• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipotesis III (perbedaan risiko sistamatik/ beta saham pada

3. Hubungan Beta dengan Financial Distress

Beta merupakan index dari risiko sistematis karena kondisi pasar (Moeljadi, 2006). Penyebab konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah dalam hal pengambilan keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada portofolio yang

58 terdiversifikasi dengan baik. Sedangkan manajer sebaliknya lebih peduli pada risiko perusahaan secara keseluruhan.

Menurut Wahidahwati (2002) dalam Yeniatie dan Nichen (2010), ada dua alasan yang mendasari hal ini yaitu pertama, bagian substantif dari kekayaan mereka di dalam specific human capital perusahaan, membuat manajer non diversifiable. Kedua, manajer akan terancam reputasinya, demikian juga kemampuan menghasilkan earning perusahaan, apabila perusahaan mengalami kebangkrutan. Sehingga kemampuan risiko sistematis dapat membuat pihak manajer berpikir antara mengambil keputusan atau mengikuti keinginan para pemegang saham. Dengan kata lain, risiko sistematis yang tercermin dalam beta berpengaruh negatif terhadap bankruptcy risk.

Menururt Endra (2001) dalam penelitiannya menjelaskan, semakin besar beta, maka semakin besar pula risiko suatu saham / reksa dana semakin besar risiko maka akan semakin besar pula perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan. Dalam penelitian Endra (2001) beta saham mempengaruhi kebangkrutan secara signifikan postif jika melihat keadaan 1 tahun kebangkrutan perusahaan dan signifikan negatif jika keadaan 2 tahun kebangkrutan perusahaan. Maka dengan itu, hipotesis hubungan antara beta dengan bankruptcy risk adalah sebagai berikut:

59 4. Hubungan Earning dengan Financial Distress

Perusahaan didirikan dengan tujuan memperoleh laba, yang nantinya digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup usahanya (Wahyuningsih dan Suryanawa, 2012). Sebuah perusahaan tentu akan menghindari kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan kebangkrutan. Kebangkrutan merupakan kondisi financial distress yang terburuk. Financial distress sendiri merupakan penurunan kondisi keuangan perusahaan sebelum mencapai kebangkrutan (Platt dan Platt, 2002).

Menurut Elloumi dan Gueyie (2001) dalam Saleh dan Sudiyatmo (2013) perusahaan menuju kebangkrutan didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki laba per lembar saham (Earning Per Share) negatif. EPS merupakan rasio yang paling banyak digunakan oleh pemegang saham dalam menilai prospek perusahaan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara earning dengan bankruptcy risk adalah sebagai berikut:

H4 : Earning berpengaruh signifikan positif terhadap Z-score. 5. Hubungan Ukuran Perusahaan , Book to Market, Beta dan Earning

dengan ZScore

Kebangkrutan merupakan kondisi financial distress yang terburuk. Financial distress sendiri merupakan penurunan kondisi keuangan perusahaan sebelum mencapai kebangkrutan (Platt dan Platt, 2002). Financial distress diukur dengan menggunakan Earning Per Share (EPS),

60 karena EPS dapat menggambarkan seberapa besar perusahaan mampu menghasilkan keuntungan per lembar saham yang akan dibagikan kepada pemilik saham

Ukuran perusahaan dapat menunjukkan seberapa besar informasi yang terdapat di dalamnya, serta mencerminkan kesadaran dari pihak manajemen mengenai pentingnya informasi, baik bagi pihak eksternal maupun pihak internal perusahaan (Solechan, 2007). Nilai book-to-market yang semakin tinggi menunjukkan bahwa prospek kinerja perusahaan di masa mendatang buruk (Drobetz, 2004 dalam Utama dan Lumondang, 2009). Oleh karena itu, perusahaan dengan book-to-market yang tinggi tersebut cenderung memiliki bankruptcy risk yang tinggi

Menururt Endra (2001) dalam penelitiannya menjelaskan, semakin besar beta, maka semakin besar pula risiko suatu saham / reksa dana semakin besar risiko maka akan semakin besar pula perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Platt dan Platt (2002) Solechan (2007), Utama dan Lumondang (2009), Endra (2001) maka hipotesis yang diajukan adalah:

H5 : Ukuran Perusahaan , Book to Market, Beta dan Earning berpengaruh signifikan dan secara simultan terhadap Z-score. 6. Hubungan Financial Distress dengan Return Saham

Distress risk merupakan risiko kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi atau usahanya (Altman,1968). Dalam dunia bisnis, kegagalan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan

61 faktor financial. Dalam hal ini, faktor ekonomi berupa lemahnya industri serta lokasi dan lingkungan yang tidak mendukung. Kegagalan ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan pendapatan sehingga tidak dapat menutup biaya-biaya perusahaan, ini berarti tingkat laba perusahaan lebih kecil daripada biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Sedangkan faktor financial dapat berupa utang yang terlalu banyak serta penggunaan modal yang tidak efisien. Kegagalan keuangan bisa juga diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu insolvensi teknis dan insolvensi dalam pengertian kebangkrutan. Insolvensi teknis adalah perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban saat jatuh tempo. Faktor financial inilah yang kemudian dapat menimbulkan risiko financial distress pada perusahaan.

Berdasarkan asumsi bahwa pembayaran dividen yang naik terjadi ketika perusahaan mempunyai prospek keuntungan yang baik, serta kecenderungan dari harga saham yang mengikuti naik turunnya nilai dividen, maka dapat dikatakan keuntungan perusahaan mempengaruhi besarnya total return yang diterima investor dalam investasi saham. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Lumondang (2009) bahwa kondisi financial distress memberikan imbal hasil yang rendah dan bahwa semakin besar risiko kepailitan maka menghasilkan

62 imbal hasil yang tinggi pula. Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara financial distress dengan return saham adalah sebagai berikut:

H6 : Zscore berpengaruh signifikan negatifterhadap return saham. 7. Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Return Saham

Firm size adalah ukuran besar kecilnya suatu perusahaan. Berdasar firm size-nya, perusahaan dibedakan menjadi perusahaan big (besar) dan small (kecil). Dengan kata lain, firm size merupakan market value dari sebuah perusahaan. Market value dapat diperoleh dari perhitungan harga pasar saham dikalikan jumlah saham yang diterbitkan (outstanding shares). Market value (nilai pasar) inilah yang biasa disebut dengan kapitalisasi pasar (market capitalization).

Market capitalization mencerminkan nilai kekayaan perusahaan saat ini. Market capitalization merupakan suatu pengukuran terhadap firm size perusahaan dimana perusahaan bisa saja mengalami kegagalan maupun kesuksesan. Dengan kata lain, market capitalization adalah nilai total dari semua outstanding shares yang ada, perhitungannya dapat dilakukan dengan cara mengalikan banyaknya saham yang beredar dengan harga pasar saat ini.

Penelitian tentang pengaruh firm size terhadap berbagai faktor telah banyak dilakukan. Penelitian ini pernah dilakukan oleh Banz (1981). Dia melakukan penelitian pada saham di NYZE dengan cara membentuk 10 portofolio berdasarkan nilai kapitalisasi pasarnya. Penelitian ini

63 menghasilkan bahwa rata-rata imbal hasil tahunan pada portofolio saham dengan nilai kapitalisasi kecil secara konsisten lebih tinggi. Dengan begitu firm size memiliki hubungan negatif yang kuat antara average return perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Lumondang 2009, memberikan hasil yang sama bahwa firm size memiliki hubungan negatif terhadap return saham.

Dalam penelitian Fama dan French (1995) ditemukan bahwa firm size berhubungan dengan profitabilitas. Fama dan French (1995) menyatakan bahwa secara parsial firm size berpengaruh signifikan terhadap return. Saham perusahaan kecil mempunyai kecenderungan pendapatan (earnings) yang lebih rendah daripada saham perusahan besar. Disimpulkan bahwa besar kecilnya kapitalisasi pasar perusahaan merupakan faktor risiko yang patut diperhitungkan dalam menghitung tingkat pengembalian (return) saham.

Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Lumondang (2009) dimana ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap return saham. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa terdapat suatu bentuk hubungan yang negatif antara tingkat pengembalian (return) saham dengan ukuran perusahaan (firm size). Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara ukuran perusahaan dengan return saham adalah sebagai berikut:

H7 : Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap return saham.

64 8. Hubungan Book to Market Ratio dengan Return Saham

Book to market ratio merupakan faktor risiko yang harus diperhatikan oleh para investor, karena book to market ratio yang tinggi dapat dijadikan indikator bahwa perusahaan tersebut masih undervalue. Menurut Utama dan Lumondang (2009) B/M yang tinggi menunjukkan bahwa nilai sahamnya di pasar modal cenderung turun karena kinerja perusahaan dalam meraih laba di masa datang akan sulit atau diragukan. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki B/M yang tinggi akan terekspos oleh risiko kepailitan yang tinggi atau masalah keuangan lainnya dibandingkan perusahaan yang memiliki nilai saham tinggi (B/M rendah). Book to market ratio dihitung dengan membagi equity per share dengan closing price bulan Desember (akhir tahun), untuk membagi perusahaan menjadi dua yaitu perusahaan dengan book to market ratio rendah dan tinggi.

Ang Robert (1997) menyatakan bahwa rasio book to market merupakan rasio yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja perusahaan melalui harga pasarnya, semakin rendah rasio ini menandakan semakin tinggi perusahaan dinilai oleh para investor. Nilai (harga) pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat-saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar.

Nilai pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham bersangkutan di bursa. Sedangkan nilai buku (book value per lembar

65 saham) menunjukkan aktiva bersih (net asset) yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memilih satu lembar saham. Karena aktiva bersih adalah sama dengan total ekuitas pemegang saham, maka nilai buku perlembar saham adalah total ekuitas dibagi dengan jumlah saham beredar. Perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya memiliki rasio book to market di bawah satu, yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya.

Secara teoritis rasio book to market memiliki pengaruh negatif terhadap return saham dengan kata lain semakin tinggi rasio book to market suatu perusahaan maka semakin rendah return saham yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya dimana perusahaan dengan rasio book to market rendah memiliki tingkat return saham yang relatif lebih tinggi. Itu terbukti oleh penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Lumondang (2009), memberikan hasil yang sama bahwa book to market memliki hubungan negatif terhadap return saham. Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara book to market dengan return saham adalah sebagai berikut:

H8 : Book to Market berpengaruh signifikan negatif terhadap return saham.

Dokumen terkait