• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

II. 3.3) Perlindungan Terhadap Hak Pribadi

II.4. Hubungan Antara Public Relations Dan Media Massa

Menurut Onong Uchjana Effendy, Yang dimaksud dengan pers disini ialah pers dalam arti luas, yakni semua media massa. Jadi selain surat kabar, juga majalah, kantor berita, radio siaran, televisi siaran, dan lain-lain. Media tersebut banyak sekali bantuannya kepada organisasi kekaryaan untuk mencapai khalayak yang tesebar luas.

Hubungan baik yang senantiasa terpelihara dengan media massa akan membantu lancarnya publikasi. Press release yang dikirimkan kepada media masa dengan permintaan untuk disiarkan, mungkin diprioritaskan bila sejak sebelumnya sudah d

ibina hubungan baik. Demikian pula penyiaran iklan akan dibantu supaya efektif. Undangan jumpa pers mungkin akan diutamakan daripada organisasi lain yang juga mengundangnya.

Media massa membutuhkan informasi yang bisa menarik perhatian publik. Karena media massa memang menyediakan informasi untuk kepentingan public. Titik temu antara oraganisasi dengan media massa adalah karena kedua pihak memang saling membutuhkan. Organisasi memerlukan media massa sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan public. Sedangkan media massa membutuhkan organisasi, karena ada peristiwa atau informasi yang patut dan perlu diketahui public lantaran bernilai berita (Effendy, 1992:177).

II.5. Kebutuhan Media

Menurut Iriantara, hal yang sangat penting diketahui dan dipahami oleh praktisi Public Relations dalam kegiatan media relations adalah apa yang dibutuhkan media massa dari organisasi. Pada dasarnya, kebutuhan utama media dari organisasi adalah informasi yang kemudian akan disampaikan kepada khalayak media massa. Memang dalam praktiknya, disamping informasi, media-media lokal juga pun memandang organisasi sebagai sumber pendapatan melalui iklan yang dipasang organisasi pada media lokal. Apalagi media local memang dikembangkan dengan konsep menggali sumber daya lokal, termasuk potensi periklanan lokal.

Menurut Iriantara, kebutuhan utama media adalah informasi. Informasi itu bisa berupa data dan fakta, bisa juga berupa peristiwa. Karena itu, media massa

mengadakan kegiatan peliputan di organisasi. Tentu saja informasi yang dibutuhkan oleh media massa bukan sembarangan informasi, melainkan informasi yang dipandang memenuhi hasrat ingin tahu public. Ringkasnya apa yang bisa dinamakan informasi yang mengandug niai berita.

Menurut Iriantara, nilai berita bisa didefenisikan sebagai “serangkaian pedoman professional dalam memilih, megkonstruksi dan menyajikan berita yang dibuat lembaga penyiaran dan pers”. Nilai berita bersumber dari kebutuhan industri pemberitaan atas pedoman professional untuk memilih, mengkonstruksi dan menyajikan berita. Ada juga yang menyebut nilai berita sebagai pedoman untuk menentukan apakah informasi itu layak untuk dijadikan berita atau tidak. Ada juga yang menyebut suatu berita memiliki makna bagi khalayak yang membaca, mendengar atau menyimak informasi tersebut, sehingga nilai berita ditentukan oleh kebermaknaan informasi (Iriantara, 2005: 148).

Frauenrath dan Nur menyebutkan ada dua nilai berita yakni dampak dan kecepatan. Dampak berkaiatan dengan pengaruh yang ditimbulkan dari peristiwa yang diberitakan. Dalam dampak ini ada dua factor yang berpengaruh yakni kepentingan dan kedekatan. Sedangkan dari sisi pengaruh yang ditimbulkan, informasinya biasanya mengandung unsur-unsur:

1. Drama 2. Emosi 3. Konflik 4. Tokoh penting 5. Mengejutkan

Sedangkan kecepatan berkaitan dengan kebaruan, sehingga orang merasa memperoleh sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya (dalam Iriantara, 2005:148).

Dja’far H. Assegaff merumuskan unsure-unsur nilai berita yaitu sebagai berikut (dalam Iriantara, 2005:149):

2. Jarak (dekat-jauhnya) lingkungan yang terkena berita itu 3. Penting (ternama)

4. Keluarbiasaan 5. Akibat

6. Ketegangan yang ditimbulkan oleh berita 7. Pertentangan (konflik)

8. Seks

9. Kemajuan-kemajuan 10. Emosi

11. humor

Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah menjalin relasi antarmanusia dengan wartawan. Bagaimana pun juga wartawan adalah manusia yang memiliki kebutuhannya sendiri. Sebagai wakil media, wartawan tentu berhubungan secara fungsional dengan organisasi. Namun, hubungan fungsional tidak berarti mengabaikan dimensi kemanusiaan wartawan. Sebagai manusia, wartawan juga memiliki kebutuhannya sendiri. Ada kebutuhan yang terkait profesinya sebagai pencari dan penulis berita. Ada kebutuhan yang terkait dengan kehidupan personalnya.

Kebutuhan wartawan sebagai pribadi yang terkait dengan profesinya adalah kebutuhan untuk dihargai. Ini merupakan kebutuhan universal manusia. Tidak ada seroangpun manusia yang ingin profesinya dan lembaga tempatnya berkerja dilecehkan. Ini berarti tidak ada perlakuan yang berbeda terhadap wartawan. Semua wartawan diperlakukan sama. Pada dasarnya profesi kewartawanan adalah profesi mulia yang mengabdi pada kepentingan publik. Memberikan pelayanan yang baik dan sama kepada semua wartawan merupakan wujud penghargaan terhadap profesi kewartawanan.

Sedangkan kebutuhan wartawan yang terkait wartawan sebagai pribadi pada dasarnya sama yakni dipenuhi kebutuhan-kebutuhan personalnya. Bila mengacu hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow berarti wartawan sebagai pribadi pun membutuhkan penghargaan dan aktualisasi diri. Mengirimkan kartu ucapan selamat

ulangtahun, menjenguknya pada saat sakit atau menghadiri perayaan pernikahannya merupakan wujud penghargaan terhadap wartawan sebagai pribadi. Relasi yang dibangun antara staf Public Relations dan wartawan tidak lagi sekedar relasi fungsional melainkan juga relasi personal (dalam Iriantara, 2005: 153).

II.6 Kode Etik Media

Media massa berkerja dengan berpedoman pada sejumlah aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Operasi media massa di Indonesia dilandasi dua UU yang berkaitan dengan media yakni UU No. 40/1999 tentang Pers dan UU No. 32/2002 Tentang Penyiaran. Berdasarkan UU No. 32/2002 itu juga dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang antara lain merumuskan pedoman prilaku penyiaran Indonesia. Pada tahun 2004, KPI menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Stadar Program Siaran yang menjadi acuan dunia siaran di Indonesia. Dalam pedoman ini antara lain dinyatakan prinsip-prinsip jurnalistik yang mesti dipegang lembaga penyiaran. Pada pasal 19 (1) pedoman itu dinyatakan bahwa “Lembaga Penyiaran harus menyajikan informasi dalam program factual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas)”. Selain itu, pedoman yang dibuat KPI tersebut menegaskan prinsip jurnalistik yang dikembangkan adalah akursi, adil dan tidak berpihak.

Pada bagian lain pedoman itu diatur mengenai kerjasama produksi dan program yang disponsori. Pada pasal 27 pedoman tersebut dinyatakan:

1. Lembaga penyiaran tidak boleh menjual jam tayang kepada pihak manapun, kecuali iklan.

2. Lembaga penyiaran diperbolehkan menyiarkan program yang merupakan hasil kerjasama produksi dengan pihak lain atau disponsori pihak lain selama isi program dikendalikan lembaga penyiaran yang bersangkutan.

3. Dalam program berita, lembaga penyiaran dilarang memuat berita yang disajikan atas dasar imbalan tertentu (uang, jasa, dan sebagainya).

a. Memberitahukan kepada khalayak bahwa program tersebut merupakan kerjasama produksi dan disponsori. Pemberitahuan tersebut harus ditempatkan dalam cara yang memungkinkan khalayak dapat dengan mudah mengidentifikasi bahwa program tersebut didanai atau turut didanai oleh pihak tertentu;

b. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program kerjasama produksi atau disponsori oleh perusahaan yang memproduksi produk yang dilarang untuk diiklankan, misalnya minuman keras dan zat adiktif.