• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Role of Social Capital in the Management of Community Forest and Timber Trade in Giriwoyo District, Wonogiri Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Role of Social Capital in the Management of Community Forest and Timber Trade in Giriwoyo District, Wonogiri Regency"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri)

MARWOTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

(4)
(5)

LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Currently various community-based forest resources are found to have been able to save forests from extinction. It's rationale necessitates the need to incorporate social capital in community forest management and timber trade. The research objectives were (1) to identify and assess individual characteristics, elements of social capital and community timber trade patterns, (2) to determine and analyze the relationship between individual characteristics and the elements of social capital as well as community timber trade patterns, (3) to obtain the most appropriate strategy in the management of community forests and timber trade. Data were analyzed descriptively, using Spearman rank correlation, SWOT and QSPM analyses. The individual characteristics of farmers, based on the assessments, were in the medium category. The social capital was at the high level, at which people are generally committed to joint efforts, effective collaboration, collective and institutionalized action, expressing ideas to increase productivity, maximize mutual benefit and positive interdependence. The elements of community timber trade observed were the pattern of sale time, marketing chain and the sale system in three channels. The individual characteristics that were significantly correlated with the elements of social capital were age, formal education, non-formal education, income, and social status. The individual characteristics correlated with the pattern of the timber trade were the levels of formal and non-formal education, income and social status.The social capital that was correlated with the trade pattern in the certified sites was proactive measure, while in the uncertified location, apart from the proactive measures, the network had a positive correlation with the pattern of community timber trade. The selected strategy to strengthen management of community forests and timber trade was by improving people's knowledge of forest management and timber trade, which includes good cultivation people and timber trade patterns by conducting extension, training and development.

(6)
(7)

Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT. Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat terbukti dapat menyelamatkan hutan dari ancaman kepunahan di beberapa tempat. Hal ini menjadi dasar pemikiran perlunya memasukkan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu dan modal sosial pada masyarakat; mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur modal sosial, karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu rakyat, modal sosial dengan unsur pembentuknya dan antara modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat; serta untuk mendapatkan strategi yang paling tepat untuk pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

Karakteristik individu petani berdasarkan penilaian berada pada kategori sedang. Secara umum tingkat modal sosial masyarakat pada taraf sedang. Pada taraf ini umumnya petani memiliki komitmen terhadap upaya bersama, kerjasama secara efektif, tindakan kolektif, terlembaga, bersuara untuk meningkatkan produktifitas, memaksimalkan keuntungan bersama dan saling ketergantungan secara positif.

Berdasarkan korelasi Spearman karakteristik individu di lokasi penelitian yang berhubungan nyata dengan unsur modal sosial adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan, dan status sosial. Karakteristik individu yang berkorelasi dengan pola perdagangan kayu rakyat untuk adalah tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan dan status sosial. Modal sosial yang berkorelasi dengan pola perdagangan di lokasi yang tersertifikasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan untuk lokasi yang belum tersertifikasi selain tindakan proaktif, jaringan juga memiliki korelasi positif dengan pola perdagangan kayu rakyat.

Berdasarkan analisis SWOT terhadap evaluasi faktor internal dan eksternal, maka kecenderungan posisi petani di lokasi penelitian dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat berada pada pemanfaatan seluruh kekuatan petani untuk mengatasi ancaman-ancaman yang ada. Hasil matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi yang terpilih dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat adalah strategi peningkatan pengetahuan usaha pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat mencakup budidaya yang baik dan pola perdagangan kayu rakyat dengan melakukan penyuluhan, pelatihan dan pembinaan.

(8)
(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(10)
(11)

(Kasus di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri)

MARWOTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama NIM

: :

Marwoto E.151100051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 30 Agustus 2012 Tanggal Lulus : Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. F. Trop

Ketua Anggota

(14)
(15)

“Peran Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah“. Kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2012.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian studi, penelitian dan penyusunan tesis ini, Penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 1. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,

M.Sc.F.Trop selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pimpinan sidang.

3. Kementerian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan atas ijin dan bantuan biaya pendidikan.

4. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-LPPM IPB yang melibatkan saya dalam penelitian Policy and Regulatory Options to Recognise and Better Intergrate the Domestic Timber Sector in Tropical Countries (PRO-FORMAL).

5. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan rekan-rekan Tim Peneliti PRO-FORMAL, yang telah mengarahkan dan memberi masukan.

6. Instansi dan pihak terkait atas bantuan fasilitas, dana dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

7. Aparat dan seluruh masyarakat Desa Ngancar, Desa Platarejo, Desa Tirtosuworo dan Desa Sajati yang telah memberikan bantuan pada saat pengumpulan data di lapangan.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2010 untuk kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis karya tulis ini.

9. Istri tercinta Dhian Eko Prastiwi, anak-anakku tersayang Ahza Abrisam Akbar dan Ahmad Affan Annasai atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2012

(16)
(17)

pada tanggal 18 Agustus 1978 dan merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara dari pasangan Bapak Pawiro Setomo dan Ibu Pariyem (Alm.). Penulis menikah dengan Dhian Eko Prastiwi pada tanggal 28 Mei 2006 dan telah dikarunia dua putra, Ahza Abrisam Akbar lahir di Pekanbaru, 08 Maret 2008 dan Ahmad Affan Annasai lahir di Bogor, 29 Juni 2012.

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di Klaten, yaitu di SDN 1 Krajan, Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di MTsN Jatinom dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di MAN Klaten pada tahun 1998. Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004.

Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan sebagai staf pada Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru sejak tahun 2005. Pada tahun 2010 penulis mendapat Beasiswa dari Kementerian Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Hutan Rakyat ... 8

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat ... 11

2.2.1 Aspek Ekologi ... 12

2.2.2 Aspek Ekonomi ... 12

2.2.3 Aspek Sosial ... 13

2.3 Perdagangan Kayu Rakyat ... 14

2.4 Modal Sosial ... 16

2.4.1 Konsep Modal Sosial ... 16

2.4.2 Dimensi dan Tipologi Modal Sosial ... 21

2.4.3 Unsur-Unsur Modal Sosial ... 22

2.5 Karakteristik Individu sebagai Modal Sosial ... 28

2.6 SWOT dan QSPM ... 31

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 32

(19)

3.4 Populasi dan Sampel ... 37

3.5 Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional ... 38

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 41

3.6.1 Analisis Deskriptif Kualitatif... 41

3.6.2 Analisis Kuantitatif ... 42

3.6.3 Analisis Strategi dalam Pengelolaan Hutan rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 43

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 46

4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 46

4.1.1 Letak Administrasi ... 46

4.1.2 Iklim ... 46

4.1.3 Topografi ... 46

4.1.4 Penggunaan Lahan ... 47

4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi Petani ... 47

4.2.1 Penduduk ... 47

4.2.2 Pendidikan ... 48

4.2.3 Mata Pencaharian dan Pendapatan ... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 53

5.1.1 Penanaman ... 53

5.1.2 Pemeliharaan ... 59

5.1.3 Pemanenan ... 60

5.1.4 Pemasaran ... 63

5.2 Karakteristik Individu Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 70

5.2.1 Jenis Kelamin, Agama, Etnis dan mata Pencaharian ... 70

5.2.2 Jumlah Anggota Keluarga ... 71

5.2.3 Umur... 72

5.2.4 Tingkat Pendidikan ... 73

5.2.5 Tingkat Pendidikan Non Formal ... 73

(20)

5.2.7 Tingkat Kesehatan ... 75

5.2.8 Luas Lahan Garapan... 76

5.2.9 lama Tinggal ... 77

5.2.10 Status Sosial ... 77

5.3 Penilaian karakteristik Individu ... 78

5.4 Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial... 80

5.4.1 Kepercayaan ... 80

5.4.2 Jaringan Sosial... 84

5.4.3 Norma Sosial ... 88

5.4.4 Tindakan yang Proaktif ... 89

5.4.5 Kepedulian ... 91

5.5 Tingkat Modal Sosial Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 93

5.5 Pola Perdagangan Kayu rakyat ... 95

5.6 Hubungan Karakteristik Individu dengan Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Petani ... 98

5.8 Hubungan Karakteristik Individu dengan Perdagangan Kayu Rakyat... 102

5.9 Hubungan Modal Sosial dengan Perdagangan Kayu Rakyat ... 105

5.10 Dukungan Infrastruktur ... 107

5.11 Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan kayu Rakyat... 108

5.11.1 Tahap Pengumpulan Data ... 109

5.11.2 Tahap Analisis atau Pemaduan ... 116

5.11.3 Tahap Pengambilan Keputusan ... 120

VI. SIMPUL DAN SARAN ... 123

6.1 Simpulan ... 123

6.2 Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

(21)
(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Beberapa Pengertian Modal Sosial ... 20 2. Kategori Modal Sosial ... 23 3. Tingkat Modal Sosial ... 24 4. Pokok Penelitian, Jenis Data, Sumber dan Metode Pengumpulan

Data ... 36 5. Jumlah responden tiap-tiap desa ... 37 6. Variabel dan Definisi Operasional dari Modal Sosial ... 39 7. Variabel dan Definisi Operasional dari Karakteristik Individu .... 39 8. Variabel dan Definisi Operasional dari Perdagangan Kayu

Rakyat ... 41 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Giriwoyo ... 47 10. Jumlah Penduduk Tiap-tiap Desa di Lokasi Penelitian ... 48 11. Tingkat Pendidikan Petani di Lokasi Penelitian ... 49 12. Mata pencaharian Petani di lokasi penelitian ... 50 13. Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat per hektar ... 67 14. Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat ... 69 15. Analisis kelayakan finansial ... 70 16. Identifikasi individu responden berdasarkan jenis kelamin,

agama dan etnis ... 71 17. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga ... 71 18. Sebaran responden berdasarkan umur di lokasi penelitian ... 72 19. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di lokasi

penelitian ... 73 20. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan non formal

di lokasi penelitian ... 74 21. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendaparan responden

(23)

22. Sebaran responden berdasarkan tingkat kesehatan responden di lokasi penelitian ... 76 23. Sebaran responden berdasarkan luas lahan dan staus

kepemilikan di lokasi penelitian ... 76 24. Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dalam komunitas

di lokasi penelitian ... 77 25. Sebaran responden berdasarlan status sosial di lokasi penelitian . 77 26. Penilaian karakteristik individu petani yang tersertifikasi dan

yang belum tersertifikasi ... 78 27. Penilaian karakteristik individu petani yang tersertifikasi dan

yang belum tersertifikasi berdasarkan kategori ... 80 28. Tingkat kepercayaan petani responden... 81 29. Penilaian kepercayaan petani responden ... 83 30. Tingkat jaringan sosial petani di lokasi penelitian ... 84 31. Tingkat jaringan petani responden ... 85 32. Tingkat norma sosial petani responden ... 88 33. Tingkat norma sosial petani responden ... 89 34. Kategorisasi tingkat tindakan yang proaktif petani responden .... 90 35. Tingkat tindakan proaktif petani responden ... 91 36. Kategorisasi tingkat kepedulian petani responden ... 92 37. Tingkat kepedulian petani responden ... 92 38. Tingkatan modal sosial petani responden ... 93 39. Sebaran tingkat modal sosial petani responden ... 94 40. Pola perdagangan kayu rakyat ditingkat petani di lokasi yang

tersertifikasi dan yang belum tersertifikasi ... 96 41. Pola perdagangan kayu rakyat di tingkat petani baik di lokasi

yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berdasarkan kelasnya ... 96 42. Hubungan antara komponen pada karakteristik individu petani

di lokasi yang telah tersertifikasi ... 99 43. Hubungan antara komponen pada karakteristik individu petani

(24)

44. Hubungan antara karakteristik individu dengan faktor

pembentuk modal sosial di lokasi penelitian yang tersertifikasi .. 100 45. Hubungan antara karakteristik individu dengan faktor

pembentuk modal sosial di lokasi penelitian yang belum tersertifikasi. ... 100

46. Hubungan antara karakteristik individu pola perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang tersertifikasi. ... 103

47. Hubungan antara karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang belum tersertifikasi. ... 103

48. Hubungan antara unsure pembentuk modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang tersertifikasi. 105

49. Hubungan antara faktor pembentuk modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang belum

tersertifikasi ... 106 50. Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur dalam pengeloaan

hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di tingkat petani baik di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berdasarkan kelasnya ... 107 51. Matriks IFE dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan

kayu rakyat ... 111 52. Matriks EFE dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan

kayu rakyat ... 114 53. Matriks SWOT Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat dan

Perdagangan Kayu Rakyat... 118 54. Rekapitulasi matrik pengambilan keputusan penguatan modal

(25)
(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 7

2. Pola Pemasaran dan distribusi kayu rakyat ... 17

3. Modal Sosial sebagi Sumberdaya ... 19

4. Diagram SWOT ... 32

5. Hubungan antar Peubah ... 43

6. Pemanfaatan lahan berupa sawah dengan pola tumpangsari ... 55

7. Pemanfaatan lahan di lahan sawah dengan pola tumpangsari ... 55

8. Sketsa Pemanfaatan lahan di Tegal Gunung ... 56

9. Dominasi Tanah yang ada di Tegal Gunung ... 57

10. Pemanfaatan lahan Pekarangan ... 58

11. Pemanfaatan lahan Pekarangan ... 58

12. Bibit Tanaman yang Berasal dari Terubusan (Sulen) ... 60

13. Proses pemanenan yang dilakukan oleh petani untuk kebutuhan

pribadi ... 62

14. Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian ... 66

15. Posisi strategi penguatan modal sosial pada pengelolaan hutan

rakyat dan perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian ... 119

16. Perbandingan nilai skor ketertarikan stakeholders pada berbagai

(27)
(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Administrasi Lokasi Penelitian ... 133 2. Data karakteristik individu dan modal sosial petani di

Kecamatan Giriwoyo ... 134 3. Korelasi antara komponen karakteristik individu di lokasi yang

telah tersertifikasi ... 137 4. Korelasi antara komponen karakteristik di lokasi yang belum

tersertifikasi ... 138 5. Korelasi antara unsur pembentuk modal sosial di lokasi yang

telah tersertifikasi ... 139 6. Korelasi antara unsur pembentuk modal sosial di lokasi yang

belum tersertifikasi ... 140 7. Korelasi antara pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang

tersertifikasi ... 141 8. Korelasi antara pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang

belum tersertifikasi ... 142 9. Korelasi karakteristik individu dengan unsur pembentuk modal

sosial di lokasi yang telah tersertifikasi ... 143 10. Korelasi karakteristik individu dengan unsur pembentuk modal

sosial di lokasi yang telah tersertifikasi ... 144 11. Korelasi karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang tersertifikasi... 145 12. Korelasi karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi ... 146 13. Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang telah tersertifikasi ... 147 14. Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi... 148 15. Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis pada

analisis SWOT ... 149 16. Prioritas strategi alternatif terpilih berdasarkan QSPM ... 151

(29)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi hutan dan lahan di Indonesia dewasa ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Proses degradasi sumberdaya lahan dan hutan berupa penurunan fungsi lahan di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) terus berlangsung secara cepat. Kondisi tersebut berpengaruh pada kerusakan ekosistem, kemiskinan, ketahanan pangan, perubahan iklim dan sebagainya. Secara umum meningkatnya luas kerusakan hutan karena belum optimalnya implementasi kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat, dimana masih terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat sekitar hutan dan pengambil kebijakan kehutanan (Suharjito et al 2000).

Di beberapa tempat berbagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis masyarakat terbukti dapat menyelamatkan hutan dari ancaman kepunahan. Hal ini karena pola hubungan antara masyarakat dengan hutan dilakukan berdasar pada kaidah keselarasan lingkungan yang lebih mengutamakan keseimbangan alami dibandingkan kepentingan ekonomi semata (Keraf 2002). Hubungan tersebut tercermin dalam pengaturan sumber daya pada praktek-praktek lokal berbasis masyarakat di berbagai daerah, seperti pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah hutan rakyat, hutan desa, hutan kebun, wanatani atau menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, limbo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara (Suharjito et al 2000).

(30)

hutan sebagai penyangga sistem kehidupan, nilai-nilai lingkungan dan pengembangan wilayah. Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka penyelenggaraan kehutanan berbasis masyarakat menjadi landasan pembangunan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam UU No.41/1999 pasal 70 dimana pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Salah satu peran masyarakat dalam kegiatan di bidang kehutanan yang didorong pemerintah adalah pengelolaan hutan rakyat. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu fokus kegiatan dalam Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi lahan kritis, mengurangi resiko bencana alam dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Kemenhut 2011).

Hutan rakyat berkontribusi secara ekonomi dan ekologis kepada masyarakat. Kontribusi ekonomi dapat dilihat dari potensi hutan rakyat itu sendiri baik potensi kayu maupun non kayu. Berdasarkan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI tahun 2009, hutan rakyat di Pulau Jawa dengan luasan kurang lebih 2,6 juta hektar mempunyai potensi kayu (indikasi) rerata 75,88 juta meter kubik, seandainya masyarakat menggunakan daur 20 tahun untuk hutan rakyatnya maka suatu saat etat hutan rakyat di Jawa akan dapat mencapai lebih dari 7,5 juta m3

Permintaan kayu dari hutan rakyat yang lazim dikenal dengan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu. Menurut Hardjanto (2003), permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga macam, yaitu: a) permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya untuk cakupan lebih luas dan berorientasi ekspor dan c) industri besar padat modal. Sedangkan dari segi pemasarannya menurut (Kemenhut 2011),

(31)

terdapat tiga pola perdagangan kayu rakyat yaitu: 1) tradisional atau pemasaran setempat, dimana petani menjual kayunya didasarkan kebutuhan yang harus dipenuhi pada saat itu sehingga tidak didasarkan pada perencanaan maupun kondisi pasar yang berlaku, 2) sistim ijon, dimana petani menjual kayunya jauh sebelum kayu tersebut siap ditebang dengan alasan tekanan ekonomi dan 3) sistem pengepul, dimana petani menjual kayunya kepada pihak pengepul yang akan menjualnya kembali kepada industri ataupun pedagang besar.

Menurut BPKH Wilayah XI, selain memberikan kontribusi secara ekonomi, hutan rakyat sebagaimana hutan negara juga memiliki peran dan fungsi secara ekologis. Sistem hutan rakyat juga ketahanan untuk survival dan bagian dari sistem livelihood; hutan rakyat merupakan bentuk manifestasi kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang terlihat dari sistem wanatani dan ternak. Kebutuhan jangka pendek biasanya dipenuhi melalui sistem tumpangsari tanaman semusim di lahan hutan rakyat (agroforestry), sementara untuk jangka menengah biasanya dipenuhi dari ternak dan hasil panen tanaman perkebunan seperti Kopi, Kapulaga, dan tanaman buah lainnya. Kayu merupakan tabungan dan investasi jangka panjang bagi petani, kayu hanya akan ditebang ketika ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat dipenuhi dari pendapatan yang lain.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dapat membuktikan kemampuannya dalam hal mengelola hutan secara lestari, namun kenyataan lain juga menunjukkan adanya proses-proses pemudaran kemampuan itu. Proses itu berlangsung sejalan dengan perubahan lingkungan, intervensi pasar dan politik yang tidak mampu dibendung oleh masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya menguatkan kembali kemampuan masyarakat (modal manusia, modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi) sangat diperlukan (Suharjito 2008).

(32)

salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

1.2 Perumusan Masalah

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat terkadang dibatasi oleh berbagai faktor seperti kebijakan, ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses terhadap informasi, ketersediaan sumber daya serta aturan-aturan dan struktur sosial budaya. Semua faktor tersebut mempengaruhi apakah pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan sosial budaya setempat dan terjamin kesinambungannya. Oleh karena itu untuk menjamin keberhasilan kegiatan program pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu tersebut perlu pemahaman karakteristik sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat lokal, karena berdasarkan hal tersebut kegagalan usaha pemerintah di masa lalu (program KUHR, HR-subsidi dan sebagainya) dapat diantisipasi oleh berbagai pihak secara lebih dini. Penyebab kegagalan program tersebut adalah adanya ketidaksesuaian harapan, keinginan dan kebutuhan dasar masyarakat serta tidak tersedianya unsur-unsur kapital yang memadai baik dalam bentuk sarana prasarana (infrastruktur) maupun modal sosial sebagai faktor kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam menerima, melaksanakan dan mengelola program tersebut secara profesional serta lemahnya struktur sosial dalam masyarakat lokal.

(33)

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1 Bagaimana mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, unsur-unsur modal sosial masyarakat dan pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

2 Faktor-faktor apa yang berhubungan antara karakteristik individu dengan modal sosial masyarakat serta pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

3 Strategi apakah yang paling sesuai dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, unsur-unsur modal sosial masyarakat dan pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial serta pola perdagangan kayu rakyat pada masyarakat di Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

3. Mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

3.4 Manfaat Penelitian

(34)

1.4 Kerangka Pemikiran

Dalam menyukseskan program pengelolaan hutan rakyat yang baik diperlukan adanya aksi kolektif (collective action) yang positif dari masyarakat. Sedangkan untuk membangun aksi kolektif ini diperlukan tingkatan modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain itu, keberhasilan program pembangunan juga ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang karakteristik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, karakteristik individu dalam masyarakat dan unsur-unsur modal sosial yang ada dalam masyarakat.

(35)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Tingkatan modal sosial:

• minimum,

(HR non sertifikasi dan HR sertifikasi)

•Umur (X1)

•Pendidikan formal (X2)

•Pendidikan non-formal (X3)

•Pendapatan (X4) Unsur modal sosial (Y1):

• Kepercayaan (Y1.1)

(Uphoff 2000; Hasbullah 2006) Skenario prioritas & prioritas strategi kebijakan pengelolaan

hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat

Rekomendasi aspek sosial dalam kebijakan pengelolaan hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat di Kabupaten

Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah

Kebijakan pengelolaan hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat Pola Perdagangan Kayu

Rakyat (Y2)

•Tata waktu penjualan (Y2.1)

•Rantai pemasaran (Y2.2)

•Sistem penjualan (Y2.3)

Analisis SWOT dan

(36)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Pengertian hutan rakyat berbeda-beda tergantung pada batasan yang diberikan terhadap hutan rakyat.

Menurut Hardjanto (2000) hutan rakyat merupakan hutan milik karena berupa hutan yang dimiliki oleh masyarakat dan dinyatakan oleh bukti kepemilikan lahan. Hutan rakyat ini selain penting karena berfungsi sebagai perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat, juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, juga mampu menghasilkan buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya.

Dalam Undang-undang Kehutanan No.41/1999 berdasarkan status kepemilikannya dikenal hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak, sedangkan hutan hak adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Selanjutnya di dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Alrasyid (1973) diacu dalam Awang et al. (2001) hutan rakyat adalah “hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohonan yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau badan hukum seperti koperasi dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah”.

(37)

diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.

Hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah, baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Suharjito (2000) mengemukakan bahwa keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Pola tanam yang dikembangkan oleh petani pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua pola tanam, yaitu: murni (monokultur) dan campuran (polyculture).

1. Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat yang terdiri atas satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Harjanto (2000) menegaskan bahwa upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan rakyat monokultur, karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran (Polyculture)

a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Cara ini lebih baik dari segi silvikultur daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestry/wanatani. Pola ini merupakan kombinasi usaha tanaman kehutanan dengan cabang usaha lainnya, seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis.

Pola pengembangan hutan rakyat terdiri atas tiga pola, yaitu :

(38)

melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

2. Pola subsidi (model hutan rakyat); hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres penghijauan, padat karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat); hutan rakyat dibangun atas kerjasama petani dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan petani membutuhkan bantuan modal kerja.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dilakukan di beberapa daerah oleh Lembaga Penelitian IPB, Suharjito (2000) menyimpulkan beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut:

1. Pelaku. Pelaku dalam hutan rakyat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya. Sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu: buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan dan pihak yang bergerak dalam pemasaran.

2. Distribusi lokasi. Distribusi lokasi hutan rakyat menurut lokasi kepemilikan lahan pada umumnya berada pada lahan-lahan kering. Distribusi lokasinya ternyata terdapat pada seluruh tipe pemanfaatan lahan yaitu sawah, pekarangan, kebun, talun, ladang/tegakan.

3. Teknik budidaya. Budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya.

Maksud dan tujuan pengembangan hutan rakyat adalah :

1. Meningkatkan pendapatan petani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan.

(39)

3. Terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik, khususnya lahan milik rakyat.

4. Memberdayakan masyarakat pedesaan.

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan dalam arti umum merupakan suatu usaha yang didalamnya meliputi beberapa aspek, seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi yang setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Jadi, pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persediaannya dimasa yang akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara ekologis dan ekonomis (Awang et al. 2001).

Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani secara turun-temurun. Hardjanto (2000) mengatakan bahwa teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai oleh para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, dilakukan secara sederhana.

(40)

2.1.1 Aspek Ekologi

Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan.

2.2.2 Aspek Ekonomi

(41)

berperan dalam meningkatkan pendapatan petani dan perekonomian daerah (Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008).

Untuk struktur pendapatan petani, pendapatan dari hutan rakyat adalah pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan petani (Hardjanto 2000; Darusman dan Hardjanto 2006). Hardjanto (2001) menyebutkan bahwa pendapatan hutan rakyat pada Sub DAS Cimanuk Hulu berbeda pada zona atas, tengah dan bawah yaitu 31,5%, 5,6% dan 10,2%. Pendapatan masyarakat dibagian atas lebih besar karena hutan rakyat di bagian atas merupakan kegiatan yang menjadi sumber penghasilan andalan bagi masyarakat dan intensitas pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat cukup tinggi, sedangkan pendapatan masyarakat pada bagian tengah dan bawah adalah rendah karena masyarakat kurang mengelola secara intensif, tingkat kesuburan lahan yang rendah dan masyarakat lebih mengharapkan sumber pendapatan dari sektor lain.

Untuk memasarkan hasil produk hutan rakyat, Hardjanto (2000, 2003) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah jika dibandingkan dengan para tengkulak, industri kecil dan industri besar. Jumlah petani hutan rakyat yang banyak, memiliki sumberdaya yang terbatas, tidak membentuk usaha bersama dan tidak menguasai pasar maka berdampak pada posisi tawar yang lebih rendah. Sementara itu, para tengkulak dan pihak industri bersifat lebih solid, memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, menguasai informasi pasar sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perbedaan posisi ini menyebabkan pendapatan petani hutan rakyat selalu lebih kecil dan pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya.

2.2.3 Aspek Sosial

(42)

berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008). Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga.

Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito (2000) menyebutkan keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa.

2.3 Perdagangan Kayu Rakyat

Peran hutan rakyat terhadap penyediaan kayu sekarang ini sangat berpengaruh terhadap perdagangan kayu di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan kayu yang berasal dari hutan alam. Namun demikian pada saat ini perdagangan kayu rakyat belum memiliki manajemen yang baku, terkadang para petani menjual kayu rakyat pada waktu yang tidak ditentukan atau dengan kata lain tebang butuh, tidak merencanakan daur tebangnya.

(43)

hutan rakyat dijual dalam bentuk kayu olahan seperti papan, usuk, kusen, dan balkon.

Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan (Kotler 1997). dalam hal ini kayu rakyat dari produsen/petani ke konsumen. Lembaga perantara pemasaran yang terlibat didalam pemasaran kayu rakyat diantaranya pedagang pengepul ditingkat desa/kecamatan (pengepul) dan pemasok (supplier).

Secara rinci lembaga pemasaran kayu rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut (Kemenhut 2011):

1. Pedagang kecil (bakul/first agent) adalah lembaga perantara pemasaran yang membeli kayu rakyat dari petani dan biasanya bertempat tinggal di desa yang sama dengan petani. Bakul membeli kayu milik petani dalam bentuk tegakan, sehingga sering disebut penebas.

2. Pedagang pengepul (pengepul/second agent) adalah lembaga pemasaran yang membeli kayu rakyat dari pedagang kecil/bakul dan juga sering disebut pangkalan atau depo. Pengepul ini memiliki penampungan dan biasanya menjual kayu kepada pemasok atau ke industri penggergajian, karena tidak dapat langsung menjual ke industri, tetapi harus melalui pemasok.

3. Pemasok (supplier) adalah lembaga perantara yang mendapatkan kontrak kerja penyediaan bahan baku kayu untuk industri.

4. Panjang pendek saluran pemasaran tergantung dari jumlah lembaga perantara pemasaran yang terlibat didalamnya.

Hardjanto (2003) menyebutkan ada beberapa pola distribusi kayu rakyat terjadi di beberapa daerah yang secara singkat dapat dilihat pada Gambar 2.

(44)

Pola 1

Pola 2

Sumber: Hardjanto (2003)

Gambar 2 Pola pemasaran dan distribusi kayu rakyat

2.4 Modal Sosial

2.4.1 Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan. konsep

Petani Penebas Pengepul Suplier Industri

Petani

Tengkulak Pohon

Industri Penggergajian

Industri Pengolahan Barang Jadi

Pengrajin

Pedagang/suplier

(45)

modal sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre pada tahun 1916, ia mengatakan bahwa modal sosial, bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat (Hasbullah 2006)

Menurut Bourdieu dalam Winter (2000), modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Bourdieu 1986). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan keluarga.

(46)

Sumber: Edwad (2004) dalam Suandi (2007)

Gambar 3 Modal sosial sebagai sumberdaya

Lebih lanjut Coleman (1988) melihat bahwa struktur sosial memiliki berbagai bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan oleh individu dan masyarakat, yakni: kewajiban ( obligation) dan harapan, informasi, dan norma- norma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia.

Dampak Positif dan Negatif

Modal Alam

- Cahaya matahari,

- Atmosfir,

- Air, tanah, mineral,

- Flora dan fauna,

- Sumber energi,

- Fungsi Ekosistem,

- Dan lain-lain

Modal Ekonomi

- Aset ekonomi: gedung, lembaga pemerintah, perusahaan, - Infrastruktur: air, listrik,

transportasi dan komunikasi,

Bonding, bridging, dan linking

Modal Manusia

Kesejahteraan Individu dan Masyarakat

- Kesehatan - Kejahatan dan keadilan

- Pendidikan dan pelatihan - Kependudukan

- Lapangan Pekerjaan - Kebudayaan dan leisure

- Rumahtangga - Kualitas lingkungan

- Fungsi keluarga dan masyarakat - Pertumbuhan ekonomi

(47)

Putnam (1993) berpendapat bahwa konsep modal sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma-norma yang merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Operasionalisasi konsep modal sosial menurut Putnam berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu dan Coleman. Konsep modal sosial menurut Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic institutions, dan economic development). Walaupun terminologi modal sosial menurut Putnam agak berbeda dengan Bourdieu dan Coleman namun kepercayaan norma ( norms of trust ) dan reciprocity dalam jaringan-jaringan atau hubungan sosial/ekonomi merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan sumberdaya.

Lebih lanjut Putnam mengukur modal sosial terfokus pada sistem perilaku perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara. Kemudian, aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam yaitu berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik. Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi dan institusi formal yang diakui secara sah.

Fukuyama (2007), mendefinisikan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Dalam konsep ini modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. Hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma tersebut membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat, yaitu sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama.

(48)

Tabel 1 Beberapa pengertian modal sosial

Penulis Tertambat Pada Kapital Sosial

(Independen)

Variabel Dependen

Bourdieu Hubungan

secara

Coleman Struktur sosial,

hubungan sosial,

Putman Institusi Sosial Jaringan, Norma,

kepercayaan

Keberhasilan ekonomi, demokrasi

Fukuyama Agama, filsafat Kepercayan, nilai Kerjasama

keberhasilan ekonomi

Bank Dunia Institusi, norma,

hubungan

Tindakan sosial

Turner Hubungan sosial pola

organisasi yang diciptakan individu

Kekuatan Potensi

perkembangan ekonomi

Lawang Struktur sosial

mikro, mezzo, makro

Sumber: Bourdieu (1986), Lawang (2005), Hasbullah (2006)

2.4.2 Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

(49)

kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga, dan (3) tingkat kepercayaan rumah tangga dalam kelompok.

Menurut Woolcock (1998) dalam Thomas dan Heres (2004), modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan yang lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan sebelumnya. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, menurut Edward (2004) dalam Suandi (2007) bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai- nilai atau norma- norma yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward menambahkan bahwa keefektifan proses komunikasi antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan good governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan.

(50)

melekat. Social linking merupakan hubungan sosial dari diantara beberapa level dari kekuatan sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut (Ramli 2007; LP UNPAD 2008).

Beberapa ahli telah menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk modal sosial misalnya Putnam (1993) menyebutkan kepercayaan, norma-norma dan jaringan-jaringan, Flassy et al. (2009) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan unsur utama dalam modal sosial, sedangkan unsur lainnya yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai sosial dan tindakan proaktif merupakan syarat kecukupan dari modal sosial.

2.4.3 Unsur-Unsur Modal Sosial

Uphoof (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua kategori yaitu modal sosial struktural yang merupakan hubungan sosial yang mengakibatkan tindakan bersama saling menguntungkan dan kategori modal sosial kognitif yang merupakan proses proses mental dan ide-ide yag berbasis pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan, kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kategori modal sosial

Kategori Struktural Kognitif

Sumber dan manifestasi Peranan dan aturan jaringan dan hubungan interpersonal lainnya

Prosedur dan preseden

Norma, nilai, sikap dan keyakinan

Domain Organisasi sosial Budaya sipil

Faktor dinamis Hubungan/keterkaitan

horizontal dan vertikal

Kepercayaan, solidaritas, kerjasama dan

kedermawanan

Unsur-unsur umum Ekspektasi yang mengarah pada perilaku kooperatif dan memberimanfaat untuk semuan

Sumber: Uphoff (2000)

(51)

Tabel 3 Tingkatan modal sosial

Tingkatan modal social

Minimum Rendah Sedang Tinggi Tidak mementingkan

kesejahteraan orang lain; memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain

Hanya mengutamakan sebagai hal yang baik

Isu-isu pokok: Selfisness:

Bagaimana sifat seperti ini bisa dicegah agar tidak merusak Petani

Keluar: bila tidak puas

(52)

Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam yaitu kepercayaan, partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai dan tindakan yang proaktif.

a.

