• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR

Berdasarkan uraian terdahulu diketahui bahwa strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang ditawarkan adalah :

1. Alternatif pertama : mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR

2. Alternatif kedua: mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat

3. Alternatif ketiga: menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.

7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan kawasan hutan saat ini sebagai salah satu bentuk HTR

Berbeda dengan penelitian Herawati (2010a) yang mengungkapkan bahwa minat masyarakat di Kalimantan Selatan cukup tinggi terhadap HTR karena adanya kebutuhan akan lahan, masyarakat di Kabupaten Sarolangun telah menguasai semua lahan (90%) yang dicadangkan sebagai areal HTR. Oleh karena itu, untuk menarik minat masyarakat terhadap program HTR diperlukan sebuah strategi yang tidak terlalu banyak mengubah perilaku masyarakat dalam mengelola hutan.

Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa pendapatan utama masyarakat berasal dari tanaman karet, baik sebagai petani pemilik maupun buruh sadap. Pendapatan masyarakat yang berasal dari hasil tanaman karet mencakup 92% dari total pendapatan masyarakat. Gambar 21 menunjukkan proporsi rata- rata pendapatan masyarakat di lokasi penelitian.

152

Gambar 21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat

Hasil yang didapat dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Sudibjo (1999) di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi yang menunjukkan bahwa kontribusi tanaman karet dalam pendapatan rumah tangga petani adalah sebesar 93,88%. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pada tanaman karet cukup tinggi,sehingga harus dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan HTR.

Strategi pertama yaitu mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi salah satu bentuk HTR. Strategi ini merupakan strategi yang cukup strategis, mengingat masyarakat belum memiliki kemampuan untuk membangun hutan yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Kementerian Kehutanan. Bila ditelaah lebih lanjut, strategi pertama ini akan menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah dan masyarakat). Di pihak pemerintah, kebutuhan akan status lahan secara de facto di lapangan dapat teratasi karena melalui program HTR secara tidak langsung masyarakat mengakui bahwa lahan yang mereka kuasai selama ini adalah milik negara. Di pihak masyarakat, kebutuhan akan ‘rasa aman’ terhadap penguasaan lahan dan tanaman karet mereka akan teratasi karena pemerintah akan mengakui hak pengelolaan hutan yang mereka miliki melalui program HTR. Dengan demikian, strategi ini dapat memecahkan masalah land tenure yang ada di Kabupaten Sarolangun.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat (terutama di Desa Taman Bandung dan Seko Besar) telah mengakui (mengetahui) bahwa terdapat kawasan hutan produksi di daerah mereka yang dijadikan sebagai kawasan pencadangan HTR. Meskipun lahan yang menjadi areal pencadangan HTR ini sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat, namun tetap ada

85%

7% 4% 4% Usaha Tani Karet

Buruh Sadap Karet Pegawai Negeri Sipil Pedagang, wiraswasta

ketakutan pada masyarakat bila suatu waktu lahan mereka akan diambil kembali oleh negara.

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma yang berlaku cukup tinggi. Hal ini berdampak pada tumbuhnya rasa takut pada diri masyarakat bila melanggar aturan/norma yang berlaku. Fenomena adanya kebijakan HTR menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, karena di satu pihak mereka merasa bahwa menurut peraturan adat, lahan yang telah mereka jadikan kebun karet adalah milik mereka, sementara di pihak lain terdapat peraturan bahwa lahan milik tersebut adalah milik negara.

Strategi pertama merupakan jalan tengah yang diberikan oleh kebijakan HTR dengan mengakomodir kegiatan mereka memanfaatkan hutan produksi sebagai sumber mencari nafkah. Strategi ini akan sangat membantu masyarakat dalam mengatasi kebingungan yang terjadi. Dengan demikian, strategi ini juga dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR. Kebutuhan masyarakat akan ‘rasa aman’ atas lahan yang telah mereka okupasi selama ini merupakan motivator yang kuat dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

7.4.2 Optimalisasi dukungan pemerintah daerah

Schneck (2009) mengidentifikasi bahwa salah satu tantangan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR selain kurangnya kemampuan masyarakat adalah kurangnya dukungan dari institusi pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR. Kondisi di lapangan di Sarolangun, dukungan pemerintah daerah termasuk dalam katagori sedang. Hal ini akan menjadi peluang yang bagus bila dimanfaatkan sebaik mungkin, karena dukungan pemerintah daerah akan memberikan dampak yang sangat significant dalam keberhasilan implementasi HTR. Strategi kedua merupakan alternatif strategi yang sesuai untuk memanfaatkan dukungan pemda tersebut.

Budiman (2000) dalam Mardikanto (2010) menyebutkan bahwa terdapat dua elemen penting dalam partisipasi masyarakat dalam usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup, yaitu: (1) dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif dalam mengambil keputusan sendiri; dan (2) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya

154

inisiatif, sifat swadaya dan kegotong-royongan yang membuatnya lebih efektif. Berdasarkan hasil penelitian, hanya ditemukan sedikit dari masyarakat yang memiliki inisiatif untuk mengimplementasi HTR tanpa bantuan dari pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 45) diketahui bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah cukup tinggi (61.73%). Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini dapat dimanfaatkan dengan memberikan sosialisasi secara intensif mengenai HTR, guna menumbuhkan motivasi dalam diri masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR.

Pendampingan hendaknya dilakukan dengan memilih orang yang tepat sebagai fasilitator lapangan. Jarak lokasi dengan tempat tinggal dan penegasan mengenai tugas fasilitator lapangan/pendamping yang difokuskan pada implementasi kebijakan HTR dan tidak dibebani oleh tugas-tugas sampiran mutlak diperlukan. Oleh karena itu disarankan untuk memilih pendamping di luar lingkup PNS Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun dan bertempat tinggal di lokasi pencadangan HTR.

Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat, maka implemetasi kebijakan HTR hendaknya bertujuan untuk memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.

7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran

Mutaqin (2008) mengemukakan bahwa penyediaan pasar yang dapat diakses oleh masyarakat sekitar hutan merupakan fokus utama dalam implementasi kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Karenanya issu mengenai kelangkaan kayu dan pemasaran dapat menjadi rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu, di samping tanaman karet yang telah ditanam mereka sejak dahulu.

Namun demikian untuk mengimplementasikan strategi ini tidak mudah mengingat masyarakat yang sudah terlanjur memanfaatkan karet sebagai mata pencaharian utama. Oleh karena itu, menawarkan sebuah inovasi baru berupa menanam tanaman hutan berkayu adalah pekerjaan yang sangat sulit.

Karakteristik masyarakat di lokasi penelitian termasuk dalam katagori moral ekonomi subsisten. Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan (3) memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan hidup bersama (Scott, 1976). Ketiga ciri tersebut ada pada masyarakat di lokasi penelitian.

Budaya masyarakat memanfaatkan tanaman karet terkait dengan budaya peladang berpindah. Penanaman karet dilakukan sebagai penanda bahwa wilayah tersebut merupakan daerah yang telah dikuasainya. Umumnya tanaman karet yang ditanam berupa stek karet alam. Karena tidak ada pemeliharaan maka persentase tumbuh dan produktifitas getah karet sangat rendah. Meskipun demikian, mampu memberikan kontinuitas pendapatan bagi masyarakat.

Kontinuitas pendapatan dari karet merupakan jaminan mata pencaharian berkelanjutan, yang disebut Chambers (1986) sebagai sustainability livelihood security. Keberlanjutan mengacu pada pemeliharaan atau produktivitas sumberdaya untuk jangka panjang. Sebuah keluarga yang mempunyai kebun karet mempunyai sumber pendapatan tetap setiap bulannya.

Mengalihkan budaya masyarakat dari menanam tanaman karet ke jenis tanaman lainnya sangat sulit. Pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengubah moral ekonomi masyarakat yang semula moral subsisten yang tidak responsif terhadap inovasi, kearah moral ekonomi rasional yang responsif terhadap perubahan (Wharton, 1965 dalam Mardikanto 2010).