• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coastal Area Management based on Environment Carrying Capacity and Community Participation in Batang Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Coastal Area Management based on Environment Carrying Capacity and Community Participation in Batang Regency"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG

ASIH HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisir berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)

RINGKASAN

ASIH HIDAYATI. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang. Dibimbing oleh BABA BARUS dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai utara Jawa yang memiliki garis pantai sepanjang 38.75 km dan luas laut sekitar 287.060 km2. Wilayah pesisir Kabupaten Batang merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, namun di lain pihak juga rawan akan kerusakan. Berdasarkan dokumen renstra wilayah pesisir Kabupaten Batang tahun 2011 diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, banjir, penyempitan badan sungai, kerusakan mangrove, pencemaran perairan dan tanah, ego sektoral, kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir. Oleh karena itu pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan wilayah pesisir, dimana tujuan utama penataan ruang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan serta menjaga kelestarian ekosistem. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Tujuan penelitian ini adalah menilai daya dukung dan mengevaluasi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir; menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang; menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir; dan merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan analisis berbasis Sistem Informasi Geografis serta dengan analisis deskriptif. Analisis daya dukung untuk wilayah daratan dilakukan dengan berbasis kemampuan lahan. Penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik Boolean (Permen LH nomor 17 tahun 2009). Evaluasi daya dukung dan pemanfaatan ruang dilakukan dengan melakukan tumpangtindih peta. Kondisi perairan Kabupaten Batang dinilai dari data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk mengetahui pemahaman dan partisipasi masyarakat, berdasarkan data kuesioner yang dianalisis deskriptif. Dari hasil analisis tersebut dilakukan sintesis untuk merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir.

(5)

rendah, sedangkan terkait dengan pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir tingkat pemahaman masyarakat termasuk sedang. Berdasarkan tipologi tangga Arnstein, tingkat partisipasi masyarakat termasuk kategori Informasi. Bentuk partisipasi mayoritas responden menunjukkan berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan.

Arahan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batang agar diselaraskan dengan penataan ruang yang sudah ditetapkan pemerintah dalam rencana tata ruang wilayah, yang terbagi dalam kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan konservasi/lindung dan kawasan strategis. Implementasi dari rencana penataan ruang ini harus dilaksanakan sebagaimana fungsi peruntukannya dengan memperhatikan daya dukung wilayah dan melibatkan masyarakat setempat sehingga degradasi lingkungan dapat dikurangi. Strategi umum pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah, mengembangkan dan meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat serta ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat umum.

(6)

SUMMARY

ASIH HIDAYATI. Coastal Area Management based on Environment Carrying Capacity and Community Participation in Batang Regency. Supervised by BABA BARUS and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Batang regency is one of the coastal districts on the north coast of Java, which has a 38.75 km long coastline and vast ocean of approximately 287 060 km2. Batang coastal area is a region of highly productive and have high economic value, but on the other hand are also vulnerable to damage. The coastal area strategic plan document Batang in 2011, identify that there are variety of problems occured in coastal areas Batang include abrasion, accretion, sedimentation, flood, narrowing river bodies, destruction of mangroves, pollution of water and soil, ego sectoral, institutional and community participation in coastal management. Therefore the management of coastal areas should be planned and integrated and provide maximum benefits to all stakeholders, especially in coastal communities. Spatial planning is one tool in the management of coastal areas, where the main objective of spatial planning is to improve the society welfare, the growth and the ecosystem conservation. According to Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning, spatial utilization at district must consider supportive and carrying capacity of environment.

This study aims to assess and evaluate the environment carrying capacity and the spatial utilizations in Batang coastal areas; assess community understanding against management and spatial planning; analyze the level and form of community participation in the management of coastal areas and formulate strategic referrals to the management coastal areas in Batang.

The methods used in this study are analysis based on Geographic Information Systems (GIS) as well as the descriptive analysis. Environment carrying capacity analysis to the land area was based on land capability. Determination of land capability class was done by using Boolean technique (Regulation of the Minister of Environment Number 17, 2009). Evaluation of carrying capacity and spatial utilization was done by overlaying the maps. Batang waters conditions assessed from the data physical and chemical parameters were adjusted to the Minister of Environment Decree No. 51 of 2004 on Sea Water Quality Standard. To find the understanding and participation of the community were analyzed descriptively, based on the results of the questionnaire. From the results of the analyzes, then performed such synthesis to formulate strategic direction of coastal areas management.

(7)

utilization in coastal areas, the level of public understanding belongs to moderate level. Based on Arnstein ladder typology, the level of community participation in general categories as Information category. Participation form exhibited that the majority of respondents participate at utilization, conservation and monitoring activity. Activities follow the coaching/training is a form of activity which is the least followed.

Coastal area management referrals in Batang need to be harmonized with the existing spatial planing that has been set by the government in the spatial plan, which is divided into utilization, conservation protection and strategic area. Spatial plan should be implemented as it’s plan functions with respect to the environment carrying capacity and involve the local community, so that environmental degradation can be reduced. General management strategies that can be done is to improve coordination among government agencies, to develop and enhance community participation and oversight as well as the availability and ease of access to information for the general public.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG

ASIH HIDAYATI

A156110184

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS

(11)

Judul Tesis : Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang

Nama : Asih Hidayati

Nrp : A156110184

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang.

Melalui tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr Ir Baba Barus, MSc dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, masukan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr Ir Setia Hadi, MS selaku dosen penguji luar komisi.

3. Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua program studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta staf pengajar dan manajemen.

4. Pusbindiklatren Bappenas sebagai pemberi program beasiswa.

5. Ibunda, kakak-kakak dan adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya.

6. Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata se-Kabupaten Batang yang telah membantu dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya serta masyarakat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing atas partisipasinya dalam pengisian kuesioner. 7. Teman-teman program studi Ilmu Perencanaan Wilayah angkatan 2011 atas

bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 3

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Definisi Wilayah Pesisir 6

2.2 Penataan Ruang 7

2.3 Daya Dukung Lingkungan 8

2.4 Partisipasi 9

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu 12

3 METODE PENELITIAN 15

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 15

3.2 Metode Pengambilan Data 15

3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data 15

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 20

4.1 Administrasi 20

4.2 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut 22

4.3 Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah 28

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34

5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir 34

5.1.1 Pola Ruang Wilayah Pesisir 34

5.1.2 Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir 38

5.1.3 Kemampuan Lahan 39

5.1.4 Evaluasi Daya Dukung Wilayah Pesisir berbasis

Kemampuan Lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang 40

5.1.5 Kondisi Perairan 42

5.1.6 Evaluasi Penggunaan Lahan terhadap Kemampuan Lahan 44 5.1.7 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap

Penggunaan Lahan 46

5.1.8 Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir 47

5.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan

Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang 49

5.3 Tingkat dan Bentuk Partisipasi Massyarakat dalam Pengelolaan

Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang 51

5.3.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat 51

(14)

5.4 Arahan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir 56

6 SIMPULAN DAN SARAN 64

6.1 Simpulan 64

6.2 Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 67

RIWAYAT HIDUP 75

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas 16 Tabel 2 Tingkat Partisipasi Berdasarkan Tipologi Arnstein (1969) 18 Tabel 3 Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian 18

Tabel 4 Luas Kecamatan Pesisir di Kabupaten Batang 21

Tabel 5 Jenis Tanah di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang 22 Tabel 6 Ketinggian Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang 23 Tabel 7 Kemiringan Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang 23 Tabel 8 Jumlah Penduduk di Kecamatan Pesisir Menurut Jenis

Kelamin Tahun 2011 26

Tabel 9 Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Batang 32

Tabel 10 Pola Ruang Wilayah Pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang

Berdasarkan Lokasi 34

Tabel 11 Alokasi Peruntukan Ruang Wilayah Pesisir 35

Tabel 12 Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir 38

Tabel 13 Kemampuan Lahan di Wilayah Pesisir 39

Tabel 14 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap

Kemampuan Lahan berdasarkan Lokasi 41

Tabel 15 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap

Kemampuan Lahan 41

Tabel 16 Data Parameter Perairan di Kabupaten Batang 43

Tabel 17 Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan 45 Tabel 18 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap

Pemanfaatan Lahan 46

Tabel 19 Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Kebijakan

Pemerintah 49

Tabel 20 Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Penggunaan

Lahan 50

Tabel 21 Tingkat Partisipasi dalam Kehadiran Pertemuan 52

Tabel 22 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Kegiatan 53

Tabel 23 Bentuk Partisipasi Masyarakat 55

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian 5

Gambar 2 Delapan Tangga Tingkat Partisipasi Menurut Arnstein (1969) 10

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian 19

Gambar 4 Wilayah Administrasi Kabupaten Batang 21

Gambar 5 Pola Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Batang 37

Gambar 6 Pemanfaatan/Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir 39 Gambar 7 Kelas Kemampuan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Batang 40 Gambar 8 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap

Kemampuan Lahan 42

Gambar 9 Sebaran Nilai Amonia, Nitrat dan Ortophosphat di

Perairan Kabupaten Batang 44

Gambar 10 Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan 45 Gambar 11 Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang

terhadap Pemanfaatan Lahan 47

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang

terhadap Pemanfaaatan Lahan 67

Lampiran 2 Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dengan

Pemanfaatan Lahan 68

Lampiran 3 Matriks Logik Evaluasi Pola ruang RTRW dengan

Kemampuan Lahan 69

Lampiran 4 Matriks Logik Evaluasi Pemanfaatan Lahan dengan

Kemampuan Lahan 70

Lampiran 5 Foto-Foto Kondisi Pantai di Wilayah Pesisir

(16)
(17)

1.1 Latar Belakang

Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dan Alder 1999). Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan.

Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional. Berbagai keanekaragaman hayati dan lingkungan menjadikan sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Namun di sisi lain terjadi pula aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan sektoral antara masyarakat dan para stakeholder lainnya sehingga menimbulkan terjadinya konflik sosial.

Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota pantai/laut. Untuk menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan bahwa wilayah pesisir merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dilakukan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu yang dikenal dengan Integrated Coastal Management. Pengelolaan dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena dasar dari pengelolaan suatu kawasan adalah tata ruang (Pratikto 2006). Tujuan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional agar terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia dan terwujud perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al. 2010b).

(18)

yaitu berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu dipertemukan sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan.

Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai Utara Jawa yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya karena memiliki wilayah pantai, dataran rendah maupun pegunungan dengan ketinggian 0-2 000 m dpl, menghasilkan komoditi perikanan, perkebunan seperti teh dan karet serta komoditi perhutanan berupa kayu jati dan gondorukem. Karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain, berupa bentangan garis pantai sepanjang 38.75 km, luas laut sekitar 287.060 km2, dengan jenis pantai berbatu dan berpasir. Dalam rangka untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Batang dengan memanfaatkan ruang wilayah beserta sumberdaya alam yang tersedia, termasuk wilayah pesisir, Kabupaten Batang telah mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 07 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Untuk arahan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, telah dikeluarkan Peraturan Bupati nomor 16 tahun 2011 tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Batang tahun 2011-2030.

Berdasarkan dokumen RSWP Kabupaten Batang tahun 2011 diuraikan berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir baik yang terjadi akibat fenomena alam maupun ulah manusia. Isu strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, rob, banjir, penyempitan badan sungai, kerusakan mangrove, dampak pengembangan industri hulu dan hilir, pencemaran perairan dan tanah, sanitasi lingkungan di tempat pelelangan dan pengolahan ikan, terbatasnya sarana prasarana pengelolaan pesisir, ego sektoral, kelembagaan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir, dan lain-lain. Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi, sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Batang merupakan kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki wilayah pesisir yang cukup luas, dengan panjang garis pantai mencapai 38.75 km. Berbagai kegiatan pembangunan baik yang sudah maupun yang akan berjalan, banyak yang dialokasikan di wilayah pesisir, sebagaimana yang tercantum dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, misalnya pembangunan PPI, pembangunan pelabuhan niaga, pembangunan kawasan industri.

Di sisi lain dengan maraknya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Batang, diiringi pula dengan berbagai masalah yang muncul, yang tampaknya belum menjadi perhatian yang cukup serius dari Pemerintah Daerah, mulai dari masalah lingkungan sampai dengan masalah sosial. Adanya degradasi lingkungan merupakan salah satu masalah lingkungan yang terjadi, antara lain ditandai dengan jumlah vegetasi khas pesisir yang semakin menurun jumlah dan luasannya serta ancaman abrasi dan intrusi air laut tiap tahun.

Timbulnya berbagai masalah tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten belum dilakukan secara optimal dan terpadu antara pemerintah, masyarakat maupun stakeholders lainnya. Pembangunan di wilayah pesisir juga masih dilakukan secara sektoral tanpa ada koordinasi antar instansi terkait maupun pelibatan masyarakat dalam proses perencanaannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka disusun pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini, yaitu :

1. Sejauh mana kesesuaian pengalokasian ruang wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam RTRW Kabupaten Batang dengan daya dukung lingkungannya?

2. Bagaimana pengetahuan/pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir?

3. Bagaimana tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang?

4. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dan berkelanjutan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menilai dan mengevaluasi daya dukung lingkungan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang.

2. Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang.

3. Menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang.

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi para penentu kebijakan di Kabupaten Batang dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Batang, dimana untuk wilayah daratan memakai batasan secara administratif, yaitu enam kecamatan yang berada di wilayah pesisir (yang memiliki garis pantai), sedangkan untuk wilayah laut mencakup daerah seluas 4 mil laut dari garis pantai, yang menjadi tanggungjawab pengelolaan bagi kabupaten sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Analisis daya dukung berbasis kemampuan lahan hanya dilakukan untuk mengevaluasi pemanfaatan dan pola ruang di daratan, sedangkan untuk wilayah perairan dilakukan analisis baku mutu air laut untuk biota laut. Klasifikasi kemampuan lahan hanya dilakukan untuk tingkat kelas kemampuan lahan.

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian

Saat ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya maupun akibat bencana alam. Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada juga sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor.

(21)

Setiap kabupaten/kota pasti memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Namun sayangnya kebijakan yang dibuat juga masih bersifat sektoral, dimana masing-masing instansi/dinas membuat aturan hukum hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Kebijakan yang dibuat seringkali dilakukan tanpa ada koordinasi maupun melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Akibatnya antara pemerintah, masyarakat maupun stakeholder lainnya berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta manfaat tersebut diperlukan teori-teori yang mendukung antara lain teori tentang partisipasi masyarakat dan teori mengenai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu juga digunakan metodologi deskriptif menggunakan data primer dan sekunder dan pada akhirnya diperoleh kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Adapun kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Evaluasi

Permasalahan wilayah pesisir: lingkungan, sosial, ego sektoral

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan

Penataan ruang wilayah pesisir

Fisik (lingkungan) Non fisik (sosial)

Partisipasi Daya dukung

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Wilayah Pesisir

Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait. Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring antara daratan dan lautan serta merupakan pemusatan terbesar penduduk. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Pengertian pesisir menurut Bappenas (1999) dalam Dahuri (2005), wilayah atau kawasan pesisir atau pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat yang meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti air laut. Ke arah laut mencakup bagian perairan sampai batas terluar dari paparan benua, dimana ciri-ciri perairan tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, serta proses-proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Misalnya, penggundulan hutan, pencemaran industri, domestik, limbah tambak, penangkapan ikan, dan lain-lain.

Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kabupaten atau kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh dua belas mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiga dari dua belas mil untuk kabupaten/kota. Dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir 2001).

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass beds), hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).

(23)

batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahan-permasalahan spesifik yang perlu ditangani. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian wilayah. Penataan ruang merupakan solusi yang tepat dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir.

2.2 Penataan Ruang

Perencanaan tata ruang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR), yang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dapat dibedakan menurut batasan fungsi kawasan dan batasan administratif. Pengertian ruang dalam hal ini mencakup ruang darat, laut, dan udara. Secara hirarkis, Rencana Tata Ruang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).

Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya.

Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang beda dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas; (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3) Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Dahuri (2005), peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Lebih jauh Dahuri (2005) menyatakan dalam penataan ruang hendaknya memperhatikan 5 pendekatan, yaitu : (1) Penataan ruang yang partisipatif; (2) Sinergis dengan dunia usaha; (3) Selaras dengan lingkungan; (4) Pertumbuhan ekonomi dan (5) Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(24)

2.3 Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam sutu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungi lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung dan sebaliknya dapat menjadi kawasan budidaya (Rustiadi et al. 2011).

Dardak (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap daya dukung lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan berkelanjutan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi dimana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam satu ekosistem.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) telah menyusun pedoman perhitungan daya dukung lingkungan, yang dimaksudkan untuk menunjang penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut didasarkan pada kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar, yaitu lahan dan air. Dengan berpedoman pada perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi daya dukung suatu kawasan sehingga penetapan fungsinya secara berkelanjutan dapat dilakukan secara lebih mendasar dan terarah dalam menunjang penataan ruang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Dalam penataan ruang, tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan, membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

(25)

2.4 Partisipasi Masyarakat

2.4.1 Definisi Partisipasi

Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988) partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.

Khadiyanto (2007) dalam Chusnah (2008) merumuskan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program

Mitchell et al. (2010) menyatakan banyak alasan yang dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif; (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan.

Partisipasi berfungsi sebagai kemitraan dalam pengelolaan wilayah. Partisipasi yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir mutlak diperlukan. Partisipasi masyarakat dapat tercipta apabila ada rasa saling percaya dan saling pengertian antara semua pihak.

2.4.2 Bentuk Partisipasi

Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988), bentuk-bentuk partisipasi meliputi: (1) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa; (2) sumbangan spontan berupa uang dan barang; (3) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari pihak ketiga; (4) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (5) sumbangan dalam bentuk kerja; (6) aksi massa; (7) mengadakan pembangunan dikalangan keluarga; dan (8) membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Adapun jenis-jenis partisipasinya meliputi: (1) pikiran; (2) tenaga; (3) pikiran dan tenaga; (4) keahlian; (5) barang; dan (6) uang.

Dalam kegiatan penataan ruang bentuk peran masyarakat dilakukan pada 3 tahap sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, yaitu meliputi :

(26)

Degrees of sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

2) tahap pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (c) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan (f) kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) tahap pengendalian pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan terkait arahan

dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; (b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (c) pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (d) pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

2.4.3 Tingkat Partisipasi

Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency), partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Arnstein (1969) menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan (Gambar 2).

(27)

Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969) yaitu : 1. Manipulasi (manipulation)

Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).

2. Terapi (therapy)

Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

3. Informasi (information)

Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back).

4. Konsultasi (consultation)

Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

5. Penentraman (placation)

Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.

6. Kemitraan (partnership)

Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasi dan melakukan kesepakatan.

7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)

Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.

8. Pengendalian masyarakat (citizen control)

Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

Dari kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi 3 tingkat, yaitu:

a) Tingkat tanpa partisipasi (Nonparticipation)

(28)

b) Tingkat Tokenism (Degree of tokenism)

Tingkat Tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Tingkat Tokenism terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga (informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation). Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

c) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (Degree of Citizen Power)

Tingkat kekuasaan masyarakat yaitu tingkat dimana masyarakat telah memiliki kekuasaan, yang terdiri dari tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh (delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangatlah penting. Apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, maka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sudah seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu

Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Darajati 2004). Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir tidak melihat wilayah pesisir sebagai target, yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan dengan tujuan:

(29)

b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil;

c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan

d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Kay dan Alder 1999). Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Subandono et al. (2009) menyatakan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya.

Menurut Dahuri (2005), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir diartikan sebagai suatu keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration)

Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

(30)

Prinsip pengelolaan yang terpadu ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak boleh mengorbankan kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang. Prinsip ini bisa lebih efektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis, transparan dan melibatkan masyarakat pesisir setempat

(31)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengambil lokasi di wilayah pesisir Kabupaten Batang, meliputi wilayah daratan dan laut. Wilayah darat mencakup kecamatan yang berbatasan dengan laut, dimana secara administratif terdapat 6 kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing, sedangkan untuk wilayah laut sejauh 4 mil. Kegiatan penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, yang dimulai pada bulan Agustus 2012 – Januari 2013.

3.2 Metode Pengambilan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yakni berusaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir 1993). Melalui pendekatan ini diharapkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang obyek yang diteliti.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Data Primer

Data primer didapatkan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara dengan responden serta melalui pengamatan langsung di lapangan. Untuk pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja. Sampel responden diambil di 16 desa pesisir dari 6 kecamatan tersebut dengan jumlah responden 10-30 orang tiap desa.

2. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berupa peta-peta tematik, data-data kependudukan, dan berbagai bentuk peraturan/kebijakan serta kajian-kajian yang dikeluarkan pemerintah. Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga yang terkait seperti Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang, Bappeda Kabupaten Batang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang dan instansi-instansi terkait lainnya.

3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis dan pengolahan data yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini yaitu:

Tujuan 1: Menilai daya dukung lingkungan dan mengevaluasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang

(32)

antara berbagai unsur lahan (Arsyad 2010). Adapun klasifikasi kemampuan lahan dalam tingkat kelas beserta arahan penggunaannya dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas

Kelas Kriteria Pilihan penggunaan Arahan

ruang

I Lahan ini tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian. Karakteristik lahannya antara lain: topografi hampir datar-datar, ancaman erosi kecil, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir.

II Lahan ini mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan

III Lahan ini Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan pada angka I membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. terbatas. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.

V Lahan ini tidak terancam erosi tetapi

mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. Mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.

(33)

Tabel 1 (Lanjutan)

VII Lahan ini mempunyai faktor penghambat dan ancaman berat yang tidak dapat dihilangkan, karena itu pemanfaatannya harus bersifat konservasi. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan pencegahan erosi yang berat. mungkin dilakukan tindakan konservasi, sehingga perlu dilindungi.

Analisis pendekatan kemampuan lahan dilakukan dengan analisis spasial berbasis GIS, yaitu dengan melakukan overlay peta-peta tematik seperti peta lereng, jenis tanah, dan curah hujan yang menghasilkan peta kemampuan lahan. Selanjutnya dilakukan proses overlay antara peta kemampuan lahan dengan peta RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031 dan peta pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan dari aspek kemampuan lahan dievaluasi berdasarkan matrik logik kesesuaian.

Untuk mengetahui kondisi perairan Kabupaten Batang dinilai dari data-data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Beberapa parameter fisika dan kimia yang digunakan antara lain: suhu, salinitas, pH, DO, ortofosfat, amonia, nitrat dan sulfida. Data-data tersebut kemudian disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

Evaluasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dilakukan dengan melakukan tumpangtindih peta RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031 dengan peta pemanfaatan lahan. Peta hasil tumpang tindih tersebut di-query berdasarkan matrik logika inkonsistensi (Lampiran 1) yang menghasilkan peta inkonsistensi.

Tujuan 2: Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang

Untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir dilakukan melalui kuesioner dan wawancara responden. Variabel yang ditanyakan kepada responden yaitu: 1) pengetahuan tentang kebijakan terkait pengelolaan pesisir, 2) keikutsertaan dalam sosialisasi/konsultasi publik RTRW, 3) pengetahuan tentang RTRW Kabupaten Batang, 4) pengetahuan tentang rencana pemanfaatan ruang, 5) penggunaan lahan, 6) pandangan terhadap penggunaan lahan dan RTRW, 7) pandangan terhadap daya dukung dan RTRW.

Tujuan 3: Menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang

(34)

individu yaitu 1 (1 x 1) dan skor maksimum yaitu 8 (1 x 8), selanjutnya ditentukan jarak interval kelas. Kemudian dengan menggunakan tipologi dari Arnstein maka akan didapatkan tingkat partisipasi masyarakat (Tabel 2).

Tabel 2 Tingkat partisipasi berdasarkan tipologi Arnstein (1969)

No Tingkat Partisipasi Kategori

1. 1 Manipulasi

7. 7 Pendelegasian kekuasaan

8. 8 Kekuasaan masyarakat

Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara, yang kemudian diolah secara deskriptif.

Tujuan 4: Merumuskan arahan dan strategi pengelolaan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan

Analisis terhadap pengelolaan lingkungan pesisir Kabupaten Batang dilakukan berdasarkan semua hasil analisis data yang telah dilakukan pada tujuan sebelumnya dan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai sumber yang diperoleh selama penelitian serta dari berbagai literatur pendukung, termasuk dari hasil kajian/studi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Selanjutnya dari analisis tersebut ditentukan strategi-strategi pengelolaan lingkungan di Kabupaten Batang. Matriks data, metode analisis dan output penelitian disajikan dalam Tabel 3 dan diagram alir penelitian disajikan dalam Gambar 3.

Tabel 3 Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian

No Tujuan penelitian Jenis data Metode

analisis

Output

1. Menilai dan mengevaluasi daya dukung lingkungan dan

3. Mengetahui tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam 4. Merumuskan arahan dan strategi

(35)

Gambar 3 Diagram alir penelitian Peta pola ruang

RTRW

Peta daya dukung lingkungan

Peta pemanfaatan

Lahan

Overlay Inkonsistensi Matriks

Analisis partisipasi masyarakat

Analisis deskriptif

Arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir Isu lingkungan

Matriks ketidak sesuaian

Overlay

Peta pemanfaatan

Lahan

Peta kemampuan lahan

Overlay

Peta jenis tanah Peta

kelerengan

Peta curah hujan

Logika

Peta pola ruang RTRW

Peta inkonsistensi

(36)

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Administrasi

Kabupaten Batang merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di jalur pantura. Letak Kabupaten Batang yaitu pada koordinat 06º 51' 46" dan 07º 11' 47" Lintang Selatan dan 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Batas wilayah administratif Kabupaten Batang adalah:

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kotamadya Pekalongan Sebelah Timur : Kabupaten Kendal

Sebelah Selatan : Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Ibukota Kabupaten Batang terletak di ujung barat laut wilayah kabupaten, yakni tepat di sebelah timur Kabupaten/Kota Pekalongan. Jarak Kabupaten Batang ke Ibukota Provinsi Jawa Tengah (Semarang) adalah 93 km, yang dapat dicapai dalam waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat. Kabupaten Batang dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara) pantai utara Jawa yang menghubungkan Semarang-Jakarta atau sebagai perlintasan dari Jawa Barat ke Jawa Timur dan sebaliknya.

Kabupaten Batang mempunyai luas wilayah sebesar 854 248.4 km2 atau 85 424.84ha, dengan garis pantai sepanjang 38.750 km selebar 4 mil, sehingga luas wilayah laut mencapai 287.060 km2. Kondisi wilayah Kabupaten Batang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan.

(37)

Tabel 4 Luas kecamatan pesisir di Kabupaten Batang No Kecamatan Luas Wilayah (ha)

1. Batang 3 709.336

2. Kandeman 4 245.062

3. Tulis 4 609.496

4. Subah 8 879.416

5. Banyuputih 4 560.251

6. Gringsing 7 429.588

Jumlah 33 433.149

Sumber: Bappeda Kabupaten Batang (2009)

Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa kecamatan yang memilki wilayah paling luas adalah Kecamatan Subah, dengan luas wilayah 8 879.416 ha atau 26.56% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir di Kabupaten Batang, sedangkan kecamatan yang memiliki wilayah paling kecil adalah Kecamatan Batang dengan luas wilayah 3 709.336 ha atau 11.09% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir Kabupaten Batang.

Kondisi pantai di Kabupaten Batang memiliki karakteristik fisik dan fenomena alam yang berbeda bila dibandingkan dengan pantai utara jawa lainnya, keadaan ini tentunya akan berpengaruh sebagai bahan pertimbangan yang utama dalam mengembangkan potensi yang ada. Adapun peta administrasi Kabupaten Batang disajikan dalam Gambar 4.

(38)

4.2 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut

Sesuai kondisi geografisnya, Kabupaten Batang mempunyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang beraneka ragam sebagai pendukung pembangunan. Sumber daya alam tersebut meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, terumbu karang, ikan, ternak, tumbuhan, dan lain-lain, serta sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti bahan tambang, air, hujan, dan tanah.

4.2.1 Kondisi Fisik Wilayah 4.2.1.1 Jenis tanah

Jenis tanah di Kabupaten Batang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang berbeda yaitu meliputi : tanah Aluvial coklat tua, Aluvial Hidromorf, Aluvial kelabu tua, Assosiasi andosol dan regosol coklat, Asosiasi litosol merah, Kompleks litosol merah kekuningan, Kompleks podsolik merah kekuningan, serta Litosol coklat tua kemerahan. Ditinjau dari geologinya, sebagian besar tanah di Kabupaten Batang berasal dari breksi gunung api andesit muda. Pengelompokan jenis-jenis tanah untuk kecamatan pesisir di Kabupaten Batang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tanah di kecamatan pesisir Kabupaten Batang N

o Jenis Tanah

Kecamatan

Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing

1. Aluvial coklat tua 0.00 0.00 448.01 0.00 0.00 0.00

Susunan tanah tersebut mempengaruhi pemanfaatan tanah yang sebagian besar ditujukan untuk budidaya hutan, perkebunan dan pertanian. Adapun penguasaan hutan dan perkebunan mayoritas di tangan negara, sedangkan pertanian baik kering maupun basah (irigasi sederhana dan irigasi teknis) dilakukan oleh warga setempat.

4.2.1.2 Ketinggian dan kelerengan

(39)

Tabel 6 Ketinggian lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang

No Kecamatan Ketinggian Jumlah (ha)

Atas dasar kemiringan lahan, wilayah Kabupaten Batang merupakan daerah perbukitan yang terhampar di daerah Selatan. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Batang memiliki kemiringan lahan beragam, yang berkisar 0-8% sampai dengan kemiringan lebih dari 40%, sedangkan untuk wilayah kecamatan pesisir kemiringan lahan hanya mencapai 40%. Kondisi kemiringan lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dikelompokkan kedalam empat kelas yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kemiringan lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang

(40)

Menurut Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, untuk Perairan Kabupaten Batang didapatkan jenis pasang surutnya adalah tipe campuran condong ke diurnal, dimana air pasang dan surut terjadi dua kali per hari serta ada bentuk asimetris antara gelombang sinusoidal pertama dan yang kedua dengan bentuk mendekati pasut tipe diurnal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012).

4.2.2.2 Arus Laut

Arus musiman di perairan pantai Kabupaten Batang mengikuti pola arus di Laut Jawa yang bergantung pada beda tinggi muka laut Samudera Pasifik dibanding dengan Samudera Hindia. Pada musim Barat yaitu bulan Desember-Februari, arus laut di perairan secara umum bergerak dari Barat/Barat Laut ke arah Timur/Tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0.5-0.75 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke Selatan melewati Selat Karimata dan Selat Gaspar yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara karena adanya Pulau Sumatera, kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Pola arus musiman ini juga dipengaruhi oleh adanya pola angin yang terjadi sepanjang musim barat ini, dimana angin bertiup dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke arah Barat Daya yang kemudian dibelokkan ke Tenggara menyusur Selat Karimata dan Laut Jawa. Pola arus yang terjadi pada musim Barat yaitu massa air bergerak ke arah Timur laut menyusuri topografi pesisir perairan Jepara dengan kecepatan berkisar antara 0.5-0.65 m/det (Bappeda 2011).

Pada musim peralihan Barat ke timur yaitu bulan Maret-Mei, arus laut di perairan Batang secara umum bergerak dari Barat Laut ke arah Tenggara dengan kecepatan berkisar anatara 0.3-0.5 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke selatan melewati Selat Gasper yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Pola arus yang terjadi pada musim peralihan ini yaitu massa air masih bergerak menyusur pantai ke arah Timur Laut menyusuri topografi pesisir perairan Jepara dengan kecepatan berkisar antara 0.25-0.40 m/det.

Pada musim Timur yaitu bulan Juni-Agustus, arus laut di perairan Semarang secara umum bergerak dari Timur ke arah Barat/Barat Laut dengan kecepatan berkisar antara 0.3-0.5 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar dan Laut Banda yang diteruskan melalui Laut Flores menuju perairan Utara Jawa yang selanjutnya bergerak melewati Selat Karimata dan Selat Gasper menuju Laut Cina Selatan. Pola arus musiman ini dipengaruhi pula oleh adanya pola angin yang terjadi sepanjang musim timur ini. Pola arus yang terjadi di sepanjang pesisir Batang, massa air bergerak dari arah Timur Laut menuju Barat Daya menyusur mengikuti bentuk topografi pantai dengan kecepatan berkisar antara 0.3-0.45 m/det (Bappeda 2011).

(41)

Cina Selatan yang bergerak ke Selatan melewati Selat Gasper yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara, kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Namun terdapat fenomena juga bahwa terdapat pola arus di selatan Pulau Kalimantan yang bergerak ke arah Barat menyusur Selat Karimata. Adanya pola yang berbeda tersebut akibatnya menghambat (melemahkan) kecepatan dan mempengaruhi arah arus yang terjadi di perairan Jepara. Pola arus yang terjadi pada musim peralihan ini yaitu massa air masih bergerak menyusur pantai ke arah Timur Laut menyusuri topografi pesisir perairan Batang dengan kecepatan berkisar antara 0.15-0.40 m/det (Bappeda 2011).

4.2.2.3 Gelombang

Gelombang laut merupakan energi pokok dalam proses pergerakan sedimen di pantai dan perairan dangkal. Gelombang merupakan energi utama pengangkutan sedimen ke arah pantai lepas dalam bentuk arus balik dan sejajar pantai dalam bentuk arus sepanjang pantai. Beberapa faktor yang mempengaruhi gelombang adalah kecepatan arah angin bertiup dan panjang angin. Karakteristik gelombang di Laut Jawa bervariasi terhadap musim. Pada musim Barat, tinggi gelombang lebih besar daripada musim Timur. Tinggi gelombang pada musim Barat 0.44-1.83 m dengan periode 2-5 detik, sedangkan tinggi gelombang pada musim Timur 0.35-1.06 m dengan periode yang sama yaitu 2-5 detik (Hadi et al. 2005 dalam Bappeda 2011).

4.2.2.4 Bathimetri

Bathimetri perairan Kabupaten Batang mempunyai kemiringan dasar pantai yang landai. Kedalaman 2 m masih dapat ditemui hingga jarak 1 000 m dari garis pantai. Kedalaman 5 m ditemui hingga jarak 1 500 m dari garis pantai, sedangkan pada jarak 2 300 m dari garis pantai berkedalaman 10 m dan kedalaman 45 m berada pada jarak 28.481 m dari garis pantai. Kontur kedalaman laut hampir sejajar pantai mengarah utara–barat daya. Hal ini mengindikasikan arah datang gelombang hampir tegak lurus pantai (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012).

4.2.3 Sumberdaya Hayati 4.2.3.1 Terumbu karang

Terumbu karang/pantai berbatu merupakan ekosistem khas di perairan laut tropis dan merupakan lingkungan laut yang memiliki peran penting secara ekologis. Desa di Kabupaten Batang yang mempunyai ekosistem karang atau pantai berbatu/terumbu karang massif antara lain: Desa Ujungnegoro dengan panjang garis pantai 1.3 km, Desa Kedawung dengan panjang garis pantai 5 km, dan Desa Ketanggan dengan panjang garis pantai 3 km.

Pantai Celong merupakan pantai berbatu, dimana batu tersebut berfungsi sebagai penahan arus dan gelombang, meredam abrasi, serta sebagai habitat biota laut tipe Psammophil (menyukai pantai berpasir) dan Lithophil (menyukai pantai berbatu). Pantai berbatu juga ditemui di antara Pantai Ujungnegoro dengan Pantai Sigandu, yang terkenal dengan sebutan Karang Maeso. Karang Maeso terletak

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas
Tabel 3  Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian
Gambar 3  Diagram alir penelitian
Tabel 4  Luas kecamatan pesisir di Kabupaten Batang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mata  kuliah  ini  merupakan  salah  satu  mata  kuliah  lanjutan  dari  perkuliahan 

Secara sederhana variabel-variabel perilaku konsumen dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu; faktor-fakto ekstern yang terdiri dari kebudayaan, kelas sosial, kelompok sosial dan

Bentuk kata yang menggunakan kata dasar bahasa Indonesia dengan prefiks di- yang seharusnya menggunakan kata dasar dalam bahasa Jawa dengan konfiks di-1-i,

Pada penelitian ini diperoleh hasil prediksi dan perhitungan kesetimbangan uap-cair isotermal dan isobarik pada sistem gasoline-oxygenated compound dengan baik yaitu

Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang terdiri dari 17 orang kelompok kontrol yang tidak bermain video game apapun selama

Peserta Jaminan Persalinan di Puskesmas Tanjung Beringin Kabupaten

Menurut Samuelson (2003:37) modal adalah satu dari tiga faktor produksi utama, dua lainya yaitu tanah dan tenaga kerja yang sering disebut sebagai faktor produksi primer, yang

Selain itu, Sarle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga meyebutkan ciri-ciri ilokusi komisif, yaitu berjanji, bersumpah atau mengancam. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat