• Tidak ada hasil yang ditemukan

161 K Wantjik Saleh 1979 Hak Anda Atas Tanah , Ghalia Indonesia Jakarta Hal 8.

TIPOLOGI MASYARAKAT HUKUM ADAT DI BALI 5.1 Istilah dan Pengertian

5.5. Hubungan Desa Adat dengan Desa Dinas

Menurut perspektif sejarah telah nampak, bahwa di Bali ada dualisme sistem pemerintahan desa, yaitu di satu sisi ada yang disebut desa

219Bali Post. Pemprop Bali kucurkan Rp.72 Milyar untuk 1.453desa adat (pakraman). Jumat 11 April 2008. H.7

adat sebagai perwujudan desa asli yang bersifat otonom dengan kesatuan tradisi dan tata kramanya yang sampai saat ini masih dipelihara yang dalam perkembangannya bisa menipis dan menebal dalam fleksibilitasnya dan dinamisasinya. Sedangkan di sisi lain ada yang disebut desa dinas (desa administratif) sebagai pemerintahan terendah yang secara langsung berada di bawah camat dan yang diatur dan tunduk di bawah perundang-undangan pemerintahan daerah atau pemerintahan desa.

Konsep desa di Bali mengandung dua pengertian, yaitu pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat sosial, religius, tradisional dalam kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya. Desa dalam pengertian ini yang disebut desa adat. Rasa kesatuan sebagai

desa adat diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu: (1) Parhyangan

(Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem),

(2) Pawongan desa atau warga desa. Ketiga, Pelemahan desa atau tanah desa.220

Kedua, desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau kedinasan, yaitu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh seorang kepala desa atau perbekel. Desa dalam pengertian ini disebut dengan desa dinas (desa administratif). Para warga komunitas desa dinas

disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif.221

220Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. “Sistem kesatuan hidup setempat daerah

Bali”. Rivai Abu (Ed). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali. 1980/1981. Denpasar. Hal. 5-6. 221Si Luh Swarsi, dkk. 1986. Op.cit. Hal. 39.

Baik desa adat maupun desa dinas, umumnya terdiri dari bagian- bagian yang lebih kecil, juga terwujud sebagai sub komunitas, seperti desa adat yang terdiri sub komunitas yang disebut banjar adat. Sedangkan desa dinas yang di bawahnya terdiri dari sub komunitas yang disebut dusun atau

banjar dinas. Banjar adat dan banjar dinas mempunyai perbedaan fungsi secara prinsip, yaitu: banjar adat yang memusatkan fungsinya di bidang adat istiadat, sedangkan banjar dinas memusatkan fungsinya di bidang kedinasan (administrasi kepemerintahan formal atau kedinasan serta pembangunan umum).

Berdasarkan fungsinya, kedua bentuk komunitas baik desa adat maupun desa dinas terfokus pada masing-masing bidang yang berbeda, tetapi dalam eksistensinya dan berbagai aspek kehidupan yang nyata, kedua komunitas itu saling berkaitan satu sama lain.

Umumnya dari satu kesatuan wilayah, pada satu desa dinas

mencakup beberapa desa adat. Dikatakan pada umumnya, karena dalam kenyataannya tidak ada suatu pola yang seragam. Variasinya cukup beraneka ragam dan kompleks, seperti:

1. Satu desa dinas mencakup beberapa desa adat, seperti Tamanbali Bangli.

2. Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat; seperti Desa Adat Macang. 3. Satu desa adat mencakup beberapa desa dinas, seperti Desa Adat

Gelgel (desa adat) mencakup beberapa wilayah desa dinas antara lain: Desa Kamasan, Desa Tojan, dan Desa Gelgel.

Memperhatikan perbandingan jumlah antara desa dinas dan desa adat yang ada di Bali, ada kecenderungan bahwa variasi jenis pertama yang

mendominasi. Kondisi seperti ini dapat dibuktikan dari data hasil inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali Tahun 1980/1981 yang menunjukkan bahwa jumlah desa dinas saat itu ada 564. Sedangkan jumlah desa adat sebanyak 1.610.222 Namun menurut data yang disajikan oleh Majelis Pembina

Lembaga Adat Tahun 1989, jumlah desa adat di Bali sebanyak 1333 yang tersebar di delapan kabupaten.223 Kemudian sesuai dengan data Bali

membangun 2004 menegaskan, bahwa jumlah desa dinas ada 693. Sedangkan jumlah desa adat ada 1.420.224

Menurut catatan yang pernah disajikan itu dapat dicermati bahwa dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun ada penambahan atau pemekaran desa dinas dari yang sebelumnya 564 menjadi 693. Sedangkan desa adat

justru mengalami penurunan, yaitu dari 1.610 menjadi 1.333.pada tahun 1989, dan kemudian naik lagi menjadi 1.420 ditambah 16 yang akan dimekarkan pada tahun 2005. Namun yang diperhatikan bukan persoalan penurunan atau perkembangannya, tetapi yang lebih utama adalah jumlah

desa dinas lebih sedikit dibandingkan dengan desa adat. Ini memberi petunjuk bahwa dalam satu desa dinas mencakup beberapa desa adat.

Pada jaman kerajaan-kerajaan Hindu di Bali, desa adat secara fungsional berada di bawah kerajaan. Agaknya pada masa-masa tersebut, terbentuklah lembaga desa yang mengurusi masalah yang berhubungan dengan struktur pemerintahan kerajaan dalam bentuk desa keperbekelan.

222Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Op.cit. Hal. 45.

223Majelis Pembina Lembaga Adat. 1991. Op.cit. Hal. 6

Pada jaman penjajahan Belanda, desa keperbekelan itu secara struktural juga berada di bawah sistem pemerintahan jajahan. Pada jaman Republik Indonesia masa kini, desa keperbekelan itu merupakan desa dinas

yang secara struktural merupakan bagian yang paling bawah dari sistem pemerintahan Republik. Semua kegiatan dan program pemerintahan masa kini terkomunikasi dan tersalur melalui desa dinas tersebut.

Desa adat dalam rangka sistem pemerintahan Republik tidak terjalin secara struktural. Juga dalam kaitannya terhadap desa dinas. Desa adat

tersebut hanya terjalin secara fungsional dan tidak secara struktural.225

Jalinan fungsional ini terfokus pada fungsi pokok dari desa adat, yaitu pada bidang adat dan keagamaan. Pada bidang-bidang kedinasan, yang mencakup berbagai bidang seperti: kesehatan, keluarga berencana, transmigrasi, pendidikan formal, desa adat tidak terkait dalam jalinan struktural. Semua urusan ini berada di tangan urusan desa dinas. Dalam hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas (dusun). Bila

desa dinas itu berbentuk kelurahan, maka akan membawahi banjar dinas

yang disebut lingkungan.

Hubungan vertikal ke atas secara struktural dari desa adat tidak berkembang, karena sifat otonomnya. Sedangkan hubungan vertikal ke bawah secara struktural berkembang terhadap pemerintahan banjar adat

sebagai sub komunitas. Hubungan itu di satu pihak dapat bersifat hubungan komando (instruktif) terutama yang berkenaan dengan hasil paruman desa adat yang harus dilaksanakan oleh masing-masing banjar adat, juga dapat

bersifat konsultatif terutama yang berkenaan dengan hal-hal yang belum diputuskan dalam paruman desa adat.

Dua sifat hubungan tersebut memang sering tampak, tetapi landasan inti dan landasan ideal dalam hubungan pimpinan desa (adat) secara vertikal adalah landasan kerja sama (gotong royong) untuk menyelesaikan tugas-tugas desa.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sepertinya ada semacam unifikasi desa di seluruh Indonesia, artinya ada upaya mendesajawakan desa-desa yang ada di seluruh Indonesia, sehingga para pengamat, para cendekiawan di Bali merasakan ada dominasi oleh pemerintahan desa dinas terhadap pemerintahan desa adat, yaitu dengan terjadinya intervensi secara berlebihan dari pihak pemerintah (daerah) kepada desa adat di Bali, sehingga sejak saat itu desa adat dirasakan menjadi kurang berdaya.

Sejak dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, nampaknya memberi angin segar untuk upaya pemberdayaan desa adat, karena di dalamnya ada jaminan akan pengakuan terhadap keberadaan desa adat itu sendiri. Kondisi ini dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 1 butir o yang disebutkan:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Perwujudannya lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Daerah Kabupaten, dengan catatan wajib mengakui dan menghormati hak. asal usul, dan adat istiadat desa. Demikian ditegaskan dalam Pasal 111.

Tap. MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang Pembangunan Daerah pada angka 1 butir a menyebutkan:

Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mencermati pada ketentuan di atas, tampaknya desa adat di Bali akan tetap hidup dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya serta peranannya dalam kehidupan masyarakat dan juga potensinya bagi suksesnya pembangunan nasional.

Adanya kekhawatiran tentang dominasi oleh pemerintahan desa dinas kepada pemerintahan desa adat yang telah banyak disorot oleh berbagai kalangan baik melalui tulisan di media cetak maupun melalui kegiatan seminar, dimaksudkan agar adanya kesamaan visi dalam upaya pemberdayaannya.

I Nyoman Sirtha dalam Seminar “Strategi pemberdayaan dan model

desa adat di masa depan” yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Pedesaan dan Kawasan (P3K) bekerja sama dengan DPD KNPI Propinsi Dati I Bali tanggal 20 April 1999 dinyatakan:

Bahwa desa adat merupakan suatu lembaga tradisional yang bersifat otonom yang dilandasi oleh nilai-nilai asli bangsa Indonesia dan bercorak sosial religius. desa adat mempunyai kekuasaan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum sendiri yang dikenal dengan istilah awig-awig

desa. Oleh karena itu di dalam desa adat dijumpai adanya berbagai aturan- aturan yang dibentuk dan ditaati bersama oleh masyarakat desa.226

226I Nyoman Sirtha, “Strategi pemberdayaan desa adat dengan pembentukan forum komunikasi

antar desa adat” (Makalah yang disampaikan dalam seminar “Strategi pemberdayaan dan model desa adat di masa depan” yang diselenggarakan oleh kerjasama Pusat Pengkajian Perdesaan dan

Ketidakberdayaan desa adat menurut I.B. Wiyasa Putra, disebabkan karena adanya pengurangan otonomi oleh sistem Pemerintahan Nasional, yang dapat dicermati dari terlalu banyaknya campur tangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal-hal yang semestinya dapat diputuskan sendiri oleh desa adat, seperti dalam pemilihan pemimpin desa adat (Bendesa dan Prajuru adat) sering diintervensi pihak luar sehingga tidak sesuai dengan asas demokrasi, penyamaan status kepemilikan desa adat dan desa dinas

terutama terhadap tanah yang berada di wilayah hukum desa adat yang semestinya tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan adat. Namun pada proses pembebasannya, tanah demikian itu sering kali dinetralkan dengan sebutan tanah negara, seperti pada pembebasan tanah Pecatu Bukit Jimbaran, dan pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang mengaburkan batas wewenang antara desa dinas

dan desa adat. Ia tidak sependapat, jika ketidakberdayaan desa adat saat ini difokuskan pada pemimpin desa adat, sebab ada faktor eksternal yang kuat pengaruhnya. Oleh karena itu campur tangan Pemerintah Daerah harus dihilangkan, karena desa adat telah memiliki otonomi untuk itu, kecuali campur tangan yang tidak mengurangi kualitas otonomi, sehingga otonomi

desa adat perlu dikembalikan.227

Bali Post tanggal 15 Mei 1999 melansir pendapat yang menyatakan, bahwa untuk memberdayakan desa adat, maka desa dinas dihapuskan saja. Demikian diungkapkan oleh Ni luh Made Suwaryati. Tapi banyak tokoh yang tidak setuju, seperti I Gde Sudibya, I.B. Rata, I.B. Purwita. Menurut beliau pemberdayaan desa adat tidak perlu dengan menghapus desa dinas,