Kepercayaan atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Fukuyama (2007) berpendapat bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Kepercayaan merupakan warna dari suatu sistem kesejahteraan bangsa yang merupakan karakteristik yang menjadi prakondisi dari terciptanya kemampuan berkompetisi.

Kepercayaan (trust)

Fu (2004) dalam Hasbullah (2006) membagi kepercayaan dalam tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan individual yang merupakan kekayaan individu, variabel personal dan karakteristik individu, (2) tingkatan relasi sosial yang merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok dan (3) tingkatan sistem sosial yang merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada

Nahapit & Ghosal (1998) dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan pada tingkat individu berasal dari nilai-nilai yang yang bersumber pada kepercayaan dan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma-norma di dalam masyarakat, sedangkan pada tingkat komunitas kepercayaan bersumber dari norma sosial yang telah melekat pada struktur sosial yang ada. Putnam (1993) memandang kepercayaan terkait dengan perilaku dan ada atau tidaknya resiprocity dalam masyarakat. Pada tingkatan institusi sosial kepercayaan akan bersumber dari karakteristik sistem tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok.

(53)

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan memberikan nilai positif yang besar apabila memiliki rentang (the radius of trust) yang luas Sehingga kelompok yang hanya berorientasi inward looking akan sulit untuk mengembangkan modal sosialnya. Sedangkan kelompok yang lebih terbuka akan mempunyai potensi yang lebih baik untuk mengembangkan modal sosialnya.

b. Partisipasi dalam jaringan Sosial (participant in social networking)

Jaringan kerjasama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial (Putnam 1993). Wujud nyata dari jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal sosial (Coleman 1988).

Modal sosial yang kuat sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari karakteristik dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar keturunan, pengalaman sosial dan Kesamaan kepercayaan dan agama cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit, sedangkan kelompok masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan ciri pengelolan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan yang kedua inilah yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan masyarakat secara luas (Hasbullah 2006).

c. Hubungan Timbal Balik (Resiprocity) dan kepedulian terhadap sesama

dan lingkungan

(54)

mengikat masyarakat karena adanya perbedaan keahlian antar individu sehingga saling membutuhkan antara individu satu dengan yang lainnya.

Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan untuk saling tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompak dengan nuansa altruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya tergantung dari derajad keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).

d. Normasosial (social norm)

Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang (Suharto 2007). Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku masyarakat. Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal yang medukung kerjasama antar individu. Lawang (2005) juga memandang bahwa norma merupakan bagian penting dari modal sosial.

e. Tindakan yang proaktif

(55)

f. Nilai-nilai (values)

Menurut Hasbullah (2006) nilai adalah “suatu ide yang telah turun menurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok”. Dalam kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai yang akan mendomisanai ide-ide yang berkembang. Ide-ide tersebut akan mempengaruhi aturan-atruan bertindak dalam Petani (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama akan membentuk pola-pola kultural (cultural pattern).

Kekuatan modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi nilai yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena sifat nilai yang memiliki konsekuensi ambivalen. Misalnya nilai harmoni yang dianggap menciptakan kerukunan akan menghalangi kompetisi. Padahal nilai-nilai kompetisi dalam Petani dapat memicu perkembangan dan kemajuan yang lebih cepat pada bidang-bidang tertentu (Hasbullah 2006).

2.5 Karakteristik individu sebagai modal sosial

Lawang (2005) menyatakan bahwa modal sosial tertambat pada modal manusia (human capital) yang menekankan pada keahlian yang dimiliki oleh individu, dimana semakin tinggi modal manusia yang dimiliki semakin besar peluang untuk membentuk modal sosialnya. dalam pengelolaan hutan rakyat sangat berhubungan dengan faktor internal masing-masing individu petani. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu. Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan. Karakteristik individu merupakan bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang.

(56)

a. Umur

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir.

Umur berkorelasi dengan tingkat penerimaan suatu inovasi atau teknologi baru. Umur juga berkolerasi dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan bertambahnya usia seseorang. Keterampilan individu menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan kordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan kurangnya rangsangan intelektual semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.

b. Pendikan Formal/Nonformal

Salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan dengan demikian merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani

(57)

c. Tingkat pendapatan

Muhadjir (1982) dalam Siswiyanti (2006) mengatakan bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi partisipasi karena warga yang memiliki pendapatan yang rendah akan mendapatkan kesempatan yang terbatas.

d. Tingkat Kesehatan

Kesehatan merupakan modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia, dimana kesehatan ini merupakan inti dari kesejahteraan.

e. Luas Lahan Usahatani

Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam berbagai segi kehidupan manusia khususnya petani.

Lahan usahatani merupakan asset bagi petani dalam menghasilkan produksi dan sekaligus sumber kehidupan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan lahan usaha yang lebih luas, menempati posisi sosial lebih tinggi di lingkungan sosialnya. Tjakrawiralaksana (1996) menyebutkan lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam bumi yang berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan pertanian, seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani.

(58)

setiap keluarga, mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin (Hardjanto 2000)

f. Lama Tinggal

Setyowati (2010) mengemukakan bahwa tingkat lama tinggalnya individu dalam komunitas menunjukkan pengaruh yang positif, hal ini menunjukkan bahwa tingkat migrasi penduduk yang sangat kecil. Selaras dengan hal tersebut Lenggono (2004) mengemukakan kesadaran kolektif yang mengikat dalam komunitas karena kesamaan sejarah dan orientasi nilai budayaserta status sosial individu dalam komunitasnya.

g. Status Sosial

Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat kepada individu dalam kelompok organisasi atau baik berdasarkan aspek sosial maupun aspek ekonomi.

2.6 SWOT dan QSPM

Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal dimana kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis

Untuk dapat membandingkan antar unsur SWOT, maka perlu diketahui nilai masing-masing unsur SWOT. Selanjutnya nilai masing-masing unsur SWOT di tempatkan ke dalam diagram SWOT. Diagram SWOT merupakan perpaduan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horisontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram

(59)

tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) - W (kelamahan) pada sambu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang) - T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu set dari diagram SWOT. Letak nilai S - W dan O - T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang akan ditempuh. Secara lengkap tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram SWOT

Tahap pengambilan keputusan merupakan tahap pemilihan strategi dengan menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) atau matrik perencanaan stratejik kuantitatif untuk menentukan strategi alternatif yang terbaik untuk dipilih. QSPM adalah alat yang direkomendasikan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara obyektif berdasarkan pada faktor-faktor kunci kesuksesan internal – eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan menggunakan SWOT (David 2009).

Peluang (O)

Kekuatan (S)

Ancaman (T) Kelemahan (W)

Sel 1

Sel 2 Sel 3

(60)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012 di Desa Ngancar, Desa Platarejo, Desa Sajati dan Desa Tirtosuworo, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu penentuan empat lokasi tersebut secara sengaja dengan pertimbangan di Desa Sajati dan Desa Tirtosuworo adalah desa yang mengelola hutan rakyat yang telah mendapatkan sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sejak tahun 2007 dan Desa Ngancar serta Desa Platarejo adalah desa yang mengelola hutan rakyat tetapi belum mendapatkan sertifikasi.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan kuesioner yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Irawan 2007). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki yang terjadi di lapangan (Nazir 2009).

(61)

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang dikumpulkan melalui observasi secara langsung di lapangan, kuisioner dan melalui wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan hutan rakyat. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: 1. Kondisi/karakteristik sosial ekonomi masyarakat /komunitas

2. Karakteristik individu

3. Unsur modal sosial masyarakat dengan mengadopsi dari konsep unsur-unsur modal sosial Uphoof (2000) dan Hasbullah (2006) yang dimodifikasi sesuai kebutuhan dalam penelitian yang akan dilakukan.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi atau lembaga tertentu. Data sekunder ini diperoleh melalui studi literatur dan studi data dari hasil-hasil penelitian dan instansi terkait, lembaga informal dan sebagainya. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kondisi umum lokasi penelitian

2. Dukungan infrastruktur dalam pengembangan hutan rakyat 3. Data kondisi program pembangunan hutan rakyat.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner modifikasi Social Capital Asessment Tool atau SCAT (Krishna dan Shrader 1999) dengan Measuring Social Capital an Integrated Questionnaire atau SC-IQ (Grootaert et al. 2004) serta pedoman wawancara untuk analisis SWOT dan QSPM. SCAT menilai unsur modal sosial melalui penelitian pada tiga komponen yaitu komunitas, rumah tangga dan organisasi.

(62)

mengukur modal sosial pada level makro nasional tapi pada level mikro komunitas.

a. Profil Komunitas

Profil komunitas ditentukan dengan melakukan FGD yang diadakan dalam komunitas selama akhir masa penelitian, studi pustaka, observasi lapangan dan metode partisipatory. Profil komunitas yang akan digali dalam penelitian ini yaitu kondisi karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya komunitas, modal sosial komunitas, data lapangan (identitas aset komunitas, aksi kolektif dan kesetiakawanan, pengambilan keputusan dalam komunitas, organisasi dalam komunitas, hubungan organisasi dengan komunitas, jaringan kelembagaan dan kepadatan organisasi) dan permasalahan dalam komunitas.

b. Survey Rumah Tangga

Survey rumah tangga dimaksudkan untuk memformulasikan indikator yang bersifat kognitif dan struktural dari dimensi modal sosial sehingga mampu mengukur potesi rumah tangga, stok pada tingkat individu dan serta akses pada modal sosial. Untuk survey rumah tangga ini data dikumpulkan dari responden yang jumlahnya ditentukan dengan rumus slovin dengan metode wawancara, observasi lapangan dan partisipatif. Data yang diambil adalah data karakteristik individu dan tingkatan unsur modal sosial yang diukur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dimodifikasi dari SCAT dan SC-IQ.

c. Profil Organisasi

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2  Pola pemasaran dan distribusi kayu rakyat
Gambar 3 Modal sosial sebagai sumberdaya
Tabel 1 Beberapa pengertian modal sosial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi penelitian ini adalah manajemen pembinaan TK/TPA Nur Annisa Desa Bategulung Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa sudah berjalan dengan baik sebagaimana

Dengan adanya pengembangan sumber belajar berbasis lingkungan melalui bentuk-bentuk penugasan yang bersangkutan dengan masyarakat dan diharuskan siswa untuk dapat

Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah membantu segala urusan administrasi dalam penyelesaian tugas akhir ini..

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pengaruh penerapan model PBL terhadap ketrampilan proses sains (KPS) dan pemahaman konsep zat kimia dalam makanan pada siswa

Apa yang akan Bapak/Ibu lakukan pada gigi jikad. terjadi gigi avulsi

These tasks, shown in Table 4-3, are used to prepare data sources for further processing; the preparation can be as simple as copying the source to the server, or as complex

Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena

Pemula Jurusan Gizi Prodi Cizi LULUS 29 M HANIF ASRORI Pranata Laboratorium Pendidikan. Pemula Jurusan Gizi Prodi Gizi LULUS 30 RAHAYU SUTRISNO Pranata Laboratorium