• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA JURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA JURNAL"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

JURNAL

Nama : Bintang Ully Rotua Pardede

NIM : 150200567

departemen : Hukum Pidana

dosen Pembimbing : I. Prof. Dr, Madiasa Ablisar, SH., MS ablisar@yahoo.co.id

II. Nurmalawaty, SH., M.Hum nurmalawaty@usu.ac.id

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap Bintang Ully Rotua Pardede

Jenis Kelamin Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir Pardomuan Nauli, 11 Juni 1998

Kewarganegraan Indonesia

Status Belum Menikah

Agama Kristen Protestan

Alamat Domisili Jl. Jamin Giting, Gg Sumber no 4, Padang Bulan, Medan

No. Telp 082272417169

Email Bintangpardede11@gmail.com

Tahun Instusi Pendidikan

2003-2009 SD Negeri 091482 Kasindir

2009-2012 SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar 2012-2015 SMA Negeri 4 Pematangsiantar 2015-2019 Universitas Sumatera Utara

A. Data Pribadi

B. Pendidikan Formal

(4)

Terrorism in all of manifestation is a serious crime and threaten human value, offend public welfare for human, commodity even for country agency or country institution or military/safety defense, or for personavication that drive the country institution as the head of state, government, vital and strategic object, or the other public centers. The government has made efforts in tackling the crime of terrorism since the 2002 Bali bomb. Based on that, the problem in this research is how about policy of criminal law on the eradiction of terrorism in Indonesia and how about the legal process of perpetrators of criminal acts of terrorism in the criminal justice system in Indonesia.

To answere the problem, the research method used is a normative juridical method, by conducting library research, research carried out by examining literature relate to the eradication of criminal acts of terrorism.

The regulation regarding the terrorism is regulated in Law number 15 of 2003 concerning the stipulation of a replacement government regulation in Law number 1 of 2002 concerning of criminal acts of terrorism in to constitution. Policy of criminal law on the eradication of terrorism criminal act in Indonesia can be done with penal policy and non-policy penal. The government has made a rule in the form of a special criminal procedure law (lex spesialis) in legal process of a criminal offender in the criminal justice system in Indonesia. According to provisions of article 25 point 1 of law number 5 of 2018, the legal process of terrorism in the criminal justice system in Indonesiais bassed on law number 8 of 1981 concerning criminal procedure law unless otherwise stipulated by law number 5 of 2018 concerning amandment to law number 15 of 2003 concerning the stipulation of a replacement government regulation in the law number 1 of 2002 concerning the eradiction of criminal acts of terrorism in to law.

Keywords : Criminal Law Policy , Eradication of Criminal Acts of Terrorism

Student of Faculty of Law, USU

Supervisor I, Lecturer at Faculty of Law, USU

Supervisor II, Lecturer at Faculty of Law, USU

(5)

ABSTRAK

Bintang Ully Rotua Pardede Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S

Nurmalawaty, SH., M.Hum

Teorisme dalam segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering dituju kepada instansi negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara, pemerintahan pada umumnya, objek-onjek vital dan strategis maupun pusat keramaian umum lainnya. Pemerintah telah melakukan upaya dalam penanggulangan tindak pidana terorisme sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002. Berdasarkan hal ini, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Bagaimana proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Untuk menjawab masalah tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana teroisme.

Pengaturan mengenai terorisme diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang- undang. Kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilakukan melalui sarana penal dan nonpenal.

Pemerintah telah membuat aturan dalam bentuk hukum acara pidana khusus (lex spesialis) dalam proses hukum pelaku tindak pidana terorisme pada sistem peradilan pida na di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

(6)

I. Pendahuluan A. Latar Belakang

Terorisme pada dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Teorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ditengarai telah ada sejak jaman yunani Kuno, Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan. Dalam konteks ini terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat.1

Terorisme berkembang sejak lama, ditandai dengan kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.

Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun satu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer pada abad ke-18, namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah baru. Manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Pada akhir abad ke-19, ketika menjelang terjadinya perang dunia pertama, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dam Amerika. Bentuk terorisme diyakini merupakan cara paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, yaitu dengan membunuh orang-orang yang berpengaruh. Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasis ideologi. Pasca perang dunia kedua, dunia tidak lagi mengenal Damai. Berbagai pergejolakan berkembang dan berkelanjutan, konfrontasi negara adikuasa semakin meluas menjadi konflik Timur-Barat dan menyeret beberapa negara yang menyebabkan timbulnya konflik utara selatan. Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasawarsa tahun tujuhpuluh. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

1Luqman Hakim, Terorisme Di Indonesia, Surakarta: FSIS, 2004, Hal. 3

(7)

2

Aksi terorisme biasanya dilakukan dalam bentuk serangan-serangan yang terkoordinasi dengan tujuan untuk membangkitkan perasaan ketakutan luarbiasa dalam masyarakat. Meski aksi teror telah berlangsung lama di Indonesia, namun pola yang digunakan para pelaku teror kerap berubah-ubah. Pada tahu 2013 panglima TNI pada saat itu, Jenderal TNI Moeldoko mengatakan, aksi terorisme telah berubah dari tradisional menjadi modern. Perubahan terutama terjadi karna aksi teror sudah dilakukan secara mandiri dengan struktur organisasi lokal yang linier, terpisah dan tidak jelas. Para pelaku teror melakukan aksinya dengan menggunakan konsep panthom cell network yang menghubungkan kelompok- kelompok teroris dengan kerahasian yang tinggi. Hubungan interaksi antara kelompok-kelompok tersebut karena mereka memiliki tujuan yang sama yaitu adanya kesinambungan aksi-aksi teror.2

Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (non extra ordinary crime), sebab pengertian “terorisme” itu sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap manusian atau crime against humanity. 3Kini kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penangannannya juga harus luar biasa (extra ordinary measures).

Pembukaan UUD RI 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan melakukan upaya penanggulangan terhadap berbagai bentuk radikalisme termasuk terorisme.keadilan sosial. Pernyataan tersebut memberikan arti bahwa negara indonesia wajib dan ikut bertanggungjawab sebagai bagian dari negara-negara di dunia untuk ikut.

Teorisme dalam segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering dituju kepada instansi negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara, pemerintahan pada

2Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,Bidang Pemerintahan dalam Negeri Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, Terorisme:Pola Aksi Dan Antisipasinya, Vol X, No 10/II/Puslit/Mei/2018

3Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: Pensil-324, 2012. Hal. 2

(8)

umumnya, objek-onjek vital dan strategis maupun pusat keramaian umum lainnya.4

B. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana teroisme.

2. Jenis Data dan Sumber Data a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ini merupakan bagian ketentuan perundang- undangan yang telah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder pada dasarnya diberikan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka penelitian akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum, doktrin, teori hukum, artikel hukum maupun jurnal hukum yang terkait dengan Penelitian. Dalam hal ini bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu studi kepustakaan yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Biasanya diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia, jurnal hukum, arsip-arsip penelitian dan sebagainya.

II. Hasil Penelitian

4Muhammad Ali Zaidan, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal), Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri semarang, Vol 3 nomor 1 Tahun 2017,149-180

(9)

4

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Kejahatan Terorisme di Indonesia

Pengertian kebijakan kriminal atau politik kriminal (criminal policy) merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal atau kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.

