• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan prifat dan publik berbeda. Kehidupan privat disifati dengan sisi ekslusifnya yang tertutup, malu, rahasia, ketidaksempurnaan, rasa bersalah; dan sifat inklisifnya seperti integritas, kebenaran dan keakraban. Sementara itu kehidupan publik memiliki kualitas lainnya yaitu partisipasi aktif dalam dunia umum, kesetiaan, kepercayaan, dan kisah-kisah. Dunia publik sangat dekat dengan kekuasaan dan oleh karena itu dengan politik. Memang, dunia publik dan politik berbeda, namun hubungannya sangat dekat.

Meskipun kehidupan prifat dan publik berbeda, mereka berhubungan satu sama lain. Karakteristik yang membedakan kedua wilayah privat dan publik bukan dimaksudkan dengan pemisahan keduanya. Kedua wilayah ini merupakan bagian dari kehidupan setiap orang atau kelompok masyarakat, namun dimensinya berbeda.

Kita dapat memberikan batas-batas yang publik dan privat dilihat dari tiga hal yaitu karakter, kebaikan dan bahasa privat dan publik, terutama perbedaan antara agama dan politik.18

D.2. Sisi Negatif dan Positif Publik

Publik memberikan keseimbangan bagi keterbatasan privat dan memoderasi kecenderungan negatifnya. Kehidupan privat mengarah pada kesiapan konsumsi, bohong, malu dan bersembunyi. Perilaku konsumsi terhadap barang pribadi misalnya, diberikan

18

kontrol oleh keseimbangan dengan barang-barang publik, penemuan suatu kebenaran yang merupkan ciri khas kreatifitas individu akan teruji dalam kehidupan publik dan sebagainya.

Kehidupan publik memiliki sisi positif dan negatifnya. Pertama, sisi positif kehidupan publik misalnya kesetiaan, kebenaran, kisah-kisah dan identitas. Kesetiaan berhubungan erat dengan peraturan dan norma yang merupakan produk kehidupan publik. Melalui peraturan dan norma, individu memiliki standart berperilaku dan berhubungan dengan orang lain. Keetika seseorang bersetuju dengan peraturan berarti seseorang telah memberikan pada dirinya sendiri bahwa menaatinya merupakan tugas dan tanggungjawab. Peraturan bagaikan pemandu individu untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dirinya dan mendorong individu seimbang secara sosial. Bagi kehidupan publik sendiri kesetiaan adalah wadah bagi kebebasan dan partisipasi memenuhi maknanya. Tanpa kesetiaan, perjuangan untuk pengaturan publik tidak akan bertahan. Melalui kesetiaan juga martabat dapat diperoleh.19

Kehidupan publik juga memberikan aspek identitas yang tak terelakkan. Pembentukan identitas memang melekat pada individu, namun pembentukannya tidak lepas dari kehidupan publik. Identitas mengandaikan adanya rujukan dan pembanding sebagai prasyarat kemunculannya, kehidupan publik menyediakan kisah-kisah, norma-norma, nilai-nilai, symbol dan bahasa yang diolah individu menjadi dirinya, kebaikan dan keburukannya, dan memungkinkan individu untuk memahami statusnya sebagai suatu identitas. Nilai kebaikan publik tidak terutama pada prasyarat terbentuknya identitas bagi individu, namun pada bahasa publik mengenai keadilan yang menjadi rujukan bagi individu untuk memustuskan dirinya menjadi orang normal atau baik atau sebaliknya.20

Kedua, kehidupan publik memiliki kelemahan-kelemahan, beberapa diantaranya antara lain kebanggaan komunal, napsu untuk kuasa, manipulasi, dan cinta tanah air berlebihan. Dilihat dari sisi pribadi, kebanggan komunal dapat merupakan sisi yang menyembunyikan kelemahan pribadi. Kehidupan publik menuntut kehidupan privat melayani kemauannya, mengikuti standarnya mengenai integritas melalui kesetiaan dan berbagai ujian untuk memenuhinya. Individu yang tidak mempu melampaui standar ini

19Cochran, Clarke E.,ibid, hal. 59.

20

akan menyembunyikan diri dalam kehidupan privat dengan merasa lemah, malu dan acap kali merasa bersalah.

