• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor –faktor yang berhubungan dengan tingkat keracunan pestisida berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor –faktor yang berhubungan dengan tingkat keracunan pestisida berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR –FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KERACUNAN PESTISIDA BERDASARKAN TOLERANSI TINGKAT KOLINESTERASE PADA TEKNISI PERUSAHAAN PEST CONTROL DI

JAKARTA TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH :

MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI NIM. 1110101000076

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)
(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Maret 2015

MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI, NIM : 1110101000076

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan

Pest Control Di Jakarta Tahun 2014

xvii + 110 halaman + 19 tabel + 2 gambar

ABSTRAK

Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan untuk digunakan dalam kegiatan pest control. Pestisida dapat masuk melalui kulit, kedalam mulut atau lewat pernapasan. Petugas pest control mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar oleh pestisida. Pemeriksaan kolinesterase dalam serum darah merupakan salah satu cara untuk mengetahui tingkat keracunan dalam darah petugas pest control.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control. Pengukuran dalam penelitian terdiri dari 8 faktor dengan keseluruhan pertanyaan berjumlah 42 item. Ke-8 faktor tersebut, antara lain : (1) umur; (2) tingkat pendidikan; (3) pengetahuan; (4) status gizi; (5) tata cara pencampuran; (6) frekuensi penyemprotan; (7) jumlah jenis pestisida; serta (8) penggunaan APD. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sampelnya berjumlah 42 petugas pest control. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan dua variabel yang terdapat hubungan yang bermakna dengan tingkat keracunan pestisida. Dua variabel tersebut yaitu umur dengan nilai median umur 38,50 tahun, Pvalue sebesar 0,036 dan penggunaan alat pelindung diri yang tidak sesuai sebanyak 17 orang (53,1%), rata-rata kadar kolinesterase sebesar 7548,24 u/l dengan Pvalue sebesar 0,036.

(4)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PROGRAMME STUDY OF PUBLIC HEALTH

SPECIALIZATION OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergraduate Thesis, March 2015

MUHAMAD FEBRIANSYAH AKBAR ALI, NIM : 1110101000076

FACTORS ASSOCIATED WITH THE TOXIC PESTICIDES BASED

TOLERANCE CHOLINESTERASE ON TECHNICIANS PEST CONTROL IN

JAKARTA 2014

xvii + 110 pages + 19 tables + 2 pictures

ABSTRACT

Pesticide is a chemical used to kill or control pests. There are more than 200 formulations pesticides in Indonesia who registered and allowed to use in the activities of pest control. Pesticides can enter through the skin, inhalation, or into the mouth.Pest control officers have greater risk to exposed by pesticide. Examination of cholinesterase in the blood serum is one way to determine the level of blood poisoning in the blood pest control officers.

This research is to find out of the factors associated with the toxic pesticides on the technician pest control. The measurement in research consists of eight factor is a total of 42 question. These factors is: (1) age; (2) the level of education: (3) the knowledge; (4) nutrition status; (5) the procedures of mixing; (6) spraying frequency; (7) the number and type of pesticide ; (8) personal protective equipment. This research using a method of cross sectional study. A total of 42 officers pest control. Collection of samples conducted by the total sampling method.

Based on the results of research, obatained two variables that was found meaningful relationship with a level of poisoning pesticides. Two variables are age with a value of median 38,50 years, pvalue 0f 0,036 and the use of a protective personal equipment are not in accordance as many as 17 people (53,1%), the average levels of cholinesterase of 7548,24 u/l with pvalue 0,036.

Key words : Poisoning levels, Cholinesterase, Pesticide

(5)
(6)
(7)

CURRICULUM VITAE

Identitas Pribadi

Nama : Muhamad Febriansyah Akbar Ali TTL : Jakarta, 14 Februari 1992

Alamat Asal : Jl. Raya Bintara No. 4B, Rt 013/ Rw 010 Bintara, Bekasi Barat, Kota Bekasi

Alamat Sekarang : Jl. Raya Bintara No. 4B, Rt 013/ Rw 010 Bintara, Bekasi Barat, Kota Bekasi

Agama : Islam

Gol. Darah : O

Email : febrian.ali.fa@gmail.com

Riwayat Pendidikan

2000 – 2006 : SD Islam Al Azhar 9 Kemang Pratama 2006 – 2008 : SMP Islam Al Azhar 9 Kemang Pratama 2008 – 2010 : SMA Islam Al Azhar 4 Kemang Pratama

2010 – sekarang : S1 – Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Organisasi

2012 – sekarang : Anggota ENVIHSA (Environmental Health Student Association) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Kerja

(8)

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah memberikan berbagai nikmat kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada Nabi Muhammad yang telah memberikan umat manusia pencerahan menuju agama Allah, dengan memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kolinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Di Jakarta Tahun 2014”. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr (HC). Dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.

3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku pembimbing I Skripsi yang telah memberikan bimbingan serta motivasi, terima kasih atas setiap kebaikan serta tuntunan yang telah diberikan.

4. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D., selaku Pembimbing II Skripsi yang telah memberikan saran dan kemudahan dalam setiap proses bimbingan.

(9)

6. Seluruh teknisi pest control serta supervisor pada dua perusahaan pest control di Jakarta, khususnya pak amin dan pak asep, terima kasih telah mau berbagi ilmu dan pengalaman selama berinteraksi ketika penulis melakukan pengumpulan data dan 7. Teman-teman seperjuangan, Fajriatin, Asri, Nida, Fitria, Ana, Wiwid, Anis. Terima

kasih atas semangatnya.

8. Teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat Angkatan 2010 khususnya Kesehatan Lingkungan 2010.

9. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bias penulis tulis satu persatu yang telah memberikan doa serta semangat kepada penulis, senang dapat mengenal dan menjadi bagian dari kalian.

Penulis sadar bahwa dalam –penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga penulis sangat menerima setiap masukan dan saran yang diberikan untuk memperbaiki laporan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

(10)

DAFTAR ISI

(11)

2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan………... 20

2.5 Pencegahan Keracunan Pestisida………... 36

2.5.1 Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)……….……… 36

2.5.2 Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)……… 40

2.5.3 Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)………... 41

2.6 Kerangka Teori………... 42

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL………. 44

3.1 Kerangka Konsep………. 44

3.2 Definisi Operasional………. 47

3.3 Hipotesis………... 50

BAB IV METODE PENELITIAN………. 51

4.1. Desain Penelitian………. 51

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 51

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 52

4.4 Teknik dan Sumber Pengumpulan Data Penelitian……….. 53

4.5 Etika Penelitian……… 54

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas………... 55

4.7 Instrumen Data Penelitian……… 56

4.8 Manajemen Data……….. 59

4.9 Analisis Data……… 60

BAB V HASIL PENELITIAN……… 62

5.1 Gambaran Umum Perusahaan……….. 62

(12)

