V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.6 Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Spearman. Walaupun karakteristik sosial ekonomi sangat kecil berpengaruh terhadap keputusan responden untuk ikut serta dalam HTR, namun hampir semua karakterisik sosial ekonomi memiliki korelasi yang tinggi dengan tingkat partisipasi responden dalam kegiatan HTR. Semua variabel kecuali pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman tani hutan. Dari hasil analisis yang dilakukan (Tabel 50). Tingkat partisipasi masyarakat dalam HTR berhubungan sangat nyata (tingkat kepercayaan 99%) dengan status kepemilikan lahan di areal HTR, luas lahan, pendapatan dan skor kosmopolitan. Hubungan antara semua variabel tersebut bersifat positif yang
berarti semakin besar nilai variabel tersebut maka tingkat partisipasinya juga semakin tinggi.
Tabel 50 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan HTR berdasarkan nilai korelasi Spearman
Variabel Tingkat Partisipasi
Kegiatan HTR
Perencanaan Pelaksanaan pemanfaatan Pemeliharaan dan evaluasi umur -0,197* 0,085 -0,262 0,098 -0,240 Pendidikan formal 0,157 0,272* 0,113 0,249* 0,046 Pendidikan informal 0,266* 0,234* 0,201 0,129 0,360** status kepemilikan lahan di areal HTR 0,700** 0,611** 0,603** 0,440** 0,505** luas lahan 0,594** 0,461** 0,565** 0,399** 0,529**
jarak dari tempat tinggal ke lahan HTR 0,239* 0,095 0,259* 0,390** 0,170 Pendapatan 0,340** 0,228* 0,329** 0,295** 0,307** Jumlah tanggungan keluarga 0,109 0,073 0,085 0,265* 0,008 Pengalaman bertani hutan 0,209 0,147 0,132 0,225* 0,222* Kekosmopolitan 0,491** 0,560** 0,327** 0,025 0,432** Keterangan : * = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%
**= berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Umur mempunyai hubungan negatif dengan tingkat partisipasi. Artinya bahwa semakin tua seseorang maka tingkat partisipasinya semakin rendah. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan HTR lebih banyak bersifat kerja fisik. Usia rata-rata peserta HTR adalah 42,77 tahun sedangkan usia produktif masyarakat hingga 56 tahun. Artinya, jangka waktu seseorang dapat berpartisipasi hanya kurang lebih 15 tahun, hingga mencapai umur tertentu masyarakat tidak akan dapat ikut berpartisipasi atau tingkat partisipasinya akan menurun.
Karakteristik sosial ekonomi seperti status kepemilikan lahan HTR, luas lahan, pendapatan dan kosmopolitan juga berhubungan dengan tingkat partisipasi responden mulai dari kegiatan perencanaan hingga pemeliharaan dan evaluasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Neupane (2002) dan Lee Zbinden dan Lee (2005) yang menyatakan bahwa umur, kepemilikan lahan, dan pendapatan sebagai faktor yang juga sangat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan di Nepal dan Kostarika.
Semakin pasti seseorang memiliki lahan di areal HTR maka tingkat partisipasinya juga semakin tinggi. Hal ini wajar terjadi karena mereka memiliki
103
kepastian hukum yang jelas dalam mengelola lahannya, tanpa takut jika sewaktu- waktu lahan tersebut diambil pemerintah atau pihak lain. Faktor ini berkorelasi dengan tingkat partisipasi pada seluruh kegiatan HTR.
Luas lahan yang semakin besar juga membuat tingkat partisipasi semakin tinggi. Ini juga jelas karena lahan yang luas membutuhkan perhatian dan curahan yang lebih dibandingkan lahan yang lebih sempit. Kegiatan yang dilakukan pada lahan yang lebih luas juga semakin banyak dan seseorang akan semakin intensif pergi ke lahan (Zbinden & Lee 2005).
Dari Tabel 50 juga dapat disimpulkan bahwa semakin besar pendapatan seseorang maka tingkat partisipasinya juga semakin tinggi. Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan berarti modal untuk membangun dan melaksanakan kegiatan di areal HTR juga semakin besar. Mereka dapat lebih banyak dan intensif melakukan kegiatan baik dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan penanaman, pemanfaatan hasil maupun pemeliharaan. Semakin kecil pendapatan, maka modal untuk melakukan kegiatan di HTR juga terbatas akibatnya tingkat partisipasinya jiuga menurun. Hal inilah yang banyak dialami oleh responden di daerah penelitian terutama di Desa Taman Bandung. Mereka menunggu bantuan untuk melakukan penanaman. Zbinden dan Lee (2005) dalam penelitiannya di Kostarika menyebutkan bahwa pemberian insentif berupa dana tunai dapat memecahkan masalah kekurangan dana untuk waktu yang singkat, dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk sementara waktu. Namun cara ini belum tentu dapat meningkatkan partisipasi seseorang di suatu kegiatan dalam jangka waktu yang panjang.
Faktor lain yang berhunbungan sangat nyata dengan tingkat partisipasi adalah sifat kosmopolitan. Semakin tinggi sifat kosmopolitan seseorang, tingkat partisipasinya dalam kegiatan HTR juga semakin tinggi. Sifat kosmopolitan yang tinggi dan terbuka terhadap perubahan atau program baru dimiliki oleh tokoh masyarakat, aparat desa atau masyarakat dengan akses sumberdaya, pendidikan dan informasi yang lebih baik. Mereka juga turut serta dalam program HTR bahkan sebagian besar berperan sebagai ketua kelompok tani dimana keaktifan setiap kelompok tergatung pada ketua kelompoknya. Sinha dan Suar (2005) menyebutkan bahwa tingkat partisipasi pada pengelolaan hutan oleh masyarakat
lokal lebih baik dibandingkan dengan pada pengelolaan hutan oleh perusahaan. Ini terjadi diduga karena pengaruh pemimpinnya. Pada hutan yang dikelola masyarakat lokal, pemimpinnya bersifat partisipatif dan karismatik sedangkan pada perusahaan lebih bersifat otoriter dan manipulatif. Oleh karena itu dalam peningkatan partisipasi masyarakat termasuk kegiatan HTR perlu dilakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan informal di daerah tersebut.
Pada Tabel 50 jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi. Hal ini dapat terjadi karena anggota keluarga yang ada bukan sebagai tenaga kerja yang dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan HTR. Kebanyakan responden adalah keluarga yang baru memiliki anak usia sekolah sehingga belum dapat membantu dalam mengelola lahan sehingga semakin banyak anggota keluarga tidak berhubungan dengan tingkat partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR.
Pada penelitian ini pendidikan formal juga merupakan variabel yang tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat secara keseluruhan, demikian pula dengan pengalaman bertani hutan. Padahal beberapa penelitian lain menyatakan sebaliknya (Susiatik 1998; Neupane 2002; Zbinden & Lee 2005). Hal ini diduga karena perbedaan sosial budaya masyarakat di daerah penelitian. Di daerah ini hampir semua masyarakat terlepas dari tingkat pendidikannya memiliki mata pencaharian sebagai petani khususnya petani karet baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Cara pengelolaan lahannya juga sama berdasarkan pengetahuan dan budaya yang biasa dilakukan di daerah tersebut. Oleh karena itu tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap partisipasi responden dalam kegiatan HTR. Demikian pula dengan pengalaman bertani hutan. Sebagian besar kegiatan HTR bukan menanam kayu melainkan menanam karet dan kayu hanya sebagai sampingan, maka perbedaan pengalaman dalam menanam kayu tidak memiliki keeratan hubungan dengan tingkat partisipasinya.
Justru pendidikan informal lebih memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi. Semakin tinggi pengalaman pendidikan informalnya, maka tingkat partisipasinya juga semakin tinggi. Dengan demikian perlu dilakukan banyak
105
pelatihan tentang kehutanan terutama budidaya tanaman hutan agar masyarakat tidak hanya bergantung pada penghasilan dari karet.