• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

B. Kebijakan Non Penal

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya;

1. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencagah hubungan antara pelaku dengan objeknya dangan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas

2. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan.

3. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan.

Dalam sistem peradilan pidana, pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara yang dapat ditempuh baik menggunakan hukum pidana maupun diluar hukum pidana.

Menurut G.P Hoefnegels, upaya penanggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat yang dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu:59

1. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana 2. Jalur non penal, yaitu:

a. Pencegahan tanpa pidana, termasuk didalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata

b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa.

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk

59DIH Jurnal Ilmu Hukum, Op. Cit, Hal. 61

mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (sosial defence policy).

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan aktual maupun potensial terjadi. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik yaitu usaha rasional untuk mennggulangi kejahatan.

Profesor Jamal Wiwoho dalam seminar Degradasi Moral, Gaya Terorisme Muda dan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, mengatakan bahwa upaya penanggulangan dan pencegahan teorisme dapat dilakukan antara lain:60 a. Melalui supremasi hukum, upaya penegakan hukum dalam memerangi

terorisme dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Tidak pandang bulu dan tidak mengarah pada penciptaan citra negatif pada kelompok/komunitas tertentu

b. Prinsip indepedensi juga dilaksanakan untuk menegakkan ketertiban dan melindungi masyarakat dari pengaruh tekanan negara asing atau klompok tertentu

60Bahan Terorisme dalam Negara Hukum Pancasila, disampaikan dalam seminar Degradasi Modal, Gaya Terorisme Muda dan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Surya Buana Karanganyar di Pendopo Bupati/Gedung Paripurna DPRD Karanganyar, Rabu 30 Januari 2013 oleh Prof.Dr.Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. Dosen S1, S2, dan S3 Fakultas Hukum UNS, dan Pembantu Rektor II Universitas UNS

c. Malakukan koordinasi antara instansi tekait dengan komunitas intelejen dalam penyaluran informasi dan analisa serta partisipasi aktif dari kkomponen masyarakat

d. Strategi demokrasi diterapkan dengna memberikan peluang bagi masyarakat sebagai saluran aspirasinya dalam meredam potensi gejolak radikaliasme dan terorisme

e. Melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat serta memberikan kepahaman dalam bentuk pola pikir yang benar

f. Memberikan andil kepada masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha menanggulangi terorisme

g. Menggunakan 4 (empat) pilar yang adadi negeri kita untuk mencegah terorisme, yaitu:

1) Pancasila 2) UUD 1945

3) Bhinneka Tunggal Ika 4) NKRI

Penggunaan sarana non penaldalam kaitannya dengan pemberantasan terorisme adalah upaya penanggulangan tindak pidana terorisme dengan lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencagahan) sebelum kejahatan terjadi.

Upaya yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas, misalnya dengan memahami dan menalami akar persoalan (root causes) dari aksi terorisme yang umumnya menyimpulkan bahwa persoalan sepeti kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan baik pada level nasional begitu juga internasional merupakan

persoalan paling mendasar dari fenomena terorisme. Lebih jauh, fenomena pemahaman yang dangkal dan parsial terhadap ajaran agama islam juga disebut sebagai faktor pemicu terorisme, khususnya di Indonesia61

Upaya non penal menduduki posisi yang strategis dalam penanggulangan sebab-sebab kejahatan dan kondisi-kondisi yang menyebabkan kejahatan.

Terhadap bahaya kejahatan terorisme yang berawal dari radikalisme yang berbasis sara atau agama, terdapat beberapa sarana non penal yang dapat ditempuh seperti pendidikan agama dan moral sejak dini, pemberian pemahaman dan upaya penyadaran terhadappelaku terorisme maupun paham radikal, memperkuat koordinasi dan kerjasama antar instansi untuk melakukan upaya pencegahan bersama-sama. Pendidikan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam membangun masa depan suatu bangsa dan taraf hidup suatu masyarakat.

Kekeliruan dalam pendidikan dapat membuat suatu pondasi moral yang rapuh sehingga menyebabkan mudahnya paham-paham radikal untuk masuk.

Terhadap pelaku terorisme yang berhasil ditangkap atau tengah menjalani masa tahanan, merupakan bahaya yang laten jika yang bersangkutan tidak diberikan upaya penanggulangan dengan baik. Pelaku terorisme merupakan orang-orang yang di dalam pikirannya telah tertanam paham-paham radikal dan menganggap segala kekerasan atau ancaman merupakan jalan yang indah atau akan bermuara pada kebahagiaan kelak di alam lain. Perlu dilakukan rekonstruksi ulang terhadap pemikiran para pelaku terorisme oleh pihak psikolog dan sejenisnya. Pelaku terorisme yang dibiarkan ada dalam penjara dengan tetap

61Mardenis, Op. cit, Hal. 77

mengusung paham radikalnya, dapat saja memberikan pengaruh bahkan mengubah pemikiran narapidana lainnya di lapas. Koordinasi strategi yang tepat disemua instansi pemerintahan termasuk pula pada sub sistem peradilan pidana memegang peranan yang penting pula dalam usaha penanggulangan bahaya paham radikal berbentuk terorisme di masyarakat. 62

Di indonesia sendiri, untuk menanggulangi tindak pidana teroris pernah dilakukan program deradikalisasi dan antiradikalisasi pada tahun 2016.

Deradikalisasi merupakan upaya untuk metransformasi keyakinan atau ideologi radikal melalui pendekatan interdisipliner termasuk agama, sosial, dan budaya.

Dengan deradikalisasi, kita berharap keyakinan yang keliru yang tersebar melaui narasi-narasi kekerasan dan terlanjur dan terlanjur diyakini parateroris dapat diubah, jika program deradikalisasi itu dijalankan secara substantif dan paripurna, teroris dan mantan teroris akan berubah menjadi lebih baik.

Para teroris dan mantan teroris yang berhasil mengikuri program deradikalisasi tidak saja akan meningalkan paham dan aksi kekerasan yang pernah dianut, mereka tidak jarang menjadi aktor yang membantu aparat keamanan dalam menyadarkan kalangan yang terlanjur terlibat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Keberhasilan program deradikalisasi misalnya Abbdurrahman Ayyub, Abu Dujana, Ali Imron, dan Ali Fauzi Manzi.

Dimuat dalam metro.tempo.co pada kamis, 17 Mei 2018, Menurut kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, program deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh BNPT berhasil. Terdapat lebih dari 600

62DIH Jurnal Ilmu Hukum, Op. Cit, Hal. 62

narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme tersebut, hanya ada tiga orang yang mengulangi perbuatannya.63

63 https://www.google.com/amp/s/metro.tempo.co/amp/1090705/al-chaidar-program-deradikalisasi-teroris-bnpt-salah, dilansir pada Minggu, 20 Mei 2018, Pukul 17.13 WIB

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN PROSES HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

A. Faktor Yang Melatarbelakangi Timbulnya Terorisme

Terjadinya tindak pidana terorisme tidak dapat dikatakan muncul dengan sendirinya, melainkan adanya faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya tindak pidana terorisme. Terorisme berkembang akibat ketidakpuasan kelompok tertentu terhadap sistem yang ada dan berusaha mengubah keadaan awal ke keadaan yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita mereka. Arsyad Mbai memandang bahwa terjadinya terorisme bersumber pada ekstremisme ideology keagamaan, nasionalisme kesukuan dan terorisme yang dilakukan oleh kepentingan tertentu.

Berbicara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme, hal ini juga merupakan kejahatan yang banyak menyedot perhatian para kriminolog. Dari sudut pandang kriminologi (latar belakang tindak kejahatan), terorisme dianggap sebagai tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan oranglain tetapi juga melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Terorisme telah menjadi istilah yang sangat polpuler akhir-akhir ini untuk menyebut suatu tindakan menakut-nakuti, mengancam, dan menyerang pihak lain secara terselubung. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyangsikan penggunaan istilah tersebut. Sebab penggunaan kata terorisme telah bias dengan berbagai kepentingan.64

64Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Jakarta:PT Rafika Aditama, 2004, Hal. 16

Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak yang lain. Karena itu terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan ideologi, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidak adilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman , lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan perintah, erosi kepercayaan daripada rezim, dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintah dan elit politik juga menjadi penyebab lahirnya terorisme. Menurut pakar psikologi, Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegel, seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris melalui suatu proses yakni psikologi, filosofis, dan politik.65

Kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat yang berkembang dengan sangat cepat, baik dari segi kualitasnya maupun dari segi kuantitasnya. Kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat, norma-norma dan sanksi sosial yang semakin diperlonggar akan memunculkan disorganisasi baik dalam masyarakat maupun keluarga yang pada gilirannya akan memberi peluang bagi berkembangnya bermacam tindak kejahatan. Sebagaimana diucapkan oleh Lacassagene: “masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya”66

Dalam buku Dikdik M Arief Mansur yang berjudul “Hak Imunitas aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme” hasilpenyelidikan para

65 Ibid, Hal. 17

66Muhammad Daud, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Kesan Pesan Sahabat Menyambut 70 Tahun, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, Hal. 26

ahli menemukan bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya terorime, antara lain:67

1. Faktor nasionalisme, berkisar pada tuntutan hak-hak pilotik dan nasionalisme kelompok minoritas yang merasa tertindas, seperti yang terjadi di Palestina dan Irlandia

2. Faktor politik, berkisar pada tuntutan suatu kelompok yang merasa lebih berhak untuk mendapatkan kekuasaan atau bagia dari kekuasaan seperti yang terjadi di beberapa negara berkembang

3. Faktor keturunan dan bahasa yang merupakan faktor utama yang menimbulkan teror, dimana suatu kepompok yang berasal dari keturunan yang sama atau bahasa yang sama menuntut memisahkan diri dari negara dengan dalih bahwa hak-hak mereka dirampas oleh negara seperti yang terjadi pada suku kurdi di Iran dan Turki

4. Faktor peradaban, berkisar pada tuntutan suatu kelompok agar keucian ajaran agama dan kehormatan bangsa yang selama ini tercemar akibat tingkah laku pemerintah yang berkuasa atau pengaruh tekanan negara lain, seperti gerakan Hisbullsh di Iran dan Aum Sin Rikyo di Jepang

5. Faktor sosial dan prikologi yang meliputi: perasaan tertindas yang biasanya bnyak dialami oleh masyarakat kelas bawah dan menengah dalam sebuah masyarakat sebagai akibat kesulitan ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat

67Dikdik M. Arief Mansur, 2012, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: Pensil-324, 2012

6. Tuntutan perubahan, yang mendorong suatu kelompok untuk melakukan perubahan yang mendasar dari tatanan kehidupan akibat kejenuhan sosial.

Tuntutan ini banyak terjadi pada masyarakat Eropa, khususnya kelas atas 7. Penolakan, yakni penolakan terhadap fenomena sosial baru akibat

perkembangan teknologi yang dinilai bertentangan dengan norma kemanusiaan dan akhlak mulia

8. Akidah ideologi, faktor ini biasanya tumbuh di kalangan kelompok terdidik, dimana apa yang selama ini mereka yakini bertentangan dengan msyarakat sekitar, seperti keyakinan mereka terhadap marxisme atau zionisme.

Berdasarkan penelitian empiris, faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya terorisme adalah sebagai berikut:68

a. Persepsi terhadap ketidakadilan distributif, prosedural, dan interaksional.

Greenbeerg menyatakan adanya tiga jenis persepsi keadilan, yakni keadilan distributif, prosedural, dan interaksional. Keadilan distributif menyangkut pembagian sumberdaya secara adil, keadilan prosuderal berkaitan dengan pemberian hak yang setara untuk mengambil keputusan untuk pengelolaan sumberdaya, dan keadilan interaksional berkaitan dengan penerapan interaksi secara adil tanpa pilih kasih. Dalam essaynya mengenai radikalisme dalam agama, Djamaludin Ancok, berpendapat bahwa persepsi terhadap ketidakadilan merupakan faktor penting yang berkorelasi dengan radikalisme yang berujung ke terorisme. Pendapat senada dikemukakan Fathali Moghaddam yang sangat terkenal dengan teorinya sctaircase to Terrorism. Moghaddam berpendapat

68Experientia Jurnal Psikologi Indonesia, mengkaji Sejumlah kemungkinan Penyebab Tindak Terorisme; Kajian Sosio-Klinis, 2012, Vol 1, No. 1

bahwa akar terorisme dapat dilacak ke persepsi mengenai ketidakadilan, entah distributif, prosedural, maupun interaksional, tanpa adanya opsi untuk melawan dengan cara diplomatis. Akhirnya, kekerasan menjadi cara yang dipilih sebagai bentuk perlawanan; apalagididukung oleh faktor-faktor seperti pemaknaan terhadap ayat-ayat suci dan adanya komunitas yang menyuburkan persepsi radikal tersebut.69

b. Pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung radikalisme.

Sudah lama diketahui bahwa ayat-ayat kitab suci dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara; entah kitab berupa Alkitab/Bible, Al-Qur’an, ataupun kitab suci agama lainnya. Selalu saja ada beragam kemungkinan interpretasi terhadap ayat atau isi kitab-kitab tersebut, termasuk interpretasi yang menjurus ke radikalisme. Oleh penganut ideologi fundamentalisme (dari agama apapun), kitab suci dianggap memberikan mandat yang bersifat absolut dan tidak bisa ditentang.

Pembaca yang tertarik mengetahui daftar ayat-ayat yang seringkali di interpretasikan untuk mendukung radikalismedapat membaca buku Is Religion Killing Us karya Jeck Nelson-Pallmeyer. Beragam studi telah menemukan bahwa tindak terorisme hampir-hampir tidak bisa dipisahkan dari adanya interpretasi terhadap pembenaran radikalisme dan kekerasan dalam Kitab Suci.70

c. Komunitas yang mendukung atau menyuburkan persepsi radikalisme

Dalam sebuah tulisannya, Philip Zimbardo_tokoh yang merumuskan sejumlah teori penting dalam psikologi, termasuk teori deindeviduasi_menyatakan

69Ibid, Hal. 73

70Ibid, Hal. 74

bahwa “sebuah tong yang berisi cuka akan selalu mengubah sayuran apapun yang dimasukkan ke dalamnya menjadi asinan, terlepas dari resiliensi, niat baik, ataukondisi genetik sayuran tersebut. Artinya lingkungan memberi pengaruh kuat dalam bentuk perilaku individu. Terdapat banyak sekali contoh yang mendukung gagasan ini, namun untuk studi kasus singkat yang relevan dengan topik ini, penulis mengambil contoh kasus Reserve Battalion 101. Reserve Battalion 101 adalahsebuah resimen yang di rekrut pihak Nazi-Jerman dalam Perang Dunia II.

resimen tersebut terdiri dari 500 pria paruh baya yang terlalu tua untuk direkrut sebagai tentara. Para pria tersebut adalah “pria rumahan” yang berasal dari keluarga baik-baik. Tidak ada satu anggota pun yang pernah memiliki pengalaman kemiliteran, apalagi pengalaman menyiksa atau membunuh orang.

Para pria paruh baya tersebut dikirim ke Polandia dengan misi khusu untuk membunuh sebanyak-banyaknya orang Yahudi (namun tujuan misi tersebut baru diberitahukan sesaat sebelum para pria tersebut diterjunkan ke lapangan). Para anggota resimen tersebut diberikan kebebasan untuk mengundurkan diri dari resimen jika mereka tidak sanggupmeneruskan pekerjaannya. Ketika resimen itu benar-benar diterjunkan ke lapangan dan diperintahkan membunuh sebanyak-banyaknya orang Yahudi, pada awalnya para anggota resimen menunjukkan gejala-gejala psikosomatis yang hebat seperti muntah-muntah, mimpi buruk, dan badan gemetar. Namun dalam waktu empat bulan, jumlah korban yang di bunuh ke-500 tentara tersebut berjumlah 38.000 orang. Tidak ada lagi psikosomatis atau perasaan bersalah: beberapa anggota bahkan berfoto sambil tertawa di dekat tumpukan jenajah korban-korbannya. Fenimena ini menunjukkan besarnya

pengaruh komunitas terhadap sikap,nilai dan perilaku individu. Kekuatan kelompok dalam menyuburkan paham radikalisme dan kekerasan telah dibuktikan berulang-ulang dalam banyak literatur ilmiah.71

d. Bias heuristik yang dialami para pelaku tindak terorisme.

Gagasan ini termasuk konsep yang baru. Sependek yang diketahui penulis, gagasan ini merupakan ide orisinal dari Mirra Noor Milla dalam disertasinya mengenai proses penilaian dan pengambilas strategi terorisme di Indonesia.

Dalam studi doktoralnya, Milla mewawancarai tiga terpidana mati yang dipenjara di Nusakambangan. Dengan menggunakan landasan teori keterbatasan rasionalitas dari Kahneman, Milla menginterpretasikan data penelitiannya dan menyimpulkan bahwa para pelaku tindak teroris Bom Bali I cenderung terjebak dalam biar heuristik. Dalam kondisi saat seseorang tidak memperoleh informasi yang memadai terhadap sifat dasar permasalahan dan solusinya, seseorang tersebut cenderung mengambil keputusan dengan mengandalkan prinsip-prinsip heuristik.

(Heuristik merupakan kemampuan manusia mengambil keputusan secara tept berdasarkan data yang tidak lengkap). Adanya figur pemimpin yang kharismatik bisa mengarahkan individu-individu itu untuk tunduk pada tekanan komformitas dalam kelompok.72

e. Kekecawaan terhadap praktis sistem demokrasi.

Dalam karyanya yang lengkap dan mendetail, Jan Aritonang malporkan sejarah perjumpaan pemeluk agama Kristen dan Islam di Indonesia, mulai sejak jaman penjajahan Portugis, Spanyol, dan VOC Belanda hingga era Reformasi saat

71Ibid, Hal. 74

72Ibid, Hal. 75

ini. Dalam buku tersebut, Aritonang menyoroti kekecewaan sejumlah kalangan fundamentalis yang menolak atau tidak menyetujui praktik sistem demokrasi di Indonesia. Sebagai gantinya, kalangan ini menawarkan suatu sistem suatu pemerintahan yang berbasis agama tertentu, secara radikal. Oleh sejumlah individu yang menganut faham fundamentalis ini, sistem pemerintahan yang sekarang ini berlaku di Indonesia dianggap sebagai sistem yang jahat sehingga harus diperangi.

B. Subjek Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme

Subjek hukum adalah subjek yang dapat melakukan perbuatan hukum.

Subjek hukum terbagi kedalam subjek hukum perdata dan subjek hukum pidana.

Subjek hukum perdata merupkan subjek yang dapat melakukan perbuatan perdata, baik perbuatan yang menyangkut hak perdata maupun kewajiban perdata.73

Subjek hukum Pidana adalah Manusia dan Korporasi 1) Manusia sebagai Subjek Hukum Pidana

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berlaku pada saat ini, aslinya berasal dari KUHP Belanda yang disebut Wetboek van Sraftrecht, berlakunya KUHP Belanda tersebut di Indonesia diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1918 berdasarkan asas Konkordansi. KUHP Belanda berasal dari KUHP Perancis yang diberlakukan oleh Napoleon (1801) yang pada waktu itu menjajah Belanda dalam upaya Napoleon menguasai Eropa.74

73Sutan Remi Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk Beluknya, Depok, Kencana, 2017, Hal. 16

74Ibid, Hal. 17

KUHP Perancis yang kemudian melahirkan KUHP Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi tersebut berlaku pula di Indonsia, telah dibuat berdasarkan pendirian bahwa hanya manusia saja yang dapat melakukan tindak pidana. Hal itu dapat diketaui dari frasa hij die yang digunakan dalam rumusan berbagai strafbaar feit (tindak pidana atau delik) dalam Wetboek van Straftrecht. Frasa tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata

“barang siapa” yang berarti”siapa pun”. Karena dalam Bahasa Indonesiakata siapa merujuk kepada “manusia”, maka kata”barang siapa”atau “siapa pun” berarti

“setiap manusia”75

Secara Dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu:76

1. Perbuatan yang dilarang;

2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilrang itu;

3. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan, denda.77

Disamping KUHP yanghanya ditujukan kepada manusia sebagai pelaku tindak pidana, dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, baik yang lama (HIR) maupun yang baru taitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

75Ibid, Hal 18

76K.H. A Hasyim Muzadi, Op.cit, Hal.67

77Ibid, Hal. 70

Pidana (KUHAP) yang sekarang berlaku, ternyata juga hanya dijumpai pengaturan mengenai penuntutan terhadap manusia. Dalam KUHAP tidak dijumpai pengaturan mengenai penuntutan terhadappelaku tindak pidana yang berupa korporasi.78

Dari pengertian siapa yang dimaksud dengan “tersangka”, “terdakwa”,

“rehabilitasi”, “pengaduan”, dan “terpidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHAP dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana hanyalaah manusia. Mari kita lihat bagaimana KUHAP memberikan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut dibawah ini;

Tersangka adalah orang yang akrena perbuatannya atau keadaannya, berdasatkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Rehabilitasi adalah hak seorang untuk dapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

78Sutan Remi Sjahdeini, Op. cit, Hal.18

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaa oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaa oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang

Dokumen terkait