• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya

Pelayanan Medis

1. Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik. 23Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk menyembukna pasien.24

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini

23

Endang Kusumah Astuti, 2003, Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang, hal 3

24

Bahder Johan Nasution,2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta:Rineka Cipta,hal. 11.

dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien.25Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum.26

Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989. Walaupun dalam kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, Namun setidak-tidaknya persoalan telah diatur

25

Endang Kusumah Astuti, Log. Cit

26

secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.27

Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu cirri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul karena adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat.

28

27 Ibid

28

Ibid

Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa.

2. Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien

Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan, seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.29

3. Sahnya Transaksi Terapeutik

Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut:30

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)

Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab

Undang-29

Endang Kusumah Astuti, Op.Cit., hal. 4 30

Djanius Djamin, dan Syamsul Arifin, 1993, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan:Akademi keuangan dan perbankan, hal. 26.

Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.

b. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.31

c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)

Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.

31 Ibid

Kedua belah pihak harus mengetahui secara pasti dan jelas apa yang diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan dokter-pasien, objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter terhadap pasiennya , bukanlah sembuh atau tidaknya pasien.32

d. Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)

Suatu sebab yang halal yaitu suatu sebab yang diizinkan atau lazim, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, ketertiban umum atau masyarakat. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau sebab yang tidak diizinkan, apabila dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.33

4. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent )

Persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi didalam praktik dokter.

Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit persyaratan informed consent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya senantiasa diperoleh persetujuan pasien yang bersangkutan.34

32

Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan zaman, Jakarta:EGC, hal. 31.

33

Ibid

34

Veronica Komalawati, 1999, peran informed consent dalam transaksi terapeutik, Bandung:Citra Aditya Bakti, hal. 103.

Didalam Pasal 2 Peraturan Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa

semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentanng perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.35

Persetujuan tindakan medis bisa dibicarakan dari dua sudut, pertama membicarakan persetujuan tindakan medis dari dari pengertian umum dan kedua membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus. Dalam pelayanan kesehatan sering pengeertian kedua lebih dikenal yaitu persetujuan tindakan medis yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin yang didapat dari pasien atau lebih sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan opertaif atau tindakan invasive yang biasanya mempunyai risiko. Oleh karena itu dulu persetujuan tindakan medis jenis ini sering disebut surat izin operasi, surat persetujuan pasien, surat perjanjian dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh Rumah Sakit atau Dokter yang merancang surat persetujuan atau surat izin operasi ini.36

Dari pandangan dokter atau rumah sakit tujuan dari surat ini adalah agar pasien atau keluarga pasien mengetahui bahwa operasi dan tindakan medis ini harus ditempuh dan dokter telah diberi izin untuk melakukan tindakan tersebut.

37

35

Veronica Komalawati, Op.Cit., hal 104. 36

Amri Amir, DSF, 1997, Bunga rampai hukum kedokteran, Jakarta:Widya Medika, hal. 29.

37

Amri Amir, DSF, Op.Cit., hal 30.

Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka barulah dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka medic lain yang

mengandung risiko, misalnya aortografi. Sebagai lanjutan kepada pasien akan dimintakan untuk menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti persetujuannya. Harus diadakan perbedaan antara:38

a. Persetujuan atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien berdialog dan memperoleh kesepakata, dan

b. Penandatanganan formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan pelaksanaan kelanjutan dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah diperoleh pada waktu dokter memberikan penjelasannya.

Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut:39

a. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan),

b. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang mungkin timbul,

c. Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien, d. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung,

e. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.

38

J. Gunawandi, 1995, persetujuan tindakan medis ( informed consent) ,Jakarta:FK UI, hal. 2.

39

f. Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.

Pernyataan tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan persetujuannya. Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika pasien menyangkal, pasien harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi. Namun jika hanya ditandatangani saja oleh pasien tanpa diberikan informasi yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik kertas itu secara yuridis tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien dianggap belum “informed” sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang sebenarnya. Dengan perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien sebagai mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut.40

a. Bentuk persetujuan tindakan medic

Ada dua bentuk persetujuan tindakan medis yaitu:41 1. Implied Consent (dianggap diberikan)

2. Express Consent (dinyatakan)

Implied consent umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan atau diberikan pasien. Misalnya kalau dokter mau mengatakan mau menginjeksi pasien, dia menyingsingkan lengan baju atau menurunkan celananya. Express Consent dintyatakan secara ;lisan dan dapat pula dinyatakan secara tertulis dalam

40

J. Gunawandi, Log.Cit

41

tindakan medis invasive dan mengendung risiko, dokter sebaiknya mendpatkan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Sebetulnya inilah yang umum dikenal di rumah sakit surat izin operasi.

b. Informasi

Hal lain yang perlu diketahui adalah informasi atau penjelasan apa sebaiknya yang disampaikan kepada pasien sebelum tindakan medis dilakukan. Dalam PermenKes tentang persetujuan tindakan medis hal ini dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikannya kepada pasien diminta atau tidak diminta. Artinya harus disampaikan, informasi itu meliputi :42

c. Persetujuan 1.Diagnose

2.Terapi dan kemungkinan alternative terapi lain

3.Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya

4.Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain 9misalnya gatal-gtal) 5.Risiko

6.Keuntungan terapi 7.Prognosa

Berpedoman kepada PerMenKes tentang persetujuan tindakan medis maka yang menadatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medis yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarganya. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap persiapan mental pasien untuk

42

menerima penjelasan tindakan opersi dan tindakan medis ynang invasive tadi serta keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien.43

d. Saksi

Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa yang menadatanganinya adalah orangtua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (pasal 11 BAB IV PerMenKes No.585).

Mengenai saksi untuk keamanan sebaiknya dalam persetujuan tindakan medis dari kalangan keluarga pasien dan dari kalangan rumah sakit turut serta menadatangani persetujuan ini. Mengenai banyaknya saksi tidak terdapat pedoman, begitu pula dengan hubungan atau kedudukan saksi. Dalam konsep yang diajukan, jumlah saksi sebanyak 2 orang dengan pertimbangan satu mewakili pihak pasien dan satu lagi mewakili pihak dokter atau rumah sakit.44

Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat memperdaya,

43

Amri Amir, DSF, Op.Cit.,hal. 34. 44

menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. 45

Ada sebagian dokter menganggap bahwa informed consent merupakan sarana yang dapat membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan seperti ini keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman yang memadai dari pihak yang memberikan informasi.

46

Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama dokter, memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi jasa. Hubungan antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Namun perlu disadari bahwa dokter tidak bisa disamakan dengan pemberi/penjualan jasa pada umumnya. Hubungan ini terjadi pada saat pasien mendatangi dokter/pada saat pasien bertemu dengan dokter dan

45

Endang Kusumah Astuti, Op.Cit.,hal. 8. 46

dokter pun memberikan pelayanan maka sejak itulah terjadi suatu hubungan hukum.47

Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum dokter adalah partner dari pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien mempunyai hak dan kewajiban teertentu seperti halnya dokter.

Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha (

Inspannings-verbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya dokter berusaha untuk

mnyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, sepanjang dalam melakukannya dokter telah mematuhi standart profesi dan menghormati hak-hak pasien.

48

Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut:49

1.Hak pasien atas perawatan

47

Syafitri Haryani,2005, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Antara Dokter Dengan Pasien,Jakarta:Diadit Media,hal. 10.

48

Chrisdiono M. Achadiat,Op.Cit., hal. 2. 49

2.Hak untuk menolak cara perawatan tertentu

3.Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien

4.Hak Informasi

5.Hak untuk menolak perawatan tanpa izin

6.Hak atas rasa aman

7.Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan

8.Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan

9.Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights.

10.Hak pasien menggugat atau menuntut

11.Hak pasien mengenai bantuan hukum

12.Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.

Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:50

1. Kewajiban memberikan informasi medis

50

2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan

3. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada kesehatan

4. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan

5. Kewajiban memberikan imbalan jasa

6. Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya

Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut:51

1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik. 2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya

kepada pasien.

3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.

4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.

5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dari pasien atau keluarganya. Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut:52

51

1. kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman.

2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.

3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut.

4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik

5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas perikemanusiaan.

B. Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien

Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien. Antara lain adalah:53

52

Y.A Triana Ohoiwutun, 2007, bunga rampai hukum kedoteran, Malang:BayuMedia Publishing, hal. 17.

53

Endang kusumah Astuti, Op.Cit.,hal. 83.

Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983.

Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54

Berikut diajukan beberapa contoh :

Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran.

55

1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.

a.Pelanggaran etik murni

Dokumen terkait