• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat

5.2.3 Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat

5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial

Bila dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial berdasarkan asal responden (Lampiran 8) maka akan terlihat bahwa ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian termasuk dalam katagori sedang dengan persentase 55.55% desa Seko Besar, 48% Desa Lamban Sigatal dan 44.82% Desa Taman Bandung.

Tingkat keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masuk dalam katagori sedang (49.38%). Mayoritas masyarakat aktif (47%) dalam berbagai kegiatan, terutama pengajian mingguan/bulanan dan arisan. Masyarakat desa umumnya bekerja di ladang yang jauh dari rumah mereka, sehingga sebagian besar harus menginap di ladang.

115

Mereka akan pulang pada hari Jumat siang untuk melakukan ibadah pada hari jumat dan melakukan kegiatan sosial pada hari Sabtu/Minggu. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam organisasi soial yang mereka ikuti dapat dilihat pada Tabel 48.

Tabel 48. Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Sosial (Network)

Indikator Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi

Tinggi Sedang Rendah n % n % n %

A.KERAGAMAN ORGANSASI

• Jumlah organisasi yang diikuti 5 6.17 45 55.55 31 38,27 • Keragaman latar belakang ekonomi 20 24.69 29 35.80 32 39.51 TOTAL 3 3.71 40 49.38 38 46.91 B. TINGKAT PARTISIPASI

• Asal mula menjadi mengikuti organisasi (ikut membentuk, sukarela, diundang)

22 27.16 28 34.57 31 38.27 • Keaktifan dalam organisasi 25 30.86 39 48.25 17 20.99 • Keikutsertaaan dalam 1 tahun

terakhir

41 50.62 21 25.96 19 23.47

TOTAL 39 48.15 25 30.86 17 20.99

C. KERJASAMA

• Pengambilan Keputusan 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjasama dalam kelompok 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjsama dengan kelompok lain 43 53.09 25 30.87 13 16.05 TOTAL 34 41.98 33 40.74 14 17.28 D. KEBIJAKAN HTR • Penyuluhan HTR 44 54.32 14 17.28 23 28.40 • Aktif di HTR 9 11.11 29 35.80 43 53.08 TOTAL 28 34.67 22 27.16 31 38.27 TOTAL KETERLIBATAN 28 34.56 40 49.38 13 16.05

Salah satu organisasi sosial yang ada di masing-masing desa asal responden adalah kelompok tani. Organisasi ini umumnya dibentuk untuk memudahkan komunikasi masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama. Di Desa Lamban Sigatal, kelompok tani dibentuk dalam rangka pengembangan jernang, sedangkan di Desa Taman Bandung, kelompok tani dibentuk dalam rangka pengembangan HTR. Belakangan, di Desa Lamban Sigatal mulai dibentuk kelompok tani HTR.

Tingkat keaktifan masyarakat Desa Taman Bandung pada saat inisiasi HTR baru dimulai (tahun 2007-2009) sangat tinggi. Pertemuan mingguan selalu dilaksanakan untuk membahas berbagai hal mengenai HTR. Namun saat ini tingkat keaktifan masyarakat sudah sangat menurun, meskipun beberapa responden mengaku kelompok mereka tetap aktif melakukan pertemuan-pertemuan.

VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI

Setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Parsons (2005) mengungkapkan bahwa riset evaluasi hendaknya membahas dua dimensi, yaitu: (1) bagaimana sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan; dan (2) dampak aktual dari kebijakan.

Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah: (1) meningkatkan produktifitas lahan hutan terdegradasi; dan (2) memberdayakan masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan tersebut, terdapat dua indikator keberhasilan implementasi kebijakan HTR yaitu (1) jumlah luas hutan produksi yang telah mendapatkan izin pemanfaatan; dan (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR.

6.1. Peningkatan Produktifitas Hutan Versus Pemberdayaan Masyarakat

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011), luas hutan produksi yang telah mendapatkan izin HTR hingga Februari 2011 adalah seluas 101 012.5 ha atau hanya sekitar 15.91% dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk HTR. Melihat kecilnya realisasi HTR, dapat disimpulkan bahwa kebijakan HTR belum mampu menjadi tools dalam mengurangi jumlah lahan kritis di Indonesia, mekipun secara jelas disebutkan bahwa tujuan HTR adalah meningkatkan produktifitas hutan produksi.

