• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun

Secara sederhana kondisi yang terjadi di Kabupaten Sarolangun dapat dilukiskan sebagai berikut: pemerintah membutuhkan cara agar kawasan hutan produksi yang telah kritis (berupa semak dan belukar) dapat berhutan kembali. Untuk itu, pemerintah berharap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan bersedia untuk membantu pemerintah dalam membangun hutan. Namun, pemerintah tidak bersedia bila jumlah kawasan hutan berkurang, sehingga bentuk yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat yang bersedia berpartisipasi dalam membangun hutan adalah izin pengelolaan bukan hak milik.

Di lain pihak, pasca berakhirnya HPH PT. PITCO kawasan hutan produksi menjadi open access. Kebiasaan masyarakat berladang berpindah menyebabkan masyarakat membutuhkan lahan yang luas untuk dijadikan lokasi berkebun hingga mengokupasi kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai oleh PT. PITCO. Peraturan adat yang selama ini menjadi panutan hidup masyarakat, tidak menyalahkan tindakan mereka. Penguasaan lahan hutan produksi menjadi legal secara de facto oleh masyarakat. Sebagai tanda penguasaan lahan, masyarakat

134

menanam tanaman karet alam dan tanaman berkayu lain (sengon, balam, jabon, dan lain-lain) yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya usaha untuk merawatnya.

Adanya kebijakan HTR telah memberikan peluang pada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi (yang sebelumnya telah mereka kuasai) secara legal. Kebijakan ini sesungguhnya disambut baik oleh masyarakat. Namun progress implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun cukup rendah. Hal ini disebabkan antara lain oleh: (1) adanya batasan yang diberikan oleh kebijakan ini terutama dalam hal penentuan jenis tanaman; dan (2) sulitnya masyarakat untuk mendapatkan bantuan modal. Hal ini menyebabkan proses implementasi kebijakan HTR berjalan lambat.

Diketahui bahwa sejak kebijakan HTR diinisiasi tahun 2007 hingga Mei 2011 baru 18 orang (yang tergabung dalam empat kelompok tani hutan) yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di Kabupaten Sarolangun. Tabel 53 menunjukkan daftar pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun.

Tabel 53 Pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011

No Nomor Keputusan Tanggal Luas (Ha) Nama Pemegang

Kelompok Tani Hutan (KTH) 1 01 thn 2009 30 Maret 2009 15,00 A.Wakid Maju Jaya T. Bandung 2 02 thn 2009 30 Maret 2009 13,00 Nyoto Usaha Tani T. Bandung 3 03 thn 2009 30 Maret 2009 10,00 A.Kosim Bukit Lintang T. Bandung 4 04 thn 2009 30 Maret 2009 6,00 Karnoto Sumber Rejeki T. Bandung 5 105 thn 2010 15 Maret 2010 4,28 Sapari Maju Jaya T. Bandung 6 106 thn 2010 15 Maret 2010 5,11 Nurainun Maju Jaya T. Bandung 7 107 thn 2010 15 Maret 2010 8,00 Asri Maju Jaya T. Bandung 8 108 thn 2010 15 Maret 2010 6,00 Zaidan Maju Jaya T. Bandung 9 109 thn 2010 15 Maret 2010 6,93 Sapri Maju Jaya T. Bandung 10 110 thn 2010 15 Maret 2010 7,40 Kardi Maju Jaya T. Bandung 11 111 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Aming S Bukit Lintang T. Bandung 12 112 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Rahman M Bukit Lintang T. Bandung 13 113 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Kosasi AR Bukit Lintang T. Bandung 14 114 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Nuraina Bukit Lintang T. Bandung 15 115 thn 2010 15 Maret 2010 7,23 Suyatno Sumber Rejeki T. Bandung 16 116 thn 2010 15 Maret 2010 7,62 Sar’i Sumber Rejeki T. Bandung 17 117 thn 2010 15 Maret 2010 10,50 Suhari Usaha Tani T. Bandung 18 118 thn 2010 15 Maret 2010 7,59 Sunardi Usaha Tani T. Bandung Sumber : BP2HP Wilayah IV Jambi (2011)

Seluruh pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sarolangun merupakan warga Desa Taman Bandung, sedangkan dua desa lainnya yang menjadi lokasi penelitian masih dalam proses sosialisasi dan pembuatan ijin.

Berdasarkan evaluasi isi kebijakan, proses implementasi kebijakan HTR berjalan lambat karena masih terdapat terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan kebijakan HTR, dimana Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan menekankan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kualitas hutan produksi, sedangkan masyarakat dan pemerintah daerah selaku pelaku kebijakan mengharapkan kebijakan HTR lebih bersifat pemberdayaan.

Dalam konsep pemberdayaan, proses pemberdayaan menekankan pada proses pemberian kemampuan pada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya (Mardikanto, 2010). Namun demikian dalam implementasinya, seringkali terdapat bias dalam memahami makna pemberdayaan, antara lain: (1) anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman atau aspirasi pembangunan dari lapisan bawah; (2) anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana memperbaiki nasib mereka; (3) anggapan bahwa pembangunan masyarakat di lapisan bawah lebih membutuhkan bantuan material dibandingkan keterampilan teknis dan manajerial (Mardikanto. 2010).

Meskipun pemda beranggapan HTR adalah kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, ketiga bias di atas terjadi dalam implementasi kebijakan HTR. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah daerah dalam mengimplementasikan HTR masih bersifat top down, dan berupa bantuan material seperti penyediaan bibit, pembuatan demplot dan lain-lain.

Di samping perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan dalam penyusunan kebijakan HTR juga kurang sesuai dengan kondisi di lapangan. Asumsi bahwa masyarakat telah siap untuk menjadi enterpreneur sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kementerian Kehutanan, masih membutuhkan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya.

Bila dilihat dari asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, tidak menutup kemungkinan kebijakan HTR menjadi kebijakan yang dapat memberdayakan masyarakat. Namun masih diperlukan pengkondisian terlebih dahulu. Sehingga langkah-langkah dalam implementasi kebijakan HTR harus

136

lebih bertahap, tidak secara langsung masyarakat yang mendapatkan ijin harus melakukan penanaman dan membangun HTR.

Tahap pengkondisian ini harus disesuaikan dengan kondisi para pelaku kebijakan yang ada (masyarakat dan pemda). Cara yang dapat ditempuh adalah dengan menunjuk pendamping yang ditempatkan pada setiap desa. Saat ini pendamping HTR di Kabupaten Sarolangun adalah PNS Disbunhut. Penunjukan ini dirasa kurang tepat dan proses pendampingan akan menjadi tidak maksimal.

Bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan mengenai budidaya tanaman menetap, pelatihan manajerial dan lain-lain dapat dilakukan oleh pendamping secara bertahap pada masing-masing pemegang IUPHHK HTR sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Pendamping HTR dapat dimasukkan dalam struktur implementasi dan menjadi ujung tombak pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan diketahui bahwa kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah. Jumlah aparat pemda yang terlibat aktif dalam implementasi kebijakan HTR hanya 3 -4 orang dimana 2 diantaranya telah ditunjuk menjadi pendamping HTR. Dukungan finansial yang diberikan oleh Bupati (pemda kabupaten) kurang memadai. Hal ini disebabkan karena orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun masih kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga HTR dianggap kurang menguntungkan pemda.

Kemampuan pemda dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah, terutama dalam hal penyelesaian masalah (problem solving) dan fasilitasi dan pengawasan. Hal ini disebabkan oleh jarak dan aksesibilitas lokasi pengembangan HTR yang jauh dan silit dijangkau.

Untuk meningkatkan kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah daerah, beberapa hal yang dapat ditempuh antara lain:

1. Menambah jumlah pendamping yang berasal dari luar lingkup Disbunhut Kabupten Sarolangun, yang dapat dijadikan ujungh tombak implementasi kebijakan HTR.

2. Memberikan fasilitas yang memadai kepada Disbunhut Kabupaten untuk mengimplementasikan kebijakan HTR baik berupa sarana prasarana transportasi maupun dana dalam pelaksanaannya

3.

Memberikan pelatihan terutama dalam hal manajemen konflik, problem solving, fasilitator dan monitoring.

Modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori rendah, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik yang dimiliki oleh masyarakat, terutama lahan dan keberadaan tanaman cukup tinggi. Penguasaan lahan rata-rata masyarakat di lokasi peneltian adalah 4,99 Ha, meskipun status kawasan masih belum legal.

Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR cukup tinggi karena sebagian besar responden merupakan anggota masyarakat yang pernah mendapatkan penyuluhan (sosialisasi) mengenai HTR. Tingginya pengetahuan masyarakat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya minat masyarakat terhadap HTR cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat bagaimana agar HTR dapat diterimaa oleh masyarakat.

Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang cukup dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Namun karena terdapat beberapa peraturan dalam kebijakan HTR bertentangan dengan norma yang telah mereka anut sebelumnya, maka diperlukan strategi yang tepat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR di lapangan.

Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan diketahui bahwa masyarakat masih memiliki moral ekonomi subsisten, sehingga keinginan masyarakat untuk berusaha agar mendapatkan pendapatan yang lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih sangat kecil. Selain itu masyarakat juga memiliki kebiasaan untuk menanam tanaman karet, karena karet merupakan sumber kehidupan mereka. Untuk megimplementasikan kebijakan HTR dibutuhkan strategi yang dapat mengakomodir kondisi masyarakat ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya prospek kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun rendah. Masih dibutuhkan upaya yang lebih kongkrit

138

dalam mengemas kebijakan HTR agar dapat diimplementasikan di Kabupaten Sarolangun.