EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
DEWI FEBRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
DEWI FEBRIANI. Evaluation of Community Forest Plantation Policy Implementation Process in Sarolangun Regency in Jambi Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, and NURHENI WIJAYANTO.
Community forest plantation policy in Sarolangun Regency has poor performance in implementation. Realization of utilization permit timber-forest plantation (IUPHHK) was issued from Sarolangun district government just about 156.44 ha for 18 KK (0.82% from total provisioning area). Low performance and achievements in the implementation of HTR, requires a comprehensive evaluation on implementation of HTR policy.
The objective of this study are evaluate the HTR policy implementation process as a system of policies, begin from policy content, policy actors (local government and community) to environmental policy. Content of the policy was evaluated using by four indicators, namely: (1) policy objectives, (2) assumptions used, (3) the structure implementation; and (4) human resources and financial support. The policy actors and policy environment will be analyzed using quantitative descriptive analysis and stakeholder analysis. The final result of this study was recommendation of policy implementation strategies in the District Sarolangun, constructed using by analysis of strengths, weakness, opportunities, threats (SWOT) and quantitative strategic planning matrix (QSPM).
The results showed that HTR policy still needs to be adjusted, because: (a) there are some differences in the perception of translating the objectives of HTR between the Ministry of Forestry and local governments, (b) the assumptions used by the Forestry Ministry in formulating the policy is not appropriate with existing field conditions, and (c) unpreparedness stakeholder activities contained in the structure of the implementation of HTR in implementing the policy.
Level of readiness, commitment and ability of the District Government in implementing HTR Sarolangun included in the category of middle - low, while the capital owned by the communities included in the category of middle, both physical capital (44%), human capital (46%) and social capital (53 %
Based on the above conditions, alternative strategies can be developed in policy implementation in the District Sarolangun HTR are: 1) accommodate exiting community models in forest land as community motivation; (2) optimize local government support to accelerate license process, assistance, and intensive socialization about HTR; and (3) use timber scarcity issues and PT Samhutani as market opportunity issues to stimulating community to plant timber.
). The level of public participation is included in the low category (81.48%) with a voluntary to participate degree in the induction participation. Based on the participation level (Arnstein, 1969), levels of public participation in the Lamban Sigatal dan Seko Besar village in the stage of providing information. While the process of participation in the Taman Bandung village in the stage of consultation.
RINGKASAN
DEWI FEBRIANI. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, dan NURHENI WIJAYANTO.
Proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat (HTR) di Kabupaten Sarolangun berjalan lambat. Realisasi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga saat ini baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK atau 0.82% dari total luas pencadangan. Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses implementasi kebijakan HTR secara menyeluruh sebagai sebuah sistem kebijakan, mulai dari isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat) hingga lingkungan kebijakan. Isi kebijakan dievaluasi menggunakan empat indikator, yaitu: tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan, struktur implementasi dan dukungan sumberdaya manusia dan finansial; sedangkan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis stakeholder. Hasil akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang dibangun menggunakan metode analisis strengths, weakness, opportunity. treaths (SWOT)
dan quantitative strategic planning matrix (QSPM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan HTR masih perlu disesuaikan agar dapat diimplementasikan di Kabupaten Sarolangun, karena: (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Stakeholder kunci dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun
adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, BP2HP dan Universitas Jambi. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan yang tinggi terhadap implementasi HTR dan memiliki pengaruh yang tinggi pula. Namun hanya Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi saja yang memiliki kekuatan yang tinggi. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya berkolaborasi dengan Dishut Provinsi Jambi dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.
digunakan berasal dari ladang sendiri yang jumlahnya sudah sedikit.
Tingkat kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah, sedangkan komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang dan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah.
Modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Dengan modal yang cukup ini, diharapkan implementasi kebijakan HTR yang menuntut peran sentral masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori rendah dengan derajat kesukarelaaan untuk berpartisipasi termasuk dalam partisipasi terinduksi, di mana partisipasi masyarakat timbul karena motivasi ekstrinsik berupa bujukan, pengaruh atau dorongan dari luar meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi atau tidak. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa terpaksa dan tidak antusias dalam berpartisipasi. Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat di Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal termasuk dalam tahap informing sedangkan masyarakat Desa Taman Bandung yang telah memasuki level konsultasi (consultation).
Berdasarkan kondisi di atas, alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah (a) mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR; (b) mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat (c) menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
DEWI FEBRIANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc
Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi Nama : Dewi Febriani
NIM : E161070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.
Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Katodihardjo, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Alhamdulllaahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas rahmat, ridho dan hidayah-Nya, disertasi yang berjudul “Evaluasi
Proses Implementasi Kebijakan, Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten
Sarolangun, Jambi” ini dapat diselesaikan. Penyusunan disertasi ini diajukan
sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengetahuan Hutan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. selaku ketua komisi pembimbing dan
kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop serta Prof. Dr. Ir.
Nurheni Wijayanto, M.S selaku anggota komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga
menambah wawasan dan cakrawala kami dalam penyusunan disertasi ini.
Semoga semua ini akan menjadi amal ibadah bagi mereka.
2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku
dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr.Ir. Iman Santoso,
M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihadjo, M.S. selaku penguji luar komisi
dalam ujian terbuka; atas saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini.
3. Ir. Akub Indrajaya, Ir. Bambang Yulisman, Ir. Budikus Yulianto, dan semua
jajaran Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun atas bantuan
tenaga dan data-data yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian
di Kabupaten Sarolangun, Jambi, serta Ir. Endang Pudjiastuti, M.S, atas
kerjasama dan bantuannya selama mengumpulkan data di lapangan.
4. Drs. Ishak Zakaria dan Zuraidah Taher, kedua orang tuaku yang senantiasa
memberikan dukungan dan doa sepanjang perjalanan hidupku.
5. Suamiku, Suyanto dan kedua anakku (Muhammad Tegar Rabbani Dewanto
dan Kasih Dean Tsamarrah) atas cinta, pengertian, kasih sayang, dukungan
kepada penulis. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam
dukungan selama aku menjalani pendidikan dan semua keluarga di Bengkulu,
Bogor, Solo dan Surabaya atas doa dan dukungannya.
7. Teman-teman S3 angkatan 2007, atas dukungan dan kerjasama kita selama
kuliah di sekolah pascasarjana IPB. Semoga kerjasama yang erat dapat kita
bangun dan terus berlanjut hingga masa yang akan datang
8. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan
dana dalam mengikuti pendidikan program Doktor di IPB.
9. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data hingga
tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak
kekurangan-kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan penulis sebagai manusia yang
memiliki keterbatasan. Namun demikian, penulis tetap berharap disertasi ini dapat
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kalangan rimbawan pada
khususnya. Amien.
Bogor Juli 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 19 Februari 1974
sebagai anak kedua dari ayah bernama Drs. Ishak Zakaria dan ibu Zuraidah Taher.
Penulis menikah dengan Suyanto, SE pada tahun 2005 dan dikaruniai dua orang
anak, Muhammad Tegar Rabbani Dewanto (5 tahun) dan Kasih Dean Tsamarrah
(2 tahun).
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD. Sint Carolus Bengkulu.
Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 2 Bengkulu dan
pendidikan menengah atas di SMAN 4 Bengkulu. Pada tahun 1992, penulis
melanjutkan studi di Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu dan meraih gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis
berhasil menyelesaikan program pendidikan Akta Mengajar IV di Universitas
Terbuka.
Penulis mengawali karir sebagai honorer di Dinas Kehutanan Provinsi
Bengkulu pada tahun 1998 hingga 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikan pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian
Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Master Pertanian pada tahun 2002,
dengan predikat cum laude.
Sejak tahun 2003 penulis bekerja di Kementerian Kehutanan, Jakarta
sebagai staf di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, yang beralamat di
Gedung Manggala Wanabhakti hingga sekarang. Tahun 2005, penulis dipercaya
untuk menjadi koordinator sekretariat Indonesian National Forest Programme.
Pada tahun 2007, penulis mendapat penugasan sebagai karyasiswa program
Doktoral Kementerian Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan Hutan
DAFTAR ISI
2.2 Implementasi Kebijakaan ………...9 10 2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi ………..
2.3.1 Kebijakan publik ……….………….. 2.3.2 Implementator dan target kebijakan ……….. 2.3.2.1 Modal fisik..………. 2.3.2.2 Modal manusia………..………... 2.3.2.3 Modal sosial… ……..……….. 2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan ……….... 2.3.4 Analisis Stakeholder……….. 2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat………... 2.5 Sekilas tentang Hutan Tanaman ……….. 2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat………. 2.5.2 Kebijakan hutan tanaman rakyat……….. 2.6 Beberapa Tulisan dan Penelitian Mengenai HTR ………
12
3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 3.3 Desain Penelitian ………. 3.3.1 Teknik pengumpulan data ………... 3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan….……… 3.3.3 Instrumen penelitian ……… 3.3.4 Jenis dan sumber data ………
3.4Metode Analisis ………
3.4.1 Evaluasi terhadap Isi Kebijakan....………... 3.4.2 Evaluasi terhadap Pelaku Kebijakan dan Lingkungan
Kebijakan ………. 3.4.3 Evaluasi terhadap Pemangku Kepentingan ………. 3.4.4 Evaluasi Kesenjangan Implementasi HTR ……….
46 46
3.4.5 Formulasi Strategi Implementasi Kebijakan ………... 3.4.5.1 Tahap pengumpulan data ……… 3.4.5.2 Tahap analisis……….. 3.4.5.3 Tahap pengambilan keputusan ………...
52 53 56 58
IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN
4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ……….. 4.1.1 Kejelasan dan Konsistensi Tujuan ………... 4.1.2 Asumsi yang Digunakan………... 4.1.3 Struktur Implementasi ……….. 4.1.4 Dukungan SDM dan Finansial ………. 4.2 Lingkungan Kebijakan……….. 4.2.1 Dukungan Politik dan Stakeholders Lain………. 4.2.2 Kondisi Sosial Budaya ……….
4.2.3 Pemasaran …………...……….
V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN
5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah……… 5.1.1 Kesiapan pemerintan daerah………. 5.1.2 Kemauan (komitmen) pemerintan daerah……….... 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah……… 5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat…….
5.2.1 Modal fisik yang dimiliki oleh masyarakat ………. 5.2.2 Modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat……… 5.2.3 Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat……….
5.2.3.1 Kepercayaan terhadap sesama……… 5.2.3.2 Kepatuhan terhadap norma……… 5.2.3.3 Kepedulian terhadap sesama……….. 5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial……….
97
VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI
6.1 Peningkatan Kualitas Hutan Produksi Versus Pemberdayaan Masyarakat ………... 6.2 Tingkat Partisipasi ………... 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi…………..
7.3.1 Modal fisik ……….
7.3.2 Modal manusia………... 7.3.3 Modal sosial………... 6.4 Derajat Kesukarelaan dan Tingkat Partisipasi ……… 6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun……….
VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
7.1 Tahap Pengumpulan Data……….. 7.1.1 Faktor internal……….. 7.1.2 Faktor eksternal………
7.2 Tahap Analisa Data………
xi
7.3 Tahap Pengambilan Keputusan ………. 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR……… 7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan lahan saat ini………... 7.4.2 Optimalisasi peran pemda………. 7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang
pemasaran………. 7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih ………..
7.5.1 Sistem silvikultur ………... 7.5.2 Penentuan jenis tanaman………
7.5.3 Pola penanaman ……….
7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet………. 7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu……. 7.5.3.3 Hutan campuran jernang ………...
7.5.4 Kelembagaan………..
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan………
8.2 Saran ……….
DAFTAR PUSTAKA ……….………...
LAMPIRAN………...……. 149 151 151 153
154 155 156 158 159 159 160 162 165
169 170
171
Halaman
1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1995) ……….
2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas
Negara………..
3 Tiga Elemen Sistem Kebijakan ………...
4 Kerangka Pemikiran Penelitian ………..
5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan……….
6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan….……….
7 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan
yang Dimilikinya ………
8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT………..
9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi………..
10 Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh…..
11 Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh …...………
12 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan
yang Dimilikinya ………
13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun ………..
14 Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal……….
15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu dengan
Kualitas Baik………...
16 Tingkat Koordinasi antar Institusi dalam Rangka Implementasi Hutan
Tanaman Rakyat………
17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi
Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR………
18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan
Hutan Tanaman Rakyat ………...
19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun…
20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten
Sarolangun……….………
22 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Karet ………..
23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I……...
24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II…………..
25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I…………
26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II………...
27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu
Fast Growing……….
28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu
Bukan Jenis Fast Growing………..
160
161
162
163
163
164
Halaman
1 Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan Hutan
Kemasyarakatan ………...………...
2 Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Lokasi HTR di
Kabupaten Sarolangun………. ………..
3 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR………..
4 Proses Pengajuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR …….
5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa
Asal Responden ………..
6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan
Desa Asal Responden ………...………..
7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan
Desa Asal Responden ...………..
8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal………..
9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal…..……….
10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal……….
11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal………...
12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 1 ...
13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 2 ...
14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 3 ...
15 Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan dalam Kelompok Hutan
1.1 Latar Belakang
Kondisi hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan akibat
meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan; menurunnya investasi di
bidang kehutanan dan pembangunan hutan tanaman; dan meningkatnya illegal
logging. Data Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun
1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di
tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%. Data Departemen Kehutanan
(2006) menunjukkan bahwa pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan
degradasi di Indonesia mencapai 1.8 juta hektar pertahun. Periode 1997-2000 laju
deforestasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai
rata-rata sebesar 2.8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005
menjadi sebesar 1.08 juta hektar. Statistik Kehutanan Indonesia 2010
menunjukkan bahwa total deforestasi di dalam dan luar kawasan hutan periode
2006-2009 mengalami penurunan menjadi 832 126.9 ha/tahun (Kemenhut 2011a).
Di lain pihak, kebutuhan bahan baku kayu nasional semakin meningkat dan
diprediksi tidak akan mampu dipenuhi oleh hutan alam yang tersisa. Berdasarkan
data Kementerian Kehutanan (2011a) diketahui kapasitas industri kayu saat ini
diperkirakan sebesar 65.6 juta m3 per tahun, sementara produksi kayu yang
dihasilkan baik dari hutan alam maupun hutan tanaman pada tahun 2006–2010
rata-rata hanya sebesar 47.5 juta m3
Kerusakan hutan menjadi lebih parah oleh konflik sosial yang terjadi akibat
pengakuan hak (property right) masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap
pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya hutan (Colchester & Fay 2007;
Kartodihardjo, 2007). Masyarakat sekitar hutan sering dianggap sebagai sebuah
entitas yang dapat mengganggu proses pengelolaan kawasan hutan, sehingga per tahun. Untuk memenuhi defisit
permintaan tersebut banyak terjadi penebangan dan pemanenan yang berlebihan
(overcutting dan overharvesting) di dalam kawasan hutan. Akibatnya luas
penutupan hutan semakin berkurang dan areal bekas tebangan tersebut
2
seringkali diposisikan sebagai musuh, pihak yang bertanggung jawab terhadap
perambahan kawasan hutan dan perusak lingkungan (Li, 2002).
Eksistensi hutan dan dinamika masyarakat di sekitarnya berlangsung secara
tidak seimbang, yang menyebabkan kawasan hutan semakin mengalami tekanan,
ancaman dan sangat rentan (vulnerable). Hal ini tidak dapat diatasi dengan
meniadakan komponen yang dianggap mengancam (masyarakat), tetapi harus
dengan cara memperbaiki dan membangun hutan bersama-sama (pemerintah dan
masyarakat) agar hutan menjadi tetap lestari dan bermanfaat (Sumanto, 2009).
Kartodihardjo (2007) berpendapat bahwa kerusakan hutan tidak mungkin
dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya
kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan kata lain keterlibatan masyarakat
sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan. Cara alternatif
yang dapat dipilih pemerintah adalah dengan menggulirkan kebijakan-kebijakan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Pemerintah mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada
tahun 2007 sebagai salah satu usaha untuk mengurangi lahan kritis di dalam
kawasan hutan produksi, memenuhi kebutuhan industri kayu dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan produksi.
Kebijakan ini dibuat untuk melengkapi skema-skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang telah ada sebelumnya, seperti hutan kemasyarakatan (HKm),
hutan rakyat (HR), hutan desa (HD) dan beberapa bentuk kerjasama pengelolaan
hutan antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Pada skema HTR pemerintah
membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk membangun dan
memanfaatkan areal hutan produksi dibandingkan dengan skema pengelolaan
lainnya (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007; Emila & Suwito 2007)
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dirasa tepat dalam menyikapi problema
yang terjadi di bidang kehutanan. Moratorium hutan produksi yang saat ini sedang
dalam proses, mengharuskan alternatif substitusi hutan produksi dalam mengatasi
kelangkaan kayu. Bila kebijakan ini berhasil membangun hutan tanaman rakyat
dengan luasan yang cukup, maka kelangkaan kayu masa depan dapat teratasi.
Di samping itu, lemahnya kekuatan pemerintah pasca reformasi dan
menuntut pemerintah untuk mencari cara alternatif untuk mengamankan kawasan
hutan produksi. Kebijakan HTR juga dapat memayungi kegiatan-kegiatan yang
dilakukan masyarakat dalam kawasan hutan produksi, sehingga konflik
kepemilikan lahan (tenurial) diharapkan dapat teratasi.
Guna mendukung kebijakan ini, Kementerian Kehutanan menetapkan target
pencadangan areal hutan produksi untuk HTR seluas 1.4 juta ha/tahun. Dengan
demikian diharapkan pada tahun 2010 akan terbangun 5.4 juta ha hutan tanaman
rakyat (Ditjen BPK 2006). Namun realisasinya hingga Maret 2011, luas areal
yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha (Kementerian Kehutanan,
2011).
Lokasi pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November
2008 seluas 18 840 ha. Apabila diasumsikan 15 ha/KK maka diprediksi kebijakan
HTR akan mampu melibatkan 1 256 KK atau 15.5% dari masyarakat pra sejahtera
di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 8 102 KK (BPS, 2007). Namun realisasi
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat
(IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga Maret
2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman
Bandung Kecamatan Pauh (data BP2HP Wilayah IV Jambi). Berdasarkan data
tersebut, diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya
0.82% dari SK pencadangan, atau hanya 1.43% dari target KK yang dapat
diberdayakan melalui kebijakan ini.
Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan
evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR. Oleh
karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan
dari sisi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah selaku implementator
dan masyarakat selaku kelompok target) dan lingkungan kebijakannya.
1.2Perumusan Masalah
Sejak dicanangkan pada tahun 2007, luas kawasan hutan produksi yang
dicadangkan untuk HTR masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Direktorat
4
meningkatkan produksitifitas hutan produksi maka ditetapkan target HTR seluas
1.4 juta ha/tahun, sehingga diharapkan 5.4 juta ha HTR akan terbangun pada
tahun 2010 (Ditjen BPK 2006). Namun hingga awal tahun 2010, realisasi
pembangunan HTR masih sangat rendah. Data Direktorat Jenderal Bina Usaha
Kehutanan (2010) menunjukkan bahwa luas pencadangan HTR hingga Februari
2010 adalah 605 788 ha, sedangkan Izin Usaha (IUPHHK) HTR baru diterbitkan
di 18 kabupaten, dengan total luas 58 182.89 ha. Kondisi tersebut menyebabkan
Kementerian Kehutanan merevisi target pembangunan HTR yang semula 5.4 juta
ha hingga tahun 2010 menjadi 5.4 juta ha hingga tahun 2016 (Ditjen BUK 2011).
Data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011) menyebutkan bahwa
hingga Maret 2011, luas areal yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha
meliputi 103 kabupaten di 26 provinsi. Data pada tahun yang sama menyebutkan
bahwa telah diterbitkan izin HTR sebanyak 50 izin koperasi dan 1 807 izin
perorangan untuk 31 kabupaten di 17 provinsi dengan total luas 127 244.30 ha
atau hanya sekitar 19.56% dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk
HTR. Realisasi pembangunan HTR hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Target, Pencadangan dan Realisasi HTR periode 2007-2011
Tahun Sumber : Direktorat Jenderal BUK (2010 dan 2011), diolah
Di Kabupaten Sarolangun, perkembangan penerbitan izin HTR juga sangat
lambat. Hingga Mei 2011 atau dalam kurun waktu 2.5 tahun sejak dikeluarkannya
SK pencadangan, baru 0.82% dari keseluruhan areal tersebut yang sudah
diterbitkan izinnya oleh bupati. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan
(Ditjen BPK, 2009) diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR di Kabupaten
Sarolangun pada bulan Maret 2009 seluas 44 ha dan 110.66 ha pada bulan Maret
2010. IUPHHK-HTR tersebut diberikan kepada empat kelompok tani hutan
(KTH), yaitu: 52.72 ha untuk KTH Maju Jaya, 31.09 ha untuk KTH Usaha Tani,
Rendahnya realisasi implementasi HTR diduga karena banyak terjadi
tumpang tindih kawasan pada areal yang telah dicadangkan tersebut dengan
peruntukan lainnya di lapangan (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007). Hasil
penelitian Noordwijk et al. (2007) di daerah Sumatera Utara menerangkan bahwa
hanya 29% dari areal yang dicadangkan untuk HTR yang berupa kawasan hutan
produksi. Kasus seperti ini banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan sehingga
pemerintah daerah memerlukan waktu lebih lama melakukan pemeriksaan silang
di lapangan. Penetapan lokasi HTR ini juga kurang memperhatikan keberadaan
masyarakat dan kondisi sosial ekonominya sehingga dimungkinkan lokasi yang
ditunjuk berada jauh dari pemukiman atau masyarakatnya tidak berminat
membangun HTR.
Beberapa kajian tentang konsep HTR menyebutkan bahwa selain masalah
tenurial, pengembangan HTR juga akan menemui tantangan lainnya sehingga
berkembang lambat. Schneck (2009) mengidentifikasi tantangan tersebut antara
lain terbatasnya kemampuan masyarakat, kurangnya dukungan dari institusi
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR, pembagian hak dan
tanggung jawab yang jelas antara pemegang hak (terutama dalam pola kemitraan
dan pola developer), akses pasar yang buruk, serta ketidakpastian viabilitas usaha
secara finansial yang disebabkan karena kondisi pasar yang kurang baik dan
besarnya dukungan dana.
Hasil penelitian Herawati (2010a) mengungkapkan bahwa kebijakan HTR
telah keliru sejak dari proses perumusannya, dimana aktor yang terlibat hanya
pihak birokrat kehutanan dan tidak mempertimbangkan informasi mengenai faktor
kegagalan program pemberdayaan masyarakat yang pernah ada sebelumnya.
Padahal dalam implementasinya, dituntut peran yang besar dari pihak di luar
Kementerian Kehutanan seperti pemerintah daerah dan masyarakat.
Apabila pihak implementator tidak dilibatkan dan dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan, tentu saja kebijakan tersebut berpotensi gagal akibat
adanya implementation gap. Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (2008)
menjelaskan bahwa istilah implementation gap dalam proses implementasi
6
antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa
yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh implementation capacity
dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk
mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan
hutan tanaman rakyat, yang mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan
adalah pemerintah daerah (pemda) selaku implementator dan masyarakat selaku
kelompok target.
Herawati (2010b) menyebutkan bahwa peran pemda memiliki pengaruh dan
kepentingan yang tinggi terhadap pelaksanaan program HTR. Oleh karena itu,
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh
kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda selaku implementator kebijakan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan HTR, kesiapan fisik (lahan, pasar,
dll) bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan program HTR,
kesiapan aspek sosial (kesempatan, kemauan dan kemampuan masyarakat) juga
harus diperhatikan (Ekawati et al. 2008). Peran sentral yang diberikan kepada
masyarakat oleh kebijakan ini, menuntut kesiapan yang matang dari masyarakat.
Oleh karena itu, pertimbangan dalam implementasi kebijakan HTR tidak boleh
hanya berdasarkan kondisi biofisik semata, namun juga harus memperhatikan
modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat seperti modal fisik, modal manusia
dan modal sosial.
Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud
fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan,
keterampilan dan keeratan hubungan (Coleman, 1988). Keahlian, kemampuan,
pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal manusia yang sangat
berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).
Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan
hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok 2002). Modal
sosial penting untuk dipertimbangkan karena masyarakat tidak hanya berupa
sekumpulan manusia yang secara fisik telah bersama dalam kurun waktu tertentu
(Pranadji, 2006). Oleh karena itu, guna mencapai tujuan perlu menambahkan
modal sosial pada setiap kebijakan (Weyerhaeuser et al., 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah isi kebijakan HTR telah memenuhi syarat untuk diimplementasikan
secara efektif ?
2. Apakah pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Sarolangun) Kabupaten Sarolangun telah memiliki kesiapan, komitmen dan
kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan HTR ?
3. Apakah masyarakat desa di sekitar lokasi pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun telah memiliki modal yang cukup sebagai landasan untuk
mengimplementasikan HTR?
4. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan
HTR hingga saat ini?
5. Bagaimana formulasi strategi yang tepat dalam implementasi kebijakan HTR
di Kabupaten Sarolangun?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi proses
implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun. Tujuan
umum tersebut dijabarkan menjadi lima tujuan khusus, yaitu:
1. Mengevaluasi isi kebijakan HTR.
2. Menganalisis kesiapan, komitmen dan kemampuan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
3. Menganalisis modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
4. Mengevaluasi tingkat partisipasi masyarakat
5. Merumuskan formulasi strategi implementasi HTR di lokasi penelitian
1.4 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (novelty) yang diperoleh dari penelitian mengenai proses
8
1. Berdasarkan objek penelitian, telah banyak penelitian yang menganalisa
kebijakan HTR dari sisi kebijakan. Penelitian ini menganalisis kebijakan
HTR dari sisi implementasi kebijakan, khususnya di Kabupaten Sarolangun.
2. Berdasarkan metodologi yang digunakan, penelitian ini mengevaluasi proses
implementasi kebijakan HTR sebagai sistem kebijakan secara komprehensif,
meliputi isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat)
dan lingkungan kebijakan.
3. Berdasarkan hasil penelitian akan diperoleh kebaruan berupa strategi
2.1. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan berasal dari kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari
kata wisdom (kebijaksanaan) maupun virtues (kebajikan) (Suharto 2006). Definisi
tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang
merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Nugroho (2008)
telah menginventarisasi definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi
tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Definisi kebijakan publik
No Sumber Definisi
1 James Anderson
(2004)
Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu
permasalahan atau kepentingan
2 Steven A.P.
(2003)
Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
3 James Lester & Robert Steward (2000,18)
Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki
permasalahan publik
4 Austin Ranney
(2000)
Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan
5 www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan
yang dihasilkan dari pemerintah
6 Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan
7 Thomas R. Dye
(1995,2)
Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah
8 Willian Jenkins
(1978)
Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu
9 Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)
Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu
10 David Easton
(1965)
Akibat dari aktivitas pemerintah
11 Carl I Friederick (1963)
Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu
12 Michael Howlett
& M Rammesh (1957)
Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
10
2.2 Implementasi Kebijakan
Grindle (1980) mempunyai pandangan bahwa tugas implementasi adalah
membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direaliasasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu,
tugas implementasi mencakup terbentuknya ‘a policy delivery system’ dimana
sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada
tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan van Horn (1975) sebagaimana diacu oleh Winarno (2008)
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Mereka menggolongkan kebijakan
menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) jumlah perubahan yang terjadi
dan (2) sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara stakeholders dalam
proses implementasi. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang penting,
setidaknya menyangkut dua hal, yaitu: (1) implementasi akan dipengaruhi oleh
sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya; dan (2) proses
implementasi dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan.
Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan bahwa
terdapat istilah implementation gap dalam proses implementasi kebijakan, yaitu
suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang
diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya
dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh apa yang disebut oleh
implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor
yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan
tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan suatu organisasi/aktor
untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa
sehingga ada jaminan bahwa tujuan/sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen
formal kebijakan dapat dicapai (Williams 1971 dalam Wahab 1998).
Namun demikian, sebuah kebijakan mengandung resiko gagal. Hogwood
dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori, yaitu: non implementation (tidak
terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak
berhasil). Kebijakan negara dikatakan non implementation apabila kebijakan
negara tidak dapat dilakukan sesuai rencana karena pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak
effesien atau bekerja setengah hati, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan
kekuasaannya, atau bagaimanapun usaha mereka namun ada hambatan-hambatan
yang tidak dapat mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar
untuk dilaksanakan.
Sementara itu, suatu kebijakan yang tidak berhasil (unsuccessfull
implementation) terjadi apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana,
namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya
terjadi bencana alam, terjadinya pergantian kekuasaan dan sebagainya) maka
kebijakan tersebut tidak dapat menghasilkan dampak sebagaimana yang
diharapkan. Umumnya kebijakan yang beresiko gagal tersebut disebabkan oleh
tiga faktor yaitu: (1) kebijakannya yang jelek (bad policy), (2) pelaksanaannya
jelek (bad implementation), atau (3) kebijakannya yang bernasib jelek (bad luck).
Akibatnya sebuah kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara efisien dan
dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek.
Lebih lanjut Wahab (1998) menerangkan bahwa sebagian besar kebijakan
pemerintah pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan yang berusaha
keras untuk mempengaruhi perilaku birokrat/pejabat lapangan (street level
bureaucrats) dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada
kelompok sasaran. Dengan kata lain, dalam implementasi program khususnya
yang melibatkan banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkatan
struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang,
yaitu : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat), (2)
pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) dan (3) aktor-aktor perorangan di
luar badan-badan pemerintah kepada siapa program tersebut ditujukan (target
12
Mazmanian dan Sabatier (1979) diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan
makna implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses
implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku
badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program
dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat, dan akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan
(intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects).
Dengan demikian evaluasi proses implementasi kebijakan dimaksudkan
untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, dan apa
yang timbul dari program kebijakan. Di samping itu implementasi kebijakan tidak
hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji
faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.
2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi
Dalam menetapkan faktor penentu kinerja implementasi, penulis merujuk
pada pendapat Dunn (2000) yang menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan
(policy system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu:
kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.
2.3.1 Isi Kebijakan
Berkenaan dengan komponen kebijakan publik, Abidin (2006) menyebutkan
bahwa terdapat beberapa elemen yang wajib dimiliki suatu kebijakan publik agar
1. Tujuan yang ingin dicapai harus rasional dan desirable (diinginkan).
Rasional artinya tujuan tersebut harus dapat dipahami dan diterima oleh akal
sehat terutama bila dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia.
Diinginkan artinya tujuan tersebut seharusnya menyangkut kepentingan orang
banyak,sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak.
2. Asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan harus realistis, karena
asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap, benar dan tidak kadaluarsa.
Lebih lanjut, Sabatier dalam Parsons (2008) mengemukakan enam
persyaratan untuk implementasi yang efektif, yaitu:
1. Tujuan yang jelas dan konsisten agar dapat menjadi standar evaluasi.
2. Teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan tersebut
mengandung teori yang akurat tentang cara melahirkan perubahan.
3. Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu
pihak-pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok yang
menjadi sasaran kebijakan.
4. Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan
kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
5. Dukungan kelompok kepentingan dan ‘penguasa’ di legislatif dan eksekutif.
6. Perubahan kondisi sosial ekonomi tidak melemahkan dukungan kelompok
dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.
2.3.2 Implementator dan target kebijakan
Peran implementor sangat penting. Ini berhubungan dengan kapasitas yang
mereka miliki. Kapasitas yang dimaksud mencakup keahlian yang dimiliki,
tingkat kreativitas, komitmen, akses dan dukungan politik yang dimiliki, dan
sebagainya. Kapasitas tersebut akan semakin berdayaguna jika kebijakan yang
diimplementasikan didukung dengan ketersediaan sumberdaya yang memadai.
Tetapi sumberdaya yang berlebihan juga dapat menghambat implementasi.
Kondisi kedua ini biasanya terjadi untuk kebijakan yang mengangkat tema-tema
populis-ideologis yang memberikan diskresi dan otoritas yang besar kepada agen
14
Dalam kebijakan HTR, peran kelompok target (masyarakat) menjadi
sangat dominan. Kapasitas yang dimiliki oleh kelompok target akan sangat
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Kapasitas ini meliputi
modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok target
pada lokasi penelitian.
2.3.2.1 Modal fisik
Dalam literatur ekonomi, modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi
yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat
atau layanan-layanan produktif atau productive services (Dasgupta & Serageldin,
2000). Lawang (2004) mengungkapkan bahwa modal (capital) mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa, terutama untuk
jangka panjang. Dijelaskan terdapat tiga modal dalam bidang ekonomi, yaitu
modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital) dan modal
fisik (physical capital). Modal fisik seringkali mengacu pada barang-barang yang
kelihatan (tangible), dapat dipegang, dan sering kali tahan lama (durable) seperti:
bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Modal fisik
termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan
irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi.
1.
Menurut Robinson et al. (2002) terdapat sembilan sifat dasar (karakteristik)
barang modal fisik, yaitu :
2.
Kapasitas transformasi (transformation capacity) menunjukkan kemampuan
yang ada pada barang modal fisik untuk merubah bentuk (transform) input
menjadi output, tanpa harus ada transformasi pada barang modal fisik itu
sendiri. Contoh : pabrik rokok, dapat merubah bentuk tembakau, kertas dan
rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output) .
3.
Kemampuan untuk mempertahankan identitas/diri (durability) menunjuk
kepada kemampuan modal fisik tersebut untuk tetap mempertahankan
identitasnya dalam memberikan pelayanan. Contohnya: seekor sapi tetap
menjadi sapi walaupun telah menghasilkan susu selama beberapa tahun.
Fleksibilitas modal fisik menunjuk pada kemungkinan memberikan pelayanan
4.
5.
Suatu barang modal fisik itu bersifat dapat menggantikan (substitutable) dan
terkadang saling melengkapi (complimentary) seperti: sapi dan bajak dengan
traktor untuk membajak sawah.
6.
Kemampuan pelayanan yang diberikan barang modal fisik dapat berkurang
(declay) karena umur atau penggunaan yang terlalu lama.
7.
Kehandalan (realibility) suatu modal fisik terletak pada kemampuan
pelayanan yang dapat diramalkan atau diharapkan. Ada dua dimensi
pelayanan disini yaitu lamanya (longevity) dan intensitas.
8.
Suatu barang modal fisik mempunyai kemampuan untuk menciptakan barang
modal fisik lainnya. Contohnya: mesin pres logam yang dirancang untuk
memproduksi logam mobil, dapat memproduksi barang logam lainnya
9.
Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan
divestasi. Peluang investasi yang dimiliki oleh barang modal fisik menunjuk
kepada kemampuan untuk menciptakan barang modal fisik baru (investasi)
atau menghancurkan (divestasi) barang modal lainnya.
Suatu barang modal fisik itu bersifat alienable (susah diterjemahkan) bila
terjadi perpindahan hak melalui pewarisan, penjualan atau penyewaan.
2.3.2.2 Modal manusia
Istilah
kali dikenalkan oleh Shultz dalam pidatonya di depan American Economic
Association pada tahun 1961. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana, bahwa
proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan
merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu
investasi (Sidu, 2006).
Menurut Fukuyama (2007) dewasa ini, modal untuk usaha tidak lagi hanya
berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin. Bentuk modal-modal tersebut bahkan
cenderung semakin berkurang dan akan segera didominasi oleh modal manusia
seperti; pengetahuan dan keterampilan. Modal manusia merujuk kepada
kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan atau
pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
16
Pendidikan adalah cara dimana individu meningkatkan modal manusianya.
Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan modal manusianya semakin
tinggi pula. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif
juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan
menjadi salah satu sektor utama (leading sector).
Pengembangan sumberdaya berkualitas dimaksudkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan atau kemampuan kerja manusia dalam melakukan
berbagai macam kegiatan dalam masyarakat. Pembinaan sumberdaya manusia
berhubungan erat dengan peningkatan taraf hidup. Pembinaan sumberdaya
manusia dimulai dari keluarga, ditingkatkan melalui pendidikan formal dan
dikembangkan dalam masyarakat terutama di lingkungan pekerjaan.
Todaro dan Smith (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan kesehatan
merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Keduanya merupakan bentuk
dari modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas
manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan
merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk
menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga.
2.3.2.3 Modal sosial
Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan keterampilan
adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi (berhubungan) satu
sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bagi kehidupan ekonomi
dan eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal
sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi
mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1988).
Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan
individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik,
kepercayaan dan norma sosial. Menurut pandangannya, modal sosial merupakan
sumberdaya netral yang memfasilitasi setiap kegiatan. Masyarakat bisa menjadi
lebih baik tergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.
Birner and Wittmer (2000) membedakan modal sosial dalam dua perspektif
yang berbeda, yaitu (1) private perspective (pendekatan Bourdieu) dan (2) public
Birner and Wittmer (2000) modal sosial adalah “the totally of all actual and
potential resources associated with the possession of a lasting network of more or
less institutionalized relations of knowing or respecting each other’. Dalam
konsepnya, dikemukakan bahwa jumlah modal sosial seseorang tergantung pada
caranya memobilisasi social network dan berasal dari modal (termasuk ekonomi,
budaya dan symbolic capital) yang ada pada setiap anggota dari social network.
Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah jejaring kerja (network), norma
dan kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi
untuk mendapatkan keuntungan bersama. Putnam (1995) yang diacu oleh Birner
and Wittmer (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai "the collective value of
al
things for each other
Bagaimana hubungan modal sosial dengan pembangunan atau
pengembangan masyarakat?
". Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya
kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara
individu-individu. Selain pendekatan publik, konsep modal sosial memiliki pendekatan
yang lebih pada unsur individual (Bourdieu). Investasi dalam hubungan sosial
dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.
F
Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang
berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai
kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi
unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbalbalikan,
aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
ukuyuma (2002) mengatakan modal sosial adalah
sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Undang-undang dan
pranata politik menjadi hal pokok dalam membangun modal sosial. Alasannya
adalah modal sosial yang kuat merupakan syarat pokok dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Fukuyama (2007) mengupas
pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Masyarakat berinteraksi
dengan modal sosial yang kuat, yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya
antar warga dalam keseharian mereka. Bentuk modal inilah yang memiliki
18
Para ilmuwan sosial sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya
ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata, tetapi juga ada
modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan
disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia
dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder
& Seok, 2002). Oleh karena itu, mengenai pengertian atau definisi modal sosial
sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan
pada karakteristik yang melekat pada individu (norma-norma, saling percaya,
saling pengertian, kepedulian dan lain-lain) dan kedua penekanan pada jaringan
hubungan sosial (adanya kerjasama, pertukaran informasi dan lain-lain).
2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan
Lingkungan tempat di mana sebuah kebijakan diimplementasikan akan
sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan. Keadaan sosial-ekonomi,
politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah kebijakan
diimplementasikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik.
Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil
dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya
keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi
sebuah kebijakan (Ekowati, 2009).
Lebih lanjut Ekowati (2009) menyebutkan bahwa ketika sebuah
perundang-undangan ditetapkan sebagai dasar struktur legal, pada
implementasinya terjadi paling tidak dua proses penting, yaitu :
1. Kebutuhan suatu program untuk mencari perubahan perilaku dalam menerima
secara konstan atau periodik sebuah kebijakan. Jika terjadi penundaan dalam
mencari kerjasama, maka banyaknya kepentingan akan mempengaruhi
keberhasilan implemetasi dan tujuan kebijakan.