5.2 Analisi Univariat……….. 64

5.2.1 Gambaran Tingkat Keracunan Petugas Teknisi Pest Control…….. 64

5.2.2 Gambaran Umur Petugas Teknisi Pest Control……… 65

5.2.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Petugas Teknisi Pest Control…….. 66

5.2.4 Gambaran Pengetahuan Petugas Teknisi Pest Control………. 67

5.2.5 Gambaran Status Gizi Petugas Teknisi Pest Control……… 67

5.2.6 Gambaran Tata Cara Pencampuran Pestisida Petugas Teknisi Pest Control……….. 68

5.2.7 Gambaran Frekuensi Penyemprotan Pestisida Petugas Teknisi Pest Control……….. 69

5.2.8 Gambaran Jumlah Jenis Pestisida Petugas Teknisi Pest Control…. 70 5.2.9 Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri Petugas Teknisi Pest Control……….. 72

5.3 Analisis Bivariat………... 73

5.3.1 Tes Normalitas Data……….. 73

5.3.2 Gambaran Variabel Umur Dengan Tingkat Keracunan………….... 74

5.3.3 Gambaran Variabel Tingkat Pendidikan Dengan Tingkat Keracunan 75 5.3.4 Gambaran Variabel Pengetahuan Dengan Tingkat Keracunan…….. 76

5.3.5 Gambaran Variabel Status Gizi Dengan Tingkat Keracunan………. 77

5.3.6 Gambaran Variabel Tata Cara Pencampuran Pestisida Dengan Tingkat Keracunan ……… 78

5.3.7 Gambaran Variabel Frekuensi Penyemprotan Dengan Tingkat Keracunan………. 79

5.3.8 Gambaran Variabel Jumlah Jenis Pestisida Dengan Tingkat Keracunan……… 80

5.3.9 Gambaran Variabel Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Tingkat Keracunan……… 81

BAB VI PEMBAHASAN………. 83

6.1 Keterbatasan Penelitian……….... 83

6.2 Tingkat Keracunan Pada Petugas Teknisi Pest Control……….. 83

6.3 Hubungan Faktor Dari Dalam Tubuh Dengan Tingkat Keracunan………. 86

(13)

6.3.2 Tingkat Pendidikan……… 87

6.3.3 Pengetahuan………... 88

6.3.4 Status Gizi………. 89

6.4 Hubungan Faktor Dari Luar Tubuh Dengan Tingkat Keracunan………….. 91

6.4.1 Tata Cara Pencampuran Pestisida……….. 91

6.4.2 Frekuensi Penyemprotan……… 92

6.4.3 Jumlah Jenis Pestisida………... 93

6.4.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri………... 95

6.5 Pelatihan Pengamanan Penggunaan Pestisida………... 97

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN………..…….. 99

7.1 KESIMPULAN………. 99

7.2 SARAN………. 100

DAFTAR PUSTAKA………..………... 102

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

3.2 Definisi Operasional 47

4.1 Jumlah Petugas Teknisi Pest Control di Perusahaan Pest Control Tahun 52 2014

4.2 Uji Validitas 56

5.1 Distribusi Kadar Kolinesterase Teknisi Pest Control di Jakarta Tahun 2014 65

5.2 Gambaran Umur Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta Tahun 2014 66

5.3 Gambaran Tingkat Pendidikan Pada Petugas Teknisi Pest Control di 66 Jakarta Tahun 2014

5.4 Gambaran Pengetahuan Pada Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta 67 Tahun 2014

5.5 Gambaran Status Gizi Pada Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta 68 Tahun 2014

5.6 Gambaran Tata Cara Pencampuran Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest 69 Control di Jakarta Tahun 2014

5.7 Gambaran Frekuensi Penyemprotan Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest 70 Control di Jakarta Tahun 2014

5.8 Gambaran Jumlah Jenis Pestisida Pada Petugas Teknisi Pest Control di 71 Jakarta Tahun 2014

5.9 Jenis Pestisida yang Digunakan Oleh Petugas Pest Control di Jakarta Tahun 72 2014

(15)

5.11 Uji Normalitas Data 74

5.12 Gambaran Kadar Kolinesterase Berdasarkan Umur Pada Teknisi 74 Pest Control di Jakarta Tahun 2014

5.13 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Tingkat Pendidikan 75 Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.14 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Pengetahuan 76 Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.15 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Status Gizi 77 Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.16 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Tata Cara 78 Pencampuran Pestisida Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.17 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Frekuensi 79 Penyemprotan Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.18 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Jumlah 80 Jenis Pestisida Pada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

5.19 Gambaran Rata-Rata Kadar Kolinesterase Berdasarkan Alat Pelindung 81 DiriPada Teknisi Pest Control di Jakata Tahun 2014

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

2.1 Kerangka Teori 43

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Permohonan izin pengambilan data Hasil pemeriksaan kholinesterase

Keterangan kalibrasi alat spektrofotometer Kuesioner Penelitian

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak dan untuk mengontrol sumber – sumber vektor penyakit (Vector-Borne Disease)(Manuaba, 2008). Secara umum pestisida dapat diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan hewan yang dianggap sebagai hama secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001).

Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk digunakan dalam bidang higiene lingkungan dengan ijin sementara maupun tetap (Komisi Pestisida, 1997). Sehubungan dengan sifatnya sebagai biosida yang dapat mematikan jasad hidup, dalam penggunaan pestisida di samping terdapat keuntungan juga terdapat kerugiannya, yaitu dapat menyebabkan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Ma’aruf, 1982).

(19)

pestisida dan sekitar 5.000-10.000 mengalami dampak kesehatan seperti kanker, cacat, mandul, dan hepatitis setiap tahunnya.

Di Indonesia, pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun bidang kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan serta untuk membunuh dan mencegah terserangnya tanaman pangan oleh hama pengganggu dan penyakit – penyakit tanaman lainnya (Achmadi, 1983). Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara pengendalian vektor penyakit, terutama pemakaian pestisida di rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh tikus, nyamuk, lalat, kecoa, dan vektor penyakit lainnya. Selain itu juga pestisida memiliki kelebihan yaitu dapat diaplikasikan secara mudah hampir disetiap waktu, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pengendalian vektor penyakit sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk menangani kasus yang sangat mengkhawatirkan penyebarannya (Pohan, 2004).

(20)

Keracunan kronik dengan paparan rendah dapat disebabkan oleh adanya pencemaran pestisida dari berbagai sumber seperti residu dalam makanan, sisa badan air, atau pemaparan secara tidak langsung dalam aplikasi pestisida di rumah tangga dan pertanian (Achmadi, 1983).

Penggunaan pestisida yang semakin meningkat tentunya diikuti dengan meningkatnya paparan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi tenaga kerja, khususnya bagi pekerja di bagian penyemprotan hama (Suwarni, 1998). Menurut kementrian pertanian (2011), dampak negatif dari pestisida dapat terjadi secara akut maupun kronik akibat kontaminasi melalui 3 jalur, yaitu kulit (epidermis), pernapasan (inhalation), dan saluran pencernaan (ingestion).

Pestisida golongan organofosfat yangberikatan dengan enzim kolinesterase dalam darah berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Jika kolinesterase terikat, enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga dapat menyebabkan otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Kusnoputranto, 1996).

(21)

fosfor sehingga menyebabkan enzim tersebut tidak berfungsi lagi yang mengakibatkan kadarnya dalam darah akan berkurang (Rustia, 2009).

Setiap perusahaan pest control mempunyai dasar kegiatan dan standar operasi masing dalam menerapkan alat pelindung diri bagi masing-masing teknisi pest control tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya terkontaminasi atau keracunan pestisida yang dapat terpapar melalui kulit, saluran pernapasan, mata, dll. Tingkat keracunan pestisida pada setiap orang berbeda-beda, karena sifat racunnya ini pestisida harus diperlakukan dengan hati-hati. Petugas atau teknisi pengendali hama mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar zat kimia beracun yang terkandung didalam pestisida, para penyemprot harus memperhatikan arah angin dan waktu penyemprotan pestisida, ini berpengaruh kepada keefektifan pestisida itu sendiri dalam mengatasi serangan hama. Petugas teknisi juga seharusnya melindungi diri mereka sendiri dengan menggunakan alat pelindung diri berupa masker, kacamata, sarung tangan, dan pelindung kaki (Anies, 2005).

(22)

kerusakan syaraf (Parkinson), gangguan perkembangan, gangguan reproduksi, dan kerusakan organ tubuh (Achmadi, 1983).

Enzim kolinesterase merupakan suatu indikator keracunan dalam darah yang bersifat karsinogenik (kanker) jika seseorang telah terpapar oleh racun berbahaya yang terkandung didalam pestisida. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar kolinesterase agar pekerja pest control yang beresiko menyadari tingkat keracunan yang telah dialami (Anies, 2005).

Sampai tahun 2014, di wilayah DKI Jakarta terdapat 75 perusahaan pengendalian hama yang tersebar di lima wilayah di Jakarta dengan tenaga penyemprot lebih dari 700 orang. Tenaga kerja di perusahaan pengendalian hama memiliki risiko keracunan karena pestisida, termasuk keracunan kronik dengan paparan tinggi, sebab kegiatannya mulai dari persiapan, penggunaan sampai pembuangan sisa-sisa pestisida yang telah digunakan. Menurut laporan Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2000), hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 1999-2000 adalah sebagai berikut : tahun 1999 terdapat 100 orang (8,2%) yang kadar kolinesterase dibawah normal dari 1213 orang yang diperiksa, dan pada tahun 2000, ada 57 orang (5,7%) dari 1001 orang yang diperiksa, yang kadar kolinesterasenya dibawah normal.

(23)

Bekasi tahun 2005-2007 dari 200 orang petani yang dilakukan pemeriksaan kolinesterase serta survey tentang persepsi, pengetahuan, higiene perorang, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) didapatkan hasil 195 orang mengalami keracunan dan 5 orang lainnya normal.

Hal ini lah yang membuat pemeriksaan pada teknisi pest control harus dilakukan untuk mengetahui apakah mereka mengalami keracunan pestisida atau tidak. Sampai saat ini belum ada data yang didapatkan tentang keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control beserta faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor dari dalam tubuh meliputi umur, tingkat pendidikan, status gizi, pengetahuan dan sikap, serta faktor dari luar tubuh petugas teknisi pest control.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian untuk melihat keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dalam darah petugas pest control belum pernah ada.

1.2.RUMUSAN MASALAH

(24)

pestisida dilakukan dengan cara penyemprotan, sehingga memungkinkan butiran-butiran cairan tersebut melayang dan terhirup atau terkena kulit teknisi pest control. Dampak yang akan terjadi apabila terpapar pestisida secara terus-menerus dan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang benar dapat menyebabkan petugas teknisi pest control mengalami berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, serta penyakit lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin meneliti Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Tahun 2014.

1.3.PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi kolinesterase di Jakarta Tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran variabel umur, tingkat pendidikan, pengetahuan,

status gizi,tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014?

(25)

1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. TUJUAN UMUM

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk Mengetahui tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat Kolinesterase.

1.4.2. TUJUAN KHUSUS

1.Diketahui gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.

2.Diketahui gambaran variable umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, status gizi, tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jumlah jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian keracunan pestisida pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.

(26)

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Bagi Program Kesehatan Masyarakat

Sebagai bahan tambahan literatur di bidang kesehatan masyarakat mengenai tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase.

1.5.2. Manfaat Bagi Peneliti

Melatih pola berfikir sistematis dalam menghadapi permasalahan khususnya bidang kesehatan lingkungan serta sebagai aplikasi nyata dari keilmuan yang diperoleh selama di bangku kuliah.

1.5.3. Manfaat Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pelatihan para teknisi pest control dalam evaluasi kegiatan pengawasan dan pelatihan terhadap penggunaan pestisida pada petugas teknisi pest control diseluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan dapat lebih memacu penelitian-penelitian lebih lanjut tentang tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control. Dengan demikian akan tercapai tujuan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

1.6. RUANG LINGKUP

(27)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Pestisida merupakan suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak dan untuk mengontrol sumber – sumber vektor penyakit (Vector-Borne Disease)(Manuaba, 2008). Secara umum pestisida dapat diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan hewan yang dianggap sebagai hama secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001).

Terdapat lebih dari 200 formulasi pestisida di Indonesia yang terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk digunakan dalam bidang higiene lingkungan dengan ijin sementara maupun tetap (Komisi Pestisida, 1997). Sehubungan dengan sifatnya sebagai biosida yang dapat mematikan jasad hidup, dalam penggunaan pestisida di samping terdapat keuntungan juga terdapat kerugiannya, yaitu dapat menyebabkan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Ma’aruf, 1982).

(28)

pestisida dan sekitar 5.000-10.000 mengalami dampak kesehatan seperti kanker, cacat, mandul, dan hepatitis setiap tahunnya.

Di Indonesia, pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun bidang kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan serta untuk membunuh dan mencegah terserangnya tanaman pangan oleh hama pengganggu dan penyakit – penyakit tanaman lainnya (Achmadi, 1983). Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara pengendalian vektor penyakit, terutama pemakaian pestisida di rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh tikus, nyamuk, lalat, kecoa, dan vektor penyakit lainnya. Selain itu juga pestisida memiliki kelebihan yaitu dapat diaplikasikan secara mudah hampir disetiap waktu, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pengendalian vektor penyakit sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk menangani kasus yang sangat mengkhawatirkan penyebarannya (Pohan, 2004).

(29)

Keracunan kronik dengan paparan rendah dapat disebabkan oleh adanya pencemaran pestisida dari berbagai sumber seperti residu dalam makanan, sisa badan air, atau pemaparan secara tidak langsung dalam aplikasi pestisida di rumah tangga dan pertanian (Achmadi, 1983).

Penggunaan pestisida yang semakin meningkat tentunya diikuti dengan meningkatnya paparan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi tenaga kerja, khususnya bagi pekerja di bagian penyemprotan hama (Suwarni, 1998). Menurut kementrian pertanian (2011), dampak negatif dari pestisida dapat terjadi secara akut maupun kronik akibat kontaminasi melalui 3 jalur, yaitu kulit (epidermis), pernapasan (inhalation), dan saluran pencernaan (ingestion).

Pestisida golongan organofosfat yangberikatan dengan enzim kolinesterase dalam darah berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Jika kolinesterase terikat, enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga dapat menyebabkan otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Kusnoputranto, 1996).

(30)

fosfor sehingga menyebabkan enzim tersebut tidak berfungsi lagi yang mengakibatkan kadarnya dalam darah akan berkurang (Rustia, 2009).

Setiap perusahaan pest control mempunyai dasar kegiatan dan standar operasi masing dalam menerapkan alat pelindung diri bagi masing-masing teknisi pest control tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya terkontaminasi atau keracunan pestisida yang dapat terpapar melalui kulit, saluran pernapasan, mata, dll. Tingkat keracunan pestisida pada setiap orang berbeda-beda, karena sifat racunnya ini pestisida harus diperlakukan dengan hati-hati. Petugas atau teknisi pengendali hama mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar zat kimia beracun yang terkandung didalam pestisida, para penyemprot harus memperhatikan arah angin dan waktu penyemprotan pestisida, ini berpengaruh kepada keefektifan pestisida itu sendiri dalam mengatasi serangan hama. Petugas teknisi juga seharusnya melindungi diri mereka sendiri dengan menggunakan alat pelindung diri berupa masker, kacamata, sarung tangan, dan pelindung kaki (Anies, 2005).

(31)

kerusakan syaraf (Parkinson), gangguan perkembangan, gangguan reproduksi, dan kerusakan organ tubuh (Achmadi, 1983).

Enzim kolinesterase merupakan suatu indikator keracunan dalam darah yang bersifat karsinogenik (kanker) jika seseorang telah terpapar oleh racun berbahaya yang terkandung didalam pestisida. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar kolinesterase agar pekerja pest control yang beresiko menyadari tingkat keracunan yang telah dialami (Anies, 2005).

Sampai tahun 2014, di wilayah DKI Jakarta terdapat 75 perusahaan pengendalian hama yang tersebar di lima wilayah di Jakarta dengan tenaga penyemprot lebih dari 700 orang. Tenaga kerja di perusahaan pengendalian hama memiliki risiko keracunan karena pestisida, termasuk keracunan kronik dengan paparan tinggi, sebab kegiatannya mulai dari persiapan, penggunaan sampai pembuangan sisa-sisa pestisida yang telah digunakan. Menurut laporan Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2000), hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 1999-2000 adalah sebagai berikut : tahun 1999 terdapat 100 orang (8,2%) yang kadar kolinesterase dibawah normal dari 1213 orang yang diperiksa, dan pada tahun 2000, ada 57 orang (5,7%) dari 1001 orang yang diperiksa, yang kadar kolinesterasenya dibawah normal.

(32)

Bekasi tahun 2005-2007 dari 200 orang petani yang dilakukan pemeriksaan kolinesterase serta survey tentang persepsi, pengetahuan, higiene perorang, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) didapatkan hasil 195 orang mengalami keracunan dan 5 orang lainnya normal.

Hal ini lah yang membuat pemeriksaan pada teknisi pest control harus dilakukan untuk mengetahui apakah mereka mengalami keracunan pestisida atau tidak. Sampai saat ini belum ada data yang didapatkan tentang keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control beserta faktor-faktor yang mempengaruhi yakni faktor dari dalam tubuh meliputi umur, tingkat pendidikan, status gizi, pengetahuan dan sikap, serta faktor dari luar tubuh petugas teknisi pest control.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian untuk melihat keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dalam darah petugas pest control belum pernah ada.

1.2.RUMUSAN MASALAH

(33)

pestisida dilakukan dengan cara penyemprotan, sehingga memungkinkan butiran-butiran cairan tersebut melayang dan terhirup atau terkena kulit teknisi pest control. Dampak yang akan terjadi apabila terpapar pestisida secara terus-menerus dan tanpa menggunakan alat pelindung diri yang benar dapat menyebabkan petugas teknisi pest control mengalami berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, serta penyakit lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin meneliti Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kholinesterase Pada Teknisi Perusahaan Pest Control Tahun 2014.

1.3.PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi kolinesterase di Jakarta Tahun 2014? 2. Bagaimana gambaran variabel umur, tingkat pendidikan, pengetahuan,

status gizi,tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014?

(34)

1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. TUJUAN UMUM

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk Mengetahui tingkat keracunan pestisida pada petugas teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat Kolinesterase.

1.4.2. TUJUAN KHUSUS

1.Diketahui gambaran tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase di Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.

2.Diketahui gambaran variable umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, status gizi, tata cara pencampuran pestisida, frekuensi penyemprotan, jumlah jenis pestisida dan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian keracunan pestisida pada teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014.

(35)

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Bagi Program Kesehatan Masyarakat

Sebagai bahan tambahan literatur di bidang kesehatan masyarakat mengenai tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control berdasarkan toleransi tingkat kolinesterase.

1.5.2. Manfaat Bagi Peneliti

Melatih pola berfikir sistematis dalam menghadapi permasalahan khususnya bidang kesehatan lingkungan serta sebagai aplikasi nyata dari keilmuan yang diperoleh selama di bangku kuliah.

1.5.3. Manfaat Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pelatihan para teknisi pest control dalam evaluasi kegiatan pengawasan dan pelatihan terhadap penggunaan pestisida pada petugas teknisi pest control diseluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dan dapat lebih memacu penelitian-penelitian lebih lanjut tentang tingkat keracunan pestisida pada teknisi pest control. Dengan demikian akan tercapai tujuan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

1.6. RUANG LINGKUP

(36)
(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida

2.1.1. Definisi Pestisida

Menurut Depkes RI (1991), Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berarti membunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Secara umum

pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk

mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai hama yang

secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan

manusia. Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintan No. 7

Tahun 1973 tentang “Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan

Pestisida” dan Permenkes RI No. 258/Menkes/Per/III/1992 adalah

semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang

dipergunakan untuk :

a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak

tanaman, bagian-bagian tanaman dan hasil-hasil pertanian.

b. Memberantas hama air

c. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad

(38)

d. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air. Menurut The United States Environment Pesticide Control Act, Pestisida adalah :

a. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, bakteri, dan jasad renik yang dianggap hama. Kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.

b. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman.

2.1.2. Klasifikasi Pestisida

pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya, targetnya atau sasaran, cara kerjanya dan berdasarkan struktur kimianya (Sastroutomo, 1992), yaitu :

1. Berdasarkan atas sifatnya pestisida dapat digolongkan menjadi : bentuk padat, bentuk cair, bentuk asap (aerosol) dan bentuk gas (fumigant).

(39)

a. Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga.

b. Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma (tumbuhan pengganggu).

c. Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur. d. Algasida berfungsi untuk membunuh alga.

e. Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.

f. Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu.

g. Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri.

h. Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput.

i. Nematisida berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup diakar).

j. Termisida berfungsi untuk membunuh rayap. k. Silvisida berfungsi untuk membunuh pohon.

l. Larvasida berfungsi untuk membunuh ulat atau larva. 3. Berdasarkan cara kerja atau efek keracunannya dapat

digolongkan sebagai berikut :

(40)

b. Racun perut adalah racun yang membunuh

sasarannya bila pestisida tersebut termakan oleh

hewan yan bersangkutan.

c. Fumigant adalah senyawa kimia yang membunuh

sasarannya melalui saluran pernafasan.

d. Racun sistemik adalah racun yang dapat diisap oleh

tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman itu sendiri

dalam batas waktu tertentu yang dapat membunuh

serangga yang menghisap atau memakan tanaman

tersebut.

4. berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat digolongkan

menjadi golongan organoklorin, golongan organophosfat,

golongan karbamat, dan golongan piretroid.

a. Golongan Organoklorin

Merupakan bagian dari kelas yang lebih luas dari

golongan halogen hydrocarbon, termasuk diantaranya

dan terkenal sebagai penyebab masalah yaitu

Polyclorinated biphenyls dan dioxin.Sebagai

kelompok, insektisida organoklorin merupakan racun

terhadap susunan saraf (neurotoxins) yang merangsang sistem saraf baik padaserangga maupun

mamalia, menyebabkan tremor dan kejang-kejang.

(41)

pertama kali disintetiskan adalah DDT (Dichloro

diphenil dichloroethan)(Prijatno, 2009).

b. Golongan Organofosfat

Pestisida golongan ini makin banyak digunakan

karena sifatnya yang menguntungkan dan bekerja

secara selektif, tidak persisten dalam tanah dan tidak

menyebabkan resisten pada serangga (Sastroasmoro,

2002).Pestisida golongan organofosfat bekerja

dengan cara menghambat aktivitas enzim

kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisis.

Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan

organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang

berlebihan mengakibatkan perangsangan secara

terus-menerus pada system syaraf. Keracunan ini dapat

terjadi melalui mulut, pernapasan dan kulit

(Wudianto, 2008)

c. Golongan Karbamat

Menurut Sartono (2002) pestisida golongan karbamat

merupakan racun kontak, racun perut, dan racun

pernapasan. Bekerja sama seperti golongan

organofosfat, yaitu menghambat aktivitas enzim

kolinesterase. Keracunan yang disebabkan oleh

(42)

keracunan organofosfat, tetapi lebih cepat terjadi dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten (Sudarmo, 2007).

d. Golongan Piretroid

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang menunjukkan daya racun yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat toksik terhadap ikan, tawon madu dan serangga berguna lainnya.

2.1.3. Toksikologi Pestisida

Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, antara lain yaitu pertama melalui kulit yang berlangsung secara terus menerus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga kematian. Ketiga melalui pernafasan, dapat berupa bubuk, droplet atau uap yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada hidung, dan tenggorokan jika terhisap cukup banyak.

(43)

a. Mempengaruhi kerja enzim atau hormon

Bahan racun yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida yang masuk dan berinteraksi dengan sel dapat menghambat atau mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin untuk mengikat dan membawa oksigen ke seluruh tubuh.

b. Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotine

Hal ini akan menimbulkan reaksi alergi, atau dapat menciptakan senyawa baru yang lebih beracun.

c. Fungsi detoksikasi hati

Pestisida yang masuk ketubuh akan mengalami proses detoksikasi atau dinetralisir didalam hati. Yang membuat senyawa racun ini diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh.

2.1.3.1. Mekanisme Keracunan Pestisida

(44)

A. Toksikokinetik

1.Kontaminasi Melalui Kulit (Absorbsi)

Pestisida yang menempel pada permukaan kulit dapat meresap masuk kedalam tubuh dan menimbulkan keracunan.Kejadian kontaminasi pestisida melalui kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi akibat penyemprot kurang memperhatikan atau tidak melindungi tubuhnya dengan alat pelindung diri. Pestisida yang kontak dengan kulit akan diabsorbsi oleh kulit dan dapat langsung menembuh jaringan epidermis, kemudian akan memasuki kapiler darah dalam kulit sehingga terbawa sampai paru-paru dan organ vital lainnya seperti otak dan otot (Rustia, 2009). Lebih dari 90% kasus didunia disebabkan oleh kontaminasi pestisida melalui kulit. Pestisida akan segera diabsorbsi jika kontak melalui kulit atau mata. Kecepatan absorbsi berbeda pada tiap bagian tubuh.

2.Distribusi

a. Terhisap Lewat Hidung

(45)

berbentuk gas atau yang akan membentuk gas, misalnya fumigasi, aerosol serta fogging, terutama aplikasi didalam ruangan, dan aplikasi pestisida berbentuk tepung mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadi keracunan.

b. Masuk kedalam saluran pencernaaan melalui mulut

Peristiwa keracunan lewat mulut merupakan tipe keracunannya yang jarang terjadi akibat tidak kesengajaan. Keracunan lewat mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :

1) Kasus bunuh diri

2) Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida 3) Menyeka keringat diwajah dengan tangan, lengan baju, atau

sarung tangan yang terkontaminasi pestisida

4) Butiran halus pestisida terbawa angina masuk kedalam mulut 5) Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya

diangkut atau disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam wadah bekas atau kemasan pestisida

6) Kecelakaan khusus, misalnya pestisida disimpan dalam wadah bekas makanan atau disimpan tanpa label sehingga salah ambil.

B. Toksikodinamik

(46)

parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada

ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik,

simpangan saraf otot, penghantar sel-sel saraf dan medulla

kelenjar suprarenal (Barile, 2010). Setelah masuk ke dalam tubuh,

golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim

asetilkolinesterase (ACHe), sehingga ACHe menjadi tidak aktif

dan terjadi akumulasi asetilkolim. Enzim tersebut secara normal

menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat

enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan

berikatan dengan reseptor pada sistem saraf pusat dan perifer.Hal

tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang

berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

2.2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

Hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase dalam darah dapat digunakan

sebagai penegas (konfirmasi) terjadinya keracunan pestisida pada seseorang.

Proses terjadinya keracunan pestisida disebabkan adanya interaksi antara

agen kimia atau Chemical agent, manusia sebagai host dan faktor lingkungan

yang mendukung. Agen kimia yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat

mempunyai berbagai efek pada kesehatan.Terdapat berbagai macam factor

yang menyebabkan aktivitas kolinesterase dalam darah menjadi

rendah.Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida

(47)

Menurut Achmadi (2011) ada dua faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida, antara lain :

2.2.1. Faktor dari dalam tubuh (internal) 1. Umur

Aktivitas kolinesterase berbeda antara anak-anak dan orang dewasa diatas umur 20 tahun, baik dalam keadaan terpapar pestisida organofosfat maupun selama bekerja dengan organofosfat.Usia dibawah 20 tahun merupakan kontra indikasi bagi pekerja dengan organofosfat karena dapat menurunkan aktivitas kolinesterase dalam darah sehingga dapat memperberat keracunan yang terjadi. Seseorang dengan bertambah usianya maka kadar rata-rata enzim kolinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida (Labour, 1975 dalam Suhenda, 2007).

2. Jenis Kelamin

(48)

menggunakan pestisida karena pada saat wanita mengalami kehamilan kadar rata-rata kolinesterase cenderung turun (Rustia 2009).

3. Tingkat Pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, akan jauh lebih baik pada seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi (Notoatmojo, 2000).

4. Status Gizi

(49)

5. Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2007), Pengetahuan merupakan hasil tahu

yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap

suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra

manusia yaitu melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Pengetahuan juga dikelompokkan menjadi enam

tingkat yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis

(menyusun formulasi) dan evaluasi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subyek

penelitian atau responden.Kedalaman pengetahuan yang ingin

diketahui dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatannya

(Notoatmojo, 2007).

6. Sikap

Sikap adalah anggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang

diketahui yang tidak dapat dilihat nyata, tetapi dapat ditafsirkan

sebagai perilaku tertutup. Oleh karena itu sikap masyarakat atau

responden yang kurang tepat mengenai bahaya insektisida

dikarenakan persepsi atau tanggapan yang keliru tentang sesuatu

yang dianggap benar (Sunaryo, 2004).

Menurut Allport yang dikutip dalam Notatmojo (2007), siakp

(50)

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu (Notoatmojo, 2007) :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga. 4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab merupakan bentuk sikap yang paling tinggi atas segala yang telah dipilihnya dengan segala resikonya.

(51)

dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan jawaban setuju atau tidak setuju terhadap pertanyaan pada objek tertentu (Notoatmojo, 2007).

2.2.2. Faktor dari luar tubuh (eksternal) 1. Tata Cara Pencampuran Pestisida

Semua jenis pestisida adalah bahan kimia beracun, semakin besar dosis maka semakin mempermudah terjadinya keracunan bagi teknisi pest control. Tata cara pencampuran pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida. Cara pencampuran pestisida yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Aturan pemakaian pestisida telah ditentukan oleh produsen atau lembaga penelitian yang berwenang setelah melalui penelitian yang mendalam dan harus ditaati oleh pengguna pestisida (Tugiyo, 2003).

2. Cara Penyimpanan Pestisida

(52)

3. Arah Semprot Terhadap Arah Angin

Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot misalnya saat melakukan kegiatan pengasapan (fogging).Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh melenihi 750 m per menit. Petugas yang menyemprotkan pestisida melawan arah angin akan lebih mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit (Rustia, 2009).

4. Frekuensi Penyemprotan

Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/Men/1986 Pasal 2 ayat 2a menyebutkan bahwa untuk menjaga efek yang tidak diinginkan, maka dianjurkan supaya tidak melebihi 4 jam per hari dalam seminggu berturut-turut bila menggunakan pestisida.

5. Jumlah dan Jenis Pestisida

Jumlah dan jenis pestisida yang digunakan dalam satu waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan satu jenis pestisida, karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang besar (Tugiyo, 2003).

6. Penggunaan Alat Pelindung Diri

(53)

tempat kerja yang mengelola pestsida, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa penggunaan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaan bertujuan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari lingkungan maupun dari lingkungan kerja. Alat pelindung diri berguna untuk mencegah dan mengurangi sakit atau cedera.

Pestisida umumnya adalah racun yang bersifat kontak, oleh karena itu penggunaan alat pelindung diri pada waktu menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida. Jenis-jenis alat pelindung diri tersebut adalah :

1. Alat pelindung kepala berupa pengikat rambut, penutup rambut, dan topi dari berbagai bahan.

2. Alat pelindung mata, berupa goggles, face shield atau masker wajah yang diperlukan untuk melindungi mata dari percikan, partikel melayang, gas-gas, uap, dan debu yang berasal dari pemaparan pestisida.

3. Alat pelindung pernapasan adalah alat yang digunakan untuk melindungi pernapasan berupa respirator atau masker khusus. Alat pelindung pernapasan terdiri dari 2 jenis, yaitu :

(54)

B. Respirator berguna untuk melindungi pernapasan dari debu, kabut, uap logam, asap, dan gas. Alat ini dapat dibedakan atas :

a. Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki pernapasan, alat ini pembersihnya berupa filter untuk menangkap debu diudara atau tabung kimia khusus yang dapat menyerap gas, uap dan kabut.

b. Respirator penyalur udara

Memompakan udara yang tidak terkontaminasi secara terus menerus dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang bertekanan udara atau dari persediaan portable (seperti tabung yang berisi oksigen). Jenis ini biasa dikenal SCBA (Self Contained Breathing Appatus) atau alat pernapasan mandiri yang digunakan di tempat kerja yang terdapat gas beracun. 4. Pakaian pelindung badan digunakan untuk melindungi tubuh

dari percikan bahan kimia yang membahayakan.

(55)

6. Alat pelindung kaki, biasanya sepatu yang digunakan berupa sepatu yang terbuat dari bahan kedap air, tahan asam, basa atau bahan korosif lainnya, yang melindungi kaki sampai dengan dibawah lutut.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan pada permenkes No. 258/menkes/per/III/1992 tentang persyaratan pengelolaan pestisida, perlengkapan APD minimal harus digunakan berdasarkan jenis pekerjaan dan klasifikasi pestisida khusus penyemprotan di luar gedung, dengan klasifikasi pestisida sebagai berikut :

a. Pestisida cukup berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju, terusan lengan panjang dan celana panjang serta topi/ helm. b. Pestisida berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju terusan

lengan panjang dan celana panjang, topi serta masker.

c. Pestisida sangat berbahaya yaitu dengan sepatu kanvas, baju terusan lengan panjang dan celana panjang, topi serta masker. d. Pestisida yang sangat berbahaya sekali yaitu dengan sepatu boot, baju terusan lengan panjang dan celana panjang, topi, pelindung muka, masker dan sarung tangan.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemakaian alat pelindung diri, yaitu :

(56)

b. Setiap perlengkapan alat pelindung diri yang akan digunakan

harus dalam keadaan bersih dan tidak rusak.

c. Jenis perlengkapan yang digunakan minimal sesuai dengan

petunjuk pengamanan yang tertera pada label pestisida

tersebut.

d. Setiap kali selesai digunakan, perlengkapan pelindung diri

harus dicuci dan disimpan ditempat khusus dan bersih.

