• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Sekilas tentang Hutan Tanaman

2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat (HTR)

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan penetapan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19).

Ketentuan di atas dengan jelas membedakan terminologi hutan tanaman rakyat (HTR) dengan program kehutanan yang melibatkan masyarakat lainnya seperti Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat (HR). HTR hanya dikembangkan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak, sedangkan HKm dimungkinkan untuk dikembangkan di kawasan hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan produksi dan hutan lindung dan hutan rakyat dibangun pada kawasan hutan yang dibebani hak. Perbedaan hutan tanaman rakyat dengan kebijakan kehutanan lain yang melibatkan masyarakat seperti hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perbedaan mendasar antara hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat terletak pada kepemilikan (lahan dan tanaman). Kepemilikan hutan rakyat telah jelas adalah milik masyarakat karena dibangun di atas lahan yang dibebani hak milik. Kepemilikan lahan pada HTR dan HKm adalah milik

28

negara dan masyarakat yang mengelola lahan tersebut hanya mempunyai izin usaha pemanfaatan hutan.

Kepemilikan tanaman pada hutan kemasyarakatan tidak dapat dikatakan milik masyarakat (petani HKm). Direktur BPK (2010) dalam Herawati (2010a) menyebutkan bahwa penanaman pohon pada program HKm menggunakan anggaran belanja negara, sehingga petani HKm tidak dapat mengklaim tegakan di areal HKm sebagai milik pribadi, melainkan harus melalui mekanisme bagi hasil dengan pemerintah. Sementara, tegakan yang ditanam di HTR diarahkan sebagai aset pribadi karena dibiayai dari modal petani atau dapat bersumber dari kredit pemerintah dengan menjadikan tegakan HTR sebagai agunan.

Perbedaan ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk menjadikan masyarakat sebagai partner dalam pengelolaan hutan. Dalam program HTR, pemerintah memberikan hak dan tanggungjawab kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan untuk membangun hutan tanaman di kawasan hutan produksi. Untuk itu pemerintah menyediakan lahan maksimum 15 Ha/KK/daur tanaman (misal 8 tahun) dan biaya sebesar Rp 5–8 juta/ha/tahun (tergantung regionnya) sebagai pinjaman dengan suku bunga sebesar 9.5% (Hakim 2007).

2.5.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

Program HTR pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan akses kepada masyarakat untuk (1) Memperoleh pengakuan secara hukum dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) Memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; (3) Memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar.

Ditengarai ada tiga situasi yang melatarbelakangi kebijakan HTR, yaitu (1) tingginya kebutuhan kayu yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan hutan alam untuk menyediakan kayu bulat; (2) peluang untuk menghasilkan hasil hutan bukan kayu; dan (3) banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open access pasca berakhirnya masa konsesi HPH. Tiga situasi ini

menjadikan pembangunan hutan tanaman rakyat terlihat sangat sesuai untuk diimplementasikan.

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga merupakan peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dalam hutan tanaman rakyat. HHBK (seperti satwa, bunga, buah, rotan, madu, damar, gaharu, getah dan lain-lain) dapat menjadi sumber devisa negara dan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2004 tercatat devisa ekspor satwa dan tumbuhan di Indonesia sebesar USD 4.17 juta (Dephut, 2006). Nilai ekspor satwa dan tumbuhan pada tahun 2009 meningkat hingga mencapai Rp 4.54 triliun dengan masing-masing Rp 3.04 triliun (satwa) dan Rp 1.5 triliun (tumbuhan), sedangkan produksi rotan mencapai 24.5 ribu ton, gondorukum 3.2 ribu ton, minyak kayu putih 20 ribu liter, damar 11.1 ribu ton, dan kopal 149 ton (Kemenhut 2011b).

Lemahnya power pemerintah pasca reformasi menyebabkan pemerintah merasa kesulitan untuk mengamankan hutan dengan menggunakan instrumen masa lalu, seperti pengamanan dengan menggunakan polisi kehutanan atau penegakan hukum. Hal ini menimbulkan banyaknya kawasan hutan produksi yang semula areal konsesi HPH menjadi kawasan yang tidak bertuan (secara de facto menjadi open access). Di sisi lain, modal sosial masyarakat mulai melemah, tingkat kepercayan masyarakat terhadap pemerintah dan sesama masyarakat mulai menurun. Secara teoritis, dalam kondisi seperti ini kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan memberikan kesempatan mengelola hutan secara private baik oleh masyarakat maupun pengusaha swasta (Gambar 2). Maka kebijakan HTR menjadi keputusan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dengan tujuan membangun hutan untuk kelestarian.

30 STATE CAPABILITY WEAK STRONG S O CI AL CAP IT AL WE

AK PRIVATE STATE OWNER

S

T

RO

NG

CBFM CO –MANAGEMENT

Gambar 2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas Negara

Sumber: Nurrochmat, 2005b

Dalam rencana implementasinya, program hutan tanaman rakyat ini akan dikembangkan melalui tiga pendekatan yaitu pola kemitraan, pola mandiri dan pola developer. Pola mandiri dilakukan langsung oleh masyarakat lokal secara individu atau berkelompok, sedangkan pada pola kemitraan dan developer dirancang akan melibatkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Swasta (Emila dan Suwito 2007).

Pola mandiri mengarahkan masyarakat setempat untuk membentuk kelompok tani hutan, yang kemudian diajukan ke bupati. Kemudian pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengendalian kredit, pasar dan pendampingan dari pemda setiap anggota mengingatkan anggota kelompok lainnya untuk memenuhi kewajiban.

Pola kemitraan dilakukan melalui kemitraan antara petani atau kelompok tani hutan dengan HTI BUMN/S atau industri perkayuan (panel), pulp dan kertas/model plasma inti. Pola ini menuntut masyarakat setempat untuk membentuk kelompok yang kemudian diajukan oleh Bupati ke Menteri Kehutanan. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pasar.

Pola lainnya adalah pola developer. Pola ini diperkenalkan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan merujuk kepada developer perumahan. Prinsipnya BUMN/S sebagai developer membangun HTR dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.

Lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah No.3/2008 disebutkan bahwa pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada HTR diberikan dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali dengan jangka waktu 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Tanaman yang dihasilkan HTR merupakan aset pemegang izin usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin masih berlaku.