• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Desain Penelitian

4.1.1 Kejelasan dan Konsistensi Tujuan

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 mengenai Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Definisi ini secara jelas menyebutkan bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat bertujuan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi, yang saat ini telah sangat rendah.

Tujuan ini sangat sesuai dengan kebutuhan Kementerian Kehutanan saat ini mengingat banyaknya hutan produksi yang menjadi open access paska berakhirnya konsesi HPH. Kondisi ini menyebabkan kawasan hutan produksi menjadi tidak bertuan dan sebagian menimbulkan konflik land tenure dengan masyarakat, sedangkan sebagian lain menjadi lahan kosong dan kritis.

Herawati (2010a) menyebutkan bahwa permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR adalah tingginya potensi lahan tidak produktif di kawasan hutan produksi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh: berakhirnya masa konsesi HPH dan peristiwa penutupan 15 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan. Lahan hutan bekas HPH dan HTI yang ditutup menjadi berstatus open access karena tidak ada lagi kejelasan pemegang hak pengelolaannya.

Oleh karena itu, berbagai peraturan yang terkait kebijakan hutan tanaman rakyat secara konsisten mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi hutan, antara lain: (1) penentuan lokasi HTR, (2) penyusunan RKU dan RKT, dan (3) penetapan jenis tanaman pokok. Tabel 11 menunjukkan turunan kebijakan yang mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi hutan.

Tabel 11 Peraturan HTR Terkait Perbaikan Kondisi Hutan sebagai Tujuan HTR

No Kebijakan Sasaran kebijakan Keterangan 1. Penentuan lokasi Memastikan HTR dibangun dalam

kawasan hutan produksi yang tidak produktif

Permenhut No. P.55/2011 psl 2 ayat 1

2. Penyusunan RKU dan RKT

RKU dan RKT merupakan

instrument monitoring dan

pengendalian pengusahaan hutan oleh masyarakat PP. No. 3/2008 psl 71(a); psl 75 ayat 3dan 5 Permenhut No. P.55/2011 psl 23 Permenhut No. P.62/2008 3. Penetapan jenis tanaman pokok

Memastikan bahwa hutan produksi ditanami tanaman berkayu

Permenhut No. P.55/2011 Psl 7 dan 8

Juknis Pembangunan HTR

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain. Kata ‘tidak produktif’ di sini menjadi polemik, karena kenyataan di lapangan (khususnya di Kabupaten Sarolangun), kawasan yang menjadi lokasi pencadangan HTR sebagian besar merupakan lahan yang telah diokupasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Bagi masyarakat, lahan tersebut merupakan lahan yang produktif, meskipun dari perspektif pemerintah (Kementerian Kehutanan), lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat tersebut dipandang tidak produktif karena tidak dapat mengasilkan hasil hutan kayu.

Perspektif ini mencerminkan bahwa paradigma yang dianut oleh Kementerian Kehutanan masih bersifat state oriented, di mana semua sumberdaya alam yang ada ditujukan untuk negara (dalam hal ini pertumbuhan ekonomi). Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya, pemerintah sangat jarang mempertimbangkan variabel ‘masyarakat’ (baik yang ada di dalam maupun sekitar hutan). Fokus utama perhatian pemerintah adalah: (a) bagaimana menjaga kelestarian hutan dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat; (b) bagaimana menjaga keseimbangan supply dan demand bahan baku kayu ; dan (c) bagaimana meningkatkan investasi di bidang kehutanan.

Kementerian Kehutanan mewajibkan masyarakat peserta HTR untuk menyusun RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) HTR dan RKTUPHHK (Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) HTR (Pasal 23 Permenhut No. P.55/Menhut-II/20011). Terkait tujuan HTR

63 (memperbaiki kondisi hutan produksi), penyusunan RKU dan RKT ini akan sangat membantu pemerintah dalam rangka memantau kondisi hutan produksi.

Hal lain yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam rangka perbaikan kondisi hutan produksi adalah penetapan jenis tanaman pokok HTR (Pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011). Penetapan tanaman pokok HTR ini adalah upaya Kementerian Kehutanan untuk memaksa masyarakat menanam tanaman berkayu sebagai tanaman utama.

Terminologi tanaman berkayu yang dimaksud oleh Kementerian Kehutanan masih menjadi polemik. Pada mulanya, dalam petunjuk teknis pembangunan HTR (yang tertuang dalam lampiran perdirjen BPK No. P.06/VI-BPHT/2008) bab VI menetapkan jenis tanaman pokok dalam HTR terbagi atas lima kelompok, yaitu: kelompok jenis meranti, kelompok jenis keruing, kelompok jenis non dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan kelompok MPTS (di mana karet merupakan salah satu diantaranya). Namun dalam Permenhut No. P.55/Menhut- II/2011 bab VI pasal 7 ayat 4 menyebutkan bahwa jenis tanaman pokok yang ditanam dalam areal HTR adalah tanaman hutan berkayu dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan berkayu (karet, tanaman berbuah, bergetah, dll).

Pemisahan tanaman MPTS menjadi tanaman budidaya tahunan berkayu, menyebabkan tanaman karet hanya dapat ditanam 40% dari luas lahan secara keseluruhan. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang telah menguasai areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun telah menanam tanaman karet sebagai tanaman utama dalam lahan HTR yang telah mereka kuasai sebelumnya.

Ketiga instrument di atas menunjukkan bahwa dalam penyusunan berbagai turunan dari kebijakan HTR, Kementerian Kehutanan kurang mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil penelitian Herawati (2010a) menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan HTR, aktor yang terlibat hanya berasal dari lingkup birokrat Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan Kementerian Kehutanan hanya mempertimbangkan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat selaku kelompok target dalam kebijakan HTR.

Winarno (2008) menjelaskan bahwa ciri penting dari implementasi kebijakan adalah tingkat konflik atau konsensus atas tujuan-tujuan atau sasaran- sasarannya. Ciri ini akan terlihat dari sejauhmana para pejabat yang melaksanakan kebijakan mempunyai kesepakatan terhadap tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran program. Konsensus tidak akan terjadi apabila tindakan-tindakan berdasarkan nilai dari pejabat atau pemimpin menjadi faktor yang paling menentukan bagi kebijakan akhir. Kombinasi dari dua ciri ini akan menghasilkan suatu tipologi kebijakan sebagaimana Gambar 9.

Gambar 9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi Sumber : Winarno, 2008.

Sebagai sebuah kebijakan kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat, sspek sosial kemasyarakatan menjadi masalah yang harus dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan HTR. Oleh karena itu beberapa kajian dan tulisan mengenai hutan tanaman rakyat (HTR) senantiasa mengulas kebijakan ini dengan sudut pandang pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyebabkan kebijakan hutan tanaman rakyat menjadi sangat terkait dengan kebijakan pemberdayaan masyarakat dan menyebabkan kerancuan dalam implementasi kebijakan ini.

Herawati (2010a) menyebutkan bahwa terdapat tarik menarik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah yang berpotensi menyebabkan kegagalan dalam implementasi HTR. Kementerian Kehutanan memandang kebijakan HTR hanya sebagai instrument untuk memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, sementara di sisi lain stakeholders pelaksana (pemda kabupaten) beranggapan bahwa kebijakan HTR merupakan salah satu instrument pemberdayaan masyarakat. J UM L AH BESAR KECIL RENDAH TINGGI KONSENSUS TUJUAN

65 Kebijakan yang bersifat sentralistik, top down dan cetak biru (Herawati, 2010a) menyebabkan aspirasi pemerintah daerah selaku implementator kebijakan HTR belum sepenuhnya dapat diakomodir oleh Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan masih belum mampu menerjemahkan kebijakan HTR sebagai kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan HTR telah mempunyai tujuan yang jelas yaitu memperbaiki kondisi hutan produksi yang rusak dengan melibatkan masyarakat, dan tujuan ini secara konsisten diterjemahkan dalam peraturan-peraturan yang ada, antara lain dengan menetapkan lokasi HTR, kewajiban peserta menyusun RKU dan RKT, penentuan jenis tanaman pokok, dan penentuan tahapan kegiatan hutan tanaman. Namun karena target kebijakan HTR adalah masyarakat, banyak stakeholders kehutanan (peneliti, pemerintah daerah, civitas akademika, LSM dan NGO) berkeinginan agar HTR lebih bernafaskan pemberdayaan masyarakat. Hal ini tidak mampu diterjemahkan oleh Kementerian Kehutanan selaku aktor tunggal pembuatan kebijakan HTR.