Manipulasi, nafsu untuk berkuasa, cinta tanah air yang berlebihan, terlihat misalnya dalam proses perubahan wujud keakraban dari wilayah pribadi kepada wilayah publik. Proses-proses terbentuknya paham nasionalisme, totalitarianisme, rasisme, sukuisme dan sebagainya menggambarkan sifat-sifat di atas. Prosesnya melalui komunitas sebagai wilayah pribadi semi-publik. Keakraban, kedekatan, ketertutupan dialihkan secara menipulatif dari komunitas kepada ideologi, ras dan bangsa. Perubahan bentuk keakraban menjadi bermasalah ketika perasaan kekeluargaan ini menjadi perasaan publik, terutama politik. Sulitnya, sifat keakraban keluarga seperti mendengar keluhan, berbagi perasaan, pengalaman, prinsip, perjuangan dan lain-lain tidak dapat dilakukan dalam kehidupan publik. Intimitas ini dialihkan secara manipulatif, melalui proses-proses politik; rasa harus berjuang sebagai kelompok, rasa terancam dari komunitas lain, tuntutan perasaan disertai dengan penglihatan buruk terhadap kelemahan, rasa bersalah, rasa malu dan ketidasempurnaan. Hal ini semua yang mendorong perilaku invasi, penjajahan, totaliter, rasisme dan sebagainya21. Hal-hal ini perlu dilihat terutama penting ketika memahami wilayah rentan antara privat dan publik dari agama. Agama dapat menjadi kontrol bagi kehidupan publik (politik kenegaraan) karena agama memiliki wilayah publiknya sendiri, namun ketika agama menggantikan wilayah publik, maka kecenderungan publik yang berkecenderungan lebih penting dalam hubungannya dengan semua hal akan diambil alih oleh agama.

Kondisi rapat pembahasan UU Sisdiknas di gedung DPR memberikan gambaran yang lebih mengkhawatirkan daripada kerentanan sisi negatif publik.

D.3. Pubik dan Privat dalam Rapat Pembahasan UU Sisdiknas di DPR

Wacana yang berkembang dalam rapat komisi IV DPR mengenai pembahasan UU Sisdiknas tidak mempersoalkan pasal 12 mengenai hak peserta didik mendapatkan pendidikan agama dan diajarkan oleh guru yang seagama. Pasal 12 UU Sisdiknas berhubungan dengan beberapa pasal lain yang menyangkut pendidikan agama misalnya pembahasan pasal:

21

1. bagian dasar pertimbangan

1. pasal 1 tentang ketentuan umum

2. pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional

3. bab IV tentang jalur, jenjang dan satuan pendidikan, terutama soal status madrasah dan seminari

4. pasal 24 tentang otonomi pendidikan (otonomi akademik, mimbar akademik dan keilmuan)

5. pasal 26-27 tentang penyebutan majelis taklim dalam pendidikan non formal dan keluarga dalam informal

6. pasal 28 mengenai penyebutan TK Islam dalam pendidikan dini

7. pasal 53 tentan badan hukum pendidikan, kaitannya dnegan otonomi masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan

8. pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan 9. pasal 55-56 tentang pendidikan berbasis masyarakat

10. bagian penjelasan pasal-pasal terutama penjelasan bab I ketentuan umum, penjelasan pasal 12, pasal 28 soal pendidikan usia dini-Islam, pasal-37 soal pendidikan agama dan pasal-50 soal otonomi kampus

Hubungan pasal 12 dengan pasal-pasal di atas penulis maksudkan dalam cara rapat komisi VI DPR mengerti mengenai kedudukan agama dan negara dalam isu pendidikan keagamaan dari sisi publik dan privat. Praktik wacana yang dikembangkan dalam pembahasan UU Sisdiknas di rapat komisi VI DPR terlihat sebagai berikut.

1. Proses Rapat Pembahasan

Rapat pembahasan UU Sisdiknas oleh komisi VI DPR diikuti kurang lebih 9 fraksi terdiri dari fraksi KKI, fraksi PDU, fraksi PDKB, fraksi PDIP, fraksi Partai Golkar, fraksi KP, fraksi Reformasi, raksi TNI dan fraksi PBB. Peserta rapat sebagian merupakan anggota mantan anggota Komite Reformasi Pendidikan. Banyak diantara peserta memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, berposisi sebagai pemimpin agama di komunitasnya dan mayoritas beragama Islam. Ada beberapa yang beragama Kristen yang

berkedudukan cukup penting untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan dan pendidikan keagamaan dala gereja.

Secara umum rapat yang diikuti oleh 9 fraksi beralan cukup akomodatif dimana ide seluruh peserta disampaikan, dibahas, didiskusikan, diperdebatkan dan diputuskan bersama. Jika terdapat rumusan yang sangat rumit, maka rapat akan memutuskan bersama untuk menyerahkan kepada tim perumus yang khusus bertugas untuk memperbaiki rumusan hasil rapat. Tidak terdapat protes, interupsi dan proses deadlock dalam rapat-rapat di atas. Bahkan menurut penulis pembahasan sampai hal-hal kecil-kecil yang cukup bertele-tele, dan sering tanpa hasil yang jelas. Dalam hal tanpa hasil maka rapat biasanya akan kembali pada rancangan rumusan awal yang diusulkan oleh panitia perumus.

2. Ide-Ide Keagamaan Yang Mewarnai Rapat

Beberapa ide dari pasal-pasal di atas tidak akan dibahas semua, hanya bagian-bagian yang relevan dengan analisis. Diantara ide-ide pokok ini antara lain adalah:

a) memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam kerangka pendidikan. Tujuan pendidikan meliputi tiga aspek: 1) aspek kognitif yaitu pengetahuan, 2) aspek afeksi yaitu pembentukan sikap atau attitute dan 3) aspek psikomotorik yakni pembentukan ketrampilan. Konsep-konsep keagamaan dimasukkan ke dalam kerangka tujuan pendidikan ini diantaranya pertama konsep akhlaq mulia menggantikan usulan kata sikap dan budi pekerti dengan alasan akan lebih konsisten dengan konsep awal RUU (Prof Anwar Sulaiman), sesuai dengan semangan keagamaan dan maknanya lebih luas daripada kata budi pekerti (fraksi PPP dan PDU). Setelah diskusi menenai makna, hanya satu fraksi yang keberatan dan tetap mengusulkan untuk menyertakan konsep budi pekerjti di beakang konsep akhlaq mulia. Kedua konsep Islam, ada fraksi yang mengusulkan kata Islam disertakan setelah kata madrasah dengan alasan sebagian masyarakat ada yang salah menyangka nama suatu madrasah namun ternyata bukan lembaga sekolah Islam di beberapat tempat di Indonesia. Usul ini akhirnya ditolak secara aklamasi dan pengusul menerima. Ketiga kata madrasah dimasukkan sebagai

bagian intergral satuan pendidikan nasional dengan alasan bahwa madrasah memilikinilai historis yang mendalam dalam sejarah Indonesia sejak dahulu kala. Sekalipun madrasa diartikan sebagai sekolah, namun penyebutan di Indonesia memiliki asosiasi makna dan istoris yang berbeda. Rapat menyetujui pendapat ini dan sekolah dari agama selain Islam seperti parihusada dalam agama Hindu dan seminari dalam agama Katolik juga diakui dan direncanakan masuk dalam penjelasan ketentuan umum mengenai satuan pendidikan. Selain kata ini juga ada kata pesantren dan majelis talim yang diintrodusi ke dalam undang-undang dalam bab penjelasan satuan pendidikan informal. Konsep iman dan takwa akan selalu menyertai tujuan setiap jenjang pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

b) Ide otonomi pendidikan. Ide ini dikaitkan dengan dua hal: 1) otonomi dalam arti penyelengaraan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Hal ini menyangkut soal manajemen penyelenggaraan pendidikan yang pada era otonomi daerah sudah menjadi wewenang pemerintah daerah setempat. 2) otonomi dikaitkan dengan peran masyarakat dan peran peserta didik dalam menyelenggarakan pendidikan, terutama dari aspek pembiayaan pendidikan.

3. Perkembangan Wacana dalam Rapat Pembahasan Terhadap Masalah Publik dan Privat Wacana yang dikembangkan dalam rapat komisi VI meliputi berbagai hal diatantaranya 1) masalah privat-publik, dimana masalah dalam dunia pendidikan yang dikategorikan sebagai publik dan mana yang dikategorikan secara privat, 2) peran agama dalam pendidikan nasional, dimana pendidikan agama yang diyakini menjadi bagian integral dari pengertian nasional, dan 3) peran masyarakat baik kelompok umum atau keagamaan, peserta didik, peran negara dalam memfasilitasi dan menyelenggarakan pendidikan nasional. Peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan mengacu pada praktek sekolah swasta terutama pada otonomi dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. 4) peran anak didik, yang disebut juga memberikan kontribusi terhadap proses pendidikan dan hal ini berkait dengan pembiayaan pendidikan juga. Isu ini diangkat sehubungan dengan usulan untuk sekolah gratis 9 tahun dengan berbagai

masalah yang dihadapkan pada sekolah swasta. 5) wacana biaya sekolah, dimanan isu sekolah gratis berkaitan dengan eksistensi sekolah swasta yang biaya sehari-harinya dari kontribusi peserta didik. Pendidikan gratis dapat mematikan seksitensi mereka yang sudah estabish dalam penyelenggaraan pendidikan swasta, terutama sekolah kegamaan.

Hubungan antar wacana di atas seperti diolah oleh rapat-rapat DPR memberikan dampak yang tidak terlalu signifikan terhadap wacana pembagian wilayah publik dan privat yang cukup penting dalam melihat hubungan agama dan negara. Wacana yang dominan menjadi pembicaraan seputar pendidikan agama adalah wacana pembiayaan pendidikan agama, gratis atau tidak.

Wacana publik dan privat pada proses rapat-rapat tersebut terdominasi oleh kecenderungan membangun konsep keagamaan yang diintrodusir ke dalam konsep pendidikan nasional. Hal ini bisa dijelaskan dengan komposisi anggota DPR yang terlibat dalam rapat tersebut sebagai pembawa wacana dominan formalism dalam faham keagamaan, sebagaimana akan dikupas di bawah ini.

D.4. Praktik Sosial non Kewacanaan dan Pasal 12 UU Sisdiknas dan Kerentanan Agama di Wilayah Publik

Ada dua hal yang dapat dihubungkan dengan wacana hubungan agama dengan negara yang berpengaruh terhadap dominasi wacana pasal 12 UU Sisdiknas.Pertama, pada Pemilu tahun 1999 timbul berbagai macam partai politik berbasis agama. Diantara 48 peserta pemilu terdapat 16 partai berbasis agama Islam dan beberapa berbasis agama Kristen. Peserta pemilu tahun 1999 antara sebagai berikut.

01Partai Indonesia Baru

02. Partai Kristen Nasional Indonesia 03. PNI - Supeni

04. Partai Aliansi Demokrat Indonesia 05. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 06. Partai Ummat Islam

07. Partai Kebangkitan Ummat 08. Partai Masyumi Baru

09. Partai Persatuan Pembangunan 10. Partai Syarikat Islam Indonesia 11. PDI Perjuangan

12. Partai Abul Yatama 13. Partai Kebangsaan Merdeka 14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 15. Partai Amanat Nasional 16. Partai Rakyat Demokrat

17. Partai Syarikat Islam Indonesia - 1905 18. Partai Katolik Demokrat

19. Partai Pilihan Rakyat 20. Partai Rakyat Indonesia

21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi 22. Partai Bulan Bintang

23. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia 24. Partai Keadilan

25. Partai Nahdlatul Ummat 26. PNI - Front Marhaenis

27. Partai Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia 28. Partai Republik

29. Partai Islam Demokrat 30. PNI Massa Marhaen

31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 32. Partai Demokrasi Indonesia 33. Partai Golkar

34. Partai Persatuan

35. Partai Kebangkitan Bangsa 36. Partai Uni Demokrasi Indonesia 37. Partai Buruh Nasional

38. Partai MKGR 39. Partai Daulat Rakyat 40. Partai Cinta Damai

41. Partai Keadilan dan Persatuan 42. Partai Solidaritas Pekerja 43. Partai Nasional Bangsa Indonesia 44. Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia 45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia 46. Partai Nasional Demokrat

47. Partai Ummat Muslimin Indonesia 48. Partai Pekerja Indonesia22

Kedua, pada sidang komisi VI DPR mengenai UU Sisdiknas, diikuti oleh 10 fraksi. Dari 10 fraksi itu hampir keseluruhan tidak netral agama, baik dari sisi ideologi partai atau dari anggota partai yang mengkuti rapat tersebut. Diantara fraksi yang membahas UU Sisdiknas di Komisi VI DPR RI itu antara lain adalah:

1. F. KKI 2. F. PDU 3. F. PDKB 4. F. PDIP

22http://www.kompas.com/kompas-cetak/9903/06/PARTAI/part15.htm.Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari Jumat (12/3) melakukan pengundian nomor urut peserta Pemilihan Umum 1999. Pengundian dilakukan di Gedung KPU. Hadir dalam acara pengundian nomor urut itu Ketua KPU Rudini, Wakil KPU Adnan Buyung Nasution, dan Harun Alrasid.

5. F. P Golkar 6. F. KP

7. F. Reformasi 8. F. TNI 9. F. PBB

Hubungan-hubungan kelembagaan dengan wacana yang dibawa memiliki hubungan ideologis. Partai adalah pemegang kepentingan, mereka dengan sadar mewacanakan UU Sisdiknas berdasarkan kepentingan partainya.

Dua hal yang mengiringi kecenderungan agama -dalam konteks ini direpresentasikan oleh partai dan anggotanya- dalam kehidupan publik yaitu klaim kebenaran dan keinginan berkuasanya. Bahayanya terletak pada dominasi agama atas wilayah publik dan kombinasi agama dan ideologi politik. Pertama, nafsu dan klaim kebenaran menemui bahayanya ketika ada lembaga lain dalam satuan kehidupan publik tidak setuju dengan klaim itu. Agama yang disandarkan kepada kebenaran Tuhan yang Maha Kuasa akan merasa memiliki legitimasi atas hukum, pemerintahan dan kekuasaan secara keseluruhan. Kemungkinan adanya tindakan penyeragaman dalam pengendalian sosial melalui system keyakinan, kelembagaan dan ritual patut dikhawatirkan. Fungsi ritual sebetulnya adalah pelepasan nafsu dan penyeimbang beban kehidupan, namun ketika agama bermain kuasa di sektor publik, nafsu dapat tidak terkendali. Kekuasaan agama juga rentan atas perluasan wilayahnya, baik secara geogfrafis maupun secara keyakinan. Pihak otoritas agama akan merasa bahwa semua umat yang memeluk agama sama menjadi wilayah kekuasaannya, kendatipun di luar geografis kesatuan politik (negara)nya. Konflik, terorisme, perang agama, tidak dapat tidak menjadi preferensi bagi kita kendatipun konteksnya berbeda-beda.

Kedua, kemungkinan adanya asimilasi agama dengan ideologi politik, maksudnya adalah keyakinan agama yang bersatu dengan ideologi politik, bukan dimensi agama dalam ideologi politik. Asimilasi ini dapat melahirkan kebijakan-kebijakan publik didasarkan atas suatu keyakinan agama, sehingga menentukan, misalnya secara mutlak mengenai kebijakan ekonomi dan politik suatu negara.23 Dalam konteks Indonesia,

23

kecenderungan formalisme agama dalam politik melalui politik aliran mengkhawatirkan banyak pihak karena keyakinan kemutlakan agama akan mewarnai kebijakan politik dan penyeragaman-penyeragaman baik sangat rentan akan dilakukan oleh politik aliran yang berpatokan pada kebenaran total dari keyakinannya.

Agama dapat menghindari bahaya keburukan publik yang impersonal di atas melalui, misalnya menjadi tempat perlindungan publik dan menjadi penantang dunia. Sifat kehidupan publik yang impersonal, dengan kecenderungan yang individualis, kompetitif, tidak berperasaan dapat diseimbangkan oleh peran agama. Agama dapat menjadi tempat perlindungan yang menawarkan keakraban privat, berbagi rasa, berbagi pengalaman dan mencari makna melalui berbagai kegiatan ritual, seni, pengajian dan lain-lain.

Agama bisa menjadi obat dari kehidupan yang keras dan memperkuat solidaritas sosial. Agama menyelenggarakan pendidikan untuk mengerti mana sikap yang benar dan salah, dan acapkali menegakkan hal ini melalui pemberontakan terhadap pemerintahan yang lalim.24

Yang terjadi dalam wacana publik mengenai UU Sisdiknas sudah sangat kentara warna politiknya. Kekhawatiran akan golongan yang menolak terhadap yang mendukung UU Sisdiknas pasal 12 adalah kekhawatiran menghadapi simbiosis politik dan agama ini. Pada rapat komisi VI di gedung DPR sendiri dalam perdebatan mengenai konsep-konsep dalam UU Sisdiknas sangat diwarnai oleh keinginan golongan agama untuk mengintrodusir konsep-konsep keagamaan ke dalam UU Sisdiknas yang sedianya untuk kalangan publik secara luas.

E. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dari bab ini antara lain pertama, agama merupakan lembaga sosial tempat wilayah privat dan publik bertemu secara intens, kedua, wacana wilayah privat dan publik belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah dan DPR sehingga berpengaruh terhadap ditinggalkannya pertimbangan wilayah publik dan privat dalam penyusunan dan pembahasan UU Sisdiknas.

24

BAB V

PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA

Wacana pro dan kontra pasal 12 UU Sisdiknas merupakan respon yang kuat dari publik agama yang luas. Ini menggambarkan ada keyakinan kuat publik atas peran agama dalam membangun moral bangsa. Wacana resmi yang dominan lebih tegas mengatakan bahwa salah satu aspek mendasar dari inisiatif UU Sisdiknas adalah untuk membangun moral bangsa yang telah mengalami krisis yang mendalam sehingga dikhawatirkan akan ada generasi yang hilang.

Wacana-wacana yang muncul pada rapat komisi VI DPR dan berita media mengenai pro dan kontra mengandung beberapa tatanan wacana antara lain: 1) moralitas bangsa, 2) peran agama, 3) masyarakat dan Negara sebagai agen wacana dan 4) wacana demokrasi dan 5) wacana sosial kepanikan moral.

A. Moralitas Bangsa dan Peran Agama

Wacana moralitas bangsa mengandung pengertian wilayah publik (bangsa) dan moralitas itu sendiri. Agama dalam hal ini menempati kedudukan yang unik, dimana sebagai lembaga sosial yang memiliki wilayah aktifitas seputar perubahan moral. Wilayah agama meluas dari wilayah privat hingga wilayah publik. Cakupan agama dalam wilayah privat berhubungan terutama dengan sifat-sifat kerahasiaan, keakraban, penemuan kebenaran yang melekat pada hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Cakupan agama di wilayah publik adalah ketika diekspresikan melalui kelembagaan sosial yang menghubungkan wilayah privat dan publik seperti keluarga, teman dan komunitas seagama. Melalui lembaga-lembaga ini agama mempengaruhi kehidupan publik, baik yang berkaitan dengan masalah umum seperti kegiatan pendidikan, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, bakti sosial, maupun yang berkaitan dengan politik dimana partisipasi dalam kebijakan publik diwarnai dengan perspektif dan gerakan keagamaan. Politik aliran dengan memakai teologi politik atau gerakan politik yang didasarkan atas semangat keagamaan dengan cara yang cukup inklusif merupakan beberapa contoh bentuk publik dari agama.

Kelebihan agama sebagai bagian dari kehidupan publik adalah kekuatannya dalam membangun karakter masyarakat barkaitan dengan pendidikan dan misinya yang didasarkan atas keyakinan pada yang Maha Kuasa. Keyakinan, kesetiaan, pengorbanan, kejujuran, kedisiplinan adalah sifat-sifat yang sangat menguatkan kehidupan publik yang disumbangkan oleh agama. Agama sebagai ruang privat, sebagaimana lembaga-lembaga semi publik lainnya, memberikan sumbangan-sumbangan lain yang khas seperti pembentukan kemandirian (otonomi), keakraban/kedekatan dan kebebasan1. Kemandirian terbangun melalui pengalaman-pengalaman keagamaan, perolehan makna secara kuat dan penghargaan diri. Hal ini akan sangat berpengaruh pada individu ataupun kelompok dalam melindungi hak-hak mereka ketika ada kekuatan dari kehidupan publik terutama politik yang ingin mengintervensi kehidupan privat. Solidaritas dan setia kawan dibangun melalui keakraban yang intens dalam keyakinan yang sama, dan pada gilirannya memberikan dasar etika untuk berhubungan dengan pihak yang semakin luas. Kebebasan terutama merupakan upaya publik, namun kehidupan privat memberikan sumbangan besar dalam hal ini. Ketika ada kekuatan luar, maka kehidupan privat mendorong kontrol atas intervensi ini demi kebebasan. Politik dalam ranah kehidupan publik memiliki kecenderungan untuk menguasai apa saja, dalam hal ini kehidupan privat dapat membantu politik memahami masyarakat dan bagaimana membangunnya, seperti layaknya kepada seorang kawan akrab.

Kekuatan agama memerlukan pemeliharaan untuk selalu memperkuat kehidupan publik tanpa harus berbenturan dengan kehidupan publik secara luas. Dalam konteks pro dan kontra UU Sisdiknas pada tahun akhir 2002 dan memuncak pada semester pertama tahun 2003 optimisme akan partisipasi warga keagamaan dalam wilayah publik perlu dikaji lebih jelas supaya dapat diidentifikasi menjadi kekuatan kehidupan publik. Untuk diperlukan kejelian mengenai batas-batas antara ruang publik dan privat.

Dokumen terkait