Data Statistik Kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa luas lahan kritis dalam kawasan hutan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 82 juta ha (Kemenhut 2011a). Terkait agenda rehabilitasi lahan kritis (pro environment) yang merupakan salah satu misi HTR, target pencadangan HTR seluas 5.4 juta ha pada tahun 2016 hanya akan mampu memperbaiki 6.6% dari luas lahan kritis yang ada pada saat ini (dengan asumsi tingkat keberhasilan 100%). Realisasi HTR yang rendah menunjukkan bahwa kontribusi kebijakan HTR dalam memperbaiki kondisi hutan produksi masih sangat kecil.

Berdasarkan perhitungan luas efektif/rasionalisasi kawasan hutan diketahui bahwa luas hutan yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil adalah

118

5.6 juta ha dimana 68% diantaranya termasuk ke dalam kawasan hutan produksi. Alokasi lahan tersebut bukan hanya ditujukan untuk pengembangan hutan tanaman rakyat saja, namun termasuk juga untuk pengembangan hutan kemasyarakatan dan hutan desa (Kemenhut, 2011b). Melihat fenomena ini, terdapat dua hal yang perlu dikaji secara mendalam yaitu: 1) alokasi kawasan untuk pengusahaan hutan skala kecil; 2) kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan secara profesional.

Dasar penetapan alokasi luas lahan untuk pengusahaan hutan skala kecil ini adalah proses analisis spasial yang menghasilkan peta arahan indikator rencana kehutanan tingkat nasional (Kemenhut 2011b). Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan dalam RKTN 2010-2030 merevisi kembali target pembangunan HTR menjadi 2.6 juta ha pada tahun 2030. Dengan demikian, sumbangan kebijakan HTR dalam memperbaki kondisi hutan produksi yang terdegradasi hanya 3.1% dari total luas lahan kritis yang ada saat ini.

Luas lahan kritis di Propinsi Jambi seluas 2.2 juta ha (Kemenhut, 2011), sedangkan luas pencadangan HTR di Propinsi Jambi adalah 38 963 ha. Dengan demikian, hanya 0.8% luas lahan kritis di Propinsi Jambi yang dapat diperbaiki melalui kebijakan HTR (bila implementasi kebijakan HTR berhasil 100%).

Luas hutan produksi yang terdapat di Propinsi Jambi adalah 931 121 ha dimana 97 116 (10%) diantaranya terdapat di Kabupaten Sarolangun (Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2011). Luas pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 18 840 ha. Hal ini berarti kebijakan HTR hanya ditargetkan untuk memperbaiki 19.4% kondisi hutan produksi di Kabupaten Sarolangun.

Uraian di atas menggiring kita pada pernyataan bahwa peranan kebijakan HTR dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi sangat kecil, meskipun secara jelas dan konsisten dipaparkan dalam setiap kebijakan terkait HTR bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kondisi hutan produksi. Latar belakang kebijakan HTR sebagai instrumen untuk mengamankan kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open acces paska berakhirnya konsesi HPH, belum mampu menempatkan kebijakan HTR sebagai alternatif solusi terbaik dalam pengelolaan hutan produksi. Alokasi pengelolaan hutan terbesar masih diserahkan kepada pihak pengusaha hutan skala besar.

Oleh karena itu, tujuan HTR sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Kehutanan. Sunderlin et al. (2005) mencatat bahwa kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang tindih. Lebih lanjut Sunderlin et al. (2005) mengemukakan bahwa hutan dapat membantu menghindari atau mengurangi kemiskinan dengan menyediakan sumber-sumber pendapatan kecil dan merupakan jaring pengaman dalam masa-masa yang sulit. Hutan dapat membantu menghapuskan kemiskinan dengan memfungsikannya sebagai sumber tabungan, investasi, aset pembangunan dan peningkatan penghasilan dan kesejahteraan secara permanen.

Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237 556 363 orang, dimana 48.8 juta jiwa (12%) tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan (Brown, 2004). Lebih lanjut Brown (2004) mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk yang

hidup di dalam kawasan hutan tersebut, 10.2 juta jiwa (25%) diantaranya

tergolong dalam kategori miskin (Brown, 2004). Bila diasumsikan dalam satu keluarga terdiri atas 4 jiwa, maka terdapat ±2.55 juta KK penduduk miskin yang harus diberdayakan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang Kehutanan, termasuk kebijakan HTR.

Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 hanya mengalokasikan 6 456 911 ha sebagai kawasan hutan yang ditujukan sebagai kawasan pengusahaan hutan skala kecil (masyarakat), dimana 1 882 404 ha di antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, 2 274 013 ha kawasan hutan produksi, 2 150 085 ha kawasan hutan produksi terbatas dan 150 408 hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan ini ditujukan untuk memberikan akses pada masyarakat dalam mengelola hutan melalui kebijakan hutan kemasyarakatan, hutan adat dan hutan tanaman rakyat.

Bila diasumsikan kemampuan masyarakat mengelola hutan adalah 15 ha/KK (sesuai Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011) maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan di kawasan yang telah ditunjuk hanya berjumlah 430 460 KK. Hal ini berarti hanya sekitar 17% dari total penduduk miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan yang dapat mengelola hutan

120

secara legal (diakui secara sah oleh Pemerintah) dan 83% lainnya harus mencari pekerjaan di luar kawasan hutan.

Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu alat pengentasan kemiskinan (pro poor), maka dalam konsepnya kebijakan HTR harus mampu mengatasi permasalahan kemiskinan ini. Pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan dalam kebijakan HTR adalah membuka akses masyarakat dalam mengelola hutan produksi yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk itu ditetapkan target sebesar 600 000 hektar pertahun, dengan harapan minimal 40 000 KK akan terlibat dalam kegiatan ini setiap tahunnya (dengan asumsi 1 KK mengelola maksimal 15 ha). Secara teoritis, hal ini berarti dalam masa 4 tahun minimal 160 000 KK (atau 6.3% dari total jumlah orang miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan) dapat ditingkatkan taraf hidupnya melalui kebijakan hutan tanaman rakyat.

Data kesejahteraan dari BKKBN Kabupaten Sarolangun (2007) juga menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat disekitar hutan belum sejahtera. Tingkat keparahan kemiskinan (poverty severity) di wilayah ini lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi umum Kabupaten Sarolangun. Data BPS (2007) menunjukkan bahwa Kabupaten Sarolangun memiliki masyarakat pra sejahtera sebanyak 8 102 kepala keluarga dari 50 780 keluarga atau sebanyak 15.95%. Masyarakat di sekitar lokasi pencadangan HTR (kawasan hutan Bukit Bahar – Tajau Pecah) digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan rendah (kelas Pra Sejahtera 28% dan kelas Sejahtera I 29%).

Dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat petani di kawasan hutan tersebut, Pemda Kabupaten Sarolangun memohon izin pencadangan kawasan di Bukit Bahar Tajau Pecah wilayah Sarolangun untuk dibangun menjadi kawasan Hutan Tanaman Rakyat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008 telah dicadangkan seluas 18 840 hektar kawasan hutan untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bila diasumsikan 15 ha/KK maka diprediksi kebijakan HTR akan mampu melibatkan 1256 KK atau 15.6% dari masyarakat pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun.

Namun realisasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - HTR (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sarolangun hingga

Maret 2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh. Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya 0.82% dari SK pencadangan, atau hanya 1.43% dari target KK yang dapat diberdayakan melalui kebijakan ini.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata masyarakat di lokasi penelitian menguasai lahan di areal yang telah dicadangkan di areal HTR seluas 5 hektar (Tabel 41), sementara kemampuan mereka untuk mengelola lahan secara intensif adalah 2-3 hektar/KK. Fenomena ini mengajak kita untuk meninjau ulang dasar peraturan yang menyebutkan bahwa luas areal maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat adalah 15 hektar.

Bila luas lahan maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat disesuaikan dengan luas penguasaan lahan rata-rata petani dalam kawasan hutan di lokasi penelitian (5 hektar) maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun bertambah menjadi 3 768 KK. Sehingga diprediksi bahwa kebijakan HTR dapat melibatkan 47% masyarakat dari keluarga pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun. Secara teoritis, hal ini berarti kebijakan HTR akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Sarolangun sebanyak 50% (jumlah keluarga pra sejahtera berkurang dari 15,95% menjadi 7,42%), dengan asumsi tingkat keberhasilan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 100%.

Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar masyarakat menguasai lahan di areal pencadangan HTR dengan luasan yang beragam dan sporadis. Oleh karena itu, 90% areal pencadangan HTR telah dikuasai oleh masyarakat secara de facto. Pembatasan luas dalam perizinan HTR di Kabupaten Sarolangun secara tidak langsung juga dapat mengendalikan distribusi pendapatan, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat dapat berlangsung secara merata.