yang dihadapi dunia pendidikan namun beralih ke masalah di luar pendidikan. Bahkan kemudian tekanan dialihkan kepada masalah pendidikan Agama! Rendahnya mutu pendidikan yang menyebabkan merosotnya akhlak disebabkan karena pendidikan yang menekankan pada pendekatan akal dan bukan pendekatan agama. Melalui hal ini pemerintah melupakan masalah pendidikan umum dan masalah dibelokkan pada penekanan pendidikan agama untuk menghindari kemungkinan hilangnya generasi karena tidak berakhlak.

Penekanan RUU Sisdiknas yang dialihkan pada masalah pendidikan keagamaan ini ada kaitannya dengan dua fenomena dalam dunia sosial politik mengiringi turunnya rejim Suharto. Pertama, kepanikan moral yang menghantui masyarakat.5 Hal ini dapat

5

Kepanikan moral yang biasa dikaji oleh sosiologi biasanya mengacu pada keadaan tertentu yang dikhawatirkan masyarakat akan mengubah pola aturan moral lama terganggu, misalnya kriminalitas, aktifitas anak-anak muda pada musik jazz dan musik rocken role pada tahun 1950-an di Inggris yang yang dikhawatirkan membawa perilaku anti social dan promiskuitas, kebiasaan anak-anak muda minum di

bar-dilihat dari banyaknya ungkapan masyarakat mengenai ‘reformasi kebablasan’ jika menyaksikan demonstrasi, kerusuhan-kerusuhan dan terutama pers yang semakin bebas menayangkan adegan pornografi, baik cetak maupun elektroni. Kedua, kecenderungan melihat merosotnya akhlaq dari tanggungjawab individual. Kemerosotan akhlaq tidak dilihat sebagai hal yang bersifat struktural, dimana struktur budaya politik memberikan situasi untuk berkembangnya sikap hipokrit dan mental korups karena tradisi militeristik rejim Suharto yang masih berlanjut hingga era reformasi. Ada reduksi pengertian dan kekaburan pemahaman mengenai hubungan agama dan struktur sosial, sehingga pilihan perbaikan akhlak difokuskan pada pendidikan agama dengan sasaran individu-individu. Dan pendidikan agama ini menjiwai UU Sisdiknas yang kemudian disahkan.

Catatan kedua, terdapat masalah kontradiktif dari hasil rapat DPR mengenai jaminan pendidikan bagi warga negara di satu sisi dan kebijakan privatisasi dalam pengelolaan pendidikan di sisi yang lain. Penyediaan subsidi pendidikan sebanyak 20% dari total anggaran APBN merupakan jawaban atas klausul jaminan pendidikan untuk rakyat. Namun pada sisi yang lain semangat demokratisasi yang dilandasi oleh kebijakan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi di dunia kerja diterjemahkan dengan kecenderungan pengelolaan pendidikan yang mendorong semangat swastanisasi pendidikan. Kecenderungan privatisasi dapat dilihat dari dua ide, pertama pendekatan pelibatan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan terutama faktor dana, dan kedua pembuatan status badan hukum bagi universitas yang dimaknai sebagai otonomi dalam pendapatan dan pengelolaan keuangan kampus, seperti yang sudah diterpakan oleh UGM di Yogyakarta dan UI di Jakarta. Meskipun dalam rapat DPR hal ini dibicarakan, pembahasannya tidak sampai pada inti masalah. Pada akhirnya semangat untuk memberikan jaminan atas pendidikan bagi warga melalui subsidi 20% APBN tidak memiliki kontribusi ketahanan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi yang beayanya sangat mahal. Sudah banyak contoh mahasiswa yang sudah diterima di UGM pada tahun 2003 tidak melanjutkan kuliahnya karena tidak kuat membayar dana pendidikan. Warga

bar yang dikhawatirkan mempengaruhi perilaku moralnya, gerakan perempuan dengan symbol bra-burns tahun 1960-an yang dikhawatirkan akan permissive terhadap seks, aktifitas pemalakan dari anak-anak muda kulit hitam pada tahun 1970-an yang dikhawatrikan mengganggu ketertiban dan hukum (K. Thompson: 1999, 1).

negara akan terus berada dalam kerugian ketika kelembagaan hukum dan penyelenggaraan pendidikan “dibiarkan” memakai mekanisme swastanisasi.6

Dokumen terkait