V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.5 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi terhadap
5.5.1 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat
Dari 10 variabel karakteristik sosial ekonomi yang digunakan hanya dua variabel yang berpengaruh nyata secara statistik (95%) terhadap keputusan seseorang untuk ikut serta dalam program HTR, yaitu status lahan yang dimiliki di areal HTR (X1.4) dan jarak tempat tinggal ke lahan HTR (X1.6). Model regresi
logistik dengan kombinasi kedua variabel tersebut (kombinasi 9) dapat menerangkan keputusan masyarakat sebesar 44,113% (Tabel 46). Dengan menurunkan tingkat kepercayaan menjadi 90% tidak ada penambahan variabel karakteristik sosial ekonomi yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan responden.
Tabel 48 Hasil regresi logistik menggunakan variabel karakteristik sosial ekonomi untuk menduga peluang responden ikut serta dalam program HTR
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Karakteristik sosial ekonomi
kepemilikan lahan di areal HTR (X1.4) 4,670 1,345 12,050 1 0,001 106,665
jarak ke lahan HTR (X1.6) 0,711 0,278 6,517 1 0.011 2,035
konstanta -14,360 4,258 11,370 1 0.001 0,000 Keterangan : B=perkiraan koefisien, S.E=galat baku, Wald=uji statistik Wald dalam sebaran chisquare, df=derajat bebas, Sig=nilai peluang (p)
Dari hasil regresi logistik dengan menggunakan variabel lahan HTR dan jarak (Tabel 48) dapat dibangun model pendugaan peluang masyarakat ikut serta dalam HTR seperti terlihat pada Persamaan 10.
Keterangan :
π(x) = peluang masyarakat ikut serta dalam kegiatan HTR
Lahan HTR = skor status kepemilikan lahan di areal HTR
Jarak = jarak tempat tinggal ke areal HTR (km)
Berdasarkan Tabel 48 dapat diketahui bahwa apabila variabel jarak dikontrol, kenaikan skor kepemilikan lahan di areal HTR sebesar 1 satuan maka
peluang seseorang untuk ikut serta dalam HTR 106,665 kali lebih besar. Jika variabel kepemilikan lahan di areal HTR dikontrol, dengan bertambahnya jarak tempat tinggal seseorang ke lahan HTR sebesar 1 satuan maka peluang seseorang untuk ikut HTR 2,035 kali lebih besar.
Dari model tersebut diketahui bahwa lahan memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam HTR. Kondisi hutan yang dicadangkan sebagai areal HTR di Kabupaten Sarolangun sudah habis diokupasi oleh masyarakat menjadi perladangan dan perkebunan. Untuk menghindari konflik dengan masyarakat maka pendekatan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam kegiatan HTR adalah dengan mengakomodasi para pemilik lahan tersebut untuk ikut serta dalam HTR. Dengan demikian masyarakat yang tidak menguasai lahan di areal HTR tidak dapat ikut serta.
Dari persamaan 10 juga dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak tempat tinggal seseorang ke lahan HTR peluang orang tersebut untuk ikut serta lebih besar. Hasil ini bertentangan dengan logika umum yang menyatakan bahwa semakin dekat jarak tempat tinggal seseorang ke lahan usahanya, maka keinginannya untuk mengusahakan lahan tersebut lebih besar. Hal ini diduga karena jarak pada penelitian ini tidak berhubungan dengan keinginan seseorang mengelola lahannya namun lebih berhubungan dengan status lahan tersebut. Semakin jauh jarak lahan hutan dengan desa peluang konflik dengan areal penggunaan lain lebih kecil sehingga masyarakat yang memiliki lahan hutan yang lebih jauh memiliki peluang lebih besar untuk ikut serta dalam HTR. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keputusan seseorang ikut serta dalam suatu program tidak berpengaruh oleh jarak namun oleh karakteristik individu dan sifat program yang ditawarkan (Neupane et al. 2002; Pregernik 2002). Penelitian Predo (2003) menyebutkan bahwa kepemilikan lahan justru lebih berpengaruh terhadap keputusan seseorang ikut serta dalam kegiatan penanaman pohon dibanding jarak. Demikian pula pada penelitian ini, jarak masih berhubungan erat dengan status lahan yang dimilikinya.
Begitu dominannya pengaruh lahan hingga menyebabkan variabel lain yang berhubungan dengan karakteristik individu seperti umur, pendidikan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, pengalaman dan sifat kosmopolitan tidak memiliki
97
pengaruh nyata terhadap peluang seseorang untuk dapat ikut program HTR. Luas lahan yang dimiliki juga tidak berpengaruh nyata karena adanya batasan luas kepemilikan lahan di areal HTR yaitu sebesar 15 ha.
Melihat kondisi di atas, status kepemilikan lahan di areal HTR sepertinya menjadi prasyarat yang tidak tertulis dalam menentukan dapat tidaknya seseorang ikut program HTR. Walaupun seseorang tersebut berminat dan tertarik ikut HTR, namun karena tidak menguasai lahan di areal HTR maka dengan ketentuan yang berlaku saat ini peluangnya untuk dapat mengelola HTR sebagai pemegang ijin perorangan sangat kecil. Kemungkinan yang berlaku baginya adalah ikut serta sebagai buruh tani di areal HTR. Dengan demikian tujuan HTR saat ini lebih condong kepada mengatasi konflik kepemilikan lahan di kawasan hutan terutama di kawasan hutan yang telah diokupasi oleh masyarakat dan bukan kepada meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
5.5.2 Pengaruh Persepsi Masyarakat terhadap Keputusan Mereka untuk Ikut Serta dalam Program HTR
Pada tingkat kepercayaan 95%, terdapat 3 variabel persepsi yang berpengaruh nyata terhadap keputusan responden ikut serta dalam HTR yaitu persepsi responden terhadap alokasi lahan (X2.2), persepsi terhadap hak dan
kewajiban (X2.10) dan persepsi terhadap kegiatan sosialisasi (X2.13) (Tabel 47).
Jika tingkat kepercayaan diturunkan menjadi 90% maka terdapat 4 variabel lain yang ikut berpengaruh yaitu persepsi responden terhadap pola mandiri perorangan (X2.3), persepsi terhadap jangka waktu dan luas pengusahaan (X2.8), persepsi
terhadap ketentuan pewarisan(X2.9) dan persepsi terhadap kelembagaan(X2.11).
Model dengan kombinasi dari ketiga variabel persepsi memberikan nilai -2logL sebesar 85,782 (Tabel 46), artinya bahwa kombinasi ketiga variabel tersebut dapat menjelaskan keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam HTR sebesar 85,782%. Model dengan kombinasi 7 variabel persepsi memberikan nilai -2log L sebesar 52,614. Berdasarkan uji nyata terhadap kedua model diperoleh nilai G= 33,168 dengan nilai p lebih kecil dari 0,001 maka kesimpulannya tolak Ho. Ini berarti bahwa terdapat pengaruh nyata dengan memasukkan 4 variabel
tambahan dalam model. Walaupun model dengan 3 variabel persepsi lebih dapat menerangkan data yang ada tetapi pengaruh 4 variabel tambahan juga sangat nyata dalam menduga peluang seseorang ikut serta dalam HTR dan dianggap penting dalam penelitian ini.
Tabel 49 Hasil regresi logistik menggunakan variabel persepsi untuk menduga peluang responden ikut serta dalam program HTR
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Alokasi lahan (X2.2) 0,312 0,195 2.552 1 0,110 1,366
Pola mandiri perorangan (X2.3) 0,797 0,282 7.957 1 0,005 2,219
Jangka waktu dan luas pengusahaan (X2.8) 1,179 0,641 3.385 1 0,068 3,250
Ketentuan pewarisan (X2.9) 1,128 0,550 4.204 1 0,040 3,090
Hak dan kewajiban (X2.10) -0,275 0,156 3.130 1 0,077 0,759
Kelembagaan (X2.11) 0,689 0,253 7.415 1 0,006 1,991
Sosialisasi (X2.13) 1,295 0,456 8.055 1 0,005 3,651
Kostanta -35,404 9,280 14.555 1 0,000 0,000 Keterangan : B=perkiraan koefisien, S.E=galat baku, Wald=uji statistik Wald dalam sebaran chisquare, df=derajat bebas, Sig=nilai peluang (p)
Berdasarkan perhitungan regresi logistik menggunakan ketujuh varibel tersebut seperti pada Tabel 49 maka bentuk model pendugaan regresi logistik dari peluang masyarakat ikut serta dalam kegiatan HTR menggunakan variabel persepsi adalah:
Keterangan :
π(x) = peluang masyarakat ikut serta dalam kegiatan HTR
LHN = skor persepsi responden terhadap alokasi lahan
POL = skor persepsi responden terhadap pola mandiri
perorangan
WKT&LS = skor persepsi responden terhadap jangka waktu dan luas pengusahaan
WRS = skor persepsi responden terhadap ketentuan pewarisan
H&K = skor persepsi responden terhadap hak dan kewajiban
dalam kegiatan HTR
LEM = skor persepsi responden terhadap kelembagaan
kelompok tani
SOS = skor persepsi responden terhadap sosialisasi HTR
Persepsi responden terhadap alokasi lahan sangat berpengaruh dalam model pendugaan karena keikutsertaan dalam HTR dipengaruhi oleh penguasaan lahan oleh responden di areal HTR. Responden yang memiliki lahan di areal HTR memiliki tingkat persepsi yang lebih tinggi terhadap kegiatan HTR karena mereka
99
memiliki kepentingan untuk melegalkan pengelolaan lahan hutan di areal HTR yang telah mereka kuasai. Selain itu status lahan juga sangat berpengaruh pada keputusan responden. Responden yang memiliki lahan yang masih dalam konflik kepemilikan atau belum selesai verifikasinya akan memiliki pertimbangan lebih berat untuk ikut serta dalam HTR. Bertambahnya skor persepsi seseorang terhadap alokasi lahan akan membuat peluang orang tersebut ikut serta dalam program HTR 1,366 kali lebih besar (Tabel 49).
Keinginan masyarakat untuk mandiri juga mempengaruhi keputusan seseorang untuk ikut atau tidak dalam program HTR di Kabupaten Sarolangun. Mereka lebih menyukai ijin pengelolaan HTR atas nama perorangan dibandingkan dengan ijin atas nama koperasi. Semakin tinggi persepsi seseorang terhadap ijin perorangan dibanding koperasi maka peluang orang tersebut ikut HTR 2,219 kali lebih besar. Hal ini diduga karena masyarakat lebih merasa nyaman mengelola lahan dan mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan lahannya secara mandiri sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Selain itu juga karena mereka tidak terbiasa bekerjasama dan berorganisasi dalam melakukan pengelolaan lahan.
Faktor jangka waktu dan luas pengusahaan juga berpengaruh dalam menduga peluang seseorang ikut HTR. Jika variabel lain dikontrol, pertambahan nilai persepsi seseorang terhadap variabel ini akan meningkatkan peluang seseorang ikut HTR 3,250 kali lebih besar. Artinya semakin setuju seseorang terhadap ketentuan jangka waktu dan batasan luas yang ada saat ini semakin besar pula peluangnya ikut HTR.
Faktor ijin HTR yang tidak dapat diwariskan juga menjadi variabel yang berpengaruh menduga peluang seseorang ikut HTR. Ijin HTR harus dikembalikan ke pemerintah pada saat pemegang ijin meninggal dunia. Ketentuan ini kemungkinan tidak dapat berubah karena sifat ijin yang diberikan adalah ijin usaha dengan jangka waktu tertentu sehingga secara hukum tidak dapat diwariskan. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan ini rendah. Jika nilai persepsi seseorang terhadap ketentuan ini naik 1 satuan, maka peluangnya ikut HTR juga akan meningkat 3,090 kali lebih besar (Tabel 49). Dengan demikian perlu dicari celah untuk meningkatkan persepsi masyarakat terhadap ketentuan
ini. Salah satu cara yang diberlakukan oleh pemerintah daerah di Sarolangun adalah dengan memprioritaskan anak atau ahli waris jika mereka ingin mengajukan ijin HTR di lokasi yang ditinggalkan orang tuanya. Oleh karena itu mereka menambahkan kartu keluarga dalam persyaratan permohonan ijin HTR selain tanda pengenal (KTP). Apabila anak atau ahli waris dari pemegang ijin tidak berminat mengajukan ijin di areal tersebut, baru areal tersebut dapat diajukan ijinnya oleh penduduk lain di desa yang bersangkutan.
Hak dan kewajiban berpengaruh dalam model pendugaan karena menggambarkan sejauhmana masyarakat mau melaksanakan HTR. Semakin berat kewajiban yang harus dipenuhi maka masyarakat semakin enggan untuk ikut serta dalam HTR seperti kewajiban untuk membuat RKU dan RKT dirasa berat oleh masyarakat karena mereka belum memiliki pengalaman, tidak ada yang membantu penyusunannya dan mereka terbiasa dengan sistem perladangan tradisional dengan membakar hutan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketentuan mengenai hak dan kewajiban dalam pengelolaan HTR saat ini masih belum mempertimbangkan kemampuan masyarakat yang jelas berbeda dengan perusahaan yang selama ini diberi kesempatan mengelola hutan produksi (Kartodihardjo et al. 2011). Menurut Nawir et al. (2007) masalah pembagian hak dan tanggung jawab merupakan salah satu faktor yang menjadi kunci keberhasilan
program HTR. Dari Tabel 48 dapat disimpulkan bahwa jika variabel lain
dikontrol, pertambahan nilai persepsi seseorang terhadap ketentuan ini akan membuat peluangnya ikut HTR menjadi 0,759 kali lebih kecil. Artinya ketentuan tentang pengaturan hak dan kewajiban tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat terutama di Kabupaten Sarolangun dan harus dirubah.
Faktor selanjutnya yang berpengaruh adalah persepsi mereka terhadap kelembagaan kelompok tani. Bertambahnya nilai persepsi seseorang terhadap keberadaan dan peran kelompok tani, maka peluang orang tersebut ikut HTR menjadi 1,991 kali lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena untuk mengurus permohonan ijin dan memudahkan administrasi lainnya, perorangan harus membentuk kelompok sehingga peluang seseorang yang menjadi anggota kelompok lebih besar untuk ikut HTR dibandingkan dengan mereka yang tidak. Selain itu aktivitas HTR juga lebih banyak didorong atau dipengaruhi oleh ketua
101
kelompok taninya. Dengan demikian seseorang akan lebih merasa terbantu dengan menjadi anggota kelompok tani, dan inilah yang mempengaruhi keputusannya untuk ikut serta.
Faktor lain yang berpengaruh dalam menduga peluang masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR adalah sosialisasi. Masyarakat memutuskan untuk ikut serta dalam HTR dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya terhadap program tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehta dan Kellert (1998) serta Robertson dan Lawes (2005) yang menyatakan bahwa keputusan individu untuk ikut serta dalam suatu program yang baru dipengaruhi oleh pandangan dan pemahamannya terhadap program tersebut. Jika variabel lain dikontrol, maka pertambahan nilai persepsi seseorang terhadap kegiatan sosialisasi sebanyak 1 satuan akan meningkatkan peluangnya ikut HTR sebesar 3,651 lebih besar. Dibandingkan dengan variabel lain maka pertambahan nilai peluang variabel sosialisasi lebih besar, dengan demikian untuk meningkatkan keikutsertaan seseorang dalam program HTR perlu dilakukan kegiatan sosialisasi yang lebih intensif, bukan hanya dilihat dari frekuensi penyelenggaraannya tapi juga dari materi, metode sosialisasi dan kelompok sasaran.
5.6 Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat