• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-langkah Penanganan Kasus

Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kodeki. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi dapat juga dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenagan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.

174

1. Dimulai dari langkah pencegahan. Dilakukan perspektif safety disetiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan melibatkan proses manajemen resiko.

2. Bila telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah kesalahan yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi. Untuk melakukan hal itu, ia harus membuat kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya.

173

Ibid

17

3. Bila tingkat potensial menjadi kasus medikoleganya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (Komite Medik) untuk dibahas bersama pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra indikasi, alternative tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasan lainnya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi yang cocok dengan situasi kondisi kasus.

Keseluruhan yang dilakukan di atas juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus. Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. 175

Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat

175

dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan" dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi. Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam "dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.176

176

http:// Kesimpulan.com News dugaan-malpraktek-kedokteran.html, diakses pada tanggal 11 November 2010

Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya. 177

Alasan keengganannya tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman pengeluaran dari komunitas tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut, ancaman pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk :

(1) Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat,

(2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien, (3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga.

Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :178

177

http://Kesimpulan.com News, diakses pada tanggal 26 September 2010

178

1. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat memenuhi standar kualifikasi yang ada.

2. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.

3. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.

4. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien. Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur yang ada.

5. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.

6. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu. 7. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.

8. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada. 9. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan

informasi yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.

10. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.

11. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis.

12. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat. 13. Jangan mengabaikan pasienmu.

14. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal. Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.

15. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan. 16. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata

laksana akan menjadi komprehensif.

17. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien. Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.

18. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung narkotika.

19. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.

20. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu. 21. Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.

Pembelaan Dapat Dilakukan Seorang Dokter Jika Diisukan Melakukan Penelantaran. Meskipun seorang pasien mengajukan kasus prima facie bahwa dokter telah melakukan penelantaran, bahkan mengajukan bukti bahwa dokter tersebut tidak memberikan kenyamanan pelayanan kesehatan sesuai standar media yang diharapkan oleh pasien pada waktu tertentu atau berdasarkan kepercayaan

pada doktrin res ipsa loquitur (Bukti – bukti berbicara untuk dirinya sendiri), hukum membolehkan seorang dokter untuk membela dirinya, selain penyangkalan tindakan penelantaran. Pembelaan yang dapat dilakukan, antara lain :179

1. Perkiraan resiko tindakan pada pasien

2. Keikutsertaan terjadinya penelantaran oleh pasien sendiri

3. Bahwa penelantaran tersebut bukan untuk melindungi dokter tersebut melainkan orang lain, misal perawat

Sikap dokter terhadap hukum. Dokter yang terlibat pada kasus hukum dan telah membaca laporan kasus hukum sering kesal pada tatalaksana yang diterima oleh mereka sendiri atau koleganya di tangan pengacara. Namun, terlihat jelas dari laporan kasus singkat pada bab ini, bahwa pasien telah sering mengalami banyak kehilangan dan satu-satunya kesempatan kompensasi untuk dirinya sendiri dan tergugat bergantung pada tindakan hukum. Juga jelas dari laporan kasus bahwa pengadilan menjunjung tinggi reputasi dokter saat hal tersebut mungkin, dan tidak boleh bersimpati terhadap disabilitas pasien yang berpengaruh pada keputusan hukum.

17

Sikap tidak memihak ini lebih dijelaskan pada kasus Roe and Woolley v. Minister of Health dimana terdapat cedera berat pada penggugat, namun pengadilan mengatakan bahwa ’kami seharusnya tidak menghukum kelalaian yang hanya merupakan kecelakaan. Kami seharusnya selalu berada pada kehati-hatian terhadapnya, terutama pada kasus melawan rumah sakit dan dokter.’Untuk perlindungan diri, seorang dokter harus selalu memperhatikan kasus-kasusnya

dengan seksama, bersiap memberikan alasan untuk segala keputusan yang dibuatnya dan menjaga pasien agar tetap diinformasikan dengan baik dan berada dalam kepercayaannya.

Jika pada saat tidak beruntung ia menjadi tergugat secara hukum, maka ia telah memiliki dasar yang baik untuk pembelaan. Selama mendengarkan kasus, ia harus berpengetahuan penuh mengenai semua kenyataan yang terjadi pada kasus, walaupun terkadang terlewat saat sesi pertanyaan, dan harus bersiap untuk menjawab pertanyaan berdasarkan pemahamannya atas tatalaksana dan pendapatnya. Ia harus mengingat bahwa kapanpun tindakannya dipertanyakan, ia harus selalu terlihat mempunyai alasan yang tepat. Ia tidak pernah harus menunjukkan bahwa tindakannya sempurna.180

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktek maka dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23 1992 tentang kesehatan. Dan UU Praktek kedokteran dalam BAB X Ketentuan Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi:

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

180

ibid

Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkama Konstitusi pasal tersebut telah mengalami revisi, dimana salah satu keputusan dari Mahkama Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam

pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda tetap diberlakukan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi yang berjudul ’Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis’ ini adalah:

KESIMPULAN

1. Hubungan hukum dokter-pasien terbentuk karena kesepakatan. Kesepakatan dalam kontrak terapeutik terbentuk pada saat pasien memberikan persetujuannya (Informed Consent) pada dokter untuk melakukan tindakan medis setelah dokter memberikan penjelasan pada pasien. Hubungan hukum dokter-pasien memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaaupun tidan dibuat secara formal tertulis. Dokter tidak hanya bertanggungjawab atas akibat buruk yang diderita pasien karena perbuatannya dalam malpraktik kedokteran, tetapi juga bertanggungjawab atas perbuatan pegawai atau bawahannya yang tunduk pada perintahnya.

2. Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Medis Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi Dan Praktik Perawat. Mengenai timbulnya pertanggungjawaban dokter terletak pada

akibat. Berat ringannya beban pertanggungjawaban hukum dokter bergantung pada berat ringannya akibat yang diderita oleh pasien. Setiap tindakan medic selalu mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medic, dapat saja menimbulkan risiko yang besar, sehingga dapat saja pasien menderita kerugian. Dalam hal terjadi risiko baik yang dapat diprediksi maupun tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab dokter dapat dimintakan apaila dokter telah berbuat kesalahan/kelalaian, meskipun tidak ada seorang dokter yang waras sengaja membuat kesalahan.

3. Kebijakan hukum pidana terhadap penegakan hukum kesehatan, memiliki kesulitan yang dihadapi oleh penegak hukum, pada umumnya berada dalam tataran pemahaman, artinya kurangnya kemampuan atau pengetahuan aparat penegak hukum terhadap hukum kesehatan, dalam konteks ini biasanya ditemukan persoalan antara etik dan hukum. Artinya, apakah perbuatan atau tindakan dokter yang dianggap merugikan pasien itu merupakan pelanggaran etik atau pelanggaran hukum positif yang berlaku, maka akibatnya timbul keraguan untuk menegakkan hukum tersebut. Disamping itu perlu disadari bahwa aturan-aturan hukum kesehatan yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat mengcover atau mengakomodasi persoalan-persoalan yang timbul dibidang pelayanan kesehatan. Artinya belum ada peraturan yang secara tegas merumuskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan seorang dokter dalam melakukan perawatan, sehingga untuk melaksanakan tugas-tugasnya, dokter masih harus mempedomani kode etik kedokteran dan harus memperhatikan

aturan-aturan hukum kesehatan, termasuk aturan-aturan hukum kesehatan yang berlaku diluar negri. Dalam mengatasi keadaan yang demikian, penyempurnaan perangkat hukum yang sangat diperlukan karena perangkat hukum dapat menjadi alat “social control” untuk menjaga atau mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, dan dapat menjadi alat “social engineering” sebagai sarana untuk membawa masyarakat berkembang maju secara dinamis dibawah pengayoman hukum. Pelaksanaan aturan hukum kesehatan ditengah masyarakat memerlukan keberlakuan hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis agar dalam penerapannya dapat diperoleh kepastian, keadilan dan kemanfaatannya dalam masyarakat.

A. SARAN

1. Hubungan hukum ini haruslah bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan

sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien.

2. Pengaturan tindak pidana medis dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat (termasuk dokter) tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Dalam tindak pidana medis (criminal malpractice) pertanggungjawaban pidananya harus dapat dibuktikan tentang adanya kesalahan professional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara pengobatan atau perawatan. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat. 3. Kebijakan hukum pidana dalam mengatasi keadaan yang demikian, maka

penyempurnaan perangkat hukum yang sangat diperlukan karena perangkat hukum dapat menjadi alat “social control” untuk menjaga atau mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, dan dapat menjadi alat “social engineering” sebagai sarana untuk membawa masyarakat berkembang maju secara dinamis dibawah pengayoman hukum. Pelaksanaan aturan hukum kesehatan ditengah masyarakat memerlukan keberlakuan hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis agar dalam penerapannya dapat diperoleh kepastian, keadilan dan kemanfaatannya dalam masyarakat.

BAB II

HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN DOKTER SERTA TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS

Dokumen terkait