Menurut Marc Ancel, Penal Policy atau kebijakan hukum pidana adalah,

“suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana keputusan pengadilan”5

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan suatu usaha yang memuat suatu peraturan yang mencantumkan pemidanaan. Hukum sebagaimana ini diperlukan karena:6

1. Sanksi Pidana merupakan sanksi yang dibutuhkan

2. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik atau merupakan alat yang terbaik dalam menghadapi kejahatan (ultimum remedium)

3. Walaupun di suatu sisi sanksi pidana merupakan penjamin yang terbaik, di sisi lain pengancam utama kebebasan manusia.

Ruang lingkup dari politik hukum pidana dapat meliputi kebijakan formulatif, aplikatif, dan eksekutif. Inti dari politik hukum pidana sendiri adalah bagaimana merumuskanhukum pidana yang baik dan memberikanpedoman dalam

5 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan konsep KUHP Baru, Jakarta:Kencana Media Grup, 2008, Hal. 26

6 M Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, Hal 21-22

(10)

perbuatan (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan (kebijakan eksekutif) hukum pidana.7

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal operasionalisasinya melalui berapa tahapan melalui tiga tahap, yaitu:8

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif)

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

Tahap formulasi ini merupakan tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Hukum pidana khusus bukan hanya mengatur tentang hukum pidana materilnya saja, namun juga hukum acaranya. Oleh karena itu harus diperhatikan aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat dalam KUHP bagi hukum pidana materilnya, sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat pada undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Perumusan delik terorisme dan sanksi pidananya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi undang-Undang adalah sebegai berikut,9

a. Kejahatan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas atau menimbulkan korban secara massal dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda oranglain, atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap objek vital, lingkungan hidup atau fasilitas pulik atau fasilitas internasional sesuai yang diatur dalam Pasal 6 dan

7M Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, Hal 21-22

8Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, kebijakan formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Medan: Graha Ilmu, 2012, Hal. 14

9Undang-undang No 5 tahun 2018 Tentang perubahan atas Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang

(11)

6

Pasal 7 dipidana dengan pidana penjera paling lama 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.

b. Kejahatan terhadap penerbangan dan sarana/prasarana (merusak dan menghancurkan bangunan... dan seterusnya sesuai perbuatan-perbuatan yang dilarang mulai dari huruf a sampai dengan huruf r yang diatur dalam Pasal 8, diancan dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sibgkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

c. Kejahatan yang menyimpan, memiliki dan menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak memasukkan ke Indonesia secra melawan hukum atau mengeluarkan dari Indonesia...dan seterusnya, sesuai yang diatur dalam Pasal 9 diancam dengan pidana matiatau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

d. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radio aktif atau komponennya sehingga menimbulkan suasana teror...dan seterusnya, sebagaimana diatu dalam Pasal 10A angka 1 diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai bahan peledak....dan seterusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A angka 2, dipidana dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun dan pali lama 7 (tujuh) tahun.

e. Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme...

dan seterusnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

f. Setiap orang dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme...dan seterusnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 12A angka 1 dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Setiap orang yang sengan sengaja menjadi anggota atau merekrut anggota korporasi...dan seterusnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A angka

(12)

2 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. Pendiri, pemimpin atau pengurus atau orang yang mengendalikan korporasi...dan seterusnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

g. setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik didalam maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme...dan seterusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B angka 1 dipidana dengna pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Setiap orang yang dengan sengaja merekrut,menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan...dan seterusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B angka 2 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Setiap orang yang denga sengaja membuat, mengumpulkan, dan menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun non elektronik...dan seterusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B angka 3 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

Kebijakan aplikatif ini mengarah pada penerapan dan penegakan Undang-undang Pemberantasan Terorisme di Indonesia pleh aparat penegak hukum. Tahap aplikasi ini juga merupakan penerapan hukum pidana in concerto oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan sampai ke pengadilan.

Hadirnya hukum dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan ditengah masyarakat memiliki tujuan untuk mengayomi, melindungi, dan menciptakan stabilitas, keteraturan, ketentraman dan ketertiban. Pengaruh aparat penegak hukum dalam upaya mewujudkan negara hukum yang berkeadilan sangatlah penting.

Berdasarkan fakta lapangan ternyata undang-undang pemberantasan terorisme di Indonesia belum sesuai dengan prinsip-prinsip suatu produk hukum yang demokratis dan berkeadilan. Hal itu tidak semata karena kelemahan lembaga DPR sebagai lembaga legislasi, tetapi lebih berkaitan dengan

(13)

8

kelemahan sistem pemerintahan yang belum sepenuhnya “committed” dengan prinsip-prinsip negara yang demokratis.10

Terkait dengan undang-undang terorime yang baru, undang-undang terorisme ini diharapkan dapat digunakan secara bertanggungjawab oleh Kepolisian Republik Indonesia, Datasmen Khusus 88 Antiteror, Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), Tentara Nasional Indonesia, Jaksa dan Hakim, dan dalam menjalankan tugas pemerintah dan penegak hukum tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perubahan undang-undang ini juga diharapkan dapat memberikan kewenangan pada penegak hukum untuk melakukan tindak pencegahan terhadap kegiatan-kegiatan yang diduga kuat berdasrakan hukum sebagai perbuatan persiapan terorisme.

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif)

Kebijakan administrasi ini sama dengan tahapan eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana.

Upaya penanggulangan secara non penal lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya;

1. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencagah hubungan antara pelaku dengan objeknya dangan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas

2. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan.

3. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan.

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.

Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa

10Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011, Hal. 182

(14)

kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (sosial defence policy).

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan aktual maupun potensial terjadi. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik yaitu usaha rasional untuk mennggulangi kejahatan.

Upaya non penal menduduki posisi yang strategis dalam penanggulangan sebab-sebab kejahatan dan kondisi-kondisi yang menyebabkan kejahatan.

Terhadap bahaya kejahatan terorisme yang berawal dari radikalisme yang berbasis sara atau agama, terdapat beberapa sarana non penal yang dapat ditempuh seperti pendidikan agama dan moral sejak dini, pemberian pemahaman dan upaya penyadaran terhadappelaku terorisme maupun paham radikal, memperkuat koordinasi dan kerjasama antar instansi untuk melakukan upaya pencegahan bersama-sama. Pendidikan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam membangun masa depan suatu bangsa dan taraf hidup suatu masyarakat. Kekeliruan dalam pendidikan dapat membuat suatu pondasi moral yang rapuh sehingga menyebabkan mudahnya paham-paham radikal untuk masuk.

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya;

1. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencagah hubungan antara pelaku dengan objeknya dangan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas

2. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan.

3. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan.

(15)

10

B. Proses Hukum Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Terjadinya tindak pidana terorisme tidak dapat dikatakan muncul dengan sendirinya, melainkan adanya faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya tindak pidana terorisme. Terorisme berkembang akibat ketidakpuasan kelompok tertentu terhadap sistem yang ada dan berusaha mengubah keadaan awal ke keadaan yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita mereka. Arsyad Mbai memandang bahwa terjadinya terorisme bersumber pada ekstremisme ideology keagamaan, nasionalisme kesukuan dan terorisme yang dilakukan oleh kepentingan tertentu.

Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak yang lain. Karena itu terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan ideologi, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidak adilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan perintah, erosi kepercayaan daripada rezim, dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintah dan elit politik juga menjadi penyebab lahirnya terorisme. Menurut pakar psikologi, Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegel, seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris melalui suatu proses yakni psikologi, filosofis, dan politik.11

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan- perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.

Disamping KUHP yang hanya ditujukan kepada manusia sebagai pelaku tindak pidana, dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, baik yang lama (HIR) maupun yang baru yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sekarang berlaku, ternyata juga hanya dijumpai

11Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Jakarta:PT Rafika Aditama, 2004, Hal. 17

(16)

pengaturan mengenai penuntutan terhadap manusia. Dalam KUHAP tidak dijumpai pengaturan mengenai penuntutan terhadap pelaku tindak pidana yang berupa korporasi.

Dari pengertian siapa yang dimaksud dengan “tersangka”, “terdakwa”,

“rehabilitasi”, “pengaduan”, dan “terpidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHAP dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana hanyalaah manusia. Mari kita lihat bagaimana KUHAP memberikan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut dibawah ini;

Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Rehabilitasi adalah hak seorang untuk dapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaa oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.12

Pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 55 KUHP yaitu;

a. Orang yang melakukan (plegger);

b. Yang menