• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BINTANG ULLY ROTUA PARDEDE 150200567

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Allah atas penyertaanNya yang tak berkesudahan, Alah yang selalu menolong dan memimpin Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Huku, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini Penulis menucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penulis, Bapak tersayang Edward Pardede dan Ibu tersayang Nita Ismawati, yang begitu luar biasa bekerja keras untuk membesarkan dan menyekolahkan penulis hingga jenjang perguruan Tinggi dan mengajarkan kepada penulis arti hidup yang sesunguhnya. Terimakasih Bapak dan Ibu untuk Doa dan cinta kasih yang tak terhingga sampai saat ini.

Melalui kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. H. OK. Saidin, SH., M.hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M. Hum selaku pembantu Dekan II dan Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

2. Dr. Muhammad Hamdan, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara yang membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M,Hum selaku Dosen Pembimbing I yang sangat membantu penulis dalam memberikan arahan, masukan serta bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang sangat membantu penulis dalam memberikan arahan, masukan serta bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Zulfi Chairi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang selalu mengarahkan penulis dalam bimbingan akademik selama masa perkuliahan Penulis.

6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan Ilmu dan Pengetahuannya baik dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan.

7. Kepada adik-adik tercinta Raja M Pardede, Bintatar A M Pardede, Maraden Hotma J Pardede, Rudolf Diego A Pardede, terimakasih untuk selalu mendukung lewat doa dan kasih sayang kalian sehingga penulis selalu bersemangat melewati setiap proses penulisan skripsi ini.

8. Kepada abang Junter S R Sihite, ST terimakasih untuk selalu mendukung Penulis dalam Doa dan dalam segala hal, terimakasih untuk cinta dan kasih yang sangat berarti, hingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga kita selalu diberkati Tuhan

(5)

9. Kepada sahabat Kost dan Kontrakan penulis selama berjuang di Medan, terimakasih sudah menjadi orang-orang setia yang selalu mendukung sampai akhir. Semoga kita sukses selalu

10. Kepada sahabat kampus selama berjuang di perkuliahan, terimakasih sudah saling mendukung dalam setiap proses hingga saat ini, juga kepada kelompok KLINIS terimakasih untuk perjuangan KLINIS yang kita selesaikan bersama.

Semoga kita sukses selalu.

11. Kepada kelompok Kecil UKM KMK the power of affection terimakasih selalu mendukung lewat Doa dan pertumbuhan rohani. Semoga Tuhan selalu menyertai

12. Kepada teman-teman kakak dan abang di PP GKPI Pamen, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk segala dukungan yang diberikan kepada penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripisi ini

13. Kepada Teman-teman grup F 2015, teman-teman stambuk 2015, dan teman- teman IMADANA yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, terimakasih untuk perjuangan kita, semoga kita sukses selalu.

14. Kepada semua sahabat penulis, dari SD SMP SMA yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, terimakasih hingga saat ini masih selalu saling mendukung. Semoga kita sukses selalu

15. Kepada seluruh keluarga besar penulis dan untuk setiap orang yang selalu mendukung penulis, terimakasih untuk selalu mendukung lewat motivasi dan doa, semoga Tuhan selalu menyertai kita semua.

(6)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat menerima masukan dan saran yang bersifat membangun dimasa yang akan datang.

Medan, Februari 2019 Penulis,

Bintang Ully Rotua Pardede

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

ABSTRAK... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian Penulisan... 7

F. Tinjauan Pustaka... 7

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana... 7

2. Pengertian Dan Istilah Terorisme... 9

3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana... 13

4. Karakteristik dan Bentuk-bentuk Teroisme... 14

G. Metode Penelitian... 23

H. Sistematika Penulisan... 25

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA A. Kebijakan Penal... 27

(8)

1. Kebijakan Formulatif... 29

2. Kebijakan Aplikatif... 44

3. Kebijakan Administratif... 49

B. Kebijakan Non Penal... 50

BAB III PROSES HUKUM PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Faktor Yang Melatarbelakangi Timbulnya Terorisme... 57

B. Subjek Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme... 64

C. Proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 86

B. Saran... 87

DARTAR PUSTAKA... 84

(9)

ABSTRAK

*Bintang U R Pardede

**Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S

***Nurmalawaty, SH., M.Hum

Teorisme dalam segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering dituju kepada instansi negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara, pemerintahan pada umumnya, objek-onjek vital dan strategis maupun pusat keramaian umum lainnya. Pemerintah telah melakukan upaya dalam penanggulangan tindak pidana terorisme sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002. Berdasarkan hal ini, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Bagaimana proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Untuk menjawab masalah tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana teroisme.

Pengaturan mengenai terorisme diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

Kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilakukan melalui sarana penal dan nonpenal. Pemerintah telah membuat aturan dalam bentuk hukum acara pidana khusus (lex spesialis) dalam proses hukum pelaku tindak pidana terorisme pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang- undang.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

* Mahsasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakulta Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Terorisme pada dasarnyamerupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Teorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ditengarai telah ada sejak jaman yunani Kuno, Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan. Dalam konteks ini terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat.1

Aksi terorisme di Indonesia bukan lagi menjadi hal yang baru bagi bangsa ini. Istilah Terorisme di Indonesia beberapa tahun belakangan ini bukan lagi hanya dapat didengar atau disaksikan melalui media massa, melainkan telah menjadi suatu kenyataan yang mengerikan bagi masyarakat.2 Bangsa ini semakin akrab dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh sosok dan komunitas yang memberikan ancaman serius yang menimbulkan bahaya bagi masyarakat Indonesia.

Terorisme berkembang sejak lama, ditandai dengan kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.

Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun satu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer pada abad ke-18, namun fenomena

1Luqman Hakim, Terorisme Di Indonesia, Surakarta: FSIS, 2004, Hal. 3

2Muzakkir Samidan Prang, Terorisme Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011, Hal. 9

(11)

yang ditunjukannya bukanlah baru. Manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19.

Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Pada akhir abad ke-19, ketika menjelang terjadinya perang dunia pertama, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dam Amerika. Bentuk terorisme diyakini merupakan cara paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, yaitu dengan membunuh orang-orang yang berpengaruh. Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasis ideologi. Pasca perang dunia kedua, dunia tidak lagi mengenal Damai. Berbagai pergejolakan berkembang dan berkelanjutan, konfrontasi negara adikuasa semakin meluas menjadi konflik Timur-Barat dan menyeret beberapa negara yang menyebabkan timbulnya konflik utara selatan. Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasawarsa tahun tujuhpuluh. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

Kejahatan yang dilakukan dengan pengeboman terhadap suatu sasaran secara sistematis dapat terjadi dimana saja dan menimbulkan korban tanpa pandang bulu. Pada Mei 2018, Indonesia kembali harus berduka atas kejahatan terorisme yang terjadi, antara lain:

1. Aksi terror di Mako Brimob, Depok Jawa Barat dalam peristiwa ini ada enam polisi yang dijadikan sandera, lima diantaranya tewas ditangan teroris. Setelah

(12)

kejadian tersebut 145 narapidana teroris dipindahkan dari Mako Brimob ke Nusakambangan, Cilaccap, Jawa Tengah.

2. Pengeboman di tiga Gereja di Surabaya. Bom diletakkan di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gerja Pantekosta jalan Arjuna.

3. Pengeboman di Rusunawa Wonocolo,Sidoarjo.

4. Pengeboman di Polrestabes Surabaya dan yang kelima yaitu penyerangan terduga teroris di Mapolda Riau.

Aksi terorisme biasanya dilakukan dalam bentuk serangan-serangan yang terkoordinasi dengan tujuan untuk membangkitkan perasaan ketakutan luarbiasa dalam masyarakat. Meski aksi teror telah berlangsung lama di Indonesia, namun pola yang digunakan para pelaku teror kerap berubah-ubah. Pada tahu 2013 panglima TNI pada saat itu, Jenderal TNI Moeldoko mengatakan, aksi terorisme telah berubah dari tradisional menjadi modern. Perubahan terutama terjadi karna aksi teror sudah dilakukan secara mandiri dengan struktur organisasi lokal yang linier, terpisah dan tidak jelas. Para pelaku teror melakukan aksinya dengan menggunakan konsep panthom cell network yang menghubungkan kelompok- kelompok teroris dengan kerahasian yang tinggi. Hubungan interaksi antara kelompok-kelompok tersebut karena mereka memiliki tujuan yang sama yaitu adanya kesinambungan aksi-aksi teror.3

Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (non extra ordinary crime), sebab pengertian “terorisme” itu

3Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,Bidang Pemerintahan dalam Negeri Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, Terorisme:Pola Aksi Dan Antisipasinya, Vol X, No 10/II/Puslit/Mei/2018

(13)

sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap manusian atau crime against humanity4. Kini kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangannannya juga harus luar biasa (extra ordinary measures). Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan pula penanganan yang dengan pendayagunaan cara-cara yang luar biasa karena sebagai hal:

1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar terhadap hak asasi manusia . Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup dan hak asasi manusia untuk bebas dari rasa takut.

2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.

4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorismenasional dengan organisasi internasional.

5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganiasi baik yang bersifat nasional maupuh transnasional.

6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional5

Pembukaan UUD RI 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pernyataan tersebut memberikan arti bahwa negara indonesia

4Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: Pensil-324, 2012. Hal. 2

5DIH Jurnal Ilmu Hukum,Kebijakan Hukum Pidana Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan Radikalisme Berbentuk Terorisme, Pebruari 2016, Vol 12, No 23, Hal.57

(14)

wajib dan ikut bertanggungjawab sebagai bagian dari negara-negara di dunia untuk ikut melakukan upaya penanggulangan terhadap berbagai bentuk radikalisme termasuk terorisme.

Teorisme dalam segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering dituju kepada instansi negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara, pemerintahan pada umumnya, objek-onjek vital dan strategis maupun pusat keramaian umum lainnya.6

Pemerintah telah melakukan upaya dalam penanggulangan tindak pidana terorisme sejak 2002 setelah peristiwa bom di Bali dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang selanjutnya dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat yang menyetujui Perpu Nomor 1 tahun 2002 menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang yang disahkan pada 4 April 2003. Kini dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002

6Muhammad Ali Zaidan, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal), Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri semarang, Vol 3 nomor 1 Tahun 2017,149-180

(15)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang, yang disahkan pada 21 Juni 2018.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan mengkaji kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dan pertanggungjawaban tindak pidana terorisme dan proses hukum dalam sistem peradilan pidana di indonesia.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, terdapat beberapa permasalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia?

2. Bagaimana proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan permasalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dan mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

2. Untuk mengkaji dan mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana terorisme dan proses hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis manfaat dari penelitian ini yaitu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan menambah wawasan dalam

(16)

bidang ilmu pengetahuan terkait topik dalam penelitian ini. Selain itu penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk perkambangan ilmu hukum di bidang pemberantasan kejahatan terorisme di Indonesia.

Secara praktis manfaat dari peneleitian ini yaitu melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau menjadi kerangka acuan kepada praktisi, civitas akademik serta seluruh pihak yang terkait dalam pemberantasan kejahatan terorisme di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas umatera Utara, skripsi yang berjudul“Kebijakan Hukum Terhadap Pemberantasan Terorisme Di Indonesia” belum pernah ditulis. Untuk itu penulis dapat bertaanggungjawabatas keaslian penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antaralain “penal policy” atau “strafrechts.

Menurut Prof Sudarto, “politik hukum” adalah :7

a. Usaha untuk mewujudkan peartutan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

7Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan konsep KUHP Baru, Jakarta:Kencana Media Grup, 2008, Hal. 26

(17)

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Menurut Prof Sudarto, pelaksanaan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil peundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu untuk masa yang akan datang.

Menurut A. Mudler,“Strasfrechtspolitiek”ialah garis kebijakan untuk menetukan

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 8

Upaya penaggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (diluar hukum pidana).

Dari defenisi kebijakan hukum pidana diatas, politik hukum pidana juga diartikan sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-

8Ibid, Hal. 27

(18)

pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.

2. Pengertian Dan Istilah Terorisme

Defenisi terorisme sendiri sampai saat inimasih menimbulkan silang pendapat. Kompleksitas masalah yang terkait dengan tindakan terorisme, mengakibatkan pengertian terorisme itu sendiri masih diinterpretasikan dan dipahami secara berbada-beda. Kajian Lequeur (1999), mengkaji setidaknya lebih dari suatu defenisi terorisme, yaitu terorisme memiliki ciri utama digunakannya ancaman kekerasan dan tindak kekerasan. Selain itu, terorisme umumnya didorong oleh motivasi politik, dan dapat juga karena adanya fanatisme keagamaan.9

Istilah terorisme mengandung pengertian yang luas. Karena itu, ketika mendiskusikan terorisme, ia tidak mengacu pada defenisi tunggal. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa PBB dan sejumlah negara besar di dunia belum mencapai suatu konsesnsus tentang teorisme. Akan bahaya jika secara

9Luqman Hakim, Op. Cit, Hal. 10

(19)

terburu-buru meresepsikan terorisme dengan “kekerasan politik”, sebab dalam dunia politik dan kenegaraan, kekerasan politik bisa mengambil banyak bentuk dan tipe, bergantung pada konteks lokal dan nasional di negara yang bersangkutan. 10

Didalam Hukum Pidana, terorisme sering dikelompokkan sebagai fenomena kriminalitas konvensional. Unsur-unsur untuk memasukkan terorisme sebagai tindak pidana dapat diketahui dengan pemahaman tentang aspek-aspek mendasar berkaitan dengan tindak pidana. Secara dogmatis, masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu:

a. Perbuatan yang dilarang;

b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang ituTerorisme sebenarnya;

c. Pidana yang diancam terhadap pelanggaran itu;

Dalam membahas terorisme dan kekerasan, adalah penting untuk menyadari bahwa terorisme bukan hanya suatu bentuk kekerasan, tetapi juga merupakan metode dan misi politik yang menggunakan kekerasan. Para teroris memandang kekerasan tidak saja sebagai tujuan, melainkan sebagai cara menunjukkan ancaman dan ketakutan terhadap seseorang atau kehidupan masyarakat. Penggunaan kekerasan juga merupakan cara yang efektif untuk menunjukkan kekerasan “pihak lain”, “musuh”, atau saingan yang menjadi bagian dari sasaran.Terorisme merupakan suatu bentuk kejahatan yang terorganisir, diperlukan adanya duskungan financial dan juga akses senjata dan bahan peledak.

10Ismatu Ropi DKK, Memahami Terorisme, Sejarah, Konsep Dan Model, Jakarta:

Kharisma Putra Utama, 2016,Hal.45

(20)

Satu hal yang perlu dicatat adalah Gerakan terorisme tidak muncul secara tiba-tiba. Dari berbagai penelusuran tentang gagasan, jaringan, sel dan organisasi sel yang radikal, bisa dilihat bahwa terorisme adalah fenomena sosial , politik dan kekerasan yang bterbentuk dalam rentang waktu yang panjang.

Mengonseptualisasikan terorisme dan paham radikalisme dalam cara ini mengandaikan suatu pemahaman bahwa perkembangan gerakan atau organisasi terorisme biasanya terkait erat dengan prose-proses hidtoris pembentukan negara (state for the nation).11

Terorisme dalam bahasa inggris disebut “terrorism” yang berasal dari kata “terror”, dan pelakunya disebut “terrorist”. Berdasarkan Oxford Paperbag Dictionary, “terror” secara bahasa diartikan sebagai “extreme fear” (ketakutan yang luar biasa), “terrifying person or thing” (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Sedangkan “terrorism” berarti “use of violence and intimidation, especially for political purpose”.

Terorisme berasal dari kata Teror. Dalam bahasa latin berarti ketakutan, kengerian, dan kegelisahan. Teror digunakan oleh penguasa yang tidak mempunyai legitimasi untuk membuat suasana ketakutan, mencari dukungan, menarik perhatian dunia Internasional atau sebagai kegiatan anarkhis yang bertujuan merusak12

Dari suatu forum diskusi (brain storming) antara para akademisi, profesional, pakar, pengamat politik, dan diplomat terkemuka yang diadakan di

11Ibid, Hal 46

12Ibid, Hal. 9

(21)

kantor Menko Polkam tanggal 15 September 2001 dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan tentang terorisme, sebagai berikut :

“terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum”13

Menurut The Arab Convention for the Suppression of Terrorism, terorisme ialah setiap tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan tujuannya, yang dilakukan untuk menjalankan agenda kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan kepanikan ditengah masyarakat, perasaan takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi, atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.14

Kata Teror dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh eseorang dan golongan.

Dengan demikian arti terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai satu tujuan

Dalam Undang-undang No 5 Tahun 2018 Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menibulkan kerusakan

13Ibid, Hal 13

14Ibid, Hal 14

(22)

atau kehancuran terhadap objek vital yang srategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas Internasional dengan motif Ideologi, politik, atau gangguan keamanan15

3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law enforcement officer) di Amerika Serikat.16

Pemahaman tentang sistem peradilan pidana dapat dilihat dari elemen kata yang melekat dalam sistem peradilan pidana tersebut. Menurut Samodra Wibawa, sistem merupakan hubungan antara beberapa unsur yang satu tergantung kepada unsur yang lain. Bila salah satu sistem hilang, maka sistem tidak dapat berjalan.

Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun keseimbangan dan secara keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukkan kepada suatu proses yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan.17

Menurut Marjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri atas lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan manajemen untuk mengendalikan atau menguasai

15Undang-undang No 5 tahun 2018 Tentang perubahan atas Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahu 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang, Pasal 1 Angka 2

16Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Berbagai Negara, Yogyakarta:Penerbit Medpress Digital, 2013, Hal. 3

17Ibid, Hal. 11

(23)

atau melakukan penegakan, atau dapat dikatakan sebagai aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan.18

Sistem peradilan pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat penal menggunakan hukum pidana sebagai sasaran utama, baik hukum pidana materil maupun formal termasuk pelaksanaan pidananya. Sistem peradilan pidana yang terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advocat merupakan suatu proses yang diharapkan masyarakat untuk bergerak secara terpadu dalam mencapai suatu tujuan yang dikehendaki bersama, yaitu mencegah terjadinya kejahatan.19

4. Karakteristik dan Bentuk-bentuk Terorisme a. Karakteristik Terorisme

Menurut Terrorism Act 2000 UK, bahwasanya terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri : (a) aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik; (b) penggunaan atau ancaman dipergunakan untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; (c) penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi; (d) penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.20

18Ibid, Hal. 12

19Ibid, Hal. 13

20K.H.A Hasyim Muzadi Dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Malang: Rafika Aditama, 2003, Hal. 34

(24)

The United State National Advisory Cimmitte dalam The Report of the Task Force on Disorders and terrorism (1996), membagi terorisme dalam beberapa tipe, yaitu political terrorism, non political terrorism, quasi terrorism, limited political terrorism, dan official terrorism atau state terrorism.21

Political terrorism adalah bentuk terorisme yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dengan tujuan politik. Secara umum terorisme diterangkan bermotifkan politik. Setidaknya demikianlah pandangan klasik mengenai terorisme. Karenanya, political terrorism menjadi sangat dominan, dan dengan mudah ditemukan dalam berbagai kasus.

Non Political terrorism yaitu kekerasan dan ancaman kekerasan yang dilakukan diluar motif politik. Jadi terorisme non politik adalah bentuk terorisme yang dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas dendam, penyelamatan (salvation), maupun semata-mata karena kegilaan (madness).

Quasi terrorism menggambarkan kegiatan insidental guna melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menggunakan metode teror.

Ilustrasi darimetode ini dapat ditemukan pada kasus-kasus pembajakan peswat atau penculikan tokoh yang tidak didasarkan pada motivasi ideologis. Dalam Quasi terrorism ini, para pelaku teror lebih tertarik untuk melakukan tindakan teror, semata-mata karena untuk memperoleh uang tebusan.

Limited political terrorism merupakan terorisme jelas bermotifkan politik, meskipun dalam skala terbatas. Artinya, kegiatan teror yang dilakukan tidak

21Ibid, Hal. 39

(25)

merupakan bagian dari suatu gerakan untuk menyerang negara. Contoh dari limited political terrorism dalah pembunuhan politik (assassination)

Official or state terrorism, dalam state terrorism ini, organisasi negara sebagai pelaku teror yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemikiran lain yang juga berkembang dalam melihat state terrorism memandang bahwa bukan berarti negara terlihat dalam terorisme secara langsung, melainkan hanya menjadi sponsor dari organisasi-organisasi tertentu pelaku terorisme. Pengertian state terrorism masih menjadi perdebatan sengit para pakar hukum internasional. Di satu sisi, state terrorism diartikan negara sebagai pelaku teror, dan di sisi yang lain diartikan negara hanyamenjadi sponsor dari kelompok atau negara yang melakukan aktivitas terorisme. Namun demikian, sejumlah negara sering disebut- sebut sebagai state terrorism, seperti lybia dan Israel misalnya.

Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme ditinjau dari empat macam pengelompokan yang terdiri dari :22

Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi : 0rganisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan internasional. Karakteristik Operasi yang meliputi : perencanaan, waktu, taktik dan kolusi.

Kedua, karakteristik perilaku yang mengikuti : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup. Karakteristik sumber daya yang meliputi : latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi persenjataan perlengkapan dan transportasi.

22Ibid, Hal. 32

(26)

Berdasarkan hasil studi dan pengalaman empiris dalammenangani terorisme yang dilakukan oleh PBB dapat disimpulkan beberapa karakteristik psikologi dari pelaku-pelaku terorisme sebagai berikut:

a. Bahwa teroris umumnya mempunyai persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara nyata atau khayalan,

b. Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut harus diubah,

c. Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh,

d. Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan, yang penting tujuan tercapai,

e. Pilihan tindakan pada hakikatnya berkaitan dengan ideologi yang dianut dan tujuan yang oleh pekaku dirasakan sebagai kewajiban,

f. Oleh karena itu konsep deteren konvensional tidak efektif lagi dalam upaya pemberantasan terorisme,

g. Tanpa upaya resosialisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat, mereka akan lebih radikaldan para pengagum akan berbuatkekerasan lebih lanjut dan menjadikan mereka sebagai pahlawan (dan korban sekaligus)23

Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori. Pertama, semangat nasionalisme. Pejuang kemerdekaan umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezim penjajah. Kedua, semangat separatisme. Kelompok separatisme secara stereotipe juga menempatkan kekerasan politik sebagai model perjuangan bersenjata.

23Muzakkir Simidan, Op.cit, Hal 55

(27)

Kekerasan politik yang dipilih sebagai jalan perjuangan oleh kaum separatis cenderung di klaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Ketiga, semangat radikalisme agama. Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan metode teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Keempat, gerakan terorisme yang didorong oleh spirit bisnis. Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan War State Army adalah kelompok teroris yang berlatarbelakang perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis ilegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencapai tujuan.24

b. Bentuk-bentuk Terorisme

Kalau dilihat dari sejarahnya, maka tipologi terorisme terdiri dari beberapa bentuk yaitu : bentuk pertama, terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah itu terjadi di perang dunia II. Bentuk yang kedua, terorisme dimulai di Al-jazair di yahun lima puluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan

“serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nasionalist) sebut sebagai

“terorisme negara”. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sarana mereka adalah mereka yang tidak berdosa. 25

Terdapat beberapa gerakan yang digunakan oleh teroris dalam melaksanakan aksi terornya, diantaranya yaitu;

24Luqman Hakim, Op. Cit, Hal.18

25K.H.A Hasyim Muzadi , Op.Cit, Hal 39

(28)

1) Bom Bunuh Diri

Menurut Institute for Counter-Terrorism(ITC), peledakan bom bunuh diri adalah sebuah metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kematian pelaku. Pelaku sepenuhnya menyadari bahwa ia tidak mati, rencana penyerangan tidak akan dapat terlaksana. Bom bunuh diri sudah digunakan sejak abad ke-11.

Di Indonesia, bom bunuh diri marak dipergunakan mulai dari bom bunuh diri di Bali12 Oktober 2002, berlanjut 5 Agustus 2003 di hotel JW Marriot danRitz Carlton Jakarta, dan yang terbaru yaitu bom bunuh diri pada tahun 13 Mei 2018 yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur dengan waktu yang berdekatan.

Bom bunuh diri atau yang dikenal dengan Suicide bombing juga telah menjadi model yang dipilih teroris untuk menghancurkan sarana seperti gedung kembar WTC di New york, bom Bali I dan II, hingga peledakan bom di berbagai negara seperti Rusia, Mesir, Spanyol, inggris dan Irak. Bom bunuh diri juga dipilih untuk serangan karena fleksibel dan akurat. Penggunaan teror bom di sejumlah tempat baik di Indonesia maupun di negara lain memperlihatkan tren yang meningkat.26

2) Peledakan Bom

Peledakan Bom ditempat umum yang strategis bisa dipandang efektif untuk melahirkan suasana teror dalam sebuah masyarakat. Bom digunkan digunakan dalam terorisme sudah dikenal pada era Napoleon, umtuk memperluas kekuasaan yang melebihin kekuasaannya sendiri.

26Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana Prenada, 2012, Hal. 107

(29)

Pengeboman adalah taktik yang palingumum digunakan kelompok teroris, dan merupakan aksi yang paling populer dilakukan karena selain mempunyai nilai mengagetkan (shock value), aksi ini lebih vepat mendapat respon karena korbannya relatif lebih banyak. 27

3) Penembakan

Para penembak merupakan kelompok terlatih (snipper) dengan menggunakan senjata canggih.

4) Perampokan

Perampokan merupakan suatu tindakan kriminal dengan mengambil kepemilikan seseorang atau sesuatu melalui tindakan kasar dan intimidasi.

Perampokan dalam terorisme Biasanya dilakukan dengan merampas uang dalam jumlah yang besar untuk mendukung operasi kaum teroris.

Dana merupakan kebutuhan mutlak bagi teroris agar dapat melaksanakan aksinya. Untuk membiayai operasionalnya, teroris melakukan perampokan bank, toko perhiasan, atau tempat lainnya. Segala hal yang dilakukan demi memperoleh dukungan finansial yang diperlukan. Pada umumnya, teroris melakukan perampokan baik perampokan pada masyarakat umum maupun terhadap nasabah bank yang memiliki jumlah uang besar.28

5) Pembunuhan

Pembunuhan merupakan salah satu aksi teroris tertua dan masih digunakan hingga saat ini. Pembunuhan ini seringkali telah dorencanakan dan selanjutnya teroris mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan.

27Ibid, Hal. 108

28Ibid, Hal. 113

(30)

Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat pemerintah, pengusaha, politisi, dan aparat keamanan.

6) Penculikan

Penculikan adalah salah satu tindakan terorisme yang paling sulot dilaksanakan, tetapi bila penculikan tersebut berhasil, maka mereka akan mendapatkan uang untuk pendanaan teroris atau melepasakan teman-teman seperjuangan yang dipenjara serta mendapatkan publisitas untuk jangka panjang.

Dalam hal ini penyanderaan melibatkan perbuatan khusus terhadap fasilitas atau lokasi dan melakukan penyanderaan.29

Acap kali penyanderaan ini dimaksudkan agar pejabat yang berwenang membuat keputusan-keputudan yang dramatis untuk memenuhi tuntutan terorisme, dan target para terorisme adalah penonton yang terpengaruh oleh penagkapan sandera-sandera, bukan pada sandera itu sendiri.

7) Sabotase

Sabotase sangat populer dilakukan oleh teroris selama periode 1960-1970.

Sabotase merupakan tindakan perusakan yang dilakukan secara terencana, disengaja dan tersembunyi terhadap peralatan, personel dan aktivitas dari bidang sasaran yang ingin dihancurkan yang berada ditengah-tengah masyarakat, kehancuran harus menimbulkan efek psikologis yang besar.

Kata sabot berasal dari bahasa Perancis yang artinya sepatu kayu, kata sabotase ini populer pada abad 19 masa industri Perancis yang menimbulkan pengangguran dan PHK hingga terjadi pengerusakan mesin industri dengan

29 Ibid, Hal. 112

(31)

memasukkan sepatu kayu kedalam mesin industri yang ada. Sejak saat itu kata

“sabotase” digunakan daam pengertian yang sama sekarang ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sabotase merupakan 1. perusakan milik pemerintah dan sebagainya (oleh pemberontak), 2. Penghalang produksi perusahaan atau tindakan merusak dan menentang kelancaran kerja (oleh kaum buruh yang tidak puas), 3. Pemusnahan fasilitas militer, perhubungan, atau pengangkutan wilayah musnah oleh agen rahasia lawan oleh kelompok gerakan perlawanan bawah tanah. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa struktur penting seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dll

8) Penghadangan

Cara lain kelompok teroris menunjukkan eksistensinya adalah dengan melakukan penghadangan. Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal ini juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris, aksi ini biasanya direncanakan dengan seksama, dan sebelumnya dilaksanakan latihan pendahuluan serta gladi bersih secara tepat. Dalam operasi ini waktu medan berpihap pada teroris.30

9) Pembajakan

Pembajakan adalah perebutan kekuasaan dengan paksaan terhadap kendaraan di permukaan, penumpang-penumpangnya, dan/atau barang-barangnya.

Dengan kata lain pembajakan adalah kegiatan merampas barang atau hak orang lain. Pembajakan pada umumnya dihubungkan dengan pembajakan kapal oleh bajak laut, walaupun sering terjadi pembajakan pesawat, bus dan kereta api.

30 Ibid, Hal. 112

(32)

Pembajakan yang sering dilakukan oleh teroris adalah pembajakan terhadap sebuah pesawat udara, karena dapat menciptakan suasana yang menghalangi sandera dan bergerak dari suatu tempat ke tempat lain, yang melibatkan sandera- samdera dari berbagai bangsa dengan tujuan agar menimbulkan perhatian media.

Pembajakan udara juga menyediakan peralatan yang sifatnya dapat digerakkan atau dapat dipindahkan untuk menampung pesawat udara ke negara yang mendukung maksud atau tujuan mereka dan menyediakan perlindungan bagi mereka. 31

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dan peraturan perundangundangan yang mengatur permasalahan dalam skripsi ini. Bersifat normatif karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif mengenai hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan dalam praktiknya.

Metode pendekatan yaitu metode pendekatan normatif (Legal Research) yaitu pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan komparative (Comparative Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), atau menggunakan metode Empiris (Yuridis Sosiologis) dan dapat juga menggabungkan antara kedua metode pendekatan terebut.32

31 Ibid, Hal. 111

32 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Thesis dan Disertasi, Medan: PT Sofmedia, 2015, Hal. 97

(33)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diambil melalui data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidah langsung yaitu sebagai berikut : 1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ini merupakan bagian ketentuan perundang- undangan yang telah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder pada dasarnya diberikan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka penelitian akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum, doktrin, teori hukum, artikel hukum maupun jurnal hukum yang terkait dengan Penelitian.

Dalam hal ini bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu studi kepustakaan yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Biasanya diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia, jurnal hukum, arsip-arsip penelitian dan sebagainya.

H. Sistematika Penulisan

(34)

Sistematika penulisan ini dibagi menjadi beberapa bab, dimana dalam setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang menjabarkan tentang permasalahan dalam bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uarain sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang uraian umum seperti apa penelitian pada umumnya yaitu dengan menguraikan latar belakang penulisan, rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode yang digunakan penulis untuk menulis skripsi ini, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini.

2. BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA

Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umu kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan kejahatan terorisme di Indonesia baik itu melaui kebijakan penal maupun kebijakan non penal. Kebijakan penal yaitu meliputi kebijakan Formulasi yaitu perumusan peraturan perundang-undangan, kebijakan aplikatif yaitu penerapan atau penegakan hukum oleh aparat hukum, dan kebijakan Administratif yaitu pelaksanaan hukum pidana secara konkrit. Kebijakan Non Penal yaitu yang bersifat pencegahan terjadinya kejahatan.

3. BAB III PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Dalam bab ini akan diuraikan uraian tentang pertanggungjawaban tindak pidana terorisme dan proses hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,

(35)

yang diuaraikan dengan menjelaskan faktor yang meletarbelakangi timbulnya terorisme, subjek hukum dalam tindak pidana terorisme, dan pertanggungjawaban kejahatan terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

4. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penulisan skripsi ini dan saran

(36)

BAB II

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA

A. Kebijakan Penal

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya.

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampakpositif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor- faktor tersebut adalah sebagai berikut:33

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja 2. Faktor penegak hukum

3. Faktorsarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kebijakan penal pada hakikatnya mengandung unsur represif namun juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan

33https://www.kompasiana.com/djawara/54fec582a33311703c50f8bd/faktor-faktor-yang- mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia, dilansir pada 13 Juli 2009, Pukul 07.45 WIB

(37)

pidana terhadap delik/kejahatan politik diharapkan ada efek pencegahan/penangkalnya (detteren effect). Hal ini berarti hukum pidana difungsikan sebagai saran pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana untuk dijadikan sebagai saran menanggulangi kejahatan. Digunakannya hukum pidana sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan, selama ini masih merupakan sesuatu yang lazim digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.34

Menurut Marc Ancel, Penal Policy atau kebijakan hukm pidana adalah,

“suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana keputusan pengadilan”35

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan suatu usaha yang memuat suatu peraturan yang mencantumkan pemidanaan. Hukum sebagaimana ini diperlukan karena:36

1. Sanksi Pidana merupakan sanksi yang dibutuhkan

2. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik atau merupakan alat yang terbaik dalam menghadapi kejahatan (ultimum remedium)

34Artikel Law Reform, PRODI Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNDIP, Kebijakan Hukum Pidana (Penal) Dan Non Hukum Pidana (Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat, Volume 4, No 2, Tahun 2009

35Barda Nawawi, Op.cit, Hal. 27

36M Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, Hal 21-22

(38)

3. Walaupun di suatu sisi sanksi pidana merupakan penjamin yang terbaik, di sisi lain pengancam utama kebebasan manusia.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Upaya penanggulangan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.37

Ruang lingkup dari politik hukum pidana dapat meliputi kebijakan formulatif, aplikatif, dan eksekutif. Inti dari politik hukum pidana sendiri adalah bagaimana merumuskanhukum pidana yang baik dan memberikanpedoman dalam perbuatan (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan (kebijakan eksekutif) hukum pidana.38

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal operasionalisasinya melalui berapa tahapan melalui tiga tahap, yaitu:39

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif) 1. Kebijakan Formulatif (kebijakan Legislatif)

a. Sejarah Pembentukan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian dunia dewasa ini. Bukan sekedar aksi teror semata, namun pada

37Ibid, Hal. 46

38Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, kebijakan formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Medan: Graha Ilmu, 2012, Hal. 13

39Ibid, Hal 14

(39)

kenyataannya tindak kejahatan manusia juga melanggar hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat dalam diri manusia, yaitu hak untuk merasa nyaman dan aman ataupun hak untuk hidup. Selain itu terorisme juga menimbulkan korban jiwa dan kerusakan pada harta benda, tindak kejahatan terorisme juga merusak stabilitas negara, terutama dalam sisi ekonomi, pertahanan keamanan, dan sebagainya.terorisme jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat, tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan setelah dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi, sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).40

Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat hukum (legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupaka tahap paling startegis dari “penal policy”, karena itu kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Kriminalisasi terhadap terorisme dapat dilakukan menggunakan tiga cara, yaitu:41

1) Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhada pasal-pasal dalam KUHP.

40Mulyana W Kusumah, terorisme dalam Perspektif politik dan hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Volume 2, 2002, No. 3, Hal.22

41Ari Wibowo, Op.cit, Hal.87

(40)

2) Melalui sistem kompromi dengan memasukkan bab baru mengenai kejahatan terorisme dalam KUHP.

3) Melalui sistem global dengan membuatpengaturan secara khusus dalam undang-undang tersendiri di luar KUHP, termasuk kekhususan dalam acaranya.

Dilihat dari ketiga cara tersebut, Indonesia memilih menggunakan sistem global, yaitu melalui undang-undang khusus yang mengatur terorisme di luar KUHP dengan disertaiketentuan-ketentuan khusus termasuk hukum acaranya.

Konstitusi mengamanatkan negara berkewajiban untuk melindungi warganya dari setiap ancaman baik bersifat nasional, trans nasional maupun bersifat internasional, sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,...”42

Serangan atas gedung WTC dan gedung Pentagonn AS oleh para teroris pada tanggal 11 September 2001, telah mendorong pemerintah AS dan negara- negara barat lainnya untuk memperbaharui undang-undang anti terorismemereka dengan tujuan untuk memperluas dan memperkuat kewenangan aparat negara masing-masing dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan serangkaian

42Pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945 Alinea ke-4

(41)

tindakan koersif lainnya yang dipandang perlu untuk kesuksesan kampanye perang melawan terorisme (war on terrorism).43

Dengan demikian AS kemudian secara sistematis membangun opini internasional bahwa kampanye anti terorisme yang dipeloporinya merupakan upaya membela kemanusiaan. Berdasarkan ini pula lah AS melegitimasi aksinya ke seluruh dunia, sepeti menyerang ke Afganistan dan invasi ke Irak, mengelompokkan orang atau grup tertentu sebagai teroris, menangkap, membentuk aset dan tindakan lain yang dianggap penting oleh AS, termasuk menekan negara lain (khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia) agar menyesuaikan regulasi nasionalnya dengan kepentingan AS dalam memerangi terorisme dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Setelah tragedi 11 September 2001 yang menimpa gedung WTC, teroris kembali beraksi di Bali, Indonesia yang menewaskan lebih dari 180 orang , dan yang luka-luka mencapai lebih dari 300 orang. Tiga hari setelah tragedi 13 Oktober di Bali, PBB mengeluarkan sebuah resokesi baru No. 1438 yang isinya selain mengancam terorisme, juga berisi permintaan agar seluruh 15 anggota dewan keamanan PBB membantu Indonesia untuk menyeret pelaku, pengorganisasi dan sponsor serangan teror Bali ke pengadilan.

Seluruh anggota Dewan keamanan PBB secara bulat menyatakan setuju untuk voting dalam resolusi 1438, yang menggambarkan bahwa serangan teroris di Bali sebagai sebuah ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.

43Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011, Hal.147

(42)

Resolusi tersebut juga mengingatkan kewajiban seluruh anggota PBB untuk bekerjasama memerangi terorisme.

Akhirnya, menanggapi resolusi Dewan Keamanan PBB tidak hanya prihatin dengan jumlah korban yang kehilangan jiwa, tetapi juga akan dampak tragedi Bali pada ekonomi Indonesia.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 UUD 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) harus diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dimintakan persetujuan dalam persidangan. Terhadap permintaan persetujuan Perpu, DPR sendiri tidak dalam posisinya mengubah apapun dari substansinya, namunhanya menyetujui atau menolaknya. Jika DPR tidak menyetujui, maka Perpu itu harus dicabut.

Pada tanggal 7 November 2002, pemerintah melalui presiden Megawati Soekarnoputri mengirimkan surat kepada DPR perihal penyampaian Rancangan Undang-undang (RUU) di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam surat tersebut , presiden memberikan opsi kepada DPR dengan mengajukan empat RUU, yaitu:44

1. RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintanh Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang

2. RUU tentang Penetapan peraturan pemerintah Penggati Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

44Ari Wibowo, Op.cit, Hal. 88

(43)

Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi undang-undang

3. RUU tentang Peberantasan tindak Pidana Terorisme

4. RUU tentang Pemberlakuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002

Pada saat itu, karena DPR sedang dalam masa reses, maka pada 7 Pebruari 2003, DPR baru membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang beranggotakan 50 orang dari berbagai fraksi yang ada. Pembentukan Pansus bertujuan agar pembahasan terhadap empat RUU tersebut bisa optimal.

Secara garis besar, mekanisme kerja yang direncanakan Pansus terdiri atas enam tahap, yaitu : (1) Rapat kerja/Rapat dengar pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum dengan menteri, para pakar, akademisi dan perguruan tinggi, dan LSM untuk mendapat masukan sebagaibahan pembahasan empat RUU di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme; (2) Rapat kerja yang membahas empat RUU di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme; (3) Rapat Panitia Kerja (Panja) yang membahas empat RUU di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme beserta penjelasannya yang ditugaskan oleh Pansus; (4) Rapat Tim Perumus untuk merumuskan materi (termasuk penjelasan pasal) tetaapi tidak merubah substansi yang ditugaskan oleh pansus dan Panja; (5) Rapat Tim Kecil yang bertugas membahas konsideran menimbang, mengingat dan penjelasan umum RUU, serta pengerucutan permasalahan yang belum dapat terselesaikan

(44)

dalam tingkat Panja; (6) Rapat Tim Sinkronisasi yang bertugas mensinkronkan hasil kerja Tim Kecil dan Tim Perumus, serta penugasan dari Pansus dan panja.

Setelah melalui beberapa tahap,Pansus menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR mengenai pembahasan empat RUU bidang pemberantasan tindak Pidana Terorisme. Dalam laporannya, ketua Pansus menyampaikanbahwa atas dasar pertimbangan perlunya payung hukum untuk mengatasi tindak pidana terorisme yang sering terjadi pada waktu itu, maka Pansus merekomendasikan kepada DPR agar memintakan persetujuan fraksi terhadap

1. RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang

2. RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang.

Dalam rapat Paripurna DPR, terdapat dua fraksi yang menolak dan tujuh fraksi yang menyetujui RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang dan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan Bom di Bali

(45)

Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang. Atas dasar itulah maka rapat Paripurna DPR memutuskan untuk menyetujui RUU penetapan dua perpu tersebut menjadi uundang-undang.

Setelah disetujui oleh DPR, maka pada tanggal 4 April 2003 Presiden mengesahkan dua undang-undang, yaitu:45

1. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Thun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang

2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang.

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin perlindungan dan kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangna hukum masyarakat, perlu dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan kondisi sosial politik di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

45Ibid, Hal. 94

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam perspektif Hak Asasi Manusia serta kebijakan yang

sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. f) Ketentuan dalam Peraturan

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG. NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

Bentuk Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15A. Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Untuk Menunjang Efektifitas Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditulis oleh Olivia

Akibat Tindak Pidana Terorisme dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Terorisme ………. Akibat yang Ditimbulkan oleh Tindak Pidana

2) Bab IV merumuskan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme yang diatur di dalam Pasal 20 sampai dengan 24. Pelaksanaan Counter Terrorism Terhadap Pelaku

Hasil penelitian yaitu pengaturan hukum tentang tindak pidana terorisme menurut hukum di Indonesiaadalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan berlaku hingga sekarang.Penegakan hukum