• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.2 Lingkungan Kebijakan

4.2.2 Kondisi Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam implementasi kebijakan HTR. Masyarakat Desa Taman Bandung, Desa Seko Besar dan Desa Lamban Sigatal selaku target kebijakan HTR memiliki kebiasaan dan budaya seperti layaknya Suku Bangsa Melayu, khususnya budaya Jambi. Kebiasaan dan budaya yang ada ini dapat menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR.

Salah satu budaya masyarakat desa di lokasi penelitian adalah kebiasaan masyarakat berladang secara berpindah. Kebiasaan ladang berpindah ini membentuk pola peladangan yang membutuhkan areal yang luas sebagai areal ladang. Pada umumnya areal yang menjadi ladang masyarakat adalah kawasan hutan produksi yang saat ini telah dicadangkan sebagai lokasi pengembangan HTR. Menurut keterangan warga, sekitar 90% dari kawasan pencadangan HTR sudah menjadi lahan-lahan dalam penguasaan masyarakat yang berupa kebun, ladang, dan semak-belukar. Sebagian warga juga sudah ada yang memperjualbelikan lahan-lahan dalam areal pencadangan HTR yang menjadi penguasaannya kepada para pendatang yang umumnya berasal dari Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Lahan yang berasal dari hutan yang dibuka masyarakat dan dijadikan kebun karet belum memiliki sertifikat hak milik. Meskipun tanpa hak milik, penguasaan lahan tersebut tidak menjadi konflik (antar masyarakat) karena kepemilikannya diakui oleh masyarakat. Kejelasan kepemilikan lahan secara de facto ini merupakan faktor pendukung dalam implementasi HTR karena target kebijakan HTR secara perorangan menjadi jelas.

Kebijakan HTR hanya ditujukan pada masyarakat yang secara de facto memiliki lahan di areal pencadangan HTR. Hal ini secara teknis akan memudahkan pemda dalam hal sosialisasi dan pendampingan.

Namun demikian, budaya peladang berpindah dapat menjadi faktor penghambat keberhasilan implementasi kebijakan HTR karena pada prinsipnya kebijakan HTR memberikan hak pada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan dengan cara budidaya tanaman, khususnya tanaman berkayu, sedangkan sistem peladangan berpindah yang cenderung memanfaatkan ketersediaan sumberdaya alam yang ada (mencari tanah yang subur) untuk meningkatkan produktifitas tanaman yang ditanamnya. Usaha intensifikasi seperti pengolahan tanah, pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit kurang atau bahkan tidak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan bimbingan dan pendampingan secara intensif pada masyarakat untuk membudidayakan tanaman secara menetap, khususnya dalam budidaya tanaman berkayu.

Dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 6 menyebutkan bahwa tanaman pokok yang ditanam dalam areal HTR adalah tanaman berkayu. Hal ini menyebabkan kebiasaan masyarakat untuk menanam tanaman berkayu juga menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan HTR. Meskipun tanaman yang menjadi primadona masyarakat untuk ditanam adalah karet, namun beberapa masyarakat yang menanam tanaman berkayu lain seperti pulai, medang, mahoni, cendana, jabon dan pinang.

Karet memiliki arti penting bagi warga karena di samping sebagai sumber penghidupan utama, karet juga dipandang sebagai jaminan hidup. Artinya, warga akan merasa aman jika memiliki kebun karet karena karet bisa memberikan hasil secara terus-menerus dalam jangka panjang. Bagi warga yang tidak memiliki kebun karet, mereka dapat menyadap kebun orang lain dengan sistem bagi hasil.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat diketahui bahwa karet merupakan salah satu kelompok multi purpose tree species (MPTS) yang dapat dijadikan tanaman

87 pokok dalam areal HTR. Kebiasaan masyarakat untuk menanam karet juga menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan HTR.

Adat Melayu Jambi lain yang potensial mendukung kegiatan HTR adalah adat untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat. Di lokasi penelitian dikenal pepatah “ladang 1 dapat padi, ladang 2 tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan”. Artinya berladang itu tidak perlu yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk merawat dan mengelola lahan tersebut atau disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota masyarakat dengan adanya musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang dinamakan “rembuk bertaun” (Ardi, 2011).

Filosofi dalam pepatah ini sangat potensial sebagai modal petani dalam mengelola kawasan hutan produksi. Pepatah ini menganjurkan untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan baik secara fisik maupun finansial. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kemampuan masyarakat untuk mengelola lahan HTR hanya berkisar antara 2-3 hektar dalam satu tahun, sedangkan luas kepemilikan lahan masyarakat dalam areal HTR rata-rata adalah 5 hektar. Kemampuan masyarakat mengelola lahan hingga menjadi tanaman, menjadi patokan untuk mempredikasi bahwa dalam lima tahun akan terbangun hutan karet yang mampu menopang kehidupan masyarakat.

Namun kenyataannya terdapat kebiasaan lain dalam masyarakat Melayu Jambi yang menjadi faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan penelitian, diketahui bahwa ada tiga kebiasaan yang berpotensi menghambat perkembangan HTR di Jambi yaitu: (1) masih memandang hutan sebagai pemberian dari Allah SWT; (2) mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian nama anak dan lain-lain) secara besar-besaran; dan (4) masyarakat masih berjiwa subsisten.

Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian merasa hutan merupakan pemberian Allah SWT yang diwariskan nenek moyang mereka. Mereka merasa tidak perlu untuk mengetahui status kawasan hutan yang secara de jure adalah milik negara. Bagi mereka, pemilik lahan adalah siapa yang paling dulu membuka

ladang di kawasan tersebut. Di masyarakat terkenal istilah “pek pek wan, siapo yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan lebih dahulu terhadap sumberdaya maka dialah yang menjadi pemiliknya (Ardi, 2011). Masyarakat tidak merasa perlu legalitas lahan dari pemerintah karena secara de facto mereka telah diakui oleh lingkungannya. Hal ini berpotensi menghambat progress implementasi HTR apabila tidak dikelola dengan baik.

Kebiasaan lain yang dapat menghambat implementasi kebijakan HTR adalah kebiasaan masyarakat untuk melaksanakan perhelatan (pesta) secara besar- besaran. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat membutuhkan uang banyak dalam waktu yang singkat. Bila demikian, sebagian masyarakat akan memilih untuk menjual ladang mereka kepada pendatang (dari Bengkulu, Lampung atau Sumatera Selatan). Hal ini berpotensi sebagai faktor penghambat implementasi HTR, karena HTR tidak dapat dipindahtangankan apalagi diperjualbelikan. Potensi konflik yang akan muncul akibat kebiasaan ini menjadi catatan yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

Kondisi masyarakat Melayu Jambi lain yang dapat berpotensi negatif terhadap implementasi kebijakan HTR adalah sebagian masyarakat masih berjiwa subsisten.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian masyarakat tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji, meskipun beberapa masyarakat (terutama tokoh masyarakat) bersikap lebih terbuka dan mau mencoba inovasi baru. Kebijakan HTR yang menuntut masyarakat untuk menanam tanaman berkayu termasuk inovasi baru bagi masyarakat, meskipun mereka telah lama menanam tanaman karet. Untuk itu, strategi yang dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk memasarkan kebijakan HTR adalah membuat demplot di beberapa lahan masyarakat peserta HTR. Pemda berharap agar masyarakat lain akan tertarik untuk menanam tanaman berkayu

Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan (3) memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan hidup bersama (Scott, 1976).

89 selain karet setelah melihat hasil demplot. Namun, dampak yang terjadi adalah masyarakat justru berharap pemda juga memberikan bantuan bibit untuk lahan mereka sebagaimana yang dilakukan pada demplot-demplot yang ada.

Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian mempunyai kecenderungan untuk melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar dari mereka merasa cukup dalam keterbatasan, artinya lebih suka dengan apa adanya. Upaya memperbaiki nasib diinilainya akan memerlukan biaya yang tinggi dan penuh resiko (kegagalan dan ketiakpastian) (Dixon, 1982 dalam Mardikanto, 2010). Kamaludin, 2009 menilai bahwa pada umumnya, mayoritas bangsa Melayu masih memandang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Melayu, kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke kantor atau ke tempat ia bekerja, maka ia mengatakan akan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Melayu dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah.