• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat

5.2.2 Modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat

Dalam penelitian ini, modal manusia diukur melalui tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat pengetahuan responden. Dari hasil penelitian diketahui bahwa modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat desa sekitar areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang (45.68%) seperti yang tersaji dalam Tabel 38. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat

107 pendapatan yang rendah (80.25%), tingkat pengetahuan yang sedang (37.03%) dan tingkat pendidikan yang sedang (80.85%).

Tabel 38 Modal Manusia

Indikator Tinggi Sedang Rendah

n % n % n %

Tingkat pendidikan 8 9.88 65 80.25 8 9.88 Tingkat pengetahuan 22 27.16 30 37.03 29 35.80 Tingkat pendapatan 2 2.47 14 17.28 65 80.25 Modal manusia 27 33.33 37 45.68 17 20.99

Bila dilihat berdasarkan desa asal responden (lampiran 7), diketahui bahwa modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat Desa Seko Besar berada dalam katagori rendah (66.67%), modal manusia masyarakat Desa Lamban Sigatal sedang (56.00%) dan modal manusia masyarakat Desa Taman Bandung berada dalam katagori tinggi (48.29%).

Tingkat pendidikan. Lampiran 7 menunjukkan bahwa berdasarkan asal

responden, tingkat pendidikan dengan persentase tertinggi (81.48%) masuk dalam katagori sedang terdapat di Desa Seko Besar. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini dipengaruhi oleh pendidikan formal dan pendidikan informal (pelatihan dan studi banding). Bila dilihat lebih lanjut, tingkat pendidikan formal masyarakat di daerah sekitar kawasan HTR termasuk kedalam kategori sedang yaitu sebanyak 65.43% masyarakat mengecap pendidikan hingga SD dan SMP, bahkan 19.75% masyarakat menyelesaikan pendidikan SMU dan perguruan tinggi (Tabel 39). Tabel 39 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

Kriteria

Desa

Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n %

< 6 thn 2 7.41 7 28.00 3 10.34 12 14.81 6 - 9 thn 19 70.37 15 60.00 19 65.52 53 65.43 > 9 thn 6 22.22 3 12.00 7 24.14 16 19.75

Persentase tertinggi (70.37%) responden dengan tingkat pendidikan hingga SD - SMP terdapat di Desa Seko Besar. Diduga hal ini disebabkan karena failitas pendidikan di Desa Seko Besar lebih baik dibandingkan dengan dua desa lainnya. Desa Seko Besar telah memiliki fasilitas sekolah hingga tingkat SMU meskipun kondisi gedung masih menjadi satu dengan gedung SMP. Tingkat pendidikan

formal yang baik ini menandakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tinggi sehingga dapat menjadi faktor kunci yang penting bagi pengembangan kegiatan HTR di daerah tersebut.

Tingkat pengetahuan. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat pendidikan informal responden sangat rendah. Secara keseluruhan sebanyak 76.54% responden tidak pernah mengikuti pendidikan informal khususnya bidang kehutanan (Tabel 40). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti masyarakat di lokasi penelitian sebagian besar merupakan pelatihan mengenai perkebunan dan pertanian, sedangkan pelatihan bidang kehutanan yang pernah diikuti oleh beberapa responden yaitu mengenai konservasi hutan serta studi banding pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan hutan rakyat di Jawa yang kebanyakan diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat kehutanan.

Tabel 40 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Informal

Kriteria

Desa

Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman

Bandung

n % n % n % n %

< 6 thn 22 81.48 17 68.00 23 79.31 62 76.54

6 - 9 thn 5 18.52 6 24.00 6 20.69 17 20.99

> 9 thn 0 0.00 2 8.00 0 0.00 2 2.47

Tingkat pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat mengenai implementasi kebijakan HTR, termasuk ketentuan yang ada dalam perundangan-undangan. Persentase tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR dengan katagori tinggi terdapat di Desa Taman Bandung yaitu 55.17% (lampiran 7). Hal ini disebabkan karena desa ini pernah menjadi lokasi percontohan areal HTR di Jambi sehingga pernah dilaksanakan sosialisasi secara intensif, sedangkan Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori sedang (52%) dan Desa Seko Besar masuk dalam katagori rendah (70.37%).

Rendahnya tingkat pengetahuan responden di Desa Seko Besar terhadap kegiatan HTR disebabkan oleh: (1) kurangnya dukungan yang diberikan oleh aparat desa, (2) tidak ada pihak yang membantu proses fasilitasi serta (3) status lahan yang masih berkonflik dengan penggunaan lain.

Konflik lahan terjadi karena sebagian dari total LU II (Lahan Usaha II) yang ditunjuk oleh Kementerian Transmigrasi sebagai lahan garapan tambahan

109 masyarakat termasuk ke dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang saat ini ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR. Masyarakat berpendapat bahwa lahan tersebut adalah milik mereka meskipun hingga saat ini belum ada sertifikatnya.

Adanya program KTM (Kota Mandiri Terpadu) yang diluncurkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menjadi salah satu penyebab rendahnya dukungan aparat desa. Kepala desa berharap desa mereka akan dijadikan pilot project program KTM. Dengan demikian, mereka berharap kejelasan status LU II akan terselesaikan (sertifikat akan dikeluarkan oleh pemerintah). Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden yang menguasai lahan di areal HTR, mereka berharap areal tersebut dapat menjadi hak milik sebagai lahan usaha yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai transmigran. Dengan demikian jatah lahan mereka sama luasnya dengan masyarakat lain yang lahan usahanya tidak berada di dalam areal HTR.

Tingkat pendapatan. Menurut Sayogyo (1991) sebagaimana diacu oleh

Salim (1980), yang paling mudah untuk menentukan tingkat kemiskinan adalah pada ekonomi rumah tangga, yaitu tingkat mencapai kebutuhan dasar manusia. Salim (1980) menyebutkan bahwa berdasarkan kriteria Sayogyo (1977) tingkat pendapatan petani miskin di daerah pedesaaan adalah setara dengan 240-320 kg perkapita pertahun. Bila diasumsikan 1 KK memiliki empat anggota keluarga, maka setiap KK hendaknya berpenghasilan setara dengan 960-1 280 kg beras dalam satu tahun. Dengan kondisi jalan yang buruk, harga beras di lokasi penelitian berkisar antara Rp.10 000.00 hingga Rp.15 000.00 tergantung cuaca. Sehingga pendapatan minimal responden dalam katagori miskin di lokasi penelitian hendaknya berkisar antara 9.6 juta rupiah– 19.2 juta rupiah pertahun.

Bila dihitung berdasarkan nilai hasil perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) perkapita masyarakat desa di lokasi penelitian diketahui adalah sebesar 32 juta rupiah. Perhitungan ini didasarkan pada pengeluaran rumah tangga masyarakat yang setara dengan nilai 800 kg beras/orang/tahun berdasarkan harga rata-rata patokan untuk kebutuhan fisik minimum (KFM) 320 kg, pendidikan 160 kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg (Sinukaban 2007). Perhitungan kebutuhan

hidup layak (KHL) masyarakat di sekitar hutan di lokasi penelitian selengkapnya tertera pada Tabel 41.

Tabel 41 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Masyarakat di Sekitar Hutan

Jenis Pengeluaran % Kg Beras Harga Beras (Rp/kg) Pengeluaran (Rp/orang 1) / Jumlah Keluarga th) Kebutuhan (Rp/KK 2) / th) KFM 100 320 10 000 3 200 000 4 12 800 000 Pendidikan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000 Kesehatan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000 Sosial/Tabungan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000 KHL 8 000 000 32 000 000 1)

rata-rata harga beras di lokasi penelitian pada saat penelitian

2)

diasumsikan jumlah anggota keluarga 4 orang

Bila ditinjau dari tingkat pendapatan responden (Tabel 47), maka sebagian besar responden (80.25%) berada dalam katagori rendah dengan pendapatan rata- rata 10 juta rupiah pertahun. Pendapatan rata-rata responden tertinggi adalah Rp. 12.68 juta rupiah terdapat di Desa Lamban Sigatal dan rata-rata pendapatan terendah adalah 6.83 juta rupiah di Desa Seko Besar. Jumlah pendapatan ini masih jauh dari katagori dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 42.

Tabel 42 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan (dalam Jutaan Rupiah)2

Kriteria

Desa

Total

Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % Rata- rata n % Rata- rata n % Rata- rata n % Rata- rata Tinggi 0 0.00 1 4.00 1 3.45 2 2.47 Sedang 2 7.41 6.83 9 36.00 12.68 3 10.35 10.71 14 17.28 10.02 Rendah 25 92.59 15 60.00 25 86.20 65 80.25

Sumber pendapatan responden sebagian besar berasal dari getah karet baik dari lahan sendiri maupun dari hasil menjadi buruh karet atau sebagai pedagang pengumpul. Mereka biasanya menyadap getah enam kali dalam satu minggu dan hasilnya rata-rata bisa mencapai 50-100 kg/minggu. Harga getah karet yang digunakan untuk perhitungan pendapatan dalam penelitian ini adalah Rp.15.000/kg yang merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini dilaksanakan. Sumber pendapatan lainnya diperoleh dari usaha dagang, ternak,

2

Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah

dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

111 wiraswasta dan honor atau gaji PNS. Pendapatan responden di Desa Lamban Sigatal lebih besar dibandingkan dengan dua desa lainnya karena di desa tersebut kebanyakan responden mendapatkan tambahan penghasilan dari mengambil atau mencari getah jernang.