2. Pengaruh perubahan dalam kondisi sosial ekonomi dengan dukungan tujuan
di antara publik, umumnya kepentingan kelompok dan pemerintahan.
Hofferbert (1994) yang diacu oleh Ekowati (2009) menyebutkan bahwa
perubahan yang terjadi biasanya bervariasi sebagai faktor anteseden (yang
kondisi sosial ekonomi, (c) opini publik dan (d) wilayah tempat kebijakan
diimplementasikan.
2.3.4 Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk memahami sebuah
sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan mengidentifikasi aktor
kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan masing-masing stakeholder
dalam sistem tersebut (Grimble & Wellard, 1997). Istilah stakeholder dalam
analisis ini ditujukan untuk semua pihak yang mempengaruhi, dan atau
dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dalam sebuah sistem. Oleh
karena itu, stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial
atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat.
Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan
memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam
keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble & Chan, 2005). Masuknya ide
ini dalam perencanaan lingkungan dapat menyempurnakan prediksi mengenai
hasil (outcomes), mengurangi resiko perlawanan yang tidak terduga dan secara
umum memfasilitasi informasi bagi pembuat keputusan (Grimble et al., 1995)
Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk
memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat
menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah
yang akan diambil bila terjadi perubahan. Lebih lanjut Meyers (2001)
mengungkapkan bahwa masing-masing stakeholder memiliki derajat kekuatan
(power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang berpengaruh pada
kebijakan dan lembaga; dan mereka juga memiliki derajat potensi yang berbeda
untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda dalam
mencapai tujuan tertentu.
Kepentingan (interest) dalam oxford advanced leaner’s dictionary
didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang memberikan
perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby, 1995). Dalam literatur psikologi sosial,
pengaruh (influence) didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran,
kebiasaan dan perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen)
20
oleh orang tersebut (agen) (Nelson & Quick, 1994 dalam Reed et al. (2009).
Yukl (1994) menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu
pihak (agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Pengaruh tersebut
dapat mengenai orang, hal-hal atau peristiwa. Dalam hal menyangkut orang,
pengaruh tersebut dapat mengenai sikap, persepsi, perilaku atau kombinasi dari
hal-hal tersebut.
Pengaruh seseorang (agen) terhadap orang lain (target) akan sangat
tergantung oleh kekuatan/kekuasaan yang dimiliki seseorang (agen). Meyers
(2001) mengemukakan bahwa kekuatan (power) stakeholder dapat diketahui dari
tingkat kemampuan stakeholder untuk membujuk atau memaksa orang lain untuk
membuat keputusan dan atau mengikuti serangkaian kegiatan tertentu. Lebih
lanjut Meyers (2001) mengungkapkan bahwa kekuatan dapat berasal dari sifat
organisasi stakeholder dan atau posisi mereka dalam hubungannya dengan
stakeholder lain.
French & Raven (1959) sebagaimana diacu Yukl (1994) mengembangkan
sebuah taksonomi untuk mengklasifikasikan kekuasaan/kekuatan (power)
berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu:
1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.
2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.
3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena
percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang
ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.
4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya
bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk
melakukan sesuatu.
5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi
dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh
Konsep lainnya mengenai sumber-sumber kekuasaan/kekuatan adalah dikotomi
antara (1) kekuasaan karena kedudukan (position power) dan kekuasaan pribadi
(personal power) (Bass, 1960 dan Etzioni, 1961 dalam Yukl, 1994).
2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesa terhadap model pembangunan
yang kurang memihak kepada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari
kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun
dari pemusatan kekuasaan pada faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor
produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun sistem pengetahuan, sistem politik,
sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi;
dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua
tujuan, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; serta (2)
memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya
harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan.
Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua
kecenderungan dalam proses pemberdayaan yaitu:
1. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu dapat lebih berdaya. Upaya ini dilengkapi dengan
membangun aspek material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka melalui organisasi. Proses ini dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan.
2. Kecenderungan sekunder yang lebih menekankan kepada proses dialog.
Kecenderungan ini terkait kemampuan individu mengontrol lingkungannya.
Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan yang
dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan
22
kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,
dengan kata lain memberdayakannya.
Pemberdayaan hendaknya didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada
masyarakat marginal, karena mereka berada di lapisan sosial paling bawah dan
memiliki posisi yang mampu memecahkan masalah untuk merubah posisi mereka.
Pemberdayaan tidak semata-mata diarahkan pada perbaikan kualitas hidup jangka
pendek dalam konteks ekonomi (peningkatan kesejahteraan ekonomi) maupun
sosial (pendidikan , kesehatan dll) tetapi secara strategi harus mengarah kepada
proses untuk mendapatkan transformasi tatanan kehidupan (Kartasasmita, 1997).
Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan
adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang
proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi
masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akan memperoleh kemajuan.
Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa kata kunci dari pengertian
partisipasi masyarakat adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau
melibatkan diri dalam pembangunan. Dusseldorp (1981) membedakan tingkat
kesukarelaan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi lima jenjang, yaitu:
1. Partisipasi spontan
Partisipasi masyarakat tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman,
penghayatan dan keyakinan diri sendiri
2. Partisipasi terinduksi
Partisipasi tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan,
pengaruh atau dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap
memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi
3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan
Partisipasi yang dilakukan untuk memenuhi kebiasaan, nilai-nilai atau
norma-norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Bila tidak maka takut akan
disisihkan/dikucilkan oleh sekitarnya.
4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi
Partisipasi karena takut kehilangan status sosial, atau takut menderita