• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adami chazawi, 2007, malpraktik kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing.

Andi Hamzah, 2009, delik-delik tertentu didalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika.

Amrah Muslim, 1985, Beberapa azas dan pengertian pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika.

Bambang Poernomo, Ilmu Hukum Pidana (suatu pengantar), Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 1998.

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Bahder Johan Nasution,2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta:Rineka Cipta,

Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Etika Dan Hukum Dalam Tantangan Zaman, Jakarta : EGC

Djanius Djamin, dan Syamsul Arifin, 1993, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan:Akademi keuangan dan perbankan,

.Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:Sinar Grafika, hal.5

(2)

Endang Kusumah Astuti, 2003, Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang, hal 3

J. Gunawandi, 1995, persetujuan tindakan medis ( informed consent) ,Jakarta:FK UI, hal. 2

Syafitri Haryani,2005, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Antara Dokter Dengan Pasien,Jakarta:Diadit Media,hal. 10.

Y.A Triana Ohoiwutun, 2007, bunga rampai hukum kedoteran, Malang:BayuMedia Publishing, hal. 17.

Ninik Maryati, 1998,Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata,Jakarta:PT Bina Aksara, hal. 11.

Komariah, 2008, Hukum Perdata, Malang:UMM Press, hal. 149.

Subekti, 1994, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa

Mariam Darus Dadrulzaman, 1983, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung:Penerbit Alumni

J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, hal. 139

Hermien Hadiati Koeswadji, 1984, Hukum dan Medik, Surabaya:Airlangga University Press, hal. 36.

(3)

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Satochid kartanegara, Hukum Pidana Bagian II. Balai lektur Mahasiswa

Soerjono Soekanto, 1990, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Jakarta: Mandar Madju.

B.I.T Tamba, 1990, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan.

Willa Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung : Mandar Maju.

(4)

SUMBER INTERNET

DIR I/ KAM & TRANNAS BARESKRIM POLRI Jakarta, Aspek Hukum Malpraktek Pelayanan Kesehatan(Tinjauan Kasus Kriminal), 4 Juli 2010, hal 5

sri sumiati,kebijakan hukum pidana terhadap korban tindak pidana di bidang medis,2009

tanggal 13 Oktober 2010

http:/Malpraktik Sejauh Mana Kita Sebagai Seorang Dokter Memahaminya« Orthopaedia & Traumatology.html., diakses tanggal 13 Oktober 2010

Oktober 2010

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat

Ida Keumala Jeumpa, Penegakan Hukum Terhadap Dugaan Tindak Pidana WWW.Bascom.World_MalPraktik.mht

1

http:// Blogger Riati Anggriani , Malpraktek Dokter Menurut Hukum, diakses pada tanggal 11 November 2010

1

(5)

BAB III

PENGATURAN TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DI BIDANG MEDIS DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Medis Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat.92

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Beberapa kalangan praktisi hukum berpendapat bahwa masalah hukum kedokteran bukanlah delik aduan, melainkan delik biasa dan dengan demikian pihak penyidik dapat segera melakukan penyidikan tanpa menunggu adanya pihak (keluarga) yang melapor atau mengadukan. Secara yuridis formil hal itu memang benar, karena KUHP Pasal 102 antara lain menyebutkan bahwa “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindakan pidana, maka penyidik wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan”93

92

Sri Sumiarti, Op.Cit., hal 65

93

(6)

Akan tetapi, beberapa ahli hukum lain berpendapat bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis karena pada tindak pidana biasa menjadi titik perhatian utamanya adalah akibat dari tindakan tersebut, sedangkan dalam tindak pidana medis yang menjadi titik perhatian utama adalah justru kausa atau sebab serta proses dan bukan akibat tadi. sebagai contoh ekstrem disebutkan bahwa meskipun akibatnya fatal, tetapi sejauh tidak terdapat unsur kelalaian atau kesalahan, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.94

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini:95

1. Kesengajaan (Dolus)

Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukn atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”.96

94

Ibid

95

Bahder Johan Nasution, Op.Cit.,hal 54

96

Bambang Poernomo, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, hal.156

(7)

Rumusan “sengaja” pada norma hukum pidana dimuat dengan kata-kata, antara lain:97

a. Dengan maksud

Misalnya pasal 362 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum…”

b. Dengan sengaja

Misalnya pasal 338 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain..” c. Mengetahui atau diketahuinya

Misalnya pasal 480 KUHP yang berbunyi:

“Dengan hukuman penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.60,00 dapat dihukum karena penadahan, barang siapa.. yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan”

d. Dengan rencana terlebih dahulu

Misalnya pasal 340 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu merampas nyawa orang lain…”

Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk kesengajaan, yakni:98

97

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal.22

98

(8)

a. Kesengajaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi;

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku (doer or dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain.

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.

2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP99

Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.

Pada umumnya kealpaan (Culpa) dibedakan atas:

a. Kealpaan dengan kesadaran (Bewuste schuld). Dalam hal ini sipelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah akan timbul juga akibat tersebut.

b. Kealpaan tanpa kesadaran (Onbewuste schuld). Dalam hal ini, sipelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan

99

(9)

diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya meperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Dalam kepustakaan, disebutkan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur:

a. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum b. Mampu bertanggung jawab

c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan timbul pertanyaan, apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilihat apakah kesalahan yang dilakukan oleh dokter, terjadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya.

(10)

karena kelalaian seorang dokter yang memberikan obat yang salah kepada pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal ia sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya.100

Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh. Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur:101

1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.

2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang 3) Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung

jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

Dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat (termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Tuntutan malpraktik berdasarkan hukum pidana

100

Ibid., hal 57

101

(11)

(dengan kata lain sebagai kriminalitas dalam bidang medic) yang tercatat dalam literature-literatur sebenarnya tidaklah banyak. Meskipun demikian, perlu diketahui beberapa perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktik pidana, antara lain:102

1) Penganiayaan (Mishandeling)

Malpraktik kedokteran dapat menjadi penganiayaan jika ada kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan. Pada umumnya, pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan. Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai penganiayaan juga terletak pada maksud atau tujuannya, yakni untuk mencapai tujuan yang patut. Dengan demikian, sebaliknya walaupun mendapatkan informed consent, jika untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka pembedahan tetap merupakan penganiayaan. Menurut doktrin pun, perbuatan fisik yang ditujukan pada fisik orang lain yang mengakibatkan rasa sakit, kehilangan sifat melawan hukum apabila ditujukan untuk mencapai tujuan yang patut.103

Sama halnya dengan pembedahan tanpa infoemed consent dalam keadaan mendesak, sesungguhnya tetap merupakan penganiayaan. Tidak dipidana karena kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Syarat dalam keadaan mendesak diserahkan pada pertimbangan ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari sudut ilmu kedokteran, pertimbangannya ialah: tanpa segera mendapat pertolongan medis, pasien akan mati atau akibat fatal lainnya. Disamping itu keadaan mendesak juga berdasarkan pertimbangan hukum. Hukum telah menentukan bahwa seseorang

102

Chrisdiono M. Achadiat, Log.Cit.,hal 29

103

(12)

yang mampu menolong orang lain yang dalam bahaya kematiannya tanpa membahayakan dirinya tidak melakukan pertolongan karena tanpa diberi pertolongan orang itu mati. Dengan demikian, orang yang tidak menolong bertanggung jawab hukum atas kematian orang lain itu (Pasal 531 KUHP).

Tindakan medis darurat yang mengabaikan informed consent dapat dibenarkan berdasarkan asas subsidiariteit dalam hukum. Hukum telah memberikan jalan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang saling berhadapan, artinya tidak dapat mepertahankan kedua-duanya. Dengan demikian yang harus dipilih ialah mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar (misalnya dari bahaya kematian) daripada mempertahankan kepentingan hukum yang lebih kecil karena tanpa informed consent. 104

Cara merumuskan tindak pidana penganiayaan memang tidak lazim karena tidak lengkap hanya menyebut kualifikasinya, sedangkan mengenai unsur-unsurnya atau isinya penganiayaan diserahkan pada doktrin dan praktik. Unsur-unsur yang harus dibuktikan meliputi:105

a. Adanya kesengajaan b. Adanya wujud perbuatan c. Adanya akibat perbuatan

d. Adanya causal verband antara wujud perbuatan dan timbulnya akibat yang terlarang

104

Ibid.,hal.104

105

(13)

Perbuatan pada penganiayaan harus berwujud, misalnya pemukulan atau pembedahan tubuh yang dilakukan oleh dokter. Akan tetapi, bisa juga dengan perbuatan pasif, seperti sengaja tidak segera melakukan pembedahan yang menurut ilmu kedoteran harus dilakukan segera dengan maksud agar pasien mati. Dalam perlakuan tersebut berarti terjadi penganiayaan yang menyebabkan matinya orang. Penganiayaan hanya berlaku kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) saja, tidak termasuk kesengajaan sebagai kemungkinan.

2) Kealpaan yang menyebabkan kematian

Hampir pasti pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian bukanlah dituju atau dikehendaki. Pasal 359 merumuskan bahwa “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati…” jadi disamping adanya sikap batin culpa harus ada 3 unsur lagi. 3 unsur yang dimaksud merupakan rincian dari kalimat: “menyebabkan orang lain mati”, yakni:106

a. Harus ada wujud perbuatan b. Adanya akibat berupa kematian

c. Adanya causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian. Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, akan tetapi pada akibat kematian. Pada perbuatan selalu dituju oleh sengaja. Akibat kematian tidak perlu timbul tidak lama setelah tindakan medis. Boleh lebih lama, asalkan kematian itu

106

(14)

benar-benar disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan sulit menentukan adanya hubungan causal antara tindakan medis, dengan akibat kematian.

3) Kealapan yang menyebabkan luka-luka

selain pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP juga sudah sangat lazim digunakan jaksa untuk menuntut dokter atas dugaan malpraktik kedokteran, selanjutnya pasal 359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka. Ada 2 macam tindak pidana menurut pasal 360. Masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Bunyi kalimat ayat 1: “ … karena kesalahannya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat …” kalimat ayat 2 “ … Karen kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, ….”107

a) Adanya kelalaian

Dari rumusan (kalimat) pada ayat 1 dapat dirinci unsur-unsur yang harus dibuktikan jaksa, yakni:

b) Adanya wujud perbuatan c) Adanya akibat luka berat

d) Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan. Rumusan ayat 2 mengandung unsur, yakni

a) Adanya kelalaian

b) Adanya wujud perbuatan

107

(15)

c) Adanya akibat: (1) luka yang menimbulkan penyakit; (2) luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.

d) Adanya hubungan kausal antar perbuatan dengan akuibat

Sama halnya dengan pasal 359, tindak pidana ini juga merupakan tindak pidana materriil berupa tindak pidana dimana timbulnya akibat ole perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana. Ada orang menyebutnya sebagai tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu.

Apa yang disebut luka tidak diterangkan dalam KUHP. Luka (letsel) adalah perubahan sedemikian rupa pada permukaan tubuh sehingga berbeda dengan bentuk semula.108

a. Luka berat (ayat 1)

Pasal 360 KUHP menyebut tiga macam luka yakni:

b. Luka yang menimbulkan penyakit (ayat 2)

c. Luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu (ayat 2)

4) Aborsi

Istilah lainnya adalah menggugurkan kandungan. Walaupun dari sudut hukum menggugurkan kandungan tidak sama persis artinya dengan praktik aborsi karena dari sudut hukum (pidana) pada praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan. Pertama, perbuatan menggugurkan (afdrijven) kandungan. Kedua, perbuatan mematikan (dood’doen) kandungan.109

108

Satochid kartanegara, Hukum Pidana Bagian II. Balai lektur Mahasiswa

109

(16)

Hukum (pidana) dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik kedokteran.

a. Pasal 346 KUHP

Tindak pidana dalam pasal ini merumuskan:110

Jika rumusan itu dirinci terdapat unsur berikut:

Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

111

1. Pembuatnya: seorang perempuan Unsur-unsur objektif:

2. Perbuatan: a. menggugurkan; atau b. Mematikan/membunuh

c. Menyuruh orang lain untuk itu 3. Objeknya: kandungannya

Unsur subjektif 4. Dengan sengaja

110

Adami chazawi, Op.Cit., hal.118

111

(17)

Dalam ketentuan diatas dokter dapat tersangkut apabila perempuan meminta (menyuruh orang lain untuk itu) dokter untuk melaksanakan aborsi tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pembuat tunggal (dader) karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita (de vrouw). Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktik menurut pasal ini jika

dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada dua pendapat mengenai hal ini:112

1. Sebagai pembuat pelaksana (pleger) menurut pasal 55 ayat 1 KUHP. Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut. Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika dokter mendapatkan pembayaran untuk itu.

2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui pasal 348 KUHP. Alasan pendapat ini yakni subjek hukum pasal 346 ialah harus seorang perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang disebut dalam

rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal (dader) dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Sementara itu, unsur tiga perbuatan (menggugurkan, mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu) dikhususkan pada perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam hal

112

(18)

ini, dokter juga bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan tersebut. Jika demikian, dokter tidak mungkin dipidana menurut pasal ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan pasal 348. Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai dader menurut pasal 346. Perbuatan perempuan bukan mengugurkan atau mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain (dokter) untuk itu.

b. Pasal 347 KUH pasal ini merumuskan:113

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurakn atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya perempuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belsa tahun.

Rumusan tersebut terdiri atas unsur-unsur berikut. Ayat 1

Unsur-unsur obkektif

1. Perbuatan : menggurkan atau mematikan 2. Objeknya : kandungan perempuan 3. Tanpa persetujuan perempuan itu Unsur subjektif

4. Dengan sengaja

Ayat 2: Mengakibatkan kematian perempuan tersebut

113

(19)

Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan. Tanggungjawab pidananya lebih berat (penjara paling lama 12 tahun) daripada aborsi atas persetujuan (penjara paling lama lima tahun enam bulan, pasal 348). Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan (pasal 338). Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang mengandung seperti pada pembunuhan.Tanpa persetujuan harus diartikan pada akibat, bukan pada perbuatan tertentu.

Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang dikatakan pembuat berupa pengobatan atau perawatan. Namun sesungguhnya perbuatan tersebut oleh pembuatnya ditujukan pada gugr atau matinya kandungan. Kejadian ini juga masuk pasal 347. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan, atau kesengjaan sebagai kepastian.

c. Pasal 348

Pasal ini merumuskkan:114

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Mengenai tindak pidana dirumuskan dalam ayat 1. Ayat 2 memuat alasan pemberatan pidana yang dilekatkan pada timbulnya akibat kematian perempuan yang mengandung. Rumusan ayat 1 terdapat unsur-unsur berikut:

114

(20)

Unsur-unsur objektif:

1. Perbuatan: a. menggugurkan atau b. mematikan

2. Objeknya: kandungan seorang perempuan 3. Dengan persetujuannya

Unsur subjektif 4. Dengan sengaja

Perbedaan pokok dengan aborsi pasal 348 terletak pada aborsi terhadap perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri. Dari unsur persetujuannya, berarti inisiatif tindakan aborsi itu bukan berasala dari perempuan. Alasannya didasarkan dari unsur perbuatan ketiga, yakni menyuruh orang lain untuk itu. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh mematikan atau menggugurkan kandungan menurut pasal 346 dengan aborsi yang dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung (pasal 348).

5. Euthanasia

Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik

dan thanatos artinya mati. Dengan demikian, euthanasia dari sudut harfiah artinya kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutonius dalam bukunya vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita.

(21)

juga sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya (mercy dead), atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang lain mati.115

Leenen berpendapat bahwa euthanasia itu haarus memuat unsur-unsur, bahwa dilakukan dengan suatu perbuatan yang berakibat pada suatu kematian; dapat berarti memperpendek suatu kehidupan; mengakhiri hidup seseorang yang terjadi dengan sendirinya atau dengan memakai alat (obat).memang ada perbedaan yang bersifat hakiki antara pembunuhan dan euthanasia, terutama mengenai siapa yang punya maksud, yang melaksanakan dan pelakunya sendiri. Disamping itu masih terdapat perbedaan yang lain yaitu kalau pada euthanasia selalu atas permintaan dari yang bersangkutan, sedangkan pada pembunuhan prsetujuan dari korban tidak ada.116

Pasal 344 KUHP yang melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaannya sendiri merumuskan sebagai berikut:

117

115

Soerjono Soekanto, 1990, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Jakarta: Mandar Madju, hal.44

116

B.I.T Tamba, 1990, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan, hal.93

117

Adami chazawi, Op.Cit., hal.129

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(22)

1. Inisiatif bunuh diri harus terbukti berasal dari korban itu sendiri. Korban dalam menentukan kehendaknya harus secara bebas tidak boleh ada pengaruh dari orang lain, apalagi bersifat menekan.

2. Permintaan harus ditujukan kepada si pembuat, bukan pada orang lain. Pembuat harus orang yang diminta. Jika yang membunuh bukan orang yang diminta maka terjadi pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)

3. Isi pernyataan harus jelas. Jelas dimengerti bagi yang menerima pernyataan yang sama seperti apa yang dinyatakan oleh pemilik nyawa.

2.Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu: tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, pidana pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan dirumuskan dalam Bab XX Ketentuan Pidana Pasal 190 sampai dengan pasal 200 adalah sebagai berikut: a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal 194) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)

Tindak pidana ini terdapat unsur-unsur berikut. Unsur-unsur objektif

1) perbuatan: melakukan tindakan medis tertentu 2) objek: terhadap ibu hamil

(23)

4) dengan sengaja

Unsur perbuatan yang dilarang disebutkan melakukan tindakan medis tertentu. Suatu penyebutan perbuatan yang abstrak dan tidak jelas wujud konkretnya.

b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)

Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)

Unsur-unsur tindak pidana pasal 190: unsur-unsur objektif

1) perbuatan: tidak memberikan pertolongan pertama

2) objek : terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat unsur subjektif

3) dengan sengaja

c. Tindak Pidana Transplatasi dengan Tujuan Komersial (Pasal 192)

Setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)

tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 192 ini terdapat unsur-unsur berikut.

Unsur-unsur objektif

1) perbuatan: memperjual belikan

(24)

unsur subjektif 3) dengan sengaja

Unsur perbuatan dirumuskan sangat abstrak, yakni dengan kata/frasa “melakukan perbuatan”. Wujud konkretnya bisa bermacam-macam., namun masih ada batasnya perbuatan, yakni harus berupa wujud-wujud perbuatan dalam rangka pelaksanaan transplantasi jaringan tubuh atau transfusi darah. Unsur subjektif terdiri atas dua sikap batin, yang satu dengan tujuan komersial dan lainnya adalah dengan sengaja. Arah dan fungsi dua sikap batin dalam rumusan tindak pidana ini berbeda. Sikap batin berupa “tujuan komersial” hanya ditujukan pada kehendak untuk nmenjadikannya komersial, atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

d. Tindak Pidana Memproduksi atau Mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) (Pasal 197 )

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)

Tindak pidana pasal 197 mempuunyai unsur-unsur sebagai berikut: unsur-unsur objektif

1) perbuatan: memproduksi dan/atau mengedarkan 2) objeknya: a. sediaan farmasi dan/atau

b. alat kesehatan

(25)

yang satu kekuasaan/tangan yang lain secara berkelanjutan dengan cara jual beli dan sebagainya. Sifat melawan hukum perbuatan mengedarkan terletak pada makanan atau minuman (objek tindak pidana) tersebut tidak memenuhi standar dan atau membahayakan kesehatan. Ketentuan mengenai standar makanan dan minuman ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tidak memenuhi standar artinya komposisi bahan yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan untuk jenis makanan atau minuman tetentu karena tidak memenuhi standar maka dapat dikualifikasikan sebagai makanan yang membahayakan kesehatan.

e. Tindak Pidana Memproduksi dan/atau Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat atau Kemanfaatan, dan Mutu Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) (Pasal 196)

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)

unsur-unsutr tindak pidana pada pasal berikut ini. Unsur-unsur objektif

1) perbuatan: a. Memproduksi dan atau b. mengedarkan

2) objeknya: sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat

3) yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)

(26)

4) dengan sengaja

Ada dua perbuatan yakni memproduksi dan mengedarkan.Bisa saja pembuat yang melakukan perbuatan memproduksi dan sekaligus mengedarkannya.Objek kejahatan yang sekaligus objek kedua perbuatan tersebut ialah sediaan farmasi. Sifat mlawan hukum kedua perbuatan itu terletak pada objek, yakni sediaan farmasi yang diproduksi atau yang diedarkan tidak memenuhi syarat farmakoipe indonesia atau standar buku lainnya. Tindak pidana dilakukan dengan sengaja. Sengaja disini harus diartikan srebagai berikut:

1. pembuat menghendaki mlakukan perbuatan memproduksi dan mengedarkan 2. pembuat mengetahui yang diprodoksi atau diedarkanb ialah sediaan farmasib

berupa obat dan bahan obat

3. pembuat mengetahui bahwa sediaan farmasi tersebut tidak memenuhi syarat farmakope dan atau buku standar lainnya.

3. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Dalam pasal 75 sampai dengan 80 Undang-undang praktik kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikenakan sebagai berikut:118

a) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi (Pasal 75)

b) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (Pasal 76) c) Tindak pidana menggunakan identitas atau gelar dalam bentuk lain yang

menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah

118

(27)

dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik dalam (Pasal 77) d) Tindak pidana Menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang

menimbulkan kesan dokter yang memiliki suratv tanda registrasi dan surat izin praktik (Pasal 78)

e) Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama Tidak membuat rekam medis, dan tidak berasarkan standar profesi (pasal 79)

f) Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP (Pasal 80).

Di antara enam jenis tindak pidana bidang kesehatan tersebut, ada 4 tindak pidana yang pada dasarny bermula dari pelanggaran hukum administrasi kedoteran(pasal 75, 76, 79 dan 80). Pelanggaran hukum administrasi kedokteran yang diberi ancaman pidana. Jadi sifat melawan hukum perbuatan dalam empat tindak pidana tersebut terletak pada pelanggaran hukum administrasi.

a) Tindak pidana praktik dokter tanpa STR

Ada tiga bentuk tindak pidana bidang kesehatan dalam pasal 75 tersebut, masing-masing dirumuskan pada ayat 1, 2 dan 3. Jika dirinci masing-masing terdapat unsur sebagai berikut:

a. Ayat 1

Unsur-unsur objektif 1) Pembuatnya: a. dokter

b. dokter gigi

(28)

Unsur subjektif 4) Dengan sengaja b. Ayat 2

Unsur-unsur objektif

1) Pembuatnya: a. dokter warga Negara asing b. dokter gigi warga Negara asing 1) perbuatannya: melakukan praktik kedokteran 2) tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara Unsur subjektif

4) dengan sengaja c. Ayat 3

Unsur-unsur objektif

1) Pembuatnya: a. dokter warga Negara asing

b. dokter gigi warga Negara asing 2) Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran 3) Tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat Unsur subjektif

4) dengan sengaja

(29)

dokter gigi, yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan peraturan perundang-undangan.

b) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa SIP

Tindak pidana praktik kedokteran tanpa surat izin praktik dirumuskan dalam pasal 76 berikut ini.

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dari rumusan tersebut, apabila dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur objektif 1) Pembuatnya: a. dokter

b) dokter gigi

2) Perbuatannya: melakukan praktik kedokteran 3) Tanpa memiliki surat izin praktik

Unsur subjektif 4) Dengan sengaja

(30)

berkembnagnya teknologi kedokteran, bentuk-bentuk konkret wujud perbuatan juga mengikuti perkembangan teknologi kedokteran.

Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di indinesia. Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum administrasi yang dianggkat menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam pidana.

Ketentuan mengenai SIP adalah sebagai berikut:

a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan (pasal 37 ayat 1)

b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (pasal 37 ayat 1) c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (pasal 37 ayat 3)

d. Untuk memiliki SIP harus memenuhi tiga syarat, yakni (1) memiliki STR yang masih berlaku; (2) memiliki tempat praktik; (3) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi (pasal 38 ayat 1)

e. SIP berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku dan (2) tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (pasal 38 ayat 2)

c) Tindak pidana menggunakan identitas seperti gelar yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP

Tindak pidana ini dirumuskan dalam pasal 77 sebagai berikut.

(31)

surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Apabila dirinci rumusan tindak pidana pasal 77 tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut.

Unsur-unsur objektif

1. Perbuatannya: menggunakan a. Berupa gelar atau

b. Bentuk lain

2. Yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atua dokter gigi:

a. Yang memiliki STR dokter atau

b. Yang memiliki STR dokter gigi dan/atau c. Yang memiliki SIP

Unsur subjektif 3. Dengan sengaja

(32)

Suatu gelar yang diketahui umum dapat menunjukkan bahwa pemilik gelar menguasai bidang kedokteran dan (2) sipembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut. Hal ini dapat diketahui secara pasti dari frasa “seolah-olah” dalam rumusan kejahatan pasal 77 tersebut.

Dibentuknya tindak pidana pasal 77 ini ditujukan pada tiga tujuan. Pertama, sebagai upaya preventif agar tidak terjadi penyalah gunaan cara-cara praktik kedokteran oleh orang-orang yang bukan ahli kedokteran. Kedua, melindungi kepentingan hukum umum agar tidak menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang. Ketiga, melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran yang tidak berwenang.

d) Tindak pidana menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP

Tindak pidana ini dirumuskan dalam pasal 78 berikut ini.

Setiap orangyang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersabgkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dkter gigi atau surat izin prktik sebagimana dimakksud dalam pasal 73 ayat 2 dipidana dengan pidana prnjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Apabila rumusan pasal 78 tersebut dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur objektif

(33)

3) Yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR doker atau dokter gigi atau SIP

Unsur subjektif 4) Dengan sengaja

Jika dibandingkan dengan tindak pidana pasal 77, tindak pidana pasal 78 memiliki unsur yang hamper sama. Perbedaan hanya pada unsur materilnya saja. Perbuatan materil pasal 78 adalah menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan masyarakat. Perbuatan materil pasal 77 adalah menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain sedangkan unsur lain selebihnya sama.

Maksud dibentuknya tindak pidana pasal 78 adalah untuk menghindari secara dini agar penggunaan lat atau cara atau metode praktik kedokteran tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang. Alat-alat kedokteran, terutama yang menggunakan teknologi khusus atau teknologi tinggi harus dioperasikan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang menguasai teknologi tersebut. Selain itu untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat khususnya pasien agar tidak menjadi korban perbuatan yang bersifat memperdaya atau menipu oleh orang yang bukan ahli kedokteran.

e) Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis, dan tidak berdasarkan standar profesi

(34)

a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 1

b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat 1

c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Ada tiga macam tindak pidana dalam pasal 79 sesuai dengan sumber formal yang mengaturnya dalam huruf a, b, dan c. namun karena pada huruf c memuat pula 5 (lima) macam pelanggaran yang diberi sanksi pidana, maka sesungguhnya tindak pidana dalam pasal 79 ada tujuh macam.

1. Dokter berpraktik yang tidak memasang papan nama 2. Dokter berpraktik tidak memuat rekam medis

3. Dokter memberikan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

4. Dokter yang tidak mampu memberikan pelayanan medis tidak merujuk kedokter lain yang lebih ahli dan lebih mampu.

5. Dokter yang membuka rahasia dokter tentang pasiennya 6. Dokter yang tidak memberikan pertolongan darurat

7. Dokter yang tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan imu kedokteran.

f) Tindak pidana memperkerjakan dokter tanpa SIP

Tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 80 sebagai berikut:

1. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, dipidana dengan pidana penjara ppaling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(35)

dimaksud pada ayat 1 ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Tindak pidana yang dirumuskan dalam ayat 1 unsur-unsurnya sebagai berikut:

Unsur-unsur objektif:

1) Perbuatan: mempekerjakan dokter atau dokter gigi 2) Objek: dokter atau dokter gigi

Sebagaiman adimaksud dalam pasal 42 Unsur subjektif

3) Dengan sengaja

Dengan menunjuk pasal 42, setidak-tidaknya ada dua hal yang perlu diketahui adalah: Pertama, yang dimaksud subjek hukum “setiap orang” yang dimaksud dalam pasal 42 adalah seorang pimpinan layanan kesehatan. Misalnya kepala poliklinikatau kepala rumah sakit.orang ini haruslah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mempekerjakan dokter atau dokter gigi. kedua, dokter yang dimaksud harus dokter yang tidak memiliki surat izin praktik. Sifat melawan hukum dalam tindak pidana ini terletak pada keadaan dokter yang tidak memenuhi SIP, bukan pada perbuatan mempekerjakan karena memoekerjakan merupakan kewenangan seorang pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit119

Tindak pidana di bidang medis didalam Undang-undang ini diatur didalam pasal Pasal 62 yang mengatur tentang Setiap orang yang dengan sengaja

119

(36)

menyelenggarakan Rumah Sakit yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1 ) serta dalam pasal Pasal 63 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang dilakukan oleh korporasi.

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat120

Setiap tindakan medic selalu mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medic, dapat saja menimbulkan risiko yang besar, sehingga dapat saja pasien menderita kerugian. Dalam hal terjadi risiko baik yang dapat diprediksi maupun Tindak pidana yang diatur didalam undang-undang ini diatur pada Pasal 37 yakni perihal Perawat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 31 ayat (1) serta Pasal 38 terhadap perawat yang dengan sengaja :

a. melakukan praktik keperawatan tanpa mendapat pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;

b. melakukan praktik keperawatan tanpa izin

c. melakukan praktik keperawatan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan/atau

d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

B. Pertanggung Jawaban Pidana Di Bidang Medis

120

(37)

tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab dokter dapat dimintakan apaila dokter telah berbuat kesalahan/kelalaian, meskipun tidak ada seorang dokter yang waras sengaja membuat kesalahan. 121

Pembuktian tentang ada atau tidaknya kesalahan/kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter merupakan syarat utama untuk mempertanggung jawabkan pelayanan kesehatan yang telah dilakukannya. Doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dengan mudah dapat membuktikan tentang adanya

kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Doktrin Res Ipsa Loquitor menurut Sofwan Dahlan hanya dapat diterapkan apabila fakta yang terjadi memenuhi sebagai berikut:122

1. Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter lalai

2. Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggungjawab dokter 3. Pasien tidak ikut berperan dalam timbulnya fakta itu

Doktrin Res Ipsa Loquitor hanya diterapkan jika fakta yang terjadi secara nyata berdasarkan pengetahuan umum bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi jika tidak ada kecerobohan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, misalnya gunting, kain kasa, jarum suntik dan sebagainya yang ternyata tertinggal didalam perut pasien pasca operasi yang berada dibawah pengawasan dan tanggung jawab

121121

Willa Chandrawila Supriadi, Op.Cit., hal 30

122

(38)

dokter sehingga dapat disimpulkan secara jelas tentang adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter.123

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan dengan timbulnya kerugian (harm) yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggung jawaban pidana atau criminal liability. Pertanggungjawaban pidana dengan mengedepankan dan

menetapkan pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan agar pelaku tindak pidana dapat dipertanggung jawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain. Dapat dipertanggung jawabkannya subjek hukum pidana tersebut tentunya akan memberikan deterren effect untuk tidak melakukan tindak pidana, sehingga dapat mencegah terjadinya

tindak pidana dan secara langsung mencegah adanya korban tindak pidana dikemudian hari.124

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk

123

Ibid., hal 56

124

(39)

melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).125

Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada focus tindak pidana tersebut. Focus tindak pidana bisa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada sebab/kausa dari tindak pidana. Dalam tindak pidana medis (criminal malpractice) pertanggungjawaban pidananya harus dapat dibuktikan tentang

adanya kesalahan professional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara pengobatan atau perawatan. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat. Untuk lebih jelasnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penjatuhan pidana akan diuraikan sebagai berikut:126

1. Perbuatan Dilakukan Oleh Subjek Hukum (Manusia atau Badan hukum) Perbuatan pidana dapat dilakukan, baik oleh manusia alamiah (natuurlijke

person) maupun badan hukum (rechts person). Pelaku tindak pidana tentunya

dapat dituntut untuk mempertanggung jawabkan menurut hukum pidana. Ada perbedaan bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan antara manusia alamiah dengan badan hukum. Hal ini juga berlaku dalam praktik pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan maupun fasilitas sarana pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang tidak berbentuk badan hukum, pertanggung jawaban pidananya dilakukan secara perseorangan, baik secara sendiri-sendiri,

125

Ida Keumala Jeumpa, Penegakan Hukum Terhadap Dugaan Tindak Pidana Malpraktik Medik,hal 7

126

(40)

maupun secara bersama (dalam bentuk penyertaan), sementara itu, apabila sarana pelayanan kesehatan berbentuk badan hukum yang terbukti melakukan tindak pidana maka dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

2. Ada Kesalahan

Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela yang pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan yang bersifat melawan hukum. Menurut Jonkers didalam keterangan tentang schuldbegrip membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu:127

a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld) b. Meliputi sifat melawan hukum (de wedwrrechtelijkheid) c. Dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid)

Kesalahan dalam tindak pidana medis pada umumnya terjadi karena kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Dalam hal ini dapat terjadi karena dokter melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Dalam hukum pidana, penentuan atas kesalahan seseorang didasarkan pada hal-hal berikut:128

1. Keadaan batin orang yang melakukan perbuatan yang berbentukkesengajaan atau kealpaan, dalam hal ini disyaratkan bahwa disadari atau tidak perbuatan pelaku dilarang oleh undang-undang.

2. Tentang kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan

127

Bambang Poernomo, Op.Cit., hal 136

128

(41)

3. Tentang tidak adanya alasan penghapus kesalahan/pemaaf

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi dokter berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culva levis). Penentuan tentang ada atau tidaknya kelalaian dalam pelaksanaan pelayanan medis harus dilihat dari luar yakni bagaimana seharusnya dokter melakukan tindakan medis dengan ukuran sikap dan tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam situasi dan kondisi yang sama serta dengan kemampuan medis dan kecermatan yang sama. Dengan demikian, penentuan tingkat kesalahan tentang ada atau tidaknya kelalaian dokter harus dibedakan antara lain:.129

1. Masa kerja dokter dengan kemampuan rata-rata 2. Dokter umum dengan dokter ahli

3. Fasilitas sarana kesehatan yang tersedia pada waktu dilakukannya tindakan medis

4. Factor-faktor penunjang lain yang berpengaruh dalam tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter

Kelalaian tidak termasuk pelanggaran hukum apabila tidak merugikan atau mencederai orang lain dan orang lain itu dapat menerimanya. Ketentuan tersebut berdasarkan kepada doktrin hukum de minimus non curat lex (hukum tidak mencampuri hal-hal yang bersifat spele). Jika kelalaian mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau mengakibatkan matinya orang lain, maka perbuatan

129

(42)

tersebut diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata). Tolok ukur culpa lata menurut M. Jusup Hanafizah adalah:130

1. Bertentangan dengan hukum 2. Akibatnya dibayangkan 3. Akibatnya dapat dihindarkan 4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Penentuan secara normative tentang ada atau tidaknya kelalaian atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus ditinjau secara cermat dan teliti kasus per kasus. Hakim yang memegang peranan kunci dalam menentukan secara in concreto tentang ada atau tidaknya kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter.

Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medic, dikatakan telah melakukan kesalahan/kelalaian. Kesalahan/ kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan selain dapat dituntut secara hukum pidana, kalau memenuhi unsur-unsur hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secaraperdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan dalam bidang hukum pidana, hanya dapat dituntut dalam hal pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia dalam arti terjadi apa yang dikenal dengan culpa lata, tetapi gugatan secara perdata, dapat saja dilakukan kalau pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan yang kecil.131

130

Ibid

131

(43)

Kelalaian bukanlah suatu kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya (de minimus non curat lex=hukum tidak mengurusi hal-hal sepele),tapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata) yang tolok ukurnya adalah bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatannya dapat dipersalahkan.Terhadap akibat seperti ini adalah wajar jika si pembuatnya di hukum.132

4. Perbuatan yang Dilakukan Bersifat Melawan Hukum

Melawan hukum dalam hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda wederrechtelijke; sedangkan dalam hukum perdata merupakan terjemahan dari onrechtmatigedaad. Dalam perkembangannya, terjemahan antara perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dengan perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata tidak diperdebatkan lebih lanjut. Sifat melawan hukum dari perbuatan menurut hukum pidana tidak selalu dirumuskan dalam ketentuan undang-undang. Tanda sifat melawan hukum dapat dilihat dari kelakuan atau keadaan tetentu, atau akibat tetentu yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Ada dua ajaran sifat melawan hukum:

1. Sifat melawan hukum formil, artinya perbuatan yang dilakukan telah memenuhi semua unsur yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang dan

132

(44)

diancam dengan sanksi pidana, sedangkan sifat melawan hukum tersebut dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang juga.

2. Sifat melawan hukum materiil, artinya perbuatan yang disyaratkan memenuhi rumusan undang-undang dan perbuatan dirasakan tidak patut atau tercela oleh masyarakat (yang berbentuk tidak tertulis).

Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.

Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajiban (wanprestasi). 133 Perbuatan dalam pelayanan/perlakuan medis dokter yang dapat dipersalahkan pada pembuatnya harus mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum yang timbul disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain:134

a. Dilanggarnya standar profesi kedokteran b. Dilanggarnya standar prosedur operasional

133

Ida kusuma, Op.Cit., hal 10

134

(45)

c. Dilanggarnya hukum, misalnya praktik tanpa Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

d. Dilanggarnya kode etik kedokteran

e. Dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran f. Dilanggarnya kesusilaan umum

g. Praktik kedokteran tanpa Informed Consent

h. Terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien

i. Terapi tidak sesuai dengan Informed Consent, dan lain sebagainya 5. Pembuat/ Pelaku Mampu Bertanggungjawab

Seseorang dinyatakan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya apabila jiwanya sehat, yaitu:135

a. Dapat menginsafi makna senyatanya dari perbuatannya

b. Perbuatan yang dilakukan dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat c. Mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan

tersebut

Arti kemapuan bertanggung jawab banyak dipergunakan kepada ilmu pengetahuan. Van hamel mengadakan tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab yaitu:136

a. Bahwa orang itu mapu untuk menginsyafi arti perbutanny dalam hal makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri

135

Ibid

136

(46)

b. Bahwa orang mampu untuk menginsyafi perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat

c. Bahwa orang itu mampu menentukan kehendaknya terhdap perbuatan itu 6. Tidak Ada Alasan yang Menghapuskan Pidana

Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan dalam tindak pidana medis menurut KUHP adalah sebagai berikut:137

1. Menderita sakit jiwa (Pasal 44) 2. Overmacht/ daya paksa (Pasal 48)

3. Pembelaan diri karena terpaksa (Pasal 49)

4. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50) 5. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51)

Dasar penghapusan pidana diluar KUHP berhubungan denga asas geen straf schuld (tidak dipidana tanpa kesalahan). Beberapa perbuatan menurut KUHP

yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang medis adalah sebagai berikut:

1. Menipu pasien (Pasal 378)

2. Tindak pidana di bidang kesusilaan (Pasal 285, 286, 290, 294) 3. Sengaja tidak menolong pasien (Pasal 304)

4. Menggugurkan kandungan tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348, 349) 5. Membocorkan rahasia medis pasien (Pasal 322)

6. Lalai yang menyebabkan orang lain meninggal atau luka (Pasal 359 s.d. 361) 7. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386)

137

(47)

8. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267) 9. Melakukan euthanasia (Pasal 344)

Makna penegakan hukum dalam penanganan kasus malpraktik medik dimaksudkan sebagai upaya mendayagunakan atau memfungsikan instrument/perangkat hukum (hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana) terhadap kasus malpraktik guna melindungi masyarakat (pasien) dari tindakan kesengajaan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik.138

Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawanhukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsur tindak pidana.

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.

139

C. Konsep Sanksi Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis

138

Ibid

139

(48)

Dalam hukum pidana, hanya perbuatan yang membahayakan serta meresahkan masyarakat dibuatkan aturan berikut sanksinya yang bersifat represif. Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana paling sedikit memenuhi tiga unsur yaitu:

1. Melanggar norma hukum tertulis

2. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum)

3. Berdasarkan suatu kesalahan atau kelalaian besar (culpa lata)

Hukum pidana termasuk kedalam hukum yang berlaku umum, artinya setiap orang wajib tunduk dan taat serta pelaksanaan sanksinya dapat dipaksakan, juga terhadap seorang dokter misalnya. Yang penting diingat bahwa hukum kedokteran harus memenuhi Azas Praduga Tak Bersalah. Maka “stempel malpraktik” tidak dapat dikenakan kepada seorang tersangka/terdakwa, sebelum terbukti dengan adanya keputusan pengadilan. 140

Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh kasus yang terjadi yaitu tentang kelalaian, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang .Serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan keselamatan jiwa pasien.141

Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia. Jika kelalaian dokter tersebut terbukti

140

Chrisdiono M. Achadiat, Op.Cit.,hal 51

141

(49)

merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi Standar Operasi Praktik yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), serta Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam pasal 359 yang berbunyi:

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun".

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:142

1. pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. 2. pidana penjara paling lama sembian bulan atau kurungan paling lama enam

bulan atau denda paling tinngi tiga ratus juta rupiah

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian

142

(50)

dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan." 143

Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian diatur oleh pasal Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.144

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

Dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain diatur dalam pasal 359 yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

2. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan

143

Ibid

144

(51)

atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi praktik dokter.

Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366.

Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:145

a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal 194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

145

(52)

c. Tindak Pidana Transplatasi dengan Tujuan Komersial (Pasal 192)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Tindak Pidana Memproduksi atau Mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang Tidak Memiliki Izin Edar Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) (Pasal 197 )

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) e. Tindak Pidana Memproduksi dan/atau Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang

Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat atau Kemanfaatan, dan Mutu Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) (Pasal 196)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sanksi pidana didalam UU Praktik kedokteran No. 29 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:146

a) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi (Pasal 75)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

b) Tindak pidana praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (Pasal 76)

146

(53)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

c) Tindak pidana menggunakan identitas atau gelar dalam bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik dalam (Pasal 77) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

d) Tindak pidana Menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik (Pasal 78)

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

e) Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama Tidak membuat rekam medis, dan tidak berasarkan standar profesi (pasal 79)

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

f) Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP (Pasal 80)

(54)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS

Mengingat kejahatan malpraktek dapat menimbulkan dampak yang cukup serius maka upaya penegakan melalui kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis. kebijakan formulasi hukum pidana mencakup masalah perumusan tindak pidana (di bidang medis), pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Berikut ini akan dibicarakan kebijakan formulasi perlindungan pada tindak pidana bidang medis dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.147

A. Perumusan Tindak Pidana Bidang Medis

Pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang tindak pidana di bidang medis pada dasarnya jumlahnya sangat terbatas dan lingkup yang diatur juga masih sangat terbatas. Pada hukum materiilnya hanya berpaku pada Undang-undang Praktek Kedokteran dan Undang-undang Tentang Kesehatan serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana sedangkan pada hukum Acaranya adalah sama dengan hukum acara pidana pada umumnya yaitu dengan mengacu pada Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang hukum Acara Pidana. Dalam undang-undang yang secara materiil bersinggungan dengan tindak pidana di bidang medis pada dasarnya hanya mengatur kepada subyek profesi dokter atau subyek orang biasa yang tidak bersinggungan dengan profesi dokter, padahal dokter dalam menjalankan profesinya berkaitan erat dengan profesi medis lainnya antara lain adalah perawat, bidan, radiolog medis, apoteker dan

147

(55)

para medis lainnya yang kesemuanya dapat berperan dalam terjadinya tindak pidana di bidang medis. 148

Hingga saat ini telah dikriminalisasikan beberapa tindakan tenaga medis dalam undang-undang Kesehatan, sebenarnya ketentuan dalam Undang-undang kesehatan itu sendiri masih ada pembatasan-pembatasan yang menyebabkan tindakan para medis lainnya belum masuk dalam tindak pidana, untuk itu kedepan perlu dilakukan kriminalisasi terhadap tindakan para medis non dokter lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana di bidang medis. Dengan bertolak dari undang-undang praktik kedokeran maka dapat diprediksikan tindakan apa saja yang perlu dikriminalisasikan dimasa yang akan datang guna memberkan perlindungan masyarakat dibidang pelayanan tenaga medis. 149

Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kelalaian profesi diantaranya adalah sebagai berikut :150

148

Ibid.,hal 135

149

Ibid

150

http://Blogger D.Witjaksono “Malpraktik” , diakses pada tanggal 11 November 2010 1.Meningkatkan Kemampuan Profesi

Melalui pendidikan kedokteran berkelanjutan akan membantu para dokter untuk mengikuti kemajuan ilmu kedokteran atau menyegarkan kembali ilmunya, sehingga diharapkan dia tidak lagi melakukan tindakan dibawah standar. Dalam program ini perlu diingatkan tentang kode etik kedokteran dan kemampuan melakukan konseling dengan baik.

(56)

Upaya ini akan mendorong dokter untuk senantiasa bersikap hati-hati. Dengan berusaha berperilaku etik setinggi-tingginya, seorang dokter akan semakin jauh dari tindakan melanggar hukum.

3. Penyusunan Proposal Pelayanan Kesehatan

Proposal ini mencakup dengan pembuatan rekam medis (medical record). Selama dokter bertindak sesuia dengan proposal tersebut, dia dapat terlindungi dari tuduhan malpraktek Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu

malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan

tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi

prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.

(57)

tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.151

Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

perbuatan melawan hukum atau tindak pidana atau tidak, maka dapat dilihat dari.. unsur-unsur

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam Bab XI mengenai ketentuan pidana dalam UU ITE, maka dapat diidentifikasikan beberapa perbuatan yang dilarang (unsur tindak

Tindak pidana ini merupakan salah- satu tindak pidana penipuan yang mempunyai sifat kekhususan sehubungan dengan objeknya, jika objek penipuan secara umum (Pasal 378 KUHP) adalah

Perjudian merupakan penyakit sosial. Di dalam hukum positif, perbuatan judi sebagai tindak pidana kejahatan yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Perbuatan sebagaimana diancamkan dalam Pasal 3, 4 , dan 5 merupakan perbuatan yang diancamkan terhadap manusia (unsur setiap orang), pencantuman korporasi sebagai subjek tindak

Tindak Pidana terorisme Pasal 1 angka 1 : “Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan daiam Undang-Undang ini”