• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Persepsi Iklim Kelas dengan Stres Akademik di Kelas Internasional SMPN 1 Medan Kelas Internasional SMPN 1 Medan

LANDASAN TEORI

D. Hubungan antara Persepsi Iklim Kelas dengan Stres Akademik di Kelas Internasional SMPN 1 Medan Kelas Internasional SMPN 1 Medan

Stres akademik adalah suatu keadaan yang berasal dari tuntutan akademik (misalnya: pekerjaan rumah (PR), ujian, standar akademik yang tinggi) yang menimbulkan kesenjangan dalam diri individu (siswa) karena individu (siswa) tersebut tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut (proses).

Sumber stres yang dialami siswa dikatagorisasikan dalam masalah interpersonal, intrapersonal, akademik, dan lingkungan (Ross dkk., 1999). Lingkungan yang menjadi fokus dalam hal ini adalah lingkungan akademik yaitu lingkungan tempat siswa belajar yang lazimnya disebut kelas. Kelas juga bisa menjadi sumber stres. Faktor-faktor fisik, seperti suhu udara, warna, dan bau juga dapat menjadi sumber stres dikalangan siswa (Oon, 2007). Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kohn dan Frazer (dalam Harun, 2005) yang mengemukakan bahwa sumber stres akademik meliputi: pekerjaan yang bertumpuk, tugas yang tidak jelas, dan ruang belajar yang tidak nyaman. Kelas merupakan salah satu bentuk dari ruang belajar.

Agolla dan Ongori (2009) juga mengidentifikasikan stresor akademik dengan banyaknya tugas, kompetisi dengan siswa lain, kegagalan, kekurangan uang, relasi yang kurang antara sesama siswa dan guru, lingkungan yang bising, sistem semester, dan kekurangan sumber belajar. Stresor akademik yang dikemukakan oleh Agolla dan Ongori (2009) dapat digolongkan menajadi tiga katagori yaitu fisik, sistem sosial, dan pribadi.

Penggolongan stresor akademik yang dikemukakan sebelumnya sesuai dengan elemen kelas yang dikemukakan Parson dkk. (2001) yaitu lingkungan fisik kelas (meliputi bangunan sekolah, kelas, serta perlengkapan belajar), lingkungan sosial (meliputi proses interaksi yang terjadi di dalam kelas, baik antara guru dan murid maupun antara siswa dan siswa), dan personal.

Kelas merupakan tempat yang aman (safe), tempat dimana siswa yakin mereka dapat belajar. Kelas juga bisa terlihat menakutkan sebagai suatu tempat

untuk mengevaluasi penampilan (performance) dan kepribadian Parson dkk. (2001). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi mengenai iklim kelas yang diterima siswa. Rookes dan Willson (2000) mengemukakan persepsi adalah proses yang meliputi rekognisi dan interpretasi dari suatu stimulus. Persepsi individu terhadap suatu objek dipengaruhi oleh perhatian yang selektif, ciri-ciri rangsangan, nilai-nilai dan kebutuhan individu, dan pengalaman terdahulu. Pengaruh inilah yang mengakibatkan persepsi seseorang berbeda dengan orang lain.

Persepsi iklim kelas adalah suatu hasil dari proses organisasi dan interpretasi yang dihasilkan dari interaksi yang terjadi antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, dan dengan unsur fisik dari kelas seperti: ruangan fisik kelas dan material pendukung belajar. Creemers dan Reezigt (1994) mengemukakan mengenai faktor-faktor iklim kelas yaitu lingkungan fisik kelas, sistem sosial, kerapian lingkungan kelas, dan harapan guru terhadap hasil yang dicapai siswa.

Parson dkk. (2001) menyatakan bahwa ada dua aspek dari lingkungan fisik kelas yaitu aspek material kelas dan ukuran kelas. Aspek material meliputi seluruh aspek fisik yang ada di kelas, seperti: bangunan sekolah, lokasi kelas, ukuran kelas serta perlengkapan yang ada di kelas. Kelas internasional SMPN 1 Medan di fasilitasi dengan fasilitas pendukung belajar yang cukup memadai seperti ketersediaan AC, TV, OHP, laptop, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas pendukung ini juga dapat menimbulkan stres, misalnya suara yang bersumber dari AC, kekontrasan layar OHP dan lain-lain.

Sistem sosial yang terjadi di kelas meliputi hubungan dan interaksi antar siswa dan hubungan interaksi antara siswa dan guru. Hubungan yang terjadi antara siswa dalam kelas biasanya hubungan persahabatan dan kompetisi akademik. Hubungan persahabatan dapat memberikan dukungan sosial sehingga dapat menurunkan stres akademik. Sarafino (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan salah sau cara untuk menurunkan stres. Oon (2007) juga mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menjauhkan siswa dari stres. Sedangkan kompetisi yang terjadi antara siswa dapat menimbulkan stres akademik dan keadaan ini diperuncing dengan standar kelulusan dari sekolah yang lebih tinggi dari standar kompetensi lulusan (Purnama, 2010). Kelas 1 internasional di SMPN 1 Medan memiliki nilai standar kompetisi delapan untuk setiap mata pelajaranya.

Siswa yang berada di kelas internasional merupakan siswa yang telah melewati seleksi ketat sebelumnya. Moko (1997) mengemukakan bahwa untuk dapat masuk ke kelas unggulan peserta didik harus melalui seleksi ketat dengan kriteria tertentu. Dalam konsep Depdikbud (1993), kriteria itu antara lain prestasi belajar yang superior dengan indikator rapor, NEM, dan hasil tes prestasi akademik, skor psikotes yang meliputi inteligensi dan kreativitas serta tes fisik. Sistem seleksi ini juga digunakan di SMPN 1 Medan. Proses ini membuat siswa yang berada di kelas internasional merupakan siswa yang unggul dan berdaya saing, sehingga kompetisi yang terjadi antara siswa sangat kompetitif.

Guru yang mengajar di kelas internasional dapat lebih bisa memantau perkembangan setiap siswa dalam satu kelas, karena jumlah siswa yang berada di

kelas internasional lebih sedikit (Purnama, 2010). Di kelas 1 internasional SMPN 1 Medan jumlah siswa dalam satu kelas + 25 siswa. Kondisi ini tentunya dapat meningkatkan interaksi yang terjadi antara guru dan siswa. Akan tetapi dalam proses belajar mengajar di kelas internasional, guru menggunakan bahasa pengantar internasional yaitu bahasa Inggris, sehingga siswa yang tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan baik akan mengalami kesulitan (Triyono, 2009).

Harapan guru terhadap hasil yang dicapai siswa dapat menimbulkan tekanan pada siswa. Seperti yang telah dikemukakan oleh Sujarwo (2010) siswa di kelas internasional merupakan siswa Indonesia yang diharapkan setelah lulus dari program tersebut memiliki kemampuan atau capability yang berdaya saing Internasional. Harapan ini membentuk suatu tekanan untuk berprestasi dengan baik, siswa dijadwalkan dengan waktu belajar yang panjang dalam sehari, beban pelajaran yang terlalu banyak, tugas yang menumpuk, dan tuntutan tuntutan akademik lainnya seperti meraih medali tingkat internasional dalam berbagai bidang kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olahraga.

Gupchup, Borrego, dan Konduri (2004) juga menyatakan bahwa stres bisa diasosiasikan dengan tipe dari institusi yang diikuti siswa (seperti swasta, negeri, pesantren, full days school, dan sekolah bertaraf international). Hal ini karena terdapat perbedaan iklim atau suasana dimasing-masing tipe pendidikan.

Dokumen terkait