• Tidak ada hasil yang ditemukan

76 Roscoe Pound 1982 Pengantar Filsafat Hukum Terjem Mohamad Rajab Cetakan Ketiga Bhratara Karya Aksara Jakarta Hal 124.

2.2. Hukum sebagai Sarana Melakukan Rekayasa Sosial

Hukum pada dasarnya dapat melakukan dua fungsi, yaitu: Pertama, sebagai sarana kontrol sosial, yang bertugas menjaga masyarakat agar tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya.82 Menurut fungsinya ini, hukum hanya mempertahankan saja apa

yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo. Kedua, hukum sebagai sarana

“rekayasa sosial”, yang berfungsi untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Jadi hukum digunakan untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata.83

Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) seperti diungkapkan Roscoe Pound yang terkenal sebagai salah satu pendukung aliran Sociological Jurisprudence,84 mengandung

makna bahwa, hukum dijadikan instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan (dalam UU), bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif. Jadi dalam teorinya ini, hukum dipergunakan sebagai alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat. Untuk dapat memenuhi peranannya ini. Pound kemudian membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Kepentingan umum (public interest):

(1) Kepentingan Negara sebagai badan hukum;

(2) Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat; 2. Kepentingan masyarakat (social interest):

(1) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; (2) Perlindungan lembaga-lembaga sosial; (3) Pencegahan kemerosotan akhlak; (4) Pencegahan pelanggaran hak; (5) Kesejahteraan sosial.

3. Kepentingan pribadi (private interest): (1) Kepentingan individu;

(2) Kepentingan keluarga; (3) Kepentingan hak milik.85

83Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa.Bandung. Hal. 117.

84Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 1996. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 129.

85Surya Prakash Sinha. 1993. Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, ST. Paul, Minn, West Publising CO. P. 233.

Menurut Podgorecki yang kemudian direkonseptualisasikan oleh Satjipto Rahardjo, ada empat asas yang sistematis yang harus dilakukan dalam rekayasa sosial (social engineering), yaitu:

1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;

2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting kalau

social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern, dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih;

3. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk dapat dilaksanakan;

4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.86

Pemikiran Pound ini di Indonesia kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang kemudian dikenal dengan mazhab Filsafat Hukum Unpad. Hukum dalam konseptual Mochtar tidak diartikan sebagai

alat” tetapi sebagai “saranapembaharuan masyarakat, yaitu yang dilandasi oleh beberapa pertimbangan, yaitu: (1) bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan (2) bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu. Oleh karena itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Mochtar mengartikan “sarana” lebih

luas daripada “alat” (tool) dengan alasan: (1) di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, yang menempatkan

Yurisprudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih

penting, (2) konseptual hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil

yang tidak jauh berbeda dari jaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan

konseptual seperti itu, dan (3) apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum

Internasional. Konseptual sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konseptual ini diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional. Oleh karena itu diusulkan agar dalam pembangunan hukum Nasional di Indonesia tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan: hendak meneruskan saja tradisi mengambil hukum kolonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan hukum adat sebagai hukum Nasional.

Hukum dalam bentuk UU yang difungsikan sebagai sarana pembaharuan masyarakat menurut Gustav Radbruch, secara ideal seharusnya memenuhi tiga hal, yaitu: Keadilan (Gerechtigheit), kegunaan (Zeckmaessigkeit), dan kepastian (Sicherheit).87 Dalam hubungan ini perlu dicermati pernyataan Bismar Siregar, yaitu: “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu.

Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan”.88

Aristoteles memandang keadilan sebagai kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.89 Kata adil menurutnya mengandung lebih

dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding,

87Radisman F.S. Sumbayak. 1985. Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama. IND-Hill. Co. Jakarta. hal. 25.

88Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 1996. Op.cit. Jakarta. Hal. 154. 89Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 1996. Loc.cit.

yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.90 Hukum dinyatakan mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang apa yang ia berhak menerimanya.91 Anggapan ini

didasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum hanya bertugas membuat keadilan. Adil di sini dibedakan dalam arti distributif dan kumulatif. Keadilan distributif ialah pembagian menurut haknya masing-masing. Sedangkan keadilan kumulatif adalah pembagian yang sama tanpa memperhatikan haknya masing-masing.92

John Rawls, menyebut keadilan sebagai fairness93, di mana subjek

utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Dengan kata lain keadilan sebagai fairness mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.94 Di satu sisi keadilan merupakan

90Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 1996. Loc.cit.

91E. Utrecht. 1960. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Cetakan ke enam. PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar. Jakarta. Hal.24.

92Surojo Wignjodipuro. 1983. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan kelima. PT. Gunung Agung, Jakarta. Hal. 20.

93John Rawls. 1971. A Theory of Justice. The Belknap Press of Harvard Universiy Press. Cambridge, Massachusetts. P. 3.

94E. Fernando M. Manullang. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Hal. 99.

nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak). Sedangkan di sisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).

Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini, diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang teratur. Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut “posisi asali”, yaitu yang ditandai oleh prinsip

kebebasan, rasionalitas, dan kesamaan95 atau yang disebut rasional dan

sama-sama netral. Jadi posisi asali sebagai status quo awal yang menegaskan, bahwa kesepakatan fundamental dicapai secara fair.96 Oleh

karena itu ada tuntutan bahwa struktur sosial dasar harus diatur sedemikian rupa sehingga semua pihak dapat menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia. jadi semua pihak dalam posisi asali adalah setara, artinya orang punya hak yang sama dalam prosedur memilih, mengajukan usul, menyampaikan penalaran atas penerimaan mereka.

Bagi bangsa Indonesia rumusan keadilan dapat dijumpai dalam Sila- Sila Pancasila, seperti dalam Sila kedua yang berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian dalam Sila ke lima yang berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Notohamidjojo dinyatakan, bahwa keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut kepatutan

95Andre Ata Ujan, 2005. Keadilan dan Demokrasi.Telaah Filsafat Politik John Rawls, Cetakan ke-5. Kanisius, Yogyakarta. Hal. 25-26.

kemanusiaan (menselijke waardigheid).97 Pembangunan dan pelaksanaan

pembangunan, tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan dalam arti kepatutan yang wajar atau proporsional. Jadi keadilan berkaitan dengan hak. Hanya saja dalam konseptual keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Seperti sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya dalam masyarakat yang beradab yang dapat menghargai keadilan. Jadi keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada yang meliputi semua bidang, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan.98

Van Kan dalam kaitannya dengan kepastian hukum menyatakan, bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.99 Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu

negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.100

Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam, yaitu kepastian oleh karena hukum dalam arti hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Artinya adanya konsistensi penerapan hukum

97Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Op.cit. Hal. 165. 98Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Op.cit. Hal. 167. 99E. Utrecht,1960. Op.cit, Hal. 25.

untuk semua orang tanpa pandang bulu. Dan kepastian dalam atau diri hukum artinya kepastian dalam hukum tercapai jika hukum itu sebanyak- banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup). Sedangkan Bentham beranggapan bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan apa yang berfaedah (utility) bagi sebagian besar orang (greatest happiness of the greatest number).101

Setelah merdeka konstelasi politik hukum di Indonesia diarahkan pada adanya unifikasi. Namun harus diakui bahwa unifikasi hukum ini belum tuntas karena disparitas masyarakat yang mencerminkan kemajemukan masih sangat kuat. Oleh sebab itu maka akan tampak suatu potret kebutuhan hukum yang berbeda antara apa yang dicantumkan dalam hukum nasional dengan hukum adat.102 Lebih lanjut dinyatakan bahwa

klaim-klaim tentang kesatuan dan persatuan bagi suatu bangsa bukan merupakan kebutuhan nyata bagi masyarakat yang terikat erat dengan budaya dan tradisinya.