2.3. Kolinesterase

2.3.1. Pengertian Kolinesterase

Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), kolinesterase adalah

suatu bentuk enzim dari katalis biologi didalam jaringan tubuh yang

berperan untuk menjaga otot, kelenjar dan saraf bekerja secara

terorganisir dan harmonis. Acetylcholine merupakan neurohormon

yang terdapat pada ujung syaraf dan otot yang berfungsi meneruskan

rangsangan syaraf ke reseptor sel-sel otot dan kelenjar.Rangsangan

yang timbul terus memerus akibat terganggunya enzim kolinesterase

dapat menyebabkan gangguan pada tubuh.

2.3.2. Jenis – Jenis Kholinesterase

Sekurang-kurangnya ada tiga jenis kolinesterase utama, yaitu

enzim kolinesterase yang terdapat di dalam sinaps, plasma darah dan

(57)

merupakan enzim yang ditemukan dalam system syaraf, sedangkan kolinesterase pada plasma darah di produksi di dalam hati (Achmadi,

1987). Kolinesterase dalam darah umumnya digunakan sebagai parameter keracunan pestisida, karena cara ini lebih mudah dibandingkan pengukuran dengan menggunakan kolinesterase dalam

sinaps. Pestisida golongan organofosfat dan karbamat mampu menghambat aktivitas ketiga jenis kolinesterase tersebut (Suhenda,

2007).

2.4. Pest Control

2.4.1. Definisi Pest Control

Pest Control merupakan suatu pekerjaan jasa dalam pengendalian

serangga yang keberadaannya tidak kita kehendaki. Pada kegiatan pest control ini terdiri dari 2 macam serangga yang dikendalikan, yaitu :

a. Serangga bersayap (Flying Insect) seperti nyamuk, lalat, kecoa,

ngengat, dan lain-lain.

b. Serangga merayap (Crawling Insenct) seperti semut, laba-laba,

kelabang, kutu, dan lain-lain.

Serangga-serangga diatas selain dapat mengganggu kenyamanan juga dapat menjadi penular penyakit (Vector borne disease).Oleh

karena itu perlu dilakukan pekerjaan pest control untuk memberantas dan menanggulangi hama atau serangga tersebut.Dalam kegiatan pest

(58)

(perindukan), tempat transit atau istirahat, serta tempat mencari makanannya. Kebersihan dan sanitasi yang baik dibutuhkan untuk menekan perkembangbiakannya dan untuk mengendalikan populasi serangga tersebut dapat digunakan insektisida untuk mematikan serangga sasaran. Dengan pemberian dosis yang tepat dalam penggunaan insektisida dapat menjamin keberhasilan yang baik dan mencegah terjadinya resistensi atau kekebalan pada serangga.

2.4.2. Kegiatan Dalam Pest Control

Menurut Kepmenkes RI tahun 2012, menjelaskan bahwa tindakan pengendalian yang biasanya dilakukan dalam kegiatan pest control adalah:

1. Penyemprotan (spraying)

(59)

2. Pengembunan (misting)

Pengembunan dalam kegiatan pest control biasanya dilakukan didalam rumah untuk diaplikasikan kepada serangga merayap dan serangga terbang.

3. Pengasapan (fogging)

Pengasapan yang menggunakan mesin fogging dan solar ini bertujuan untuk mengendalikan hama atau serangga pengganggu melalui kontak pestisida langsung dengan serangga dan meninggalkan efek residu pestisida untuk mencegah atau membunuh hama atau serangga pengganggu apabila datang ke area yang telah dilakukan pengasapan. 4. Pengumpanan (baiting)

pengumpanan biasa dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat atau tikus dengan menggunakan bahan kimia berbentuk butiran (granul), cairan, gel, pasta, tabler, bubuk, dan batangan. Bahan kimia aktif pada pestisida yang digunakan biasanya mengandung Azamethiphos 1%.

5. Pemberian bubuk (dusting)

(60)

6. Penggasan (fumigation)

Penggasan menggunakan pestisida yang dalam suhu dan

tekanan tertentu berbentuk gas dan dalam konsentrasi serta

waktu tertentu dapat membunuh organisme pengganggu

tumbuhan.

Selain itu tindakan pengendalian juga menggunakan bahan kima

beracun (pestisida) sehingga dalam melakukan kegiatan ini tidak

sembarang orang bisa melakukannya. Petugas atau teknisi pest control

harus dibekali dengan pelatihan dan terdaftar untuk dapat

mengaplikasikan pestisida dengan cara dan dosis yang benar.

Penggunaan pestisida dengan cara dan tata cara pencampuran yang

tidak tepat dapat merusak lingkungan sekitar akibat dari residu bahan

kimia yang ditinggalkan, serta dapat membahayakan kesehatan

masyarakat sekitar jika mencemari tanah, udara atau air dilikungan

masyarakat.

2.4.3. Jenis – Jenis Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun

yang bias mematikan semua jenis serangga (Soemirat, 2003).

Insektisida yang digunakan dalam kegiatan pengendalian hama

berfungsi untuk membasmi, memberantas dan membunuh hama atau

(61)

kimia (Komisi Pestisida, 1998). Berikut beberapa kandungan bahan aktif atau zat kimia yang biasa digunakan dalam kegiatan pest control:

1. Dichlorfos berfungsi untuk mengendalikan semua jenis serangga, lebih ramah lingkungan, mudah terurai dan biasa dipakai untuk general treatment bisa diaplikasikan untuk kegiatan fogging, spraying dan pengembunan (ULV). Tetapi dichlorfos biasa digunakan sebagai pilihan terakhir penggunaan insektisida.

2. Cypermethrin berfungsi untuk mengendalikan hama dan serangga berupa kecoa, lalat, nyamuk, laba-laba, dan lipan. Insektisida ini merupakan racun kontak yang menyerang organ pernapasan dan lambung serangga sasarannya.

3. Deltamethrin mempunyai keunggulan yang spesifik terhadap serangga sasarannya dan meninggalkan efek residual yang optimal. Insektisida ini menyerang pernapasan serangga dan dengan tekanan uap yang maksimal mampu menembus spirakel (lubang pernapasan) pada serangga dan mengakibatkan kematian dalam waktu yang cukup singkat.

4. Bromadiolon dan methoprene berfungsi untuk

(62)

5. Allethrin berfungsi sebagai pengasapan yang dilakukan

didalam rumah, efektif untuk memutus rantai penularan

DBD.

2.5. Pencegahan Keracunan Pestisida

2.5.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Setiap petugas yang dalam pekerjaannya sering berhubungan

dengan pestisida harus mengenali dengan baik gejala dan tanda

keracunan pestisida.Menurut Depkes (1992), sebagai upaya pencegahan

terjadinya keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan

kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Memilih Pestisida

Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat

penting dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang

berbentuk aerosol jauh lebih berbahaya jika terhirup atau

terkena kontak kulit, hal ini bisa digantikan dengan

penggunaan pestisida berbentuk tablet atau butiran yang

mempunyai kemungkinan kecil untuk melayang. Begitu juga

dengan pestisida yang berbentuk cairan bahaya

pelayangannya lebih kecil jika dibandingkan dengan

pestisida berbentuk tepung. Selain itu yang menjadi

(63)

penyemprot, bila menggunakan alat penyemprot pestisida

berbentuk cairan lah yang lebih tepat untuk digunakan

seperti, Emulsible Concentrate (EC), Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP)

2. Alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida

Menurut Wudianto (2007) alat yang digunakan dalam

aplikasi pestisida tergantung dari jenis formulasi yang

digunakan.Pestisida yang berbentuk granula (butiran) tidak

memerlukan alat khusus untuk penyebarannya, cukup

menggunakan ember atau alat lainnya yang bisa menampung

pestisida tersebut. Sedangkan untuk pestisida berwujud

cairan seperti Emulsible Concentrate (EC) dan bentuk tepung

Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP) memerlukan alat penyemprot khusus untuk menyebarkannya.

Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu penyemprot

yaitu penyemprot gendong, pengabut bermotor (Power Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya.Penggunaan alat penyemprot disesuaikan dengan

kebutuhan agar pemakaian pestisida menjadi lebih efektif.

3. Teknik dan Cara Aplikasi

Teknik dan aplikasi ini sangat penting untuk diketahui oleh

(64)

pemaparan pestisida terhadap tubuhnya, orang lain, dan lingkungan. Ada beberapa petunjuk dan teknik serta cara

aplikasi pestisida yang diberikan oleh pemerintah, yaitu : 1. Gunakan pestisida yang sudah terdaftar dan sudah

memiliki izin dari Pemerintah RI.

2. Pilih pestisida yang sesuai dengan hama serta jasad sasaran lainnya yang akan dikendalikan, dan jangan

lupa membaca keterangan kegunaan pestisida yang terdapat pada label wadah pestisida.

3. Baca semua petunjuk penggunaan pestisida yang

tercantum dikemasan pestisida sebelum bekerja. 4. Lakukan penakaran, pengenceran atau pencampuran

pestisida ditempat terbuka atau dalam ruangan dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik.

5. Gunakan sarung tangan dan wadah, alat pengaduk,

serta alat penakar khusus untuk pestisida.

6. Gunakan pestisida sesuai dengan takaran yang

dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan takaran yang berlebihan atau kurang dari takaram seharusnya karena dapat mengurangi keefektifannya.

(65)

8. Hindarkan pestisida terhirup melalui pernapasan atau terkena kulit, mata, mulut dan pakaian.

9. Jika terdapat luka di kulit, lebih baik luka tersebut ditutup terlebih dahulu untuk menghindari resiko terkena pestisida.

10.Selama menyemprot gunakanlah alat pengaman berupa masker, sarung tangan,sepatu boot, jaket atau baju berlengan panjang.

11. Setelah selesai menyemprot, penyemprot diharuskan mandi menggunakan sabun dan pakaian yang telah digunakan segera dicuci.

12.Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan penyemprotan.

13.Alat penyemprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan.

14.Air bekas cucian sebaiknya dibuang ke lokasi khusus pestisida atau lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai.

4. Tempat menyimpan pestisida

(66)

seperti bekas botol plastik air minum dan wadah lainnya

yang tidak diberi label pestisida dapat membahayakan orang

lain jika tidak sengaja terminum atau tumpah. Wadah

pestisida yang sudah tidak digunakan dirusak agar tidak

dimanfaatkan untuk keperluan lain dengan cara mengubur

wadah tersebut jauh dari sumber air.

2.5.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Dalam penanganan keracunan pestisida penting dilakukan untuk

kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan penderita dari

kematian yang disebabkan oleh keracunan akut. Berikut dapat

dijelaskan cara penanggulangan keracunan pestisida :

1. Bila penderita tak bernafas segera beri nafas buatan.

2. Bila racun tertelan segera lakukan proses pencucian lambung

dengan air dan jika ada berikan penawar racun sesehgera

mungkin.

3. Bila racun kontak dengan kulit, cuci dengan sabun dan air

selama 15 menit.

4. Segera bawa penderita ke rumah sakit terdekat untuk dapat

diberikan perawatan secara medis dan segala aktivitas yang

berhubungan harus dihentikan terlebih dahulu minimal selama 2

(67)

2.5.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Upaya yang dilakukan dalam pencegahan keracunan pestisida adalah :

1. Jauhkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian

korban dan cuci atau mandikan korban.

2. Jika terjadi kesulitan bernapas maka korban harus diberikan

pernapasan buatan. Korban di instruksikan agar tetap tenang,

dampak serius tidak terjadi segera dan masih ada waktu untuk

menolong korban.

3. Korban segera dibawa kerumah sakit atau dokter terdekat.

Berikan informasi tentang pestisida apa yang telah memapari

korban sehingga bisa diberikan anti racun yang sesuai dengan

jenis keracunan pestisidanya.

4. Keluarga, rekan kerja, saudara atau orang lain yang berkaitan

dengan korban seharusnya diberi pengetahuan atau

penyuluhan tentang pestisida sehingga jika terjadi keracunan

(68)

2.6. Kerangka Teori

Keracunan pestisida ditentukan oleh adanya faktor dari dalam dan

faktor dari luar tubuh yang memungkinkan terjadinya paparan yang

menimbulkan keracunan pestisida. Menurut Achmadi (2011), Notoadmojo

(2010) dan Pratama (2008), faktor resiko dikelompokan menjadi dua yaitu

faktor dari dalam tubuh (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status gizi,

pengetahuan, sikap) dan faktor dari luar tubuh (tata cara pencampuran

pestisida, cara penyimpanan pestisida, arah angin, frekuensi penyemprotan,

jenis pestisida yang digunakan dan penggunaan alat pelindung diri/ APD).

(69)

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Gambar

Gambaran Umum Perusahaan……………………………………………..
Gambaran Umur Petugas Teknisi Pest Control di Jakarta Tahun 2014
gambaran variable
gambaran variable
+7

Referensi

Dokumen terkait

akreditasi baik untuk mahasiswa masuk maupun industri yang menerima alumni PTS.... Hasil survey menunjukkan bahwa pilihan bergeser dari Biaya ke Sarana

Pengelolaan sampah berbasis masyarakat skala kawasan melalui pembangunan dan pengelolaan Unit Pengelolaan Sampah, sangat potensial untuk dijadikan ujung tombak

Hasil penelitian dengan uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa rumah tangga dengan perilaku kesadaran gizi (KADARZI) yang kurang baik berpeluang untuk

Pengawasan penguasaan dan penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil dan penerapan hukum pidana terhadap pihak yang menguasai dan menggunakan senjata api (Studi

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start

Komponen PRC sebagai konsentrat tersuspensi dalam larutan nutrisi aditif, yang mempertahankan dan memperpanjang shelf life PRC, yang memung- kinkan selama 35 hari

Berdasarkan hasil uji F diperoleh bahwa aplikasi bahan organik atau manajemen jerami pada berbagai perlakuan berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada 3-8 MST

Penelitian dalam karya tulis tugas akhir ini berjudul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan