• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat120

Setiap tindakan medic selalu mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medic, dapat saja menimbulkan risiko yang besar, sehingga dapat saja pasien menderita kerugian. Dalam hal terjadi risiko baik yang dapat diprediksi maupun Tindak pidana yang diatur didalam undang-undang ini diatur pada Pasal 37 yakni perihal Perawat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 31 ayat (1) serta Pasal 38 terhadap perawat yang dengan sengaja :

a. melakukan praktik keperawatan tanpa mendapat pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;

b. melakukan praktik keperawatan tanpa izin

c. melakukan praktik keperawatan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan/atau

d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

B. Pertanggung Jawaban Pidana Di Bidang Medis

120

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat

tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab dokter dapat dimintakan apaila dokter telah berbuat kesalahan/kelalaian, meskipun tidak ada seorang dokter yang waras sengaja membuat kesalahan. 121

Pembuktian tentang ada atau tidaknya kesalahan/kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter merupakan syarat utama untuk mempertanggung jawabkan pelayanan kesehatan yang telah dilakukannya. Doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dengan mudah dapat membuktikan tentang adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Doktrin Res Ipsa Loquitor menurut Sofwan Dahlan hanya dapat diterapkan apabila fakta yang terjadi memenuhi sebagai berikut:122

1. Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter lalai

2. Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggungjawab dokter 3. Pasien tidak ikut berperan dalam timbulnya fakta itu

Doktrin Res Ipsa Loquitor hanya diterapkan jika fakta yang terjadi secara nyata berdasarkan pengetahuan umum bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi jika tidak ada kecerobohan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, misalnya gunting, kain kasa, jarum suntik dan sebagainya yang ternyata tertinggal didalam perut pasien pasca operasi yang berada dibawah pengawasan dan tanggung jawab

121121

Willa Chandrawila Supriadi, Op.Cit., hal 30

122

dokter sehingga dapat disimpulkan secara jelas tentang adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter.123

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan dengan timbulnya kerugian (harm) yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggung jawaban pidana atau criminal liability. Pertanggungjawaban pidana dengan mengedepankan dan menetapkan pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan agar pelaku tindak pidana dapat dipertanggung jawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain. Dapat dipertanggung jawabkannya subjek hukum pidana tersebut tentunya akan memberikan deterren effect untuk tidak melakukan tindak pidana, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana dan secara langsung mencegah adanya korban tindak pidana dikemudian hari.124

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk

123

Ibid., hal 56

124

melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).125

Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada focus tindak pidana tersebut. Focus tindak pidana bisa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada sebab/kausa dari tindak pidana. Dalam tindak pidana medis (criminal malpractice) pertanggungjawaban pidananya harus dapat dibuktikan tentang adanya kesalahan professional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara pengobatan atau perawatan. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat. Untuk lebih jelasnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penjatuhan pidana akan diuraikan sebagai berikut:126

1. Perbuatan Dilakukan Oleh Subjek Hukum (Manusia atau Badan hukum) Perbuatan pidana dapat dilakukan, baik oleh manusia alamiah (natuurlijke

person) maupun badan hukum (rechts person). Pelaku tindak pidana tentunya

dapat dituntut untuk mempertanggung jawabkan menurut hukum pidana. Ada perbedaan bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan antara manusia alamiah dengan badan hukum. Hal ini juga berlaku dalam praktik pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan maupun fasilitas sarana pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang tidak berbentuk badan hukum, pertanggung jawaban pidananya dilakukan secara perseorangan, baik secara sendiri-sendiri,

125

Ida Keumala Jeumpa, Penegakan Hukum Terhadap Dugaan Tindak Pidana Malpraktik Medik,hal 7

126

maupun secara bersama (dalam bentuk penyertaan), sementara itu, apabila sarana pelayanan kesehatan berbentuk badan hukum yang terbukti melakukan tindak pidana maka dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

2. Ada Kesalahan

Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela yang pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan yang bersifat melawan hukum. Menurut Jonkers didalam keterangan tentang schuldbegrip membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu:127

a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld) b. Meliputi sifat melawan hukum (de wedwrrechtelijkheid) c. Dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid)

Kesalahan dalam tindak pidana medis pada umumnya terjadi karena kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal ini dapat terjadi karena dokter melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Dalam hukum pidana, penentuan atas kesalahan seseorang didasarkan pada hal-hal berikut:128

1. Keadaan batin orang yang melakukan perbuatan yang berbentukkesengajaan atau kealpaan, dalam hal ini disyaratkan bahwa disadari atau tidak perbuatan pelaku dilarang oleh undang-undang.

2. Tentang kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan

127

Bambang Poernomo, Op.Cit., hal 136

128

3. Tentang tidak adanya alasan penghapus kesalahan/pemaaf

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi dokter berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culva levis). Penentuan tentang ada atau tidaknya kelalaian dalam pelaksanaan pelayanan medis harus dilihat dari luar yakni bagaimana seharusnya dokter melakukan tindakan medis dengan ukuran sikap dan tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam situasi dan kondisi yang sama serta dengan kemampuan medis dan kecermatan yang sama. Dengan demikian, penentuan tingkat kesalahan tentang ada atau tidaknya kelalaian dokter harus dibedakan antara lain:.129

1. Masa kerja dokter dengan kemampuan rata-rata 2. Dokter umum dengan dokter ahli

3. Fasilitas sarana kesehatan yang tersedia pada waktu dilakukannya tindakan medis

4. Factor-faktor penunjang lain yang berpengaruh dalam tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter

Kelalaian tidak termasuk pelanggaran hukum apabila tidak merugikan atau mencederai orang lain dan orang lain itu dapat menerimanya. Ketentuan tersebut berdasarkan kepada doktrin hukum de minimus non curat lex (hukum tidak mencampuri hal-hal yang bersifat spele). Jika kelalaian mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau mengakibatkan matinya orang lain, maka perbuatan

129

tersebut diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata). Tolok ukur culpa lata menurut M. Jusup Hanafizah adalah:130

1. Bertentangan dengan hukum 2. Akibatnya dibayangkan 3. Akibatnya dapat dihindarkan 4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Penentuan secara normative tentang ada atau tidaknya kelalaian atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus ditinjau secara cermat dan teliti kasus per kasus. Hakim yang memegang peranan kunci dalam menentukan secara in concreto tentang ada atau tidaknya kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter. Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medic, dikatakan telah melakukan kesalahan/kelalaian. Kesalahan/ kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan selain dapat dituntut secara hukum pidana, kalau memenuhi unsur-unsur hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secaraperdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan dalam bidang hukum pidana, hanya dapat dituntut dalam hal pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia dalam arti terjadi apa yang dikenal dengan culpa lata, tetapi gugatan secara perdata, dapat saja dilakukan kalau pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan yang kecil.131

130

Ibid 131

Willa Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung : Mandar Maju, hal 43

Kelalaian bukanlah suatu kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya (de minimus non curat lex=hukum tidak mengurusi hal-hal sepele),tapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata) yang tolok ukurnya adalah bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatannya dapat dipersalahkan.Terhadap akibat seperti ini adalah wajar jika si pembuatnya di hukum.132

4. Perbuatan yang Dilakukan Bersifat Melawan Hukum

Melawan hukum dalam hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda wederrechtelijke; sedangkan dalam hukum perdata merupakan terjemahan dari onrechtmatigedaad. Dalam perkembangannya, terjemahan antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dengan perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata tidak diperdebatkan lebih lanjut. Sifat melawan hukum dari perbuatan menurut hukum pidana tidak selalu dirumuskan dalam ketentuan undang-undang. Tanda sifat melawan hukum dapat dilihat dari kelakuan atau keadaan tetentu, atau akibat tetentu yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Ada dua ajaran sifat melawan hukum:

1. Sifat melawan hukum formil, artinya perbuatan yang dilakukan telah memenuhi semua unsur yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang dan

132

diancam dengan sanksi pidana, sedangkan sifat melawan hukum tersebut dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang juga.

2. Sifat melawan hukum materiil, artinya perbuatan yang disyaratkan memenuhi rumusan undang-undang dan perbuatan dirasakan tidak patut atau tercela oleh masyarakat (yang berbentuk tidak tertulis).

Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.

Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajiban (wanprestasi). 133 Perbuatan dalam pelayanan/perlakuan medis dokter yang dapat dipersalahkan pada pembuatnya harus mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum yang timbul disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain:134

a. Dilanggarnya standar profesi kedokteran b. Dilanggarnya standar prosedur operasional

133

Ida kusuma, Op.Cit., hal 10

134

c. Dilanggarnya hukum, misalnya praktik tanpa Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

d. Dilanggarnya kode etik kedokteran

e. Dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran f. Dilanggarnya kesusilaan umum

g. Praktik kedokteran tanpa Informed Consent

h. Terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien

i. Terapi tidak sesuai dengan Informed Consent, dan lain sebagainya 5. Pembuat/ Pelaku Mampu Bertanggungjawab

Seseorang dinyatakan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya apabila jiwanya sehat, yaitu:135

a. Dapat menginsafi makna senyatanya dari perbuatannya

b. Perbuatan yang dilakukan dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat c. Mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan

tersebut

Arti kemapuan bertanggung jawab banyak dipergunakan kepada ilmu pengetahuan. Van hamel mengadakan tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab yaitu:136

a. Bahwa orang itu mapu untuk menginsyafi arti perbutanny dalam hal makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri

135

Ibid

136

b. Bahwa orang mampu untuk menginsyafi perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat

c. Bahwa orang itu mampu menentukan kehendaknya terhdap perbuatan itu 6. Tidak Ada Alasan yang Menghapuskan Pidana

Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan dalam tindak pidana medis menurut KUHP adalah sebagai berikut:137

1. Menderita sakit jiwa (Pasal 44) 2. Overmacht/ daya paksa (Pasal 48)

3. Pembelaan diri karena terpaksa (Pasal 49)

4. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50) 5. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51)

Dasar penghapusan pidana diluar KUHP berhubungan denga asas geen straf schuld (tidak dipidana tanpa kesalahan). Beberapa perbuatan menurut KUHP yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang medis adalah sebagai berikut:

1. Menipu pasien (Pasal 378)

2. Tindak pidana di bidang kesusilaan (Pasal 285, 286, 290, 294) 3. Sengaja tidak menolong pasien (Pasal 304)

4. Menggugurkan kandungan tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348, 349) 5. Membocorkan rahasia medis pasien (Pasal 322)

6. Lalai yang menyebabkan orang lain meninggal atau luka (Pasal 359 s.d. 361) 7. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386)

137

8. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267) 9. Melakukan euthanasia (Pasal 344)

Makna penegakan hukum dalam penanganan kasus malpraktik medik dimaksudkan sebagai upaya mendayagunakan atau memfungsikan instrument/perangkat hukum (hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana) terhadap kasus malpraktik guna melindungi masyarakat (pasien) dari tindakan kesengajaan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik.138

Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawanhukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsur tindak pidana.

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.

139

C. Konsep Sanksi Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis

138

Ibid

139

Dalam hukum pidana, hanya perbuatan yang membahayakan serta meresahkan masyarakat dibuatkan aturan berikut sanksinya yang bersifat represif. Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana paling sedikit memenuhi tiga unsur yaitu:

1. Melanggar norma hukum tertulis

2. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum)

3. Berdasarkan suatu kesalahan atau kelalaian besar (culpa lata)

Hukum pidana termasuk kedalam hukum yang berlaku umum, artinya setiap orang wajib tunduk dan taat serta pelaksanaan sanksinya dapat dipaksakan, juga terhadap seorang dokter misalnya. Yang penting diingat bahwa hukum kedokteran harus memenuhi Azas Praduga Tak Bersalah. Maka “stempel malpraktik” tidak dapat dikenakan kepada seorang tersangka/terdakwa, sebelum terbukti dengan adanya keputusan pengadilan. 140

Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh kasus yang terjadi yaitu tentang kelalaian, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang .Serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan keselamatan jiwa pasien.141

Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia. Jika kelalaian dokter tersebut terbukti

140

Chrisdiono M. Achadiat, Op.Cit.,hal 51

141

merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi Standar Operasi Praktik yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), serta Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam pasal 359 yang berbunyi:

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun".

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:142

1. pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. 2. pidana penjara paling lama sembian bulan atau kurungan paling lama enam

bulan atau denda paling tinngi tiga ratus juta rupiah

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian

142

dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan." 143

Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian diatur oleh pasal Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.144

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

Dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam pasal 359 yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

2. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan

143

Ibid

144

atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi praktik dokter.

Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366.

Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:145

a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal 194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

145

c. Tindak Pidana Transplatasi dengan Tujuan Komersial (Pasal 192)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Tindak Pidana Memproduksi atau Mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) (Pasal 197 )

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) e. Tindak Pidana Memproduksi dan/atau Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang

Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat atau Kemanfaatan, dan Mutu Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) (Pasal 196)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sanksi pidana didalam UU Praktik kedokteran No. 29 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:146

a) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi (Pasal 75)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

b) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (Pasal 76)

146

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

c) Tindak pidana menggunakan identitas atau gelar dalam bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik dalam (Pasal 77) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

d) Tindak pidana Menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik (Pasal 78)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

e) Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama Tidak membuat rekam medis, dan tidak berasarkan standar profesi (pasal 79)

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

f) Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP (Pasal 80)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS

Mengingat kejahatan malpraktek dapat menimbulkan dampak yang cukup serius maka upaya penegakan melalui kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis. kebijakan formulasi hukum pidana mencakup

Dokumen terkait