• Tidak ada hasil yang ditemukan

228 Bali Post , 5 Agustus 1999 Hal 2.

5.6. Hubungan Desa Adat dan Tanah Adat

Bagaimanakah hubungan timbulnya tanah adat dengan persekutuan hukum adat di Bali yang dikenal dengan istilah desa adat? Untuk menemukan jawaban yang pasti mungkin sulit, karena dari tulisan-tulisan yang ada merupakan deskripsi rasional dari seseorang, artinya semua itu merupakan hasil dari sebuah penafsiran dari tesis-tesis yang ada. Jadi hanya merupakan uraian dari jejak-jejak makna historis. Seperti ada yang berpendapat bahwa tanah adat bersamaan timbulnya dengan persekutuan atau paling tidak agak lebih dahulu ada persekutuan daripada tanah adat.230

Lebih lanjut diungkapkan, bahwa untuk menelusuri sejarah tanah adat harus dimulai dari sejarah timbulnya persekutuan yang dalam hal ini bersangkut paut tak terpisahkan dengan sejarah tanah adat tersebut. Dalam perspektif sejarah terjadinya desa (adat) dapat dinyatakan, bahwa yang menguasai tanah adat di Bali pertama kali adalah desa adat. Kemudian karena sesuatu hal tertentu ada penyerahan dari desa kepada perorangan

229Bali Post. “RUU Pemerintahan Desa lindungi nilai-nilai lokal. Rabu, 12 Maret 2008. Hal. 19. 230I Made Suasthawa Dharmayuda. 1987. Op.cit. Hal. 27.

kelompok warga desanya untuk dipergunakan sesuai dengan keperluannya, seperti untuk mendirikan rumah, pura dadia, tanah bukti.

Lontar Markandya Purana menyebutkan, bahwa sebelum

kedatangan Mahayogi Markandya (dari Gunung Rawung Jawa Timur) ke Bali, pulau Bali masih hutan belantara (sadurung hana paran-paran kewala hana taru wana belantara). Tujuan kedatangan Mahayogi Markandya adalah untuk mengembangkan ajaran (agama) Trisaktipaksa seperti

Waisnawapaksa serta tata cara melakukan upacara dan upakara (bebanten) pada masyarakat Bali (hyun ngewredyeken ikang tatwa-tatwa Trisaktipaksa, makadi Waisnawapaksa mwah sopacaraning tata upacara saprakarsa).231

Kedatangan Mahayogi Markandya ke Bali dilakukan dua periode, yaitu pertama dengan 8000 pengikutnya dan gagal. Kemudian tahap kedua dengan 4000 pengikut dan selamat. Saat itu Bali mulai ditata. Para ahli menempatkan kedatangan Mahayogi Markandya sekitar permulaan abad 8 Masehi, setelah prasasti Dinaya tahun 760 Masehi menyebutkan nama Maharesi Agastya. Setelah itu disebutkan, banyak Maharesi yang trirtayatra ke Bali (anglanglang desa pradesa), termasuk Mahayogi Markandya.

Cerita dalam lontar Markandya Purana juga menunjukkan ada hubungannya antara desa (adat) dan Kahyangan desa, yaitu yang dapat diperhatikan dari uraiannya:

Mangkin dwaning sampun makweh polih ngabas wana balantara irika sang Yogi Markandya mahyun ngamimitin kahyangan desa, kala irika Sang Yogi ngicen panjake pahan tanah sami, mangda molih cukup pekarangan mwang tegal tuluk-tulukan, carik tuluk-tulukan, miwah karang

tegal, Sang mikukuhin ika kawastanin ‘desa’. Desa ika ne wenang

mikukuhin Parhyangan Dea.232

231I Made Suasthawa Dharmayuda. 1987. Op. cit. Hal. 28. 232I Made Suasthawa Dharmayuda. 1987. Loc.cit.

Terjemahan: Sekarang oleh karena sudah banyak dapat merabas hutan, maka sang Yogi Markandya berkeinginan membangun Kahyangan Desa. Pada saat itu Sang Yogi memberikan pengikutnya bagian tanah, semua supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut “Desa”. Desa inilah mempunyai kewajiban mengurus Pura kahyangan Desa.

Di samping desa (adat) , kahyangan desa, dan pembagian tanah disinggung pula tentang subak, pekaseh, dan banjar, yaitu disebutkan:

Sang mikukuhin toya kewastanin Pekaseh ika ne wenang ngepahang toyane punika. Sang mikukuhin sawah kawastanin Subak. Yan ana wong antaka pejah, Sang mikukuhin ika kaaawassstanin Banjar, ika wenang rawuhing atatiwanya.233

Terjemahan: Yang diberikan tugas mengurus dan menyelenggarakan pembagian air disebut Pekaseh, sedang yang mengurus sawah disebut Subak. Bila ada orang yang meninggal dunia diselenggarakan oleh

Banjar, termasuk juga diberi tugas menyelesaikan tata upacara Kematiannya.

Melalui isi cerita dalam lontar Markandya Purana dapat disimak bahwa adanya istilah desa, parhyangan/kahyangan, banjar, subak, pekaseh, serta pembagian tanah-tanah kepada warganya oleh desa, ada pada masa kedatangan Yogi Markandya ke Bali.

Munculnya kerajaan Mayadanawa (959-974 M) setelah masa Yogi Markandya, masyarakat Bali tertimpa malapetaka, kesengsaraan dan kemelaratan, sehingga tidak bisa hidup secara layak sebagai akibat kekurangan pangan, karena Mayadanawa melarang rakyatnya melakukan

yadnya atau pujawalidi Besakih.

Setelah hancurnya kerajaan Mayadanawa, maka muncul kerajaan yang diperintah oleh suami isteri, yaitu Udayana Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatmi (Mahendradatta) tahun 988-1011 M. Masalah agama kembali diperhatikan, sehingga Bali menjadi kondusif kembali.

Namun dengan dianutnya enam sekta Agama Hindu oleh masyarakat Bali, akhirnya menimbulkan banyak konflik sosial.

Mencermati kondisi yang kurang menguntungkan ini, baginda raja mendatangkan tokoh-tokoh Hindu dari Jawa Timur (Panca Pandita/Panca Tirta), yaitu: (1) Mpu Gnijaya, (2) Mpu Semeru, (3) Mpu Ghana, (4) Mpu Kuturan, (5) Mpu Bharadah.

Dari lima Pandita ini empat orang di antaranya didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:

1. Mpu Semeru pada hari Jumat Kliwon wara Pujut, Purnamaning Kawolu, IÇaka 921 atau tahun 999 M dan ber-Parhyangan di Besakih.

2. Mpu Ghana, pada hari Senin Kliwon wara Kuningan IÇaka 922 atau tahun 1000 M dan ber-Parhyangan di Gelgel.

3. Mpu Kuturan, pada hari Rebo Kliwon, wara Pahang Maduraksa IÇaka 923 atau tahun 1001 M dan ber-Parhyangan di Padangbai.

4. Mpu Gnijaya, pada hari Kemis Kliwon, wara Dungulan sasih Kedasa dan ber-Parhyangan di Bukit Bisbis.

5. Mpu Bharadah yang tidak ikut ke Bali melainkan menetap di Jawa Timur, yaitu ber-Parhyangan di Lemahtulis Pajarakan.

Pandita yang paling menonjol dikenal di Bali adalah Mpu Kuturan, yang kemudian diangkat sebagai ketua Majelis yang disebut ‘Pakira-kira Ijro Makabehan’. Dengan kedudukannya ini, kemudian diadakan Pesamuhan Agung bertempat di Batanyar. Dalam pesamuhan agung diundang tokoh- tokoh masyarakat Bali Age (Pegunungan) sebagai wakil 6 sekta Agama Hindu, sehingga pesamuhan ini dihadiri oleh:

2. Komponen utusan dari Jawa (Timur) dengan Mpu Kuturan sebagai pemimpin atau yang mewakili dan sekaligus sebagai pemrakarsa

pesamuhan;

3. Komponen dari paham Budha Mahayana.

Pesamuhan ini kemudian disebut “Samuan Tiga” yang bermakna

pertemuan segi tiga. Dari pesamuhan itu ada titik persamaan yang bersifat prinsipiil dan adanya paham “Tri Murti” sebagai paham pemujaan terhadap

tiga dewa yang utama, yaitu:

1. Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam kridanya sebagai pencipta, dan dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Desa/Bale Agung; 2. Dewa Wisnu, adalah manifestasi Tuhan dalam kridanya sebagai

Pemelihara, dan dibuatkan istana yang disebut Pura Puseh/Segara; 3. Dewa Çiwa, adalah manifestasi Tuhan dalam kridanya sebagai pemrelina

(pengembali ke asal), dan dibuatkan palelinggih di Pura Dalem.

Implikasi adanya berbagai pandangan, paham, dan konsep, maka dalam pesamuhan akhirnya berhasil dicapai keputusan, yaitu sbb:

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang di dalamnya telah mencakup seluruh paham keagamaan yang berkembang di Bali pada waktu itu;

2. Pada setiap desa adat harus didirikan Kahyangan Tiga (Pura Desa atau Bale Agung, Puseh atau Segara, dan Pura Dalem (hulun setra), dan keharusan adanya pura di sawah yang menjadi penyungsungan Krama Subak yang disebut Pura Siwi atau Bedugul;

3. Pada setiap rumah pekarangan harus didirikan bangunan suci yang disebut Sanggah atau Merajan.

4. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di sekitar desa adat, termasuk tanah-tanah Kahyangan Tiga adalah milik desa adat yang berarti pula milik Kahyangan Tiga dan tanah-tanah tersebut tidak boleh diperjual- belikan;

5. Nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali ketika itu adalah Agama Çiwa Budha.

Mencermati sejarah terjadinya desa (adat) seperti tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa desa adat dan tanah adat mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak terpisahkan yang terjadinya hampir bersamaan, artinya sebelum muncul desa adat didahului dengan upaya merabas hutan sebagai cikal bakal wilayah pemerintahan desa adat, setelah wilayahnya tertata kemudian diadakan klasifikasi peruntukan tanah, seperti untuk tempat berdirinya pura (Kahyangan Tiga), dan pura lainnya sesuai dengan kebutuhan krama desanya. Untuk menunjang kegiatan upacara keagamaan di pura juga diberikan tanah yang kemudian dikenal dengan laba pura. Kepada krama diadakan pembagian tanah untuk tempat tinggal yang kemudian dikenal dengan tanah pekarangan desa (PKD). Di samping itu ada tanah-tanah baik berupa sawah dan tegalan yang penggarapannya diserahkan kepada krama desa yang kemudian dikenal dengan tanah ayahan desa (AYDS). Sebagai sumber penghasilan pejabat desa juga diberikan tanah yang kemudian dikenal dengan tanah catu/bukti. Tanah- tanah adat tadi dikuasai oleh individu atau kelompok. Namun demikian ada juga tanah adat yang masih tetap dikuasai desa adat seperti tanah setra, tanah pasar, tanah lapang.

Hubungan yang sangat erat antara desa adat sebagai persekutuan hukum dengan tanah itu menyebabkan desa adat mempunyai hak untuk menguasai dalam arti mengatur (meregulasi), mengurus, menggunakan,

menikmati, memanfaatkan tanah-tanah yang ada dalam wilayah kekuasaannya untuk kesejahteraan krama-nya baik yang bersifat sekuler maupun yang bersifat magis religius.

Desa adat dan PuraKahyangan Tiga-nya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga pada dasarnya dapat disebut sebagai lembaga sosial religius, dan jika dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, maka desa adat pada dasarnya dapat memenuhi kriteria untuk ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Tapi sampai sekarang desa adat belum ditunjuk sebagai badan hukum yang berhak memiliki hak atas tanah.

BAB VI

KONSEP DAN REGULASI HAK PENGUASAAN DAN PEMILIKAN ATAS