PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM KEGIATAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
ENDANG PUJIASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
ABSTRACT
ENDANG PUJIASTUTI. Perception and Participation of Local People in Community Based Forest Plantation Program in Sarolangun Regency, Jambi. Under supervision of DUDUNG DARUSMAN and LETI SUNDAWATI
The failure of supply timbers to keep pace with industrial demand and conflicts over land property rights in community level have increased the number of forest and land degradation especially in production forest. In an effort to address this problem, the Indonesian Government introduced a new community-based forest plantation program in 2007 called Hutan Tanaman Rakyat (HTR), which allows local communities to have rights and incentives for developing timber plantations on state forest lands. The objectives of this study are to understand local perceptions on HTR regulations, to identify their participation in HTR program, to identify factors influencing their decisions to join the program, and to analyze the correlation between their social economic characteristics and perceptions with their participations in HTR activities. Data and information was gathered from a survey of 81 households from Taman Bandung, Seko Besar and Lamban Sigatal villages in Sarolangun Regency, Jambi. The results of this study showed that the perception level on HTR regulations of local community is in middle level except for regulation about inheritance, rights and obligations which are still in the lower level. Due to relatively new program which started in 2009, the participation level of local community in HTR is still low. This study also showed that ownership of land in HTR area, distance to the area, local perceptions of land allocation, HTR schemes, time period and concession area, inheritance law, rights and obligations, local institution, and socialization activities have significantly influencing people decision in joining HTR. Based on logistic regression models, the perception variables are better in explaining someone’s opportunity to join HTR than social economic variables, but both variables have high correlation with participation level.
RINGKASAN
ENDANG PUJIASTUTI. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tamanan Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan LETI SUNDAWATI.
Untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan terutama di kawasan hutan produksi, pemerintah berusaha melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan tersebut dengan mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada tahun 2007. Untuk mengetahui apakah kebijakan HTR telah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, maka diperlukan kajian terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ini penting agar implementasi kebijakan tersebut bukan hanya berlaku di atas kertas tapi dapat bersifat realistis di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan HTR, (2) mengidentifikasi dan menganalis faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam program HTR, (3) mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan HTR, dan (4) mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasinya dalam kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun.
Penelitian dilaksanakan di Desa Taman Bandung, Lamban Sigatal dan Seko Besar, di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Data diperoleh dari contoh acak sebanyak 81 responden. Tingkat persepsi dan partisipasi dianalisis secara deskriptif. Sebanyak 25 variabel sosial ekonomi dan persepsi digunakan untuk menduga keputusan masyarakat ikut HTR berdasarkan analisis regresi logistik berganda. Keeratan hubungan varibel–variabel tersebut dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR dihitung menggunakan analisis korelasi Spearman.
Tingkat persepsi responden terhadap ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan kegiatan HTR berada dalam kategori sedang kecuali pada ketentuan tentang ijin pengusahaan HTR yang tidak dapat diwariskan dan pada ketentuan hak dan kewajiban yang berada dalam kategori rendah. Sebagian besar responden (83,95%) tidak menyetujui ketentuan bahwa ijin pengusahaan HTR tidak dapat diwariskan. Masyarakat memandang hutan sebagai sumber penghidupan utama bagi keluarganya sehingga seharusnya ijin pengelolaannya dapat diwariskan walaupun tanah atau lahannya mereka sadari sebagai milik negara. Rendahnya persepsi responden terhadap ketentuan hak dan kewajiban menunjukkan bahwa masyarakat memandang ketentuan pelaksanaan HTR sebagai beban. Ketentuan HTR yang realistis baru sebatas pada pemberian ijin sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan setelah ijin keluar belum mempertimbangkan kemauan dan kemampuan masyarakat sebagai pelaksananya.
masyarakat tidak berpengaruh terhadap pola pengelolaan lahan HTR mereka yaitu perladangan berpindah yang sudah menjadi budaya turun temurun.
Variabel karakteristik sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap peluang seseorang untuk ikut serta dalam HTR adalah kepemilikan lahan di areal HTR dan jarak ke lahan HTR. Model dengan kombinasi kedua variabel tersebut dapat menerangkan keputusan masyarakat sebesar 44,113%. Variabel persepsi yang berpengaruh terhadap peluang seseorang ikut serta dalam HTR adalah persepsi responden terhadap alokasi lahan, pola mandiri perorangan, jangka waktu dan luas pengusahaan, ketentuan pewarisan, hak dan kewajiban, kelembagaan kelompok tani dan persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi. Model dengan ketujuh variabel tersebut dapat menjelaskan keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam HTR sebesar 85,782%. Pengaruh paling besar dimiliki oleh kegiatan sosialisasi dan pengaruh negatif dimiliki oleh persepsi mereka terhadap ketentuan hak dan kewajiban.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR terbagi menjadi partisipasi dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan kegiatan, pemanfaatan tanaman di dalam areal HTR serta pemeliharaan dan evaluasi. Kegiatan HTR ini secara keseluruhan di areal HTR baru berjalan sejak tahun 2009, namun beberapa kegiatan telah dilakukan karena sebagian besar masyarakat di daerah ini telah melakukan kegiatan perladangan dan perkebunan di areal HTR tersebut bahkan jauh sebelum program HTR dicanangkan. Walaupun demikian tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan HTR termasuk dalam kategori rendah karena responden belum banyak terlibat dalam semua kegiatan HTR yang diatur dalam ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Kegiatan mereka hanya sebatas pada penanaman dan pemanfaatan getah karet. Implementasi kegiatan HTR saat ini dengan intensitas yang tinggi berada pada tahap perencanaan dan pelaksanaan.
Walaupun karakteristik sosial ekonomi sangat kecil berpengaruh terhadap keputusan responden untuk ikut serta dalam HTR, namun memiliki korelasi yang tinggi dengan tingkat partisipasi responden dalam kegiatan HTR. Untuk meningkatkan partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR, maka karakteristik sosial ekonomi yang harus ditingkatkan adalah kejelasan status lahan yang dikelola masyarakat apakah masuk dalam kawasan pencadangan HTR atau tidak, luas lahan, pendapatan serta sifat kosmopolitan.
Persepsi masyarakat di Kabupaten Sarolangun terhadap HTR memiliki hubungan yang positif dengan tingkat partisipasinya. Semakin tinggi persepsi seseorang akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Untuk meningkatkan partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR di wilayah ini, maka faktor yang harus juga ditingkatkan adalah persepsi seseorang terhadap alokasi lahan untuk HTR, jangka waktu dan luasan penguasaan lahan HTR, penguatan kelembagaan kelompok tani, kegiatan sosialisasi, kualitas dan kuantitas tenaga pendamping serta dukungan pemerintah daerah dan LSM dalam kegiatan HTR.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pegutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM KEGIATAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
ENDANG PUJIASTUTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Nama : Endang Pujiastuti
NRP : E 151070161
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 23 September 2011 Tanggal Lulus: Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A
Ketua
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S
Dekan Sekolah Pascasarjana
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih adalah “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi”. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni hingga Juli 2011. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama menyelesaikan studi dan menyusun tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku pembimbing yang telah mengarahkan penulis selama penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dewi Febriani atas kerjasama dan sarannya. Tak lupa penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Akub Indrajaya, Bapak Budikus Yulianto, Bapak Bambang Yulisman, dan para staf pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun beserta semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data, kepada Kementrian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan yang telah memberikan dukungan beasiswa selama penulis menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, keluarga, dan teman-teman atas semua doa dan kasih sayangnya.
Disadari sepenuhnya bahwa tesis ini memiliki banyak kekurangan, namun diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pihak lain.
Wassalam.
Bogor, September 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 November 1976 sebagai anak sulung dari pasangan M. Sukedi dan Susimyati. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 80 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 1999. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxi
DAFTAR GAMBAR ...xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Hutan Tanaman Rakyat (HTR) ... 11
2.1.1 Gambaran Umum dan Tujuan HTR ... 11
2.1.2 Lokasi dan Ijin Pemanfaatan HTR ... 12
2.1.3 Pola Pengembangan HTR dan Jenis Tanaman ... 14
2.1.4 Hak dan Kewajiban ... 15
2.1.5 Kinerja HTR di Kabupaten Sarolangun, Jambi ... 16
2.2. Persepsi ... 17
2.2.1 Pengertian Persepsi ... 17
2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi ... 18
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 19
2.3. Pengambilan Keputusan oleh Individu ... 20
2.4. Partisipasi ... 21
2.2.1 Pengertian Partisipasi ... 21
2.2.2 Tipologi Partisipasi ... 23
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 26
III.METODE PENELITIAN ... 27
3.1 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ... 27
3.1.1 Kerangka Penelitian ... 27
3.1.2 Hipotesis Penelitian ... 28
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.3 Metode Penelitian ... 31
3.4 Populasi dan Contoh ... 32
3.5 Instrumen Penelitian ... 33
3.6 Jenis dan Sumber Data ... 33
3.7 Variabel Pengamatan ... 35
3.8 Validitas Reliabilitas ... 36
3.9 Definisi Operasional ... 37
3.10.1 Karakteristik Sosial Ekonomi, Persepsi, dan Tingkat Partisi-
pasi Masyarakat ... 37
3.10.2 Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyara- kat dengan Keputusan Masyarakat untuk Ikut Serta dalam Program HTR ... 38
3.10.3 Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyara- kat dengan Tingkat Partisipasi dalam Program HTR ... 40
IV.GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43
4.1 Kondisi Biofisik Kawasan HTR ... 43
4.1.1 Topografi ... 43
4.1.2 Geologi ... 43
4.1.3 Hidrologi ... 44
4.1.4 Kondisi Hutan ... 44
4.1.5 Pemanfaatan Kawasan ... 45
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Desa-Desa Sekitar Kawasan HTR ... 45
4.2.1 Penduduk ... 46
4.2.2 Pendidikan ... 47
4.2.3 Kesehatan ... 47
4.2.4 Aksesibilitas ... 48
4.2.5 Sumber Air Bersih ... 48
4.2.6 Sarana Keagamaan ... 49
4.2.7 Kepemimpinan Desa ... 49
4.2.8 Sumber-Sumber Penghidupan ... 50
4.2.9 Penguasaan Lahan ... 50
4.2.10 Pola Usaha Tani ... 51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53
5.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat ... 53
5.1.1 Umur ... 53
5.1.2 Tingkat Pendidikan ... 53
5.1.3 Luas Lahan ... 54
5.1.4 Kepemilikan Lahan di Areal HTR ... 55
5.1.5 Jarak ke Lahan HTR ... 56
5.1.6 Pendapatan ... 57
5.1.7 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 57
5.1.8 Pengalaman Tani Kayu ... 58
5.1.9 Kekosmopolitan ... 58
5.2 Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan HTR ... 59
5.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat HTR ... 61
5.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Alokasi Lahan ... 62
5.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Pola Mandiri Perorangan ... 64
5.2.4 Persepsi Masyarakat terhadap Mitra Kerjasama atau Investor 65
5.2.5 Persepsi Masyarakat terhadap Jenis Tanaman ... 66
5.2.6 Persepsi Masyarakat terhadap Persyaratan Perijinan ... 67
5.2.7 Persepsi Masyarakat terhadap Proses Perijinan ... 68
5.2.9 Persepsi Masyarakat terhadap Ketentuan Pewarisan ... 71
5.2.10 Persepsi Masyarakat terhadap Hak dan Kewajiban ... 72
5.2.11 Persepsi Masyarakat terhadap Kelembagaan ... 74
5.2.12 Persepsi Masyarakat terhadap Pasar Hasil HTR ... 77
5.2.13 Persepsi Masyarakat terhadap Sosialisasi HTR ... 78
5.2.14 Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Tenaga Pendamping 79 5.2.15 Persepsi Masyarakat terhadap Dukungan Pemerintah Daerah dan LSM ... 80
5.3 Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR ... 82
5.3.1 Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Perencanaan HTR ... 83
5.3.2 Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kegiatan HTR ... 85
5.3.3 Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pemanfaatan dalam Areal HTR ... 87
5.3.4 Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pemeliharaan dan Evaluasi HTR ... 88
5.4 Keputusan Masyarakat untuk Ikut Serta dalam Program HTR ... 89
5.5 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi terhadap Keputusan Masyarakat Ikut Serta dalam Program HTR ... 91
5.5.1 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap Keputusan Mereka Ikut Serta dalam Program HTR . 95 5.5.2 Pengaruh Persepsi Masyarakat terhadap Keputusan Mereka Ikut Serta dalam Program HTR ... 97
5.6 Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat ... 101
5.7 Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat .... 105
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
6.1 Kesimpulan ... 109
6.2 Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 113
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Daftar perkembangan pemberian ijin pengelolaan HTR (IUPHHK-HTR)
di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011 ... 16
2 Karakteristik Berbagai Tipologi Partisipasi ... 24
3 Tingkatan partisipasi berdasarkan tanggung jawabnya ... 25
4 Distribusi contoh penelitian pada setiap desa ... 32
5 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 34
6 Kondisi kelerengan kawasan pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun .. 43
7 Formasi geologi kawasan pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun ... 44
8 Jumlah penduduk masing-masing desa di lokasi penelitian ... 46
9 Fasilitas pendidikan di desa-desa lokasi penelitian ... 47
10 Fasilitas kesehatan di desa-desa lokasi penelitian ... 48
11 Jarak desa-desa di lokasi penelitian ... 48
12 Sarana peribadatan di desa-desa lokasi penelitian ... 49
13 Distribusi responden berdasarkan umur ... 53
14 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan formal ... 54
15 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan informal ... 54
16 Distribusi responden berdasarkan luas lahan ... 55
17 Distribusi responden berdasarkan kepemilikan lahan di areal pencadangan HTR ... 55
18 Distribusi responden berdasarkan luas lahan di areal pencadangan HTR .. 56
19 Distribusi responden berdasarkan jarak tempat tinggal ke areal
pencadangan HTR ... 56
20 Distribusi responden berdasarkan pendapatan per tahun (dalam jutaan
rupiah) ... 57
21 Distribusi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga ... 58
22 Distribusi responden berdasarkan pengalaman bertanam kayu ... 58
23 Distribusi responden berdasarkan sifat kekosmopolitan ... 59
24 Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsi terhadap ketentuan dan kegiatan HTR secara keseluruhan ... 59
25 Persepsi responden terhadap manfaat HTR ... 61
26 Persepsi responden terhadap alokasi lahan untuk HTR ... 63
28 Persepsi responden terhadap mitra kerjasama/investor ... 65
29 Persepsi responden terhadap jenis tanaman ... 67
30 Persepsi responden terhadap persyaratan perijinan HTR ... 68
31 Persepsi responden terhadap proses perijinan HTR ... 69
32 Persepsi responden terhadap jangka waktu dan luas pengusahaan HTR ... 70
33 Persepsi responden terhadap ketentuan pewarisan ijin HTR ... 72
34 Persepsi responden terhadap hak dan kewajiban ... 73
35 Persepsi responden terhadap kelembagaan HTR ... 75
36 Persepsi responden terhadap pasar hasil HTR ... 77
37 Persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR ... 79
38 Persepsi responden terhadap tenaga pendamping ... 80
39 Persepsi responden terhadap dukungan pemerintah daerah dan LSM ... 81
40 Distribusi responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam kegiatan HTR 82
41 Partisipasi responden dalam kegiatan perencanaan HTR ... 84
42 Partisipasi responden dalam kegiatan pelaksanaan HTR ... 85
43 Partisipasi responden dalam kegiatan pemanfaatan dalam areal HTR ... 87
44 Partisipasi responden dalam kegiatan pemeliharaan dan evaluasi HTR .... 88
45 Distribusi responden yang ikut serta dalam program HTR ... 89
46 Nilai log likelihood dari setiap kombinasi variabel yang diuji dalam
menduga peluang masyarakat untuk ikut serta dalam progam HTR ... 93
47 Hasil regresi logistik antara variabel karakteristik ekonomi dan variabel persepsi terhadap peluang responden ikut serta dalam program HTR ... 94
48 Hasil regresi logistik menggunakan variabel karakteristik sosial ekonomi untuk menduga peluang responden ikut serta dalam program HTR ... 95
49 Hasil regresi logistik menggunakan variabel persepsi untuk menduga
peluang responden ikut serta dalam program HTR ... 98
50 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan HTR berdasarkan nilai korelasi
Spearman ... 102
51 Hubungan persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap
kegiatan HTR berdasarkan nilai korelasi Spearman ... 106
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Posisi penelitian dalam proses kebijakan publik ... 7 2 Mekanisme proses pencadangan areal HTR ... 13
3 Tata cara permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (IUPHHK- HTR) ... 14
4 Proses pembentukan persepsi model Litterer (1984) ... 19
5 Skema kerangka pemikiran penelitian ... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner penelitian ... 117
2 Kerangka panduan wawancara ... 127
3 Tabel definisi operasional, parameter pengukuran dan kategori
pengukuran dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ... 131
4 Skor penilaian variabel karakteristik sosial ekonomi menurut
responden ... 134
5 Skor penilaian variabel persepsi responden terhadap HTR ... 138
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki
keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam
perlindungan dan jasa lingkungan, perekonomian negara serta kesejahteraan
masyarakat terutama mereka yang hidup di sekitar hutan. Data statistik kehutanan
tahun 2007 menyebutkan bahwa luas kawasan hutan daratan Indonesia sebesar
133,69 juta ha dan jika ditambah dengan luas kawasan konservasi perairan
menjadi 137,09 juta ha (Departemen Kehutanan 2008). Pengelolaan kawasan
tersebut menurut UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dibagi menjadi tiga kategori
yaitu (1) hutan konservasi yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman
hayati, (2) hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan (fungsi hidrologi dan jasa lingkungan), dan (3) hutan produksi yang
berfungsi sebagai wilayah komersil baik untuk memproduksi hasil hutan maupun
untuk keperluan konversi.
Terlepas dari banyaknya produk yang dapat dihasilkan oleh hutan, kayu
tetap menjadi primadona utama dari sebagian besar peruntukan kawasan hutan
produksi. Namun demikian produksi kayu yang dihasilkan tetap tidak dapat
mengimbangi permintaan industri. Kapasitas industri kayu saat ini diperkirakan
sebesar 60 juta m3 per tahun, sementara produksi kayu yang dihasilkan baik dari hutan alam maupun hutan tanaman pada tahun 2003 – 2007 rata-rata hanya
sebesar 20 juta m3 per tahun (Departemen Kehutanan 2008).
Untuk memenuhi defisit permintaan tersebut banyak terjadi penebangan dan
pemanenan berlebihan (overcutting dan overharvesting) di dalam kawasan hutan, akibatnya luas penutupan hutan semakin berkurang dan areal bekas tebangan
tersebut berkembang menjadi lahan kritis. Pada tahun 2003 hanya sekitar 64%
dari kawasan hutan yang masih tertutup oleh hutan. Data statistik kehutanan
menyebutkan bahwa pada tahun 2007 luas lahan kritis di dalam kawasan hutan
mencapai 59 juta ha (Departemen Kehutanan 2008).
Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah konflik sosial
sekitar hutan terhadap pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya hutan
(Colchester & Fay 2007; Kartodihardjo 2007). Masyarakat sekitar hutan memiliki
hak atau kesempatan yang sangat terbatas untuk ikut serta dalam pemanfaatan
atau pengelolaan hutan. Bahkan kegiatan pemanfaatan yang telah lama ada belum
mendapatkan jaminan legalitas yang cukup. Jaminan pemerintah terhadap
pengakuan hak masyarakat sekitar hutan ini merupakan faktor esensial untuk
mengatasi masalah kerusakan hutan. Sulit dibayangkan jika masyarakat yang
tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan diharuskan memiliki rasa peduli
terhadap kerusakan hutan. Kartodihardjo (2007) bahkan berpendapat bahwa
kerusakan hutan tidak mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang
memungkinkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan kata
lain keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan
suatu keharusan.
Sebagai salah usaha untuk mengurangi lahan kritis di dalam kawasan hutan
serta untuk memenuhi kebutuhan industri kayu sekaligus meningkatkan
keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara, maka pada
tahun 2007 pemerintah mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
kebijakan ini dibuat untuk melengkapi skema-skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang telah ada sebelumnya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan rakyat (HR), hutan desa serta beberapa bentuk kerjasama pengelolaan hutan
antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Pada skema HTR pemerintah
membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat sekitar hutan untuk
membangun dan memanfaatkan areal hutan produksi dibandingkan dengan skema
pengelolaan lainnya (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007; Emila & Suwito 2007).
Dasar hukum pelaksanaan HTR adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6
Tahun 2007 Jo. PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan ini kemudian
dijabarkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor
P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut Nomor P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata
Cara Permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
3
bahwa “Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.” Kelompok masyarakat yang dimaksud selanjutnya dijabarkan dalam Permenhut Nomor
23/Menhut-II/2007 sebagai perorangan atau koperasi.
Ketentuan umum tesebut memberikan batasan yang tegas tentang HTR,
sehingga khalayak bisa memahami perbedaan antara HTR dengan skema
pengelolaan lainnya misalnya HKm atau HR. HTR hanya dikembangkan pada
areal kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak. Adapun HKm
memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi (kecuali Cagar Alam dan zona
inti Taman Nasional), kawasan hutan produksi, dan hutan lindung, sedangkan HR
dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (Emila &
Suwito 2007).
Kawasan hutan produksi yang dicadangkan untuk HTR ditetapkan oleh
pemerintah melalui Menteri Kehutanan. Selanjutnya masyarakat setempat dapat
mengajukan ijin pengelolaan HTR di lokasi yang telah dicadangkan tersebut
kepada Bupati atau Walikota masing-masing. Ijin pengelolaan hutan pada HTR
adalah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTR) yang
diberikan kepada perorangan atau koperasi. Sebelumnya jangka waktu ijin
tersebut menurut PP Nomor 6 tahun 2007 diberikan selama 100 tahun dan tidak
dapat diperpanjang. Namun melalui PP Nomor 3 tahun 2008 jangka waktu ijin
tersebut kini hanya diberikan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali
selama 35 tahun.
Kebijakan pembangunan HTR terkait dengan kebijakan pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar
pelaku ekonomi (pro-growth) (Emila & Suwito 2007; Noordwijk et al. 2007). Selain itu kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan akses hukum, akses ke
lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam
pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan
jaminan akses tersebut merupakan syarat untuk keberhasilan program-program
pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat (Nawir et al. 2007). Schneck (2009) menambahkan bahwa HTR juga merupakan salah satu cara untuk
memanfaatkan lahan kritis pada kawasan hutan produksi.
Noordwijk et al. (2007) menyimpulkan bahwa HTR merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Walaupun pada prakteknya
masyarakat telah lama melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut
meskipun tanpa jaminan pengakuan hak yang jelas (Hakim & Effendi 2008).
Dengan adanya HTR berarti pemerintah memberikan jaminan legalitas dan
kesempatan yang lebih luas kepada pihak lain untuk ikut serta dalam kegiatan
pengelolaan hutan (Hakim & Effendi 2008; Schneck 2009).
Untuk mendukung program tersebut, pemerintah menetapkan target
pencadangan areal hutan produksi untuk HTR seluas 5,4 juta ha hingga tahun
2016 atau sekitar 600.000 ha/tahun. Berdasarkan data tersebut, kegiatan
pembangunan HTR sepertinya akan menjadi pekerjaan besar Kementrian
Kehutanan hingga beberapa tahun ke depan. Dukungan dari berbagai pihak tentu
saja sangat dibutuhkan untuk keberhasilan program tersebut.
Menurut data Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)
wilayah IV, hingga Mei 2011 Menteri Kehutanan telah mencadangkan areal
seluas 49.703 ha untuk HTR di propinsi Jambi yang berlokasi di 7 kabupaten.
Dari jumlah tersebut, penetapan ijin HTR (IUPHHK-HTR) oleh Bupati/Walikota
baru terdapat di 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, Tebo dan Muaro
Jambi dengan luas keseluruhan mencapai 3.843,64 ha. Kegiatan HTR di Jambi
pertama kali dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun pada tahun 2009, baru
kemudian diikuti oleh 2 (dua) kabupaten lainnya mulai tahun 2010.
Pemerintah Kabupaten Sarolangun sendiri memandang program HTR
sebagai salah satu peluang yang relevan dengan kebijakan daerah yaitu untuk
memperbaiki kondisi dan fungsi hutan yang rusak, peningkatan PAD dari sektor
kehutanan, pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat
sekitar hutan, dan optimalisasi pemanfaatan lahan. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor SK 386/Menhut-II/2008 tanggal 7 Nopember 2008,
5
pembangunan HTR di Kabupaten Sarolangun. Hal ini kemudian ditindaklanjuti
melalui penerbitan IUPHHK-HTR perorangan oleh Bupati Sarolangun seluas
154,66 ha (data BP2HP wilayah IV 2011) yang diberikan kepada 4 Kelompok
Tani Hutan (KTH) di Desa Taman Bandung, Kecamatan Pauh.
Kesiapan fisik (lahan, pasar, dll) bukan merupakan satu-satunya faktor
penentu keberhasilan program HTR, kesiapan aspek sosial (kesempatan, kemauan
dan kemampuan masyarakat) juga harus diperhatikan (Ekawati et al. 2008) yang secara keseluruhan akan mempengaruhi ketertarikan masyarakat. Seberapa
baiknya suatu kegiatan disusun tetap tidak akan berhasil tanpa adanya ketertarikan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, terutama dalam
pengelolaan hutan berbasis masyarakat termasuk kegiatan HTR.
Keputusan masyarakat untuk ikut berpartisipasi atau tidak dalam suatu
kegiatan salah satunya dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti persepsi
masyarakat itu sendiri terhadap kegiatan tersebut (Pregernik 2002; Ngakan 2006).
Persepsi seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi perilakunya (behaviour) salah satunya dalam wujud pengambilan keputusan (Chartrand & Bargh 1999).
Dengan demikian bagaimana perilaku masyarakat terhadap kegiatan HTR akan
dapat diramalkan melalui pengukuran persepsi mereka. Untuk selanjutnya dapat
direncanakan langkah-langkah serta kebijakan yang diperlukan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Dalam penelitian ini akan dilakukan survey mengenai bagaimana persepsi
masyarakat di lokasi penelitian terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR
dan tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan tersebut serta bagaimana kondisi
sosial ekonomi masyarakat dan persepsi mereka secara bersama-sama
mempengaruhi keputusan masyarakat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam
kegiatan HTR.
1.2. Perumusan Masalah
Sejak dicanangkan pada tahun 2007, luas kawasan hutan produksi yang
dicadangkan untuk HTR masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Hingga
Februari 2011, data Direktorat Jenderal Bina Produksi Hutan menyebutkan bahwa
26 provinsi. Data pada tahun yang sama menyebutkan bahwa telah diterbitkan ijin
HTR sebanyak 24 ijin koperasi dan 1.433 ijin perorangan untuk 22 kabupaten di
14 provinsi dengan total luas 101.012,5 ha atau hanya sekitar 15,91% dari
keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk HTR. Padahal pengajuan
penerbitan ijin tersebut dilakukan oleh bupati/walikota masing-masing daerah. Di
kabupaten Sarolangun sendiri perkembangan penerbitan ijin HTR juga sangat
lambat. Hingga Mei 2011 atau dalam kurun waktu 2,5 tahun sejak dikeluarkannya
SK pencadangan, baru 0,82% dari keseluruhan areal tersebut yang sudah
diterbitkan ijinnya oleh Bupati.
Hal ini diduga karena banyak terjadi tumpang tindih kawasan pada areal
yang telah dicadangkan tersebut dengan peruntukan lainnya di lapangan (Schneck
2009; Noordwijk et al. 2007). Hasil penelitian Noordwijk et al. (2007) di daerah Sumatera Utara menerangkan bahwa hanya 29% dari areal yang dicadangkan
untuk HTR yang berupa kawasan hutan produksi. Kasus seperti ini banyak terjadi
di Sumatera dan Kalimantan sehingga pemerintah daerah memerlukan waktu lebih
lama melakukan pemeriksaan silang di lapangan. Penetapan lokasi HTR ini juga
kurang memperhatikan keberadaan masyarakat dan kondisi sosial ekonominya
sehingga dimungkinkan lokasi yang ditunjuk berada jauh dari pemukiman atau
masyarakatnya tidak berminat membangun HTR.
Beberapa kajian tentang konsep HTR menyebutkan bahwa selain masalah
tenurial, pengembangan HTR juga akan menemui tantangan lainnya sehingga
berkembang lambat. Schneck (2009) mengidentifikasi tantangan tersebut antara
lain terbatasnya kemampuan masyarakat, kurangnya dukungan dari institusi
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR, pembagian hak dan
tanggung jawab yang jelas antara pemegang hak (terutama dalam pola kemitraan
dan pola developer), akses pasar yang buruk, serta ketidakpastian viabilitas usaha
secara finansial yang disebabkan karena kondisi pasar yang kurang baik dan
besarnya dukungan dana. Menurut Nawir et al. (2007), masalah pembagian hak dan tanggung jawab serta akses pasar juga menjadi kunci keberhasilan program
HTR. Emila dan Suwito (2007) menyoroti tentang pentingnya membangun
kesadaran masyarakat itu sendiri untuk mengikuti program HTR, sehingga
7
Jika penelitian-penelitian sebelumnya menganalisis konsep HTR dari sudut
pandang formulasi kebijakan, maka penelitian ini dilakukan sebagai tindak lanjut
dari penelitian tersebut. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana sebenarnya
implementasi kebijakan HTR di lapangan dari sudut pandang masyarakat. Salah
satu indikasi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah dengan mengukur
keikutsertaan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR. Tingkat
partisipasi masyarakat sendiri dipengaruhi oleh persepsi atau pandangan mereka
terhadap ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan kegiatan HTR tersebut. Posisi
[image:33.595.104.521.301.470.2]penelitian dalam proses kebijakan publik menurut Dunn (2003) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Keterangan: : wilayah studi
Gambar 1 Posisi penelitian dalam proses kebijakan publik.
Penelitian tentang program pengelolaan hutan serupa yang melibatkan
masyarakat menyebutkan perlunya mengetahui pandangan masyarakat terhadap
program yang akan dilaksanakan terutama jika program tersebut merupakan
program baru (Mehta & Kellert 1998). Penelitian Robertson dan Lawes (2005)
menyimpulkan bahwa sikap dan pandangan masyarakat sangat mempengaruhi
keputusan mereka untuk ikut serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang
ditawarkan di Afrika Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian
terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat
sebagai pelaku utama. Hal ini penting agar implementasi kebijakan tersebut
bukan hanya berlaku di atas kertas tapi dapat bersifat realistis di lapangan.
Penyusunan agenda Formulasi kebijakan Adopsi kebijakan
Implementasi kebijakan Evaluasi kebijakan
Identifikasi masalah kebijakan
Partisipasi masyarakat
Ketentuan yang berbelit-belit, tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat di lapangan dapat membuat mereka tidak tertarik untuk mengikuti
program HTR.
Dengan alasan di atas, maka beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pandangan/persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan
pelaksanaan HTR di lokasi penelitian?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk ikut serta
dalam kegiatan HTR?
3. Dari masyarakat yang telah memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan
HTR, seberapa besar tingkat partisipasi mereka dalam setiap tahapan
kegiatan?
4. Seberapa besar hubungan karakteristik sosial ekonomi masyarakat dan
persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR?
1.3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang terdahulu, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam
pelaksanaan HTR di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
2. Mengidentifikasi dan menganalis faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pengambilan keputusan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR.
3. Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan
HTR di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
4. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi
masyarakat dan persepsinya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam
kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
1. Bahan evaluasi bagi pemerintah pusat dan daerah terhadap pelaksanaan
kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dan evaluasi ketentuan pelaksanaan
9
2. Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan, pelaksana, pengelola,
pendamping dan semua pihak yang terlibat dalam program HTR guna
peningkatan keberhasilan dan pengembangan kegiatan HTR selanjutnya.
3. Bahan acuan bagi penelitian lanjutan tentang pengembangan HTR atau
program-program pengelolaan hutan berbasis masyarakat lainnya.
I.5. Ruang Lingkup Penelitian
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan HTR dalam penelitian ini dibatasi
pada persepsi mereka terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan kegiatan HTR.
Ketentuan tersebut seperti yang telah diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 Jo PP
Nomor 3 tahun 2008 dan Permenhut Nomor 23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
2.1.1 Gambaran Umum dan Tujuan HTR
Program HTR pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP
No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No.
P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara
Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan
akses kepada masyarakat untuk (1) Memperoleh pengakuan secara hukum dalam
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) Memperoleh
pinjaman dana pembangunan HTR; (3) Memperoleh jaminan pasar melalui
penetapan harga dasar. Kebijakan HTR ini sekaligus merupakan implementasi
dari Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan 2004-2009 terutama Revitalisasi
Sektor Kehutanan dan Pemberdayaan Ekonomi, sehingga sektor kehutanan dapat
memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan
lingkungan, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja.
Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program pemberdayaan
masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007) menyimpulkan bahwa HTR
harus dijalankan dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu :
a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun
bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat
masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat.
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (
labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek
legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor
nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan
premanisme pasar.
2.1.2 Lokasi dan Ijin Pemanfaatan HTR
Program HTR dilaksanakan di kawasan hutan produksi yang tidak
produktif dan tidak dibebani hak serta letaknya diutamakan dekat dengan industri
dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal pencadangan HTR.
Selanjutnya bupati/walikota melakukan sosialisasi alokasi lahan yang telah
ditetapkan di daerahnya kepada masyarakat (Pasal 2 Permenhut No.
P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008). Mekanisme proses pencadangan
HTR seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Selanjutnya masyarakat dapat mengajukan ijin pemanfaatan di areal yang
telah ditetapkan tersebut. Pasal 8 Permenhut di atas menyebutkan ijin
pemanfaatan pada program HTR berupa Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK-HTR) yang diberikan kepada perorangan atau koperasi.
Koperasi yang dimaksud adalah koperasi skala usaha mikro, kecil, menengah
yang dibangun oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan.
Luas lahan yang diberikan pada individu perorangan dibatasi maksimum 15
ha/KK, sedangkan luas untuk koperasi disesuaikan dengan kemampuannya. Letak
areal yang dimohonkan tersebut harus berada dalam satu lokasi yang telah
ditetapkan Menteri Kehutanan. Apabila areal yang dimohon berada di luar areal
yang telah ditetapkan Menteri maka bupati dapat mengusulkan areal yang
dimaksud kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan sebagai areal HTR.
Persyaratan pemohon untuk mendapatkan IUPHHK-HTR seperti yang
diatur dalam Pasal 9 adalah :
1. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh perorangan: foto copy KTP,
keterangan dari Kepala Desa bahwa benar pemohon berdomisili di desa
tersebut, sketsa areal yang dimohon (memuat info wilayah administrasi
pemerintahan,koordinat dan batas-batas yang jelas dan dapat diketahui
luasnya)
2. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh koperasi: foto copy akta
pendirian, keterangan dari Kepala desa yang menyatakan bahwa Koperasi
13
areal yang dimohon untuk luasan di atas 15 (lima belas) hektar dengan skala
1 : 5000 atau 1 : 10.000.
Bagi pemohon perorangan diutamakan membentuk kelompok untuk memudahkan
proses permohonan ijin (pasal 10). Ketentuan kelompok ini sangat penting
terutama ketika pemegang ijin mengajukan pinjaman dana bergulir (PDB) untuk
biaya pembangunan HTR (pasal 17). Dimana pemegang ijin perorangan
diharuskan membentuk kelompok minimal beranggotakan 5 pemegang ijin
dengan luasan minimal masing-masing 8 ha (Permenhut Nomor
P.9/Menhut-II/2008 pasal 2). Tata cara permohonan IUPHHK-HTR seperti yang diatur dalam
Pasal 11 dan 12 Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No.
P.5/Menhut-II/2008 dapat dilihat pada Gambar 3.
Ijin tersebut akan dihapus apabila dalam jangka waktu 180 hari sejak
tanggal penetapan pemegang IUPHHK-HTR belum melakukan kegiatan
administrasi dan kegiatan di lapangan.
[image:39.595.95.520.251.705.2]
Gambar 2 Mekanisme proses pencadangan areal HTR. Menhut
Kepala BAPLAN a.n. Menhut (sampaikan peta indikatif)
Peta pencadangan areal HTR
Dirjen BPK
Sekjen Dephut
Kepala BPKH (Asisten tek peta)
Kadishut Prov.
Kadishut Kab. (pertimb. teknis)
Bupati/Walikota Gubernur 1
2
3
5 1A 7A
6
7
4 4A
SOSIALISASI
Gambar 3 Tata cara permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HTR).
2.1.3 Pola Pengembangan HTR dan Jenis Tanaman
Pola pengembangan HTR direncanakan mengikuti 3 pola, yaitu (a) Pola
Mandiri, (b) Pola Kemitraan dengan HTI, BUMN/S, dan (c) Pola Developer.
Pengertian dari masing-masing pola adalah sebagai berikut:
a. Pola Mandiri
Masyarakat setempat membentuk kelompok, Pemerintah mengalokasikan
areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan
masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan
pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda.
b. Pola Kemitraan
HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR
bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi
oleh Pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak.
Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.
c. Pola Developer
BUMN/S sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat dan
selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang
IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai Pemohon HTR
Kepala Desa (verifikasi dan
rekomendasi
Camat BP2HP
BP2HP verifikasi dan berkoordinasi
dgn BPKH sbg pertimbangan teknis
Bupati/Walikota (menerbitkan ijin)
Ijin HTR oleh Bupati/Walikota a.n. Menhut
15
pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai
akad kredit.
Jenis tanaman pokok yang bisa dikembangkan berupa tanaman hutan
berkayu sejenis, atau tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan
tanaman budidaya tahunan yang berkayu atau jenis lain yang ditetapkan oleh
Menhut (pasal 6). Tanaman hutan berkayu, antara lain (1) kayu pertukangan
(meranti, jati, sengon, mahoni, dll); dan (2) kayu serat (gmelina, akasia, dll).
Tanaman budidaya tahunan berkayu adalah jenis MPTS, antara lain: karet,
nangka, kemiri, rambutan, mangga, dll. Persentase komposisi jenis tanaman
adalah tanaman hutan berkayu (70%) dan tanaman budidaya tahunan berkayu
(30%). Komposisi ini tidak termasuk kegiatan tumpangsari tanaman semusim.
2.1.4 Hak dan Kewajiban
Pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin,
kemudahan memdapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan HTR,
bimbingan dan penyuluhan teknis dan peluang ke pemasaran hasil hutan (pasal
19). Dalam pasal 20 disebutkan kewajiban pemegang IUPHHK-HTR adalah
menyusun Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Rakyat dalam hutan tanaman (RKU IUPHHK-HTR) dan Rencana Kerja
Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat
dalam Hutan Tanaman (RKT). RKUPHHK HTR adalah rencana kerja untuk
seluruh areal kerja IUPHHK-HTR dalam satu wilayah Kabupaten/Kota dan
berlaku selama jangka waktu izin, antara lain memuat aspek kelestarian usaha,
aspek keseimbangan lingkungan dan sosial ekonomi yang disahkan
Bupati/Walikota. RKT adalah rencana kerja yang disusun secara gabungan dalam
satu kelompok pemegang izin dan/atau Koperasi untuk jangka waktu 1 (satu )
tahun, yang merupakan penjabaran RKUPHHK-HTR Penyusunan RKU
IUPHHK-HTR dan RKT ini dilakukan oleh UPT atau konsultan yang bergerak di
bidang kehutanan atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang
kehutanan dan biaya penyusunannya dibebankan kepada pemerintah.
Apabila pemegang IUPHHK-HTR meminjam dana pembangunan HTR
IUPHHK-HTR juga memiliki kewajiban untuk melunasi pinjaman tersebut
kepada BP2H dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemegang ijin tetap harus melunasi pinjaman ini walaupun ijin pengusahaannya
telah dihapuskan.
2.1.5 Kinerja HTR di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Data dari BP2HP wilayah IV Jambi menyebutkan bahwa hingga Mei 2011
areal yang telah dicadangkan untuk pembangunan HTR seluas 49.703 ha berada
di 7 kabupaten yaitu Tebo, Sarolangun, Muaro Jambi, Batang Hari, Tanjung
Jabung Barat, Merangin dan Kerinci. Dari luasan tersebut baru 3.843,64 ha atau
sekitar 7,73% yang telah terbit ijin pengusahaannya untuk 3 (tiga) kabupaten yaitu
Tebo (2 ijin koperasi dan 33 ijin perorangan), Sarolangun (18 ijin perorangan) dan
[image:42.595.82.489.390.640.2]Muaro Jambi (1 ijin koperasi).
Tabel 1 Daftar perkembangan pemberian ijin pengelolaan HTR (IUPHHK-HTR) di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011
No Nomor Keputusan
Tanggal Luas (Ha)
Nama Pemegang
Kelompok Tani Hutan (KTH) 1 01 thn 2009 30 Maret 2009 15,00 A.Wakid Maju Jaya T. Bandung 2 02 thn 2009 30 Maret 2009 13,00 Nyoto Usaha Tani T. Bandung 3 03 thn 2009 30 Maret 2009 10,00 A.Kosim Bukit Lintang T. Bandung 4 04 thn 2009 30 Maret 2009 6,00 Karnoto Sumber Rejeki T. Bandung 5 105 thn 2010 15 Maret 2010 4,28 Sapari Maju Jaya T. Bandung 6 106 thn 2010 15 Maret 2010 5,11 Nurainun Maju Jaya T. Bandung 7 107 thn 2010 15 Maret 2010 8,00 Asri Maju Jaya T. Bandung 8 108 thn 2010 15 Maret 2010 6,00 Zaidan Maju Jaya T. Bandung 9 109 thn 2010 15 Maret 2010 6,93 Sapri Maju Jaya T. Bandung 10 110 thn 2010 15 Maret 2010 7,40 Kardi Maju Jaya T. Bandung 11 111 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Aming S Bukit Lintang T. Bandung 12 112 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Rahman M Bukit Lintang T. Bandung 13 113 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Kosasi AR Bukit Lintang T. Bandung 14 114 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Nuraina Bukit Lintang T. Bandung 15 115 thn 2010 15 Maret 2010 7,23 Suyatno Sumber Rejeki T. Bandung 16 116 thn 2010 15 Maret 2010 7,62 Sar’i Sumber Rejeki T. Bandung 17 117 thn 2010 15 Maret 2010 10,50 Suhari Usaha Tani T. Bandung 18 118 thn 2010 15 Maret 2010 7,59 Sunardi Usaha Tani T. Bandung Sumber : BP2HP Wilayah IV Jambi (2011)
Di Kabupaten Sarolangun sendiri, melalui SK Menteri Kehutanan No.
SK.386/Menhut-II/2008 tanggal 7 Nopember 2008 telah dicadangkan areal hutan
produksi untuk HTR seluas 18.840 ha atau sekitar 10,70% dari luasan hutan
17
tersebut baru 154,66 ha yang telah terbit ijin pengelolaannya dengan rincian
seperti pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas ijin pengelolaan
HTR diberikan kepada perorangan (pola HTR mandiri). Semua pemilik ijin
tersebut terdaftar sebagai anggota kelompok tani (KTH) yang berada di Desa
Taman Bandung, Kecamatan Pauh.
2.2 Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi
Dalam terminologi psikologi Lindsay dan Norman (1977) menyebutkan
bahwa “Perception is the process by which organisms interpret and organize sensation to produce a meaningful experience of the world”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa persepsi merupakan pandangan akhir seseorang
setelah memproses semua input dan sensasi yang diperolehnya melalui panca
indera. Sattar (1985) menyebutkan bahwa Vredentbergt (1974) memiliki pendapat
yang tidak jauh berbeda yaitu bahwa melalui proses yang selektif. Manusia akan
memberikan tanggapan terhadap rangsangan suatu obyek atau gejala yang diterimanya. Persepsi dikatakan sebagai proses selektif untuk membangun kesan
dan membuat penilaian.
Persepsi (perception) juga diartikan sebagai penglihatan atau tanggapan daya memahami/menanggapi (Echols & Shadily 1989). Persepsi merupakan cara
bagaimana seseorang melihat dan menaksirkan suatu obyek atau kejadian.
Seseorang akan melakukan tindakan sesuai persepsinya, sehingga persepsi
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang
(Chartrand & Bargh 1999).
Beberapa definisi persepsi menurut para ahli, antara lain:
1. Menurut Grice (1964), persepsi merupakan proses sebab akibat. Proses
pemberian arti oleh seseorang sebagai akibat atas berbagai rangsangan atau
stimulus yang diterimanya, dan dari proses tersebut seseorang mempunyai
opini tertentu mengenai apa yang diamatinya.
2. Menurut Krech (1962), persepsi merupakan integrasi dari individu dan
rangsangan yang diterimanya. Apa yang dipersepsikan individu dalam suatu
dipengaruhi juga oleh apa yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya
pengalaman, perasaan, prasangka, keinginan, sikap dan tujuan.
3. Menurut Lindsay dan Norman (1977), persepsi merupakan suatu proses dari
seseorang dalam menyeleksi, mengorganisir dan menginterpretasikan
rangsangan ke dalam sesuatu yang berarti dan koheren dengan dunia. Dengan
demikian orang yang berbeda bisa jadi akan melihat sesuatu yang sama secara
berbeda..
4. Menurut Hufman (1987), persepsi merupakan proses penyeleksian,
pengorganisasian, dan penyampaian data yang dapat dipahami oleh mental
2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi
Seseorang yang mengalami suatu persepsi selalu melalui suatu proses
tertentu. Proses tersebut dimulai saat diterimanya rangsangan melalui alat
penerima, kemudian diteruskan ke otak. Dalam otak terjadi proses psikologis yang
menyebabkan seseorang sadar tentang apa yang dialaminya. Sehingga menurut
Swanky (2006), suatu proses psikologis merupakan suatu persepsi jika terdapat
karakteristik berikut, yaitu adanya obyek yang dipersepsikan, alat indra (reseptor)
dan perhatian.
Obyek persepsi dapat berada di dalam maupun di luar individu. Jika obyek
persepsi berada di dalam individu yang mempersepsi, berarti individu tersebut
mempersepsi dirinya sendiri, sehingga ia dapat mengerti dan mengevaluasi
keadaan dirinya sendiri. Namun jika persepsi berada di luar individu yang
mempersepsi, maka obyek persepsi dapat berupa benda-benda, situasi atau
manusia (Swanky 2006). Selama proses mempersepsi suatu obyek, individu
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
faktor-faktor yang ada dalam diri individu, seperti pengalaman, perasaan,
kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi. Faktor eksternal berupa
rangsangan itu sendiri dan faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung.
Litterer dalam Susiatik (1998) membagi mekanisme pembentukan persepsi
menjadi 3 yaitu “selectivity”, “interpretation” dan “closure”. Mekanisme tersebut
digambarkan seperti pada Gambar 4. Model ini memperlihatkan bahwa
19
interpretasi informasi. Namun Susiatik (1998) mengatakan bahwa menurut
Asngari (1984) faktor internal yang mempengaruhi persepsi tidak hanya
pengalaman masa silam tetapi juga karakteristik seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, dan status kependudukan karena persepsi merupakan
proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognitif seseorang.
[image:45.595.100.545.155.439.2]Sumber: Susiatik (1998)
Gambar 4 Proses pembentukan persepsi model Litterer (1984).
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Weaver (1978) dalam Susiatik (1998) menyatakan bahwa umumnya terjadi
perbedaan persepsi antara individu satu dengan yang lain terhadap suatu obyek
yang sama. Persepsi individu terhadap suatu obyek atau gejala dapat bersifat
positif atau negatif, benar atau salah serta dapat berubah. Hal ini terjadi karena
perbedaan karakteristik setiap individu yang bersifat pribadi dan unik.
Selanjutnya di dalam Susiatik (1998), Ruch (1964) juga menyebutkan bahwa
persepsi setiap individu terhadap obyek yang sama dapat berbeda tetapi persepsi
dari individu yang sama terhadap suatu obyek yang sama juga dapat berbeda
dalam waktu yang berbeda. Ruch menyimpulkan perbedaan persepsi dipengaruhi
oleh faktor tingkat intelejensia, pengharapan terhadap obyek yang dipersepsi dan
pengalaman masa lalu.
Sadli (1976) menyatakan ada empat faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi seseorang, yaitu: Pembentukan Persepsi
Mekanisme Pembentukan Persepsi
Informasi sampai ke Individu
Closure Interpretation
Selectivity
Pengalaman Masa Silam
1. Faktor obyek rangsangan seperti nilai, arti emosional, familiaritas dan
intensitas suatu obyek.
2. Faktor individu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional, dll
3. Faktor pengaruh kelompok, bahwa respon orang lain dalam suatu kelompok
akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang
4. Faktor latar belakang kultural seperti adat istiadat dan kebudayaan seseorang
akan mempengaruhi tingkah lakunya.
Dalam penelitiannya mengenai persepsi masyarakat terhadap kegiatan
reboisasi dan penghijauan, Sattar (1985) menyimpulkan bahwa karakteristik
individu yang mempengaruhi persepsi adalah pendidikan, sosial ekonomi, sosial
budaya serta karakteristik penyuluhan yang dilakukan. Penelitian lain yang
dilakukan Yuwono (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi
persepsi masyarakat terhadap program hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten
Musi Rawas adalah umur, pendidikan, penyuluhan dan pemahaman program.
Hasil penelitian Susiatik (1998) menyimpulkan bahwa selain umur dan
pendidikan, pengalaman berusaha tani dan kekosmopolitan individu juga
memiliki hubungan yang erat dengan persepsi masyarakat terhadap program
Pembangunan Masyararakat Desa Hutan Terpadu di Kabupaten Grobogan Jawa
Tengah.
2.3 Pengambilan Keputusan oleh Individu
Usaha kehutanan merupakan suatu investasi jangka panjang mengingat
petani belum akan menikmati hasilnya hingga bertahun-tahun mendatang. Waktu
yang panjang juga meningkatkan resiko bagi investasi itu sendiri. Hal ini
dikombinasikan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh petani itu
sendiri. Shievely (1999) menunjukkan bahwa permasalahan dalam pemilihan
jenis tanaman yang akan ditanam dapat dijadikan sebagai analog dari pemilihan
kombinasi investasi yang harus dilakukan oleh petani sehubungan dengan biaya
yang harus dikeluarkan dan keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani.
Investasi yang dilakukan menyangkut pertimbangan seberapa besar dari usaha tani
tersebut yang digunakan untuk kepentingan produksi dan seberapa besar yang
21
Keputusan petani untuk berinvestasi sangat bergantung pada seberapa besar
petani mau menerima resiko usaha. Predo (2003) menyebutkan beberapa
penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa petani dengan tingkat
kesejahteraan rendah sangat menghindari resiko usaha dan lebih bersifat subsisten
(Biswanger 1980; Walker & Ryan 1990). Kesediaan petani untuk mengadopsi
suatu program bergantung pada bagaimana dia mempertimbangkan manfaat dan
biaya yang dikeluarkan.
Keputusan seseorang untuk ikut berpartisipasi atau tidak dalam suatu
kegiatan dipengaruhi oleh karakteristik individu tersebut dan karakteristik
program yang ditawarkan serta sejauhmana persepsi individu tersebut terhadap
program yang ditawarkan (Predo 2003; Neupane et al. 2002; Pregernig 2002). Hasil penelitian Predo (2003) menyebutkan bahwa keputusan petani untuk ikut
serta dalam program menanam pohon dipengaruhi secara nyata oleh umur,
tingkat pendidikan kondisi ekonomi, kepemilikan lahan, status sosial, persepsi
petani terhadap kegiatan menanam dan keberanian petani mengambil resiko.
Pregernig (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa keputusan seseorang
untuk melakukan program rehabilitasi lahan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
obyektif (tingkat kerusakan lahan) tetapi juga faktor subyektif (urgensi dari
program yang mencerminkan persepsi mereka terhadap program tersebut).
Penelitian Neupanea et al. (2002) menyimpulkan faktor jenis kelamin, tingkat pendidikan, keanggotaan dalam organisasi dan persepsi positif merupakan faktor
yang berpengaruh nyata terhadap keputusan masyarakat untuk mengadopsi
program agroforestri di Nepal.
2.4 Partisipasi
2.4.1 Pengertian Partisipasi
Berdasarkan asal katanya, partisipasi berasal dari kata participate (Inggris),
participo, participatium (Latin) yang berarti ambil bagian (Purnawan & Widayati 2005). Partisipasi sering disinonimkan dengan peran serta atau keikutsertaan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti partisipasi adalah hal turut berperan
Bank Dunia (1996) seperti yang diacu oleh Sinha & Suar (2005)
mendefinisikan partisipasi sebagai suatu proses dinamis dalam pengelolaan hutan
dimana para pelaku saling mempengaruhi dan berbagi kontrol terhadap ide-ide
pengembangan, pengambilan keputusan dan penggunaan sumberdaya yang
mempengaruhinya. Dalam pengertian yang sempit, partisipasi di dalam suatu
kelompok sama dengan jumlah anggota yang ikut serta, namun dalam pengertian
yang lebih luas dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki suara dan
pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Dengan demikian maka partisipasi
bukan hanya melibatkan unsur fisik saja tetapi lebih dari itu adalah keterlibatan
secara psikis. Agar dapat dikatakan berpartisipasi dalam suatu kegiatan
diperlukan keterlibatan secara total atau keterlibatan secara aktif dan untuk itu
diperlukan kesadaran masyarakat terhadap kegiatan tersebut.
Penelitian Sinha & Suar (2006) membedakan partisipasi masyarakat
menjadi partisipasi langsung dan tidak langsung. Yang termasuk partisipasi
langsung antara lain keterlibatan individu dalam kegiatan pertemuan, berperan
aktif dalam pertemuan, berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan, pengawasan
dan evaluasi kegiatan. Sedangkan yang termasuk partisipasi tidak langsung antara
lain mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, memotivasi anggota keluarga dan
orang lain, mendukung secara moral terhadap transparansi pelaksanaan kegiatan.
Raharjo (1983) dalam Yuwono (2006) berpendapat bahwa partisipasi adalah
keikutsertaan suatu kelompok masyarakat dalam program-program pemerintah.
Dalam hal ini masyarakat bukan hanya menerima tetapi juga turut membantu
dalam proses pelaksanaannya.
Munir (2004) menyatakan bahwa agar partisipasi masyarakat dapat berjalan
dengan aktif maka partisipasi masyarakat harus dibangun di atas tiga pilar, yaitu
partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi dimaksudkan untuk
memberikan penyadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pelestarian
sumber daya alam. Transparansi berarti adanya keterbukaan penyelenggara
pemerintahan dalam memberikan penjelasan ataupun data-data yang dibutuhkan
masyarakat. Akuntabilitas diartikan sebagai kegiatan dan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah atau masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan secara
23
Masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila
(1) partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah
ada di tengah masyarakat yang bersangkutan, (2) partisipasi memberikan manfaat
langsung kepada masyarakat yang bersangkutan, (3) manfaat yang diperoleh
tersebut dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat, dan (4) dalam proses
partisipasi terdapat aminan kontrol oleh masyarakat (Winarto 2003).
Menurut Krishna dan Lovell (1985) paling tidak ada empat alasan
pentingnya partisipasi dalam menunjang keberhasilan suatu program/kegiatan
seperti yang diacu oleh Iqbal (2007). Pertama, partisipasi diperlukan untuk
meningkatkan rencana pengembangan program/kegiatan secara umum dan
kegiatan prioritas secara khusus. Kedua, partisipasi dikehendaki agar
implementasi kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, partisipasi
dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan program/kegiatan. Keempat, partisipasi
dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi kegiatan. Oleh karena itu,
partisipasi merupakan suatu tatanan mekanisme bagi para penerima manfaat dari
suatu program/kegiatan.
2.4.2 Tipologi Partisipasi
Menurut Iqbal (2007), Selener mengklasifikasikan partisipasi atas dua tipe.
Pertama, partisipasi teknis yang dapat mempengaruhi para pemegang kekuasaan
untuk mengakomodasikan kebutuhan mereka. Partisipasi tipe ini relatif tidak
bermuara pada pemberdayaan atau perubahan sosial masyarakat. Kedua,
partisipasi politis yang memiliki kemampuan dalam pengambilan langkah
pengawasan terhadap suatu kondisi dan situasi tertentu. Partisipasi tipe ini mampu
meningkatkan aksi swadaya dalam pengembangan dan penguatan kelembagaan.
Pada umumnya para pelaku dalam implementasi program/kegiatan terlibat
secara semu (pasif). Petani, misalnya, hanya difungsikan sebagai target dan
mereka berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka dapatkan mengenai apa
yang terjadi di lingkungan mereka. Dengan kata lain, informasi dari target
diinterpretasikan oleh pihak luar (kaum profesional dan ahli). Oleh karena itu,
pengenalan tentang bentuk dan tingkatan partisipasi perlu dipahami oleh semua
Tabel 2 Karakteristik berbagai tipologi partisipasi
Tipologi Karakteristik
Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka
Partisipasi informasi
Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan ekstraktif yang diajukan pihak luar (misalnya peneliti dengan menggunakan kuesioner), di mana hasil temuan tidak dimiliki, dipengaruhi, dan diperiksa akurasinya oleh masyarakat
Partisipasi konsultasi
Masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi dengan pihak luar, di mana pihak luar tersebut mengidentifikasi masalah dan sekaligus mencarikan solusinya serta memodifikasi penemuan berdasarkan respons masyarakat
Partisipasi insentif material
Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, misalnya tenaga kerja dan lahan untuk ditukar dengan insentif material, namun partisipasi masyarakat terhenti seiring berakhirnya imbalan insentif tersebut
Partisipasi fungsional
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dan melibatkan pihak luar dalam rangka menentukan tujuan awal program/kegiatan, di mana pada umumnya pihak luar terlibat setelah keputusan rencana utama dibuat
Partisipasi interaktif
Masyarakat berpartisipasi dalam melakukan analisis kolektif dalam perumusan kegiatan aksi melalui metode interdisiplin dan proses pembelajaran terstruktur, di mana masyarakat mengawasi keputusan lokal dan berkepentingan dalam menjaga serta sekaligus memperbaiki struktur dan kegiatan yang dilakukan
Partisipasi
mobilisasi swadaya
Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif dan tidak terikat dalam menentukan masa depan, di mana pihak luar hanya diminta bantuan dan nasihat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya
Sumber: Pretty (1995) dalam Iqbal (2007).
Menurut tipologinya, Pretty (1995) mengklasifikasikan partisipasi
berdasarkan 7 karakteristik (Tabel 2). Dari ketujuh karakteristik tersebut,
partisipasi interaktif merupakan bentuk partisipasi yang dianggap paling sesuai
dengan implementasi program pembangunan. Para pelaku harus terwakili secara
khusus dalam rancangan organisasi, di mana mereka berpartisipasi dan sekaligus
menjalani proses pembelajaran dalam pelaksanaan program pembangunan. Hal ini
perlu disadari mengingat tidak semua pelaku memiliki peluang dan kesempatan
25
berpartisipasi. Pengembangan kapasitas pelaku merupakan salah satu unsur efektif
dalam memotivasi mereka untuk berpartisipasi (Iqbal 2007).
Davis membagi partisipasi menjadi dua bagian yaitu berdasarkan jenis dan
bentuknya seperti yang diacu dalam Santosa (1999). Partisipasi berdasarkan jenis
dibagi atas enam, yaitu : (1) pikiran, (2) tenaga, (3) pikiran dan tenaga, (4)
keahlian, (5) barang, dan (6) uang. Sedangkan menurut bentuknya partisipasi
dikategorikan menjadi tujuh, yaitu (1) konsultasi, (2) sumbangan berupa uang atau
barang, (3) sumbangan dalam bentuk kerja yang biasanya dilakukan te