• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.4 Hubungan Faktor Dari Luar Tubuh Dengan Tingkat Keracunan

Hasil analisis tata cara pencampuran pestisida pada responden dengan menggunakan uji t independen, pada tabel 5.16 didapatkan hasil tidak ada hubungan antara tata cara pencampuran pestisidan dengan tingkat keracunan pestisida. Pada bahasan ini tidak ditemukan batasan tata cara pencampuran yang baik atau buruk, namun batasan pengkategorian tata cara pencampuran yang baik atau buruk didapatkan dari nilai rata-rata.

Hal ini sama dengan persentase yang didapatkan pada tabel 5.6, responden dengan tata cara pencampuran yang buruk sebanyak 10 orang (31,2%) sedangkan responden dengan tata cara pencampuran yang baik sebanyak 22 orang (68,8%).

Responden dengan tata cara pencampuran pestisida yang baik sebanyak 22 orang, memiliki resiko yang lebih kecil dalam hal terpajan pestisida yang dapat menurunkan kadar kolinesterase dalam darahnya.

Persentase yang didapatkan pada tata cara pencampuran pestisida baik lebih besar dari pada yang berperilaku buruk, serta pengetahuan, sikap dan penggunaan APD mendukung pengurangan jalur masuk pestisida ke dalam tubuh.Sehingga hasil didapatkan tingkat keracunan pada petugas teknisi pest control sedikit.

Tetapi hal ini tidak sejalan dengan Suhenda (2007), dimana hasil uji statistik yang dilakukan diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara tata cara pencampuran pestisida dengan kadar kolinesterase dalam darah teknisi pest control. Sebagaimana telah diketahui bahwa perilaku berupa tindakan nyata yang telah dilakukan seseorang juga ikut dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan.

6.4.2. Frekuensi Penyemprotan

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.7, didapatkan hasil petugas yang melakukan penyemprotan dengan frekuensi setiap hari ada 22 orang.Hasil analisis frekuensi penyemprotan setelah diuji secara statistic dengan menggunakan uji anova, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi penyemprotan dengan aktivitas kolinesterase dalam darah.

Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian menurut Prabowo (2002), tentang frekuensi atau sering tidaknya melakukan penyemprotan ditemukan ada hubungan yang bermakna antara frekuensi penyemprotan dengan aktivitas kolinesterase dalam darah.Frekuensi penyemprotan yang sering memungkinkan untuk meningkatnya frekuensi pemaparan oleh pestisida sehingga peluang terjadinya keracunan akibat paparan dari pestisida juga semakin besar.

Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/Men/1986 Pasal 2 ayat 2a menyebutkan bahwa untuk menjaga efek yang tidak diinginkan, maka dianjurkan supaya tidak melebihi 4 jam per hari dalam seminggu berturut-turut bila menggunakan pestisida. Maka dapat dikatakan semakin sering seseorang bekerja berarti semakin besar kemungkinannya untuk terpapar pestisida dan keracunan pestisida.

6.4.3. Jumlah Jenis Penggunaan Pestisida

Hasil analisis jumlah jenis penggunaan pestisida pada responden dengan menggunakan uji t independen, pada tabel 5.18, didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah jenis penggunaan pestisida dengan penurunan kadar kolinesterase pada petugas teknisi pest control.

Hal ini sesuai dengan persentase yang didapatkan pada tabel 5.8, dengan penggunaan jumlah jenis pestisida lebih dari 2 jenis sebanyak 2

orang dengan persentase 6,2% dan penggunaan jumlah jenis pestisida kurang dari 2 jenis sebanyak 30 orang dengan persentase sebesar 93,8%.

Penggunaan batasan jumlah jenis pestisida didapatkan dari hasil perhitungan median yang didapatkan hasil 2 jenis pestisida.Hal ini dapat di deskripsikan bahwa petugas yang menggunakan lebih dari 2 jenis pestisida dalam sekali penyemprotan sangat rendah dibandingkan dengan yang menggunakan kurang dari 2 jenis pestisida pada saat penyemprotan. Sehingga memiliki resiko paparan atau pajanan pestisida yang lebih kecil dalam hal penurunan kadar kolinesterase dalam darah.

Jenis pestisida yang paling banyak digunakan adalah dari insektisida dari golongan organofosfat (malathion, dichlorvos) dan piretroid (cypermethrin, deltamethrin, imidakloripod, fipronil dan zeta cypermetrin) serta rodentisida. Cara kerja organofosfat yaitu untuk mematikan serangga dengan cara melalui penghambatan enzim asetilkholinesterase pada sistem syaraf serangga antara sel syaraf dengan sel-sel lain termasuk otot. Pada organofosfat penghambatan enzim kolinesterase bersifat tidak bolak balik, pestisida ini pada umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling beracun, keracunan kronis pada pestisida golongan organofosfat dapat berpotensi karsinogenik (kanker) (Djojosumarto, 2008). Sampai saat ini pestisida golongan organofosfat masih merupakan kelompok insektisida yang paling banyak digunakan diseluruh dunia.Sedangkan pestisida golongan piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik yang memiliki pengaruh menjatuhkan serangga dengan cepat

tetapi di alam mudah terurai oleh sinar ultraviolet.Piretrum mempunyai toksisitas yang rendah pada manusia tetapi dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka.

6.4.4. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Petugas pengguna pestisida yang baik adalah teknisi yang menggunakan alat pelindung diri yang telah disyaratkan.Hasil penelitian ini didapatkan terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri pada saat penyemprotan dengan tingkat keracunan. Hasil ini sesusai persentase pada tabel 5.10, teknisi pest control dengan skor tidak sesuai berjumlah 17 orang dengan persentase sebesar 53,1% dan teknisi pest control yang memiliki skor sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri sebanyak 15 orang dengan persentase sebesar 56,2%.

Penelitian yang dilakukan oleh Mwanthi dan Kimani (1993) di Kenya melaporkan bahwa akibat penggunaan pakaian pelindung yang tidak sempurna dapat menyebabkan keracunan. Menurut Nurhayati (1997), menyebutkan bahwa paparan terbesar pada penyemprot pestisida adalah melalui kulit dan tangan. Suroso (2002) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kejadian keracunan pestisida pada petugas pest control yang menggunakan alat pelindung diri secara lengkap dengan yang tidak lengkap. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Achmadi (1987), ternyata petugas pest control yang menggunakan baju

lengan panjang dan celana panjang (lebih tertutup) mendapatkan efek yang lebih rendah disbanding petugas yang berpakaian minim.

Seperti diketahui bahwa masuknya pestisida kedalam tubuh selain melalui kulit dan pernapasan juga melalui mulut atau saluran cerna dimana pestisida masuk kedalam mulut melalui makanan, minuman dan rokok. Dan ini terjadi karena teknisi melakukan kecerobohan misalnya saat setelah bekerja langsung memegang makanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu sehingga pestisida yang menempel ditangan dapat berpindah ke makanan atau tanpa membuka pakaian pelindung, sehingga besar kemungkinan untuk terjadi makanan menempel di pakaian tanpa sengaja dan akhirnya ikut masuk kedalama mulut melalui makanan, minumana atau rokok tersebut.

Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan peraturan tentang penggunaan pakaian pelindung untuk pengelolaan pestisida yaitu Surat Keputusan Menkes RI No. 1350/MENKES/SK/XII/2001 tentang Pengelolaan Pestisida dalam peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa untuk melindungi permukaan kulit dengan menggunakan : sepatu, baju lengan panjang, celana lengan panjang, topi, sarung tangan, pelindung muka dan masker. Pasal 5 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa tenaga penjamah, teknisi atau operator harus memenuhi persyaratan kesehatan dan dalam melaksanakan tugasnya wajib menggunakan perlengkapan pelindung yang aman. Perlengkapan pelindung pestisida

pernapasan (masker), pelindung badan (apron/ baju overall), pelindung tangan (glove), dan pelindung kaki (sepatu).Tetapi dalam prakteknya di lapangan kurang adanya pemantauan tentang penggunaan pakaian pelindung yang aman bagi pekerja pengelola pestisida.

Dokumen terkait