FAKTOR –FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KERACUNAN PESTISIDA BERDASARKAN TOLERANSI TINGKAT KOLINESTERASE PADA TEKNISI PERUSAHAAN PEST CONTROL DI
JAKARTA TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI NIM. 1110101000076
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Maret 2015
MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI, NIM : 1110101000076
Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan
Pest Control Di Jakarta Tahun 2014
xvii + 110 halaman + 19 tabel + 2 gambar
ABSTRAK
Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan untuk digunakan dalam kegiatan pest control. Pestisida dapat masuk melalui kulit, kedalam mulut atau lewat pernapasan. Petugas pest control mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar oleh pestisida. Pemeriksaan kolinesterase dalam serum darah merupakan salah satu cara untuk mengetahui tingkat keracunan dalam darah petugas pest control.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control. Pengukuran dalam penelitian terdiri dari 8 faktor dengan keseluruhan pertanyaan berjumlah 42 item. Ke-8 faktor tersebut, antara lain : (1) umur; (2) tingkat pendidikan; (3) pengetahuan; (4) status gizi; (5) tata cara pencampuran; (6) frekuensi penyemprotan; (7) jumlah jenis pestisida; serta (8) penggunaan APD. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sampelnya berjumlah 42 petugas pest control. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan dua variabel yang terdapat hubungan yang bermakna dengan tingkat keracunan pestisida. Dua variabel tersebut yaitu umur dengan nilai median umur 38,50 tahun, Pvalue sebesar 0,036 dan penggunaan alat pelindung diri yang tidak sesuai sebanyak 17 orang (53,1%), rata-rata kadar kolinesterase sebesar 7548,24 u/l dengan Pvalue sebesar 0,036.
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PROGRAMME STUDY OF PUBLIC HEALTH
SPECIALIZATION OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate Thesis, March 2015
MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI, NIM : 1110101000076
FACTORS ASSOCIATED WITH THE TOXIC PESTICIDES BASED
TOLERANCE CHOLINESTERASE ON TECHNICIANS PEST CONTROL IN
JAKARTA 2014
xvii + 110 pages + 19 tables + 2 pictures
ABSTRACT
Pesticide is a chemical used to kill or control pests. There are more than 200 formulations pesticides in Indonesia who registered and allowed to use in the activities of pest control. Pesticides can enter through the skin, inhalation, or into the mouth.Pest control officers have greater risk to exposed by pesticide. Examination of cholinesterase in the blood serum is one way to determine the level of blood poisoning in the blood pest control officers.
This research is to find out of the factors associated with the toxic pesticides on the technician pest control. The measurement in research consists of eight factor is a total of 42 question. These factors is: (1) age; (2) the level of education: (3) the knowledge; (4) nutrition status; (5) the procedures of mixing; (6) spraying frequency; (7) the number and type of pesticide ; (8) personal protective equipment. This research using a method of cross sectional study. A total of 42 officers pest control. Collection of samples conducted by the total sampling method.
Based on the results of research, obatained two variables that was found meaningful relationship with a level of poisoning pesticides. Two variables are age with a value of median 38,50 years, pvalue 0f 0,036 and the use of a protective personal equipment are not in accordance as many as 17 people (53,1%), the average levels of cholinesterase of 7548,24 u/l with pvalue 0,036.
Key words : Poisoning levels, Cholinesterase, Pesticide
CURRICULUM VITAE
Identitas Pribadi
Nama : Muhamad Febriansyah Akbar Ali TTL : Jakarta, 14 Februari 1992
Alamat Asal : Jl. Raya Bintara No. 4B, Rt 013/ Rw 010 Bintara, Bekasi Barat, Kota Bekasi
Alamat Sekarang : Jl. Raya Bintara No. 4B, Rt 013/ Rw 010 Bintara, Bekasi Barat, Kota Bekasi
Agama : Islam
Gol. Darah : O
Email : febrian.ali.fa@gmail.com
Riwayat Pendidikan
2000 – 2006 : SD Islam Al Azhar 9 Kemang Pratama 2006 – 2008 : SMP Islam Al Azhar 9 Kemang Pratama 2008 – 2010 : SMA Islam Al Azhar 4 Kemang Pratama
2010 – sekarang : S1 – Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Organisasi
2012 – sekarang : Anggota ENVIHSA (Environmental Health Student Association) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Kerja
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah memberikan berbagai nikmat kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada Nabi Muhammad yang telah memberikan umat manusia pencerahan menuju agama Allah, dengan memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kolinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Di Jakarta Tahun 2014”. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr (HC). Dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku pembimbing I Skripsi yang telah memberikan bimbingan serta motivasi, terima kasih atas setiap kebaikan serta tuntunan yang telah diberikan.
4. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D., selaku Pembimbing II Skripsi yang telah memberikan saran dan kemudahan dalam setiap proses bimbingan.
6. Seluruh teknisi pest control serta supervisor pada dua perusahaan pest control di Jakarta, khususnya pak amin dan pak asep, terima kasih telah mau berbagi ilmu dan pengalaman selama berinteraksi ketika penulis melakukan pengumpulan data dan 7. Teman-teman seperjuangan, Fajriatin, Asri, Nida, Fitria, Ana, Wiwid, Anis. Terima
kasih atas semangatnya.
8. Teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat Angkatan 2010 khususnya Kesehatan Lingkungan 2010.
9. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bias penulis tulis satu persatu yang telah memberikan doa serta semangat kepada penulis, senang dapat mengenal dan menjadi bagian dari kalian.
Penulis sadar bahwa dalam –penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga penulis sangat menerima setiap masukan dan saran yang diberikan untuk memperbaiki laporan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan………... 20
2.5 Pencegahan Keracunan Pestisida………... 36
2.5.1 Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)……….……… 36
2.5.2 Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)……… 40
2.5.3 Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)………... 41
2.6 Kerangka Teori………... 42
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL………. 44
3.1 Kerangka Konsep………. 44
3.2 Definisi Operasional………. 47
3.3 Hipotesis………... 50
BAB IV METODE PENELITIAN………. 51
4.1. Desain Penelitian………. 51
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 51
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 52
4.4 Teknik dan Sumber Pengumpulan Data Penelitian……….. 53
4.5 Etika Penelitian……… 54
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas………... 55
4.7 Instrumen Data Penelitian……… 56
4.8 Manajemen Data……….. 59
4.9 Analisis Data……… 60
BAB V HASIL PENELITIAN……… 62
5.1 Gambaran Umum Perusahaan……….. 62
5.2 Analisi Univariat……….. 64
5.2.1 Gambaran Tingkat Keracunan Petugas Teknisi Pest Control…….. 64
5.2.2 Gambaran Umur Petugas Teknisi Pest Control……… 65
5.2.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Petugas Teknisi Pest Control…….. 66
5.2.4 Gambaran Pengetahuan Petugas Teknisi Pest Control………. 67
5.2.5 Gambaran Status Gizi Petugas Teknisi Pest Control……… 67
5.2.6 Gambaran Tata Cara Pencampuran Pestisida Petugas Teknisi Pest Control……….. 68
5.2.7 Gambaran Frekuensi Penyemprotan Pestisida Petugas Teknisi Pest Control……….. 69
5.2.8 Gambaran Jumlah Jenis Pestisida Petugas Teknisi Pest Control…. 70 5.2.9 Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri Petugas Teknisi Pest Control……….. 72
5.3 Analisis Bivariat………... 73
5.3.1 Tes Normalitas Data……….. 73
5.3.2 Gambaran Variabel Umur Dengan Tingkat Keracunan………….... 74
5.3.3 Gambaran Variabel Tingkat Pendidikan Dengan Tingkat Keracunan 75 5.3.4 Gambaran Variabel Pengetahuan Dengan Tingkat Keracunan…….. 76
5.3.5 Gambaran Variabel Status Gizi Dengan Tingkat Keracunan………. 77
5.3.6 Gambaran Variabel Tata Cara Pencampuran Pestisida Dengan Tingkat Keracunan ……… 78
5.3.7 Gambaran Variabel Frekuensi Penyemprotan Dengan Tingkat Keracunan………. 79
5.3.8 Gambaran Variabel Jumlah Jenis Pestisida Dengan Tingkat Keracunan……… 80
5.3.9 Gambaran Variabel Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Tingkat Keracunan……… 81
BAB VI PEMBAHASAN………. 83
6.1 Keterbatasan Penelitian……….... 83
6.2 Tingkat Keracunan Pada Petugas Teknisi Pest Control……….. 83
6.3 Hubungan Faktor Dari Dalam Tubuh Dengan Tingkat Keracunan………. 86
6.3.2 Tingkat Pendidikan……… 87
6.3.3 Pengetahuan………... 88
6.3.4 Status Gizi………. 89
6.4 Hubungan Faktor Dari Luar Tubuh Dengan Tingkat Keracunan………….. 91
6.4.1 Tata Cara Pencampuran Pestisida……….. 91
6.4.2 Frekuensi Penyemprotan……… 92
6.4.3 Jumlah Jenis Pestisida………... 93
6.4.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri………... 95
6.5 Pelatihan Pengamanan Penggunaan Pestisida………... 97
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN………..…….. 99
7.1 KESIMPULAN………. 99
7.2 SARAN………. 100
DAFTAR PUSTAKA………..………... 102
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
3.2 Definisi Operasional 47
4.1 Jumlah Petugas Teknisi Pest Control di Perusahaan Pest Control Tahun 52 2014
4.2 Uji Validitas 56
5.1 Distribusi Kadar Kolinesterase Teknisi Pest Control di Jakarta Tahun 2014 65
5.2 Gambaran Umur Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta Tahun 2014 66
5.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Pada Petugas Teknisi Pest Control di 66 Jakarta Tahun 2014
5.4 Gambaran Pengetahuan Pada Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta 67 Tahun 2014
5.5 Gambaran Status Gizi Pada Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta 68 Tahun 2014
5.6 Gambaran Tata Cara Pencampuran Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest 69 Control di Jakarta Tahun 2014
5.7 Gambaran Frekuensi Penyemprotan Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest 70 Control di Jakarta Tahun 2014
5.8 Gambaran Jumlah Jenis Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest Control di 71 Jakarta Tahun 2014
5.9 Jenis Pestisida yang Digunakan Oleh Petugas Pest Control di Jakarta Tahun 72 2014
5.11 Uji Normalitas Data 74
5.12 Gambaran Kadar Kolinesterase Berdasarkan Umur Pada Teknisi 74 Pest Control di Jakarta Tahun 2014
5.13 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Tingkat Pendidikan 75 Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.14 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Pengetahuan 76 Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.15 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Status Gizi 77 Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.16 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Tata Cara 78 Pencampuran Pestisida Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.17 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Frekuensi 79 Penyemprotan Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.18 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Jumlah 80 Jenis Pestisida Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
5.19 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Alat Pelindung 81 DiriPada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1 Kerangka Teori 43
DAFTAR LAMPIRAN
Permohonan izin pengambilan data Hasil pemeriksaan kholinesterase
Keterangan kalibrasi alat spektrofotometer Kuesioner Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak dan untuk mengontrol sumber – sumber vektor penyakit (Vector-Borne Disease)(Manuaba, 2008). Secara umum pestisida dapat diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan hewan yang dianggap sebagai hama secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001).
Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk digunakan dalam bidang higiene lingkungan dengan ijin sementara maupun tetap (Komisi Pestisida, 1997). Sehubungan dengan sifatnya sebagai biosida yang dapat mematikan jasad hidup, dalam penggunaan pestisida di samping terdapat keuntungan juga terdapat kerugiannya, yaitu dapat menyebabkan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Ma’aruf, 1982).
pestisida dan sekitar 5.000-10.000 mengalami dampak kesehatan seperti kanker, cacat, mandul, dan hepatitis setiap tahunnya.
Di Indonesia, pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun bidang kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan serta untuk membunuh dan mencegah terserangnya tanaman pangan oleh hama pengganggu dan penyakit – penyakit tanaman lainnya (Achmadi, 1983). Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara pengendalian vektor penyakit, terutama pemakaian pestisida di rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh tikus, nyamuk, lalat, kecoa, dan vektor penyakit lainnya. Selain itu juga pestisida memiliki kelebihan yaitu dapat diaplikasikan secara mudah hampir disetiap waktu, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pengendalian vektor penyakit sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk menangani kasus yang sangat mengkhawatirkan penyebarannya (Pohan, 2004).
Keracunan kronik dengan paparan rendah dapat disebabkan oleh adanya pencemaran pestisida dari berbagai sumber seperti residu dalam makanan, sisa badan air, atau pemaparan secara tidak langsung dalam aplikasi pestisida di rumah tangga dan pertanian (Achmadi, 1983).
Penggunaan pestisida yang semakin meningkat tentunya diikuti dengan meningkatnya paparan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi tenaga kerja, khususnya bagi pekerja di bagian penyemprotan hama (Suwarni, 1998). Menurut kementrian pertanian (2011), dampak negatif dari pestisida dapat terjadi secara akut maupun kronik akibat kontaminasi melalui 3 jalur, yaitu kulit (epidermis), pernapasan (inhalation), dan saluran pencernaan (ingestion).
Pestisida golongan organofosfat yangberikatan dengan enzim kolinesterase dalam darah berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Jika kolinesterase terikat, enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga dapat menyebabkan otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Kusnoputranto, 1996).
fosfor sehingga menyebabkan enzim tersebut tidak berfungsi lagi yang mengakibatkan kadarnya dalam darah akan berkurang (Rustia, 2009).
Setiap perusahaan pest control mempunyai dasar kegiatan dan standar operasi masing dalam menerapkan alat pelindung diri bagi masing-masing teknisi pest control tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya terkontaminasi atau keracunan pestisida yang dapat terpapar melalui kulit, saluran pernapasan, mata, dll. Tingkat keracunan pestisida pada setiap orang berbeda-beda, karena sifat racunnya ini pestisida harus diperlakukan dengan hati-hati. Petugas atau teknisi pengendali hama mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar zat kimia beracun yang terkandung didalam pestisida, para penyemprot harus memperhatikan arah angin dan waktu penyemprotan pestisida, ini berpengaruh kepada keefektifan pestisida itu sendiri dalam mengatasi serangan hama. Petugas teknisi juga seharusnya melindungi diri mereka sendiri dengan menggunakan alat pelindung diri berupa masker, kacamata, sarung tangan, dan pelindung kaki (Anies, 2005).
kerusakan syaraf (Parkinson), gangguan perkembangan, gangguan reproduksi, dan kerusakan organ tubuh (Achmadi, 1983).
Enzim kolinesterase merupakan suatu indikator keracunan dalam darah yang bersifat karsinogenik (kanker) jika seseorang telah terpapar oleh racun berbahaya yang terkandung didalam pestisida. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar kolinesterase agar pekerja pest control yang beresiko menyadari tingkat keracunan yang telah dialami (Anies, 2005).
Sampai tahun 2014, di wilayah DKI Jakarta terdapat 75 perusahaan pengendalian hama yang tersebar di lima wilayah di Jakarta dengan tenaga penyemprot lebih dari 700 orang. Tenaga kerja di perusahaan pengendalian hama memiliki risiko keracunan karena pestisida, termasuk keracunan kronik dengan paparan tinggi, sebab kegiatannya mulai dari persiapan, penggunaan sampai pembuangan sisa-sisa pestisida yang telah digunakan. Menurut laporan Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2000), hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 1999-2000 adalah sebagai berikut : tahun 1999 terdapat 100 orang (8,2%) yang kadar kolinesterase dibawah normal dari 1213 orang yang diperiksa, dan pada tahun 2000, ada 57 orang (5,7%) dari 1001 orang yang diperiksa, yang kadar kolinesterasenya dibawah normal.
Bekasi tahun 2005-2007 dari 200 orang petani yang dilakukan pemeriksaan kolinesterase serta survey tentang persepsi, pengetahuan, higiene perorang, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) didapatkan hasil 195 orang mengalami keracunan dan 5 orang lainnya normal.
Hal ini lah yang membuat pemeriksaan pada teknisi pest control harus dilakukan untuk mengetahui apakah mereka mengalami keracunan pestisida atau tidak. Sampai saat ini belum ada data yang didapatkan tentang keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control beserta faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor dari dalam tubuh meliputi umur, tingkat pendidikan, status gizi, pengetahuan dan sikap, serta faktor dari luar tubuh petugas teknisi pest control.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian untuk melihat keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dalam darah petugas pest control belum pernah ada.
1.2.RUMUSAN MASALAH
pestisida dilakukan dengan cara penyemprotan, sehingga memungkinkan butiran-butiran cairan tersebut melayang dan terhirup atau terkena kulit teknisi pest control. Dampak yang akan terjadi apabila terpapar pestisida secara terus-menerus dan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang benar dapat menyebabkan petugas teknisi pest control mengalami berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, serta penyakit lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin meneliti Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Tahun 2014.
1.3.PERTANYAAN PENELITIAN
1. Bagaimana gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi kolinesterase di Jakarta Tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran variabel umur, tingkat pendidikan, pengetahuan,
status gizi,tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014?
1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk Mengetahui tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat Kolinesterase.
1.4.2. TUJUAN KHUSUS
1.Diketahui gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.
2.Diketahui gambaran variable umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, status gizi, tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jumlah jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian keracunan pestisida pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Bagi Program Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan tambahan literatur di bidang kesehatan masyarakat mengenai tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase.
1.5.2. Manfaat Bagi Peneliti
Melatih pola berfikir sistematis dalam menghadapi permasalahan khususnya bidang kesehatan lingkungan serta sebagai aplikasi nyata dari keilmuan yang diperoleh selama di bangku kuliah.
1.5.3. Manfaat Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pelatihan para teknisi pest control dalam evaluasi kegiatan pengawasan dan pelatihan terhadap penggunaan pestisida pada petugas teknisi pest control diseluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan dapat lebih memacu penelitian-penelitian lebih lanjut tentang tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control. Dengan demikian akan tercapai tujuan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
1.6. RUANG LINGKUP
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak dan untuk mengontrol sumber – sumber vektor penyakit (Vector-Borne Disease)(Manuaba, 2008). Secara umum pestisida dapat diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan hewan yang dianggap sebagai hama secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001).
Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk digunakan dalam bidang higiene lingkungan dengan ijin sementara maupun tetap (Komisi Pestisida, 1997). Sehubungan dengan sifatnya sebagai biosida yang dapat mematikan jasad hidup, dalam penggunaan pestisida di samping terdapat keuntungan juga terdapat kerugiannya, yaitu dapat menyebabkan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Ma’aruf, 1982).
pestisida dan sekitar 5.000-10.000 mengalami dampak kesehatan seperti kanker, cacat, mandul, dan hepatitis setiap tahunnya.
Di Indonesia, pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun bidang kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan serta untuk membunuh dan mencegah terserangnya tanaman pangan oleh hama pengganggu dan penyakit – penyakit tanaman lainnya (Achmadi, 1983). Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara pengendalian vektor penyakit, terutama pemakaian pestisida di rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh tikus, nyamuk, lalat, kecoa, dan vektor penyakit lainnya. Selain itu juga pestisida memiliki kelebihan yaitu dapat diaplikasikan secara mudah hampir disetiap waktu, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pengendalian vektor penyakit sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk menangani kasus yang sangat mengkhawatirkan penyebarannya (Pohan, 2004).
Keracunan kronik dengan paparan rendah dapat disebabkan oleh adanya pencemaran pestisida dari berbagai sumber seperti residu dalam makanan, sisa badan air, atau pemaparan secara tidak langsung dalam aplikasi pestisida di rumah tangga dan pertanian (Achmadi, 1983).
Penggunaan pestisida yang semakin meningkat tentunya diikuti dengan meningkatnya paparan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi tenaga kerja, khususnya bagi pekerja di bagian penyemprotan hama (Suwarni, 1998). Menurut kementrian pertanian (2011), dampak negatif dari pestisida dapat terjadi secara akut maupun kronik akibat kontaminasi melalui 3 jalur, yaitu kulit (epidermis), pernapasan (inhalation), dan saluran pencernaan (ingestion).
Pestisida golongan organofosfat yangberikatan dengan enzim kolinesterase dalam darah berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Jika kolinesterase terikat, enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga dapat menyebabkan otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Kusnoputranto, 1996).
fosfor sehingga menyebabkan enzim tersebut tidak berfungsi lagi yang mengakibatkan kadarnya dalam darah akan berkurang (Rustia, 2009).
Setiap perusahaan pest control mempunyai dasar kegiatan dan standar operasi masing dalam menerapkan alat pelindung diri bagi masing-masing teknisi pest control tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya terkontaminasi atau keracunan pestisida yang dapat terpapar melalui kulit, saluran pernapasan, mata, dll. Tingkat keracunan pestisida pada setiap orang berbeda-beda, karena sifat racunnya ini pestisida harus diperlakukan dengan hati-hati. Petugas atau teknisi pengendali hama mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar zat kimia beracun yang terkandung didalam pestisida, para penyemprot harus memperhatikan arah angin dan waktu penyemprotan pestisida, ini berpengaruh kepada keefektifan pestisida itu sendiri dalam mengatasi serangan hama. Petugas teknisi juga seharusnya melindungi diri mereka sendiri dengan menggunakan alat pelindung diri berupa masker, kacamata, sarung tangan, dan pelindung kaki (Anies, 2005).
kerusakan syaraf (Parkinson), gangguan perkembangan, gangguan reproduksi, dan kerusakan organ tubuh (Achmadi, 1983).
Enzim kolinesterase merupakan suatu indikator keracunan dalam darah yang bersifat karsinogenik (kanker) jika seseorang telah terpapar oleh racun berbahaya yang terkandung didalam pestisida. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar kolinesterase agar pekerja pest control yang beresiko menyadari tingkat keracunan yang telah dialami (Anies, 2005).
Sampai tahun 2014, di wilayah DKI Jakarta terdapat 75 perusahaan pengendalian hama yang tersebar di lima wilayah di Jakarta dengan tenaga penyemprot lebih dari 700 orang. Tenaga kerja di perusahaan pengendalian hama memiliki risiko keracunan karena pestisida, termasuk keracunan kronik dengan paparan tinggi, sebab kegiatannya mulai dari persiapan, penggunaan sampai pembuangan sisa-sisa pestisida yang telah digunakan. Menurut laporan Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2000), hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 1999-2000 adalah sebagai berikut : tahun 1999 terdapat 100 orang (8,2%) yang kadar kolinesterase dibawah normal dari 1213 orang yang diperiksa, dan pada tahun 2000, ada 57 orang (5,7%) dari 1001 orang yang diperiksa, yang kadar kolinesterasenya dibawah normal.
Bekasi tahun 2005-2007 dari 200 orang petani yang dilakukan pemeriksaan kolinesterase serta survey tentang persepsi, pengetahuan, higiene perorang, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) didapatkan hasil 195 orang mengalami keracunan dan 5 orang lainnya normal.
Hal ini lah yang membuat pemeriksaan pada teknisi pest control harus dilakukan untuk mengetahui apakah mereka mengalami keracunan pestisida atau tidak. Sampai saat ini belum ada data yang didapatkan tentang keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control beserta faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor dari dalam tubuh meliputi umur, tingkat pendidikan, status gizi, pengetahuan dan sikap, serta faktor dari luar tubuh petugas teknisi pest control.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian untuk melihat keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dalam darah petugas pest control belum pernah ada.
1.2.RUMUSAN MASALAH
pestisida dilakukan dengan cara penyemprotan, sehingga memungkinkan butiran-butiran cairan tersebut melayang dan terhirup atau terkena kulit teknisi pest control. Dampak yang akan terjadi apabila terpapar pestisida secara terus-menerus dan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang benar dapat menyebabkan petugas teknisi pest control mengalami berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, serta penyakit lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin meneliti Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Tahun 2014.
1.3.PERTANYAAN PENELITIAN
1. Bagaimana gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi kolinesterase di Jakarta Tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran variabel umur, tingkat pendidikan, pengetahuan,
status gizi,tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014?
1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk Mengetahui tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat Kolinesterase.
1.4.2. TUJUAN KHUSUS
1.Diketahui gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.
2.Diketahui gambaran variable umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, status gizi, tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jumlah jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian keracunan pestisida pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Bagi Program Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan tambahan literatur di bidang kesehatan masyarakat mengenai tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase.
1.5.2. Manfaat Bagi Peneliti
Melatih pola berfikir sistematis dalam menghadapi permasalahan khususnya bidang kesehatan lingkungan serta sebagai aplikasi nyata dari keilmuan yang diperoleh selama di bangku kuliah.
1.5.3. Manfaat Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pelatihan para teknisi pest control dalam evaluasi kegiatan pengawasan dan pelatihan terhadap penggunaan pestisida pada petugas teknisi pest control diseluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan dapat lebih memacu penelitian-penelitian lebih lanjut tentang tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control. Dengan demikian akan tercapai tujuan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
1.6. RUANG LINGKUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
2.1.1. Definisi Pestisida
Menurut Depkes RI (1991), Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berarti membunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Secara umum
pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk
mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai hama yang
secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan
manusia. Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintan No. 7
Tahun 1973 tentang “Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan
Pestisida” dan Permenkes RI No. 258/Menkes/Per/III/1992 adalah
semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
dipergunakan untuk :
a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak
tanaman, bagian-bagian tanaman dan hasil-hasil pertanian.
b. Memberantas hama air
c. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad
d. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air. Menurut The United States Environment Pesticide Control Act, Pestisida adalah :
a. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, bakteri, dan jasad renik yang dianggap hama. Kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.
b. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman.
2.1.2. Klasifikasi Pestisida
pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya, targetnya atau sasaran, cara kerjanya dan berdasarkan struktur kimianya (Sastroutomo, 1992), yaitu :
1. Berdasarkan atas sifatnya pestisida dapat digolongkan menjadi : bentuk padat, bentuk cair, bentuk asap (aerosol) dan bentuk gas (fumigant).
a. Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga.
b. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma (tumbuhan pengganggu).
c. Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur. d. Algasida berfungsi untuk membunuh alga.
e. Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.
f. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu.
g. Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri.
h. Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput.
i. Nematisida berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup diakar).
j. Termisida berfungsi untuk membunuh rayap. k. Silvisida berfungsi untuk membunuh pohon.
l. Larvasida berfungsi untuk membunuh ulat atau larva. 3. Berdasarkan cara kerja atau efek keracunannya dapat
digolongkan sebagai berikut :
b. Racun perut adalah racun yang membunuh
sasarannya bila pestisida tersebut termakan oleh
hewan yan bersangkutan.
c. Fumigant adalah senyawa kimia yang membunuh
sasarannya melalui saluran pernafasan.
d. Racun sistemik adalah racun yang dapat diisap oleh
tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman itu sendiri
dalam batas waktu tertentu yang dapat membunuh
serangga yang menghisap atau memakan tanaman
tersebut.
4. berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat digolongkan
menjadi golongan organoklorin, golongan organophosfat,
golongan karbamat, dan golongan piretroid.
a. Golongan Organoklorin
Merupakan bagian dari kelas yang lebih luas dari
golongan halogen hydrocarbon, termasuk diantaranya
dan terkenal sebagai penyebab masalah yaitu
Polyclorinated biphenyls dan dioxin.Sebagai
kelompok, insektisida organoklorin merupakan racun
terhadap susunan saraf (neurotoxins) yang merangsang sistem saraf baik padaserangga maupun
mamalia, menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
pertama kali disintetiskan adalah DDT (Dichloro
diphenil dichloroethan)(Prijatno, 2009).
b. Golongan Organofosfat
Pestisida golongan ini makin banyak digunakan
karena sifatnya yang menguntungkan dan bekerja
secara selektif, tidak persisten dalam tanah dan tidak
menyebabkan resisten pada serangga (Sastroasmoro,
2002).Pestisida golongan organofosfat bekerja
dengan cara menghambat aktivitas enzim
kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisis.
Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan
organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang
berlebihan mengakibatkan perangsangan secara
terus-menerus pada system syaraf. Keracunan ini dapat
terjadi melalui mulut, pernapasan dan kulit
(Wudianto, 2008)
c. Golongan Karbamat
Menurut Sartono (2002) pestisida golongan karbamat
merupakan racun kontak, racun perut, dan racun
pernapasan. Bekerja sama seperti golongan
organofosfat, yaitu menghambat aktivitas enzim
kolinesterase. Keracunan yang disebabkan oleh
keracunan organofosfat, tetapi lebih cepat terjadi dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten (Sudarmo, 2007).
d. Golongan Piretroid
Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang menunjukkan daya racun yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat toksik terhadap ikan, tawon madu dan serangga berguna lainnya.
2.1.3. Toksikologi Pestisida
Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, antara lain yaitu pertama melalui kulit yang berlangsung secara terus menerus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga kematian. Ketiga melalui pernafasan, dapat berupa bubuk, droplet atau uap yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada hidung, dan tenggorokan jika terhisap cukup banyak.
a. Mempengaruhi kerja enzim atau hormon
Bahan racun yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida yang masuk dan berinteraksi dengan sel dapat menghambat atau mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin untuk mengikat dan membawa oksigen ke seluruh tubuh.
b. Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotine
Hal ini akan menimbulkan reaksi alergi, atau dapat menciptakan senyawa baru yang lebih beracun.
c. Fungsi detoksikasi hati
Pestisida yang masuk ketubuh akan mengalami proses detoksikasi atau dinetralisir didalam hati. Yang membuat senyawa racun ini diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh.
2.1.3.1. Mekanisme Keracunan Pestisida
A. Toksikokinetik
1.Kontaminasi Melalui Kulit (Absorbsi)
Pestisida yang menempel pada permukaan kulit dapat meresap masuk kedalam tubuh dan menimbulkan keracunan.Kejadian kontaminasi pestisida melalui kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi akibat penyemprot kurang memperhatikan atau tidak melindungi tubuhnya dengan alat pelindung diri. Pestisida yang kontak dengan kulit akan diabsorbsi oleh kulit dan dapat langsung menembuh jaringan epidermis, kemudian akan memasuki kapiler darah dalam kulit sehingga terbawa sampai paru-paru dan organ vital lainnya seperti otak dan otot (Rustia, 2009). Lebih dari 90% kasus didunia disebabkan oleh kontaminasi pestisida melalui kulit. Pestisida akan segera diabsorbsi jika kontak melalui kulit atau mata. Kecepatan absorbsi berbeda pada tiap bagian tubuh.
2.Distribusi
a. Terhisap Lewat Hidung
berbentuk gas atau yang akan membentuk gas, misalnya fumigasi, aerosol serta fogging, terutama aplikasi didalam ruangan, dan aplikasi pestisida berbentuk tepung mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadi keracunan.
b. Masuk kedalam saluran pencernaaan melalui mulut
Peristiwa keracunan lewat mulut merupakan tipe keracunannya yang jarang terjadi akibat tidak kesengajaan. Keracunan lewat mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1) Kasus bunuh diri
2) Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida 3) Menyeka keringat diwajah dengan tangan, lengan baju, atau
sarung tangan yang terkontaminasi pestisida
4) Butiran halus pestisida terbawa angina masuk kedalam mulut 5) Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya
diangkut atau disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam wadah bekas atau kemasan pestisida
6) Kecelakaan khusus, misalnya pestisida disimpan dalam wadah bekas makanan atau disimpan tanpa label sehingga salah ambil.
B. Toksikodinamik
parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada
ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik,
simpangan saraf otot, penghantar sel-sel saraf dan medulla
kelenjar suprarenal (Barile, 2010). Setelah masuk ke dalam tubuh,
golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim
asetilkolinesterase (ACHe), sehingga ACHe menjadi tidak aktif
dan terjadi akumulasi asetilkolim. Enzim tersebut secara normal
menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat
enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan
berikatan dengan reseptor pada sistem saraf pusat dan perifer.Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang
berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.
2.2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan
Hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase dalam darah dapat digunakan
sebagai penegas (konfirmasi) terjadinya keracunan pestisida pada seseorang.
Proses terjadinya keracunan pestisida disebabkan adanya interaksi antara
agen kimia atau Chemical agent, manusia sebagai host dan faktor lingkungan
yang mendukung. Agen kimia yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat
mempunyai berbagai efek pada kesehatan.Terdapat berbagai macam factor
yang menyebabkan aktivitas kolinesterase dalam darah menjadi
rendah.Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida
Menurut Achmadi (2011) ada dua faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida, antara lain :
2.2.1. Faktor dari dalam tubuh (internal) 1. Umur
Aktivitas kolinesterase berbeda antara anak-anak dan orang dewasa diatas umur 20 tahun, baik dalam keadaan terpapar pestisida organofosfat maupun selama bekerja dengan organofosfat.Usia dibawah 20 tahun merupakan kontra indikasi bagi pekerja dengan organofosfat karena dapat menurunkan aktivitas kolinesterase dalam darah sehingga dapat memperberat keracunan yang terjadi. Seseorang dengan bertambah usianya maka kadar rata-rata enzim kolinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida (Labour, 1975 dalam Suhenda, 2007).
2. Jenis Kelamin
menggunakan pestisida karena pada saat wanita mengalami kehamilan kadar rata-rata kolinesterase cenderung turun (Rustia 2009).
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, akan jauh lebih baik pada seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi (Notoatmojo, 2000).
4. Status Gizi
5. Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2007), Pengetahuan merupakan hasil tahu
yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra
manusia yaitu melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Pengetahuan juga dikelompokkan menjadi enam
tingkat yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis
(menyusun formulasi) dan evaluasi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden.Kedalaman pengetahuan yang ingin
diketahui dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatannya
(Notoatmojo, 2007).
6. Sikap
Sikap adalah anggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang
diketahui yang tidak dapat dilihat nyata, tetapi dapat ditafsirkan
sebagai perilaku tertutup. Oleh karena itu sikap masyarakat atau
responden yang kurang tepat mengenai bahaya insektisida
dikarenakan persepsi atau tanggapan yang keliru tentang sesuatu
yang dianggap benar (Sunaryo, 2004).
Menurut Allport yang dikutip dalam Notatmojo (2007), siakp
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu (Notoatmojo, 2007) :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga. 4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab merupakan bentuk sikap yang paling tinggi atas segala yang telah dipilihnya dengan segala resikonya.
dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan jawaban setuju atau tidak setuju terhadap pertanyaan pada objek tertentu (Notoatmojo, 2007).
2.2.2. Faktor dari luar tubuh (eksternal) 1. Tata Cara Pencampuran Pestisida
Semua jenis pestisida adalah bahan kimia beracun, semakin besar dosis maka semakin mempermudah terjadinya keracunan bagi teknisi pest control. Tata cara pencampuran pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida. Cara pencampuran pestisida yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Aturan pemakaian pestisida telah ditentukan oleh produsen atau lembaga penelitian yang berwenang setelah melalui penelitian yang mendalam dan harus ditaati oleh pengguna pestisida (Tugiyo, 2003).
2. Cara Penyimpanan Pestisida
3. Arah Semprot Terhadap Arah Angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot misalnya saat melakukan kegiatan pengasapan (fogging).Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh melenihi 750 m per menit. Petugas yang menyemprotkan pestisida melawan arah angin akan lebih mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit (Rustia, 2009).
4. Frekuensi Penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/Men/1986 Pasal 2 ayat 2a menyebutkan bahwa untuk menjaga efek yang tidak diinginkan, maka dianjurkan supaya tidak melebihi 4 jam per hari dalam seminggu berturut-turut bila menggunakan pestisida.
5. Jumlah dan Jenis Pestisida
Jumlah dan jenis pestisida yang digunakan dalam satu waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan satu jenis pestisida, karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang besar (Tugiyo, 2003).
6. Penggunaan Alat Pelindung Diri
tempat kerja yang mengelola pestsida, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa penggunaan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaan bertujuan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari lingkungan maupun dari lingkungan kerja. Alat pelindung diri berguna untuk mencegah dan mengurangi sakit atau cedera.
Pestisida umumnya adalah racun yang bersifat kontak, oleh karena itu penggunaan alat pelindung diri pada waktu menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida. Jenis-jenis alat pelindung diri tersebut adalah :
1. Alat pelindung kepala berupa pengikat rambut, penutup rambut, dan topi dari berbagai bahan.
2. Alat pelindung mata, berupa goggles, face shield atau masker wajah yang diperlukan untuk melindungi mata dari percikan, partikel melayang, gas-gas, uap, dan debu yang berasal dari pemaparan pestisida.
3. Alat pelindung pernapasan adalah alat yang digunakan untuk melindungi pernapasan berupa respirator atau masker khusus. Alat pelindung pernapasan terdiri dari 2 jenis, yaitu :
B. Respirator berguna untuk melindungi pernapasan dari debu, kabut, uap logam, asap, dan gas. Alat ini dapat dibedakan atas :
a. Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki pernapasan, alat ini pembersihnya berupa filter untuk menangkap debu diudara atau tabung kimia khusus yang dapat menyerap gas, uap dan kabut.
b. Respirator penyalur udara
Memompakan udara yang tidak terkontaminasi secara terus menerus dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang bertekanan udara atau dari persediaan portable (seperti tabung yang berisi oksigen). Jenis ini biasa dikenal SCBA (Self Contained Breathing Appatus) atau alat pernapasan mandiri yang digunakan di tempat kerja yang terdapat gas beracun. 4. Pakaian pelindung badan digunakan untuk melindungi tubuh
dari percikan bahan kimia yang membahayakan.
6. Alat pelindung kaki, biasanya sepatu yang digunakan berupa sepatu yang terbuat dari bahan kedap air, tahan asam, basa atau bahan korosif lainnya, yang melindungi kaki sampai dengan dibawah lutut.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan pada permenkes No. 258/menkes/per/III/1992 tentang persyaratan pengelolaan pestisida, perlengkapan APD minimal harus digunakan berdasarkan jenis pekerjaan dan klasifikasi pestisida khusus penyemprotan di luar gedung, dengan klasifikasi pestisida sebagai berikut :
a. Pestisida cukup berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju, terusan lengan panjang dan celana panjang serta topi/ helm. b. Pestisida berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju terusan
lengan panjang dan celana panjang, topi serta masker.
c. Pestisida sangat berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju terusan lengan panjang dan celana panjang, topi serta masker. d. Pestisida yang sangat berbahaya sekali yaitu dengan sepatu boot, baju terusan lengan panjang dan celana panjang, topi, pelindung muka, masker dan sarung tangan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemakaian alat pelindung diri, yaitu :
b. Setiap perlengkapan alat pelindung diri yang akan digunakan
harus dalam keadaan bersih dan tidak rusak.
c. Jenis perlengkapan yang digunakan minimal sesuai dengan
petunjuk pengamanan yang tertera pada label pestisida
tersebut.
d. Setiap kali selesai digunakan, perlengkapan pelindung diri
harus dicuci dan disimpan ditempat khusus dan bersih.
2.3. Kolinesterase
2.3.1. Pengertian Kolinesterase
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), kolinesterase adalah
suatu bentuk enzim dari katalis biologi didalam jaringan tubuh yang
berperan untuk menjaga otot, kelenjar dan saraf bekerja secara
terorganisir dan harmonis. Acetylcholine merupakan neurohormon
yang terdapat pada ujung syaraf dan otot yang berfungsi meneruskan
rangsangan syaraf ke reseptor sel-sel otot dan kelenjar.Rangsangan
yang timbul terus memerus akibat terganggunya enzim kolinesterase
dapat menyebabkan gangguan pada tubuh.
2.3.2. Jenis – Jenis Kholinesterase
Sekurang-kurangnya ada tiga jenis kolinesterase utama, yaitu
enzim kolinesterase yang terdapat di dalam sinaps, plasma darah dan
merupakan enzim yang ditemukan dalam system syaraf, sedangkan kolinesterase pada plasma darah di produksi di dalam hati (Achmadi,
1987). Kolinesterase dalam darah umumnya digunakan sebagai parameter keracunan pestisida, karena cara ini lebih mudah dibandingkan pengukuran dengan menggunakan kolinesterase dalam
sinaps. Pestisida golongan organofosfat dan karbamat mampu menghambat aktivitas ketiga jenis kolinesterase tersebut (Suhenda,
2007).
2.4. Pest Control
2.4.1. Definisi Pest Control
Pest Control merupakan suatu pekerjaan jasa dalam pengendalian
serangga yang keberadaannya tidak kita kehendaki. Pada kegiatan pest control ini terdiri dari 2 macam serangga yang dikendalikan, yaitu :
a. Serangga bersayap (Flying Insect) seperti nyamuk, lalat, kecoa,
ngengat, dan lain-lain.
b. Serangga merayap (Crawling Insenct) seperti semut, laba-laba,
kelabang, kutu, dan lain-lain.
Serangga-serangga diatas selain dapat mengganggu kenyamanan juga dapat menjadi penular penyakit (Vector borne disease).Oleh
karena itu perlu dilakukan pekerjaan pest control untuk memberantas dan menanggulangi hama atau serangga tersebut.Dalam kegiatan pest
(perindukan), tempat transit atau istirahat, serta tempat mencari makanannya. Kebersihan dan sanitasi yang baik dibutuhkan untuk menekan perkembangbiakannya dan untuk mengendalikan populasi serangga tersebut dapat digunakan insektisida untuk mematikan serangga sasaran. Dengan pemberian dosis yang tepat dalam penggunaan insektisida dapat menjamin keberhasilan yang baik dan mencegah terjadinya resistensi atau kekebalan pada serangga.
2.4.2. Kegiatan Dalam Pest Control
Menurut Kepmenkes RI tahun 2012, menjelaskan bahwa tindakan pengendalian yang biasanya dilakukan dalam kegiatan pest control adalah:
1. Penyemprotan (spraying)
2. Pengembunan (misting)
Pengembunan dalam kegiatan pest control biasanya dilakukan didalam rumah untuk diaplikasikan kepada serangga merayap dan serangga terbang.
3. Pengasapan (fogging)
Pengasapan yang menggunakan mesin fogging dan solar ini bertujuan untuk mengendalikan hama atau serangga pengganggu melalui kontak pestisida langsung dengan serangga dan meninggalkan efek residu pestisida untuk mencegah atau membunuh hama atau serangga pengganggu apabila datang ke area yang telah dilakukan pengasapan. 4. Pengumpanan (baiting)
pengumpanan biasa dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat atau tikus dengan menggunakan bahan kimia berbentuk butiran (granul), cairan, gel, pasta, tabler, bubuk, dan batangan. Bahan kimia aktif pada pestisida yang digunakan biasanya mengandung Azamethiphos 1%.
5. Pemberian bubuk (dusting)
6. Penggasan (fumigation)
Penggasan menggunakan pestisida yang dalam suhu dan
tekanan tertentu berbentuk gas dan dalam konsentrasi serta
waktu tertentu dapat membunuh organisme pengganggu
tumbuhan.
Selain itu tindakan pengendalian juga menggunakan bahan kima
beracun (pestisida) sehingga dalam melakukan kegiatan ini tidak
sembarang orang bisa melakukannya. Petugas atau teknisi pest control
harus dibekali dengan pelatihan dan terdaftar untuk dapat
mengaplikasikan pestisida dengan cara dan dosis yang benar.
Penggunaan pestisida dengan cara dan tata cara pencampuran yang
tidak tepat dapat merusak lingkungan sekitar akibat dari residu bahan
kimia yang ditinggalkan, serta dapat membahayakan kesehatan
masyarakat sekitar jika mencemari tanah, udara atau air dilikungan
masyarakat.
2.4.3. Jenis – Jenis Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun
yang bias mematikan semua jenis serangga (Soemirat, 2003).
Insektisida yang digunakan dalam kegiatan pengendalian hama
berfungsi untuk membasmi, memberantas dan membunuh hama atau
kimia (Komisi Pestisida, 1998). Berikut beberapa kandungan bahan aktif atau zat kimia yang biasa digunakan dalam kegiatan pest control:
1. Dichlorfos berfungsi untuk mengendalikan semua jenis serangga, lebih ramah lingkungan, mudah terurai dan biasa dipakai untuk general treatment bisa diaplikasikan untuk kegiatan fogging, spraying dan pengembunan (ULV). Tetapi dichlorfos biasa digunakan sebagai pilihan terakhir penggunaan insektisida.
2. Cypermethrin berfungsi untuk mengendalikan hama dan serangga berupa kecoa, lalat, nyamuk, laba-laba, dan lipan. Insektisida ini merupakan racun kontak yang menyerang organ pernapasan dan lambung serangga sasarannya.
3. Deltamethrin mempunyai keunggulan yang spesifik terhadap serangga sasarannya dan meninggalkan efek residual yang optimal. Insektisida ini menyerang pernapasan serangga dan dengan tekanan uap yang maksimal mampu menembus spirakel (lubang pernapasan) pada serangga dan mengakibatkan kematian dalam waktu yang cukup singkat.
4. Bromadiolon dan methoprene berfungsi untuk
5. Allethrin berfungsi sebagai pengasapan yang dilakukan
didalam rumah, efektif untuk memutus rantai penularan
DBD.
2.5. Pencegahan Keracunan Pestisida
2.5.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Setiap petugas yang dalam pekerjaannya sering berhubungan
dengan pestisida harus mengenali dengan baik gejala dan tanda
keracunan pestisida.Menurut Depkes (1992), sebagai upaya pencegahan
terjadinya keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan
kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Memilih Pestisida
Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat
penting dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang
berbentuk aerosol jauh lebih berbahaya jika terhirup atau
terkena kontak kulit, hal ini bisa digantikan dengan
penggunaan pestisida berbentuk tablet atau butiran yang
mempunyai kemungkinan kecil untuk melayang. Begitu juga
dengan pestisida yang berbentuk cairan bahaya
pelayangannya lebih kecil jika dibandingkan dengan
pestisida berbentuk tepung. Selain itu yang menjadi
penyemprot, bila menggunakan alat penyemprot pestisida
berbentuk cairan lah yang lebih tepat untuk digunakan
seperti, Emulsible Concentrate (EC), Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP)
2. Alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida
Menurut Wudianto (2007) alat yang digunakan dalam
aplikasi pestisida tergantung dari jenis formulasi yang
digunakan.Pestisida yang berbentuk granula (butiran) tidak
memerlukan alat khusus untuk penyebarannya, cukup
menggunakan ember atau alat lainnya yang bisa menampung
pestisida tersebut. Sedangkan untuk pestisida berwujud
cairan seperti Emulsible Concentrate (EC) dan bentuk tepung
Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP) memerlukan alat penyemprot khusus untuk menyebarkannya.
Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu penyemprot
yaitu penyemprot gendong, pengabut bermotor (Power Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya.Penggunaan alat penyemprot disesuaikan dengan
kebutuhan agar pemakaian pestisida menjadi lebih efektif.
3. Teknik dan Cara Aplikasi
Teknik dan aplikasi ini sangat penting untuk diketahui oleh
pemaparan pestisida terhadap tubuhnya, orang lain, dan lingkungan. Ada beberapa petunjuk dan teknik serta cara
aplikasi pestisida yang diberikan oleh pemerintah, yaitu : 1. Gunakan pestisida yang sudah terdaftar dan sudah
memiliki izin dari Pemerintah RI.
2. Pilih pestisida yang sesuai dengan hama serta jasad sasaran lainnya yang akan dikendalikan, dan jangan
lupa membaca keterangan kegunaan pestisida yang terdapat pada label wadah pestisida.
3. Baca semua petunjuk penggunaan pestisida yang
tercantum dikemasan pestisida sebelum bekerja. 4. Lakukan penakaran, pengenceran atau pencampuran
pestisida ditempat terbuka atau dalam ruangan dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik.
5. Gunakan sarung tangan dan wadah, alat pengaduk,
serta alat penakar khusus untuk pestisida.
6. Gunakan pestisida sesuai dengan takaran yang
dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan takaran yang berlebihan atau kurang dari takaram seharusnya karena dapat mengurangi keefektifannya.
8. Hindarkan pestisida terhirup melalui pernapasan atau terkena kulit, mata, mulut dan pakaian.
9. Jika terdapat luka di kulit, lebih baik luka tersebut ditutup terlebih dahulu untuk menghindari resiko terkena pestisida.
10.Selama menyemprot gunakanlah alat pengaman berupa masker, sarung tangan,sepatu boot, jaket atau baju berlengan panjang.
11. Setelah selesai menyemprot, penyemprot diharuskan mandi menggunakan sabun dan pakaian yang telah digunakan segera dicuci.
12.Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan penyemprotan.
13.Alat penyemprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan.
14.Air bekas cucian sebaiknya dibuang ke lokasi khusus pestisida atau lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai.
4. Tempat menyimpan pestisida
seperti bekas botol plastik air minum dan wadah lainnya
yang tidak diberi label pestisida dapat membahayakan orang
lain jika tidak sengaja terminum atau tumpah. Wadah
pestisida yang sudah tidak digunakan dirusak agar tidak
dimanfaatkan untuk keperluan lain dengan cara mengubur
wadah tersebut jauh dari sumber air.
2.5.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanganan keracunan pestisida penting dilakukan untuk
kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan penderita dari
kematian yang disebabkan oleh keracunan akut. Berikut dapat
dijelaskan cara penanggulangan keracunan pestisida :
1. Bila penderita tak bernafas segera beri nafas buatan.
2. Bila racun tertelan segera lakukan proses pencucian lambung
dengan air dan jika ada berikan penawar racun sesehgera
mungkin.
3. Bila racun kontak dengan kulit, cuci dengan sabun dan air
selama 15 menit.
4. Segera bawa penderita ke rumah sakit terdekat untuk dapat
diberikan perawatan secara medis dan segala aktivitas yang
berhubungan harus dihentikan terlebih dahulu minimal selama 2
2.5.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Upaya yang dilakukan dalam pencegahan keracunan pestisida adalah :
1. Jauhkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian
korban dan cuci atau mandikan korban.
2. Jika terjadi kesulitan bernapas maka korban harus diberikan
pernapasan buatan. Korban di instruksikan agar tetap tenang,
dampak serius tidak terjadi segera dan masih ada waktu untuk
menolong korban.
3. Korban segera dibawa kerumah sakit atau dokter terdekat.
Berikan informasi tentang pestisida apa yang telah memapari
korban sehingga bisa diberikan anti racun yang sesuai dengan
jenis keracunan pestisidanya.
4. Keluarga, rekan kerja, saudara atau orang lain yang berkaitan
dengan korban seharusnya diberi pengetahuan atau
penyuluhan tentang pestisida sehingga jika terjadi keracunan
2.6. Kerangka Teori
Keracunan pestisida ditentukan oleh adanya faktor dari dalam dan
faktor dari luar tubuh yang memungkinkan terjadinya paparan yang
menimbulkan keracunan pestisida. Menurut Achmadi (2011), Notoadmojo
(2010) dan Pratama (2008), faktor resiko dikelompokan menjadi dua yaitu
faktor dari dalam tubuh (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status gizi,
pengetahuan, sikap) dan faktor dari luar tubuh (tata cara pencampuran
pestisida, cara penyimpanan pestisida, arah angin, frekuensi penyemprotan,
jenis pestisida yang digunakan dan penggunaan alat pelindung diri/ APD).
Gambar 2.1. Kerangka Teori