• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Boedi Harsono 2003 Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional , Cetakan Kesembilan (Edisi revisi) Djambatan.

METODE PENELITIAN

2.1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang dipilih disesuaikan dengan masalah yang akan dikaji. Artinya untuk mengkaji konsep dan regulasi, juga pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak penguasaan dan pemilikan atas tanah- tanah adat dipergunakan penelitian hukum normatif artinya yang hanya menggunakan data sekunder saja.45 Untuk melengkapi kajian tersebut

terutama yang berkaitan dengan aspek nilai yang hidup dalam masyarakat dan mengkaji penyelesaian kasus sengketa dipergunakan penelitian hukum empiris atau socio legal research.46 Jadi jenis penelitian yang dipilih dalam

karya ini, pertama-tama adalah penelitian hukum normatif, dan kedua dilengkapi dengan penelitian hukum empiris, sehingga hukum dapat dicermati secara utuh, baik sebagai nilai, norma, dan perilaku senyatanya.

Pendekatan yang digunakan masing-masing disesuaikan juga dengan masalahnya. Untuk masalah pertama, yaitu dalam mengkaji konsep dan regulasi hak penguasaan dan pemilikan atas tanah-tanah adat akan digunakan model pendekatan perundang-undangan (statute approach). Juga dipergunakan pendekatan sejarah (historical approach).47 Digunakan

pendekatan perundang-undangan, karena disinyalir masih adanya kekosongan norma dan norma yang kabur terutama dalam UUPA terhadap

45Ronny Hanitijo Soemitro. 1983. Metodologi Penelitian Hukum. Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 9 menyebut dengan istilah penelitian hukum doktrinal.

46Ibid. Hal. 15.

47Peter Mahmud Marzuki, 2005. Penelitian Hukum. Cetakan I. Fajar Interpratama. Surabaya. hal. 93.

regulasi, pengakuan dan perlindungan tanah-tanah adat sebagai tanah komunal. Dipergunakannya pendekatan sejarah hukum dalam upaya dapat memahami perjalanan konsep dan regulasi, serta perlindungannya sampai saat ini.

Pendekatan lain yang dianggap cukup relevan adalah pendekatan analitis (analytical approach) yaitu dalam arti untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang- undangan secara tekstual, sekaligus mengetahui kontekstualnya terutama dalam penerapannya melalui praktek dan putusan-putusan hukum.48

Pendekatan ini dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, berusaha memperoleh makna yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan sesuai dengan konteks kekinian. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum. Pendekatan ini juga dipergunakan untuk menganalisis masalah kedua, yaitu terhadap pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak penguasaan dan pemilikan atas tanah-tanah adat di Bali.

Kemudian untuk menganalisis masalah yang ketiga, yaitu dalam mencermati model penyelesaian sengketa, dipergunakan pendekatan antropologi hukum, yaitu dengan pendekatan prosesual,49 termasuk

penerapan norma dalam proses atau penyelesaian sengketa. Selain mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, antropologi hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism)

48Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur. Hal. 98.

49Sulistyowati Irianto, 2005. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologinya”. dalam Pluralisme Hukum sebuiah Pendekatan Interdisiplin. Eds. Riyadi Terre, Didin Surtadin. Cetakan Pertama. Huma. Jakarta. Hal. 56.

dalam masyarakat. Adalah relevan dengan apa yang dinyatakan oleh Roger Cotterrell: We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conseptions of law.50

Pendekatan ini dipilih juga untuk dapat mengetahui latar belakang dibalik terjadinya sengketa. Adalah relevan dengan apa yang dinyatakan Laura Nader and Harry F. Todd, Jr. bahwa: In any society there are alternatives or choices to be made when disputes arise. Anthropology has a large and very good body of cross cultural materials on formally recognized institutions of dispute settlement.51 Artinya di dalam masyarakat manapun

ada aneka pilihan atau alternatif untuk dibuat ketika muncul sengketa. Ilmu antropologi mempunyai suatu bidang yang sangat baik dan luas untuk substansi lintas budaya yang secara formal mengakui institusi penyelesaian sengketa. Di samping itu juga dimaksudkan untuk dapat membedakan komponen-komponen pada proses sengketa, karena memahami kondisi- kondisi yang mendasari lebih baik daripada mencermati konsekuensi- konsekuensi yang mengikutinya.

Dipilihnya pendekatan antropologi hukum ini, didasari atas kenyataan, bahwa masyarakat Indonesia dan kompleksitas kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak), artinya sebagai suatu kondisi di mana dijumpai berbagai subkelompok masyarakat dengan jumlah kurang lebih ada

50Roger Cotterrell. 1995. Law’s Community, Legal Theory in Sociological Perspektive. Oxford, USA. Clarenco Press. P.306.

51Laura Nader and Harry F. Todd, Jr. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia University Press. New York.P. 2.

500 suku bangsa, yang tidak dapat dijadikan satu kelompok satu sama lain. Di samping itu juga bersifat heterogen (aneka ragam) yang mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur- unsurnya, artinya masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta kebudayaannya sungguh-sungguh berbeda.52

Melalui pendekatan antropologi diperoleh gambaran yang sangat kompleks mengenai pluralitas dan heterogenitas dari “masyarakat Indonesia” dan kompleks “kebudayaan Indonesia”, di mana kristalisasinya mula-mula dikemukakan oleh van Vollenhoven pada abad XX yang mengidentifikasi adanya 19 lingkungan hukum adat, yang kemudian dikembangkan menjadi 24 lingkaran hukum adat oleh Ter Haar. Dari konstruksi ini dapat diamati, adanya aneka ragam lingkungan-lingkungan hukum adat di Indonesia.53

Koentjaraningrat dalam hubungan ini menyatakan:

Daripada menipu diri sendiri dan menutup-nutupi realitet suku bangsa itu, sebaiknya kita terima dengan akal sehat dan memupuk kesatuan bangsa kita dengan lebih dahulu mengakui dan menghormati semua variasi kebudayaan yang ada di negara kita itu, dan yang kemudian mencoba pengertian tentang sebanyak mungkin aneka warna manusia dan kebudayaan Indonesia.54

Pernyataan di atas menunjukkan kecenderungan untuk dapat memberikan penghargaan kepada adanya variasi kebudayaan yang di dalamnya ada hukum (adat) dari masing-masing masyarakat hukum adat. Oleh karena itu masalah dalam penelitian akan relevan dikaji dikaitkan dengan konsep pluralisme hukum seperti yang diungkapkan oleh Hooker, yaitu yang berkaitan dengan situasi khusus ketika hukum negara “mengakui”

52Budiono Kusumohamidjojo. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, PT. Grasindo. Jakarta. Hal. 45.

53Ibid. Hal. 47.

beberapa bentuk “hukum adat”. Jadi pendekatan antropologi hukum akan dibarengi dengan pendekatan hukum adat.

Perpaduan pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui “hukum yang hidup”. Di samping itu juga dimaksudkan untuk dapat saling melengkapi, artinya dari antropologi hukum, hukum adat dapat memperoleh masukan mengenai gambaran tentang struktur masyarakat dan faktor sosial budaya yang melatarbelakangi ketentuan hukum adat tersebut. Antropologi hukum dapat memberi penjelasan dari data empiris dengan menganalisis hubungan-hubungan kausal dari fakta, sehingga akhirnya dapat diketahui kedudukan pranata hukum dalam struktur masyarakat. Jadi dalam kegiatan antropologi hukum dapat dipadukan pengetahuan ilmu hukum adat—yang bersifat dogmatis-normatif—dengan kenyataan yang ada.55

Di samping itu dalam menganalisis adanya kompetisi dan sengketa akan dilengkapi dengan pendekatan kasus (case approach),56 dengan

pertimbangan, bahwa informasi yang disampaikan dapat dideskripsikan secara mendalam, lengkap, dan tampak hidup sebagaimana adanya, serta para aktor mendapat tempat untuk memainkan peranannya. Bersifat

grounded, karena berpijak pada kenyataan dan kejadian sebenarnya. Juga bersifat holistis, yaitu berdiri sendiri saling berhubungan, sehingga merupakan satu kesatuan.57 Relevan dengan apa yang dinyatakan Llewellyn

dan Hoebel (1941), yang memandang suatu kasus sebagai alat-alat untuk menemukan "bekerjanya hukum" dalam masyarakat dan "tersedianya

55Valerine Jaqueline Leonore Kriekhoff. 1991. Kedudukan Tanah Dati sebagai tanah adat di Maluku Tengah, suatu kajian dengan memanfaatkan pendekatan antropologi hukum”. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Hal. 57.

56Peter Mahmud Marzuki. 2005. Loc.cit.

57Barda Nawawi Arief. 1994. Perbandingan Hukum Pidana. Cetakan Kedua. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal.6.

perlengkapan administratif„ untuk penanganan mereka.58 Kasus yang

dijadikan objek penelitian berupa putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.59 Di samping itu juga berupa kasus yang

diselesaikan di luar pengadilan melalui proses mediasi.

Digunakan beberapa pendekatan ini didasarkan pada suatu pertimbangan, bahwa penelitian hukum yang bersifat empiris tidak dapat dilakukan tersendiri (ansich) terlepas dari pendekatan normatif atau doktriner.60 Adalah relevan dengan model three approaches yang dinyatakan

Llewellyn dan Hoebel, yaitu pertama ideologi menuju pada "aturan-aturan" yang pasti pada saluran dan kontrol perilaku. Kedua, adalah deskripsi, yaitu menggali pola-pola yang serasi di mama perilaku itu terjadi. Ketiga, mencari suatu pencarian melalui kasus dalam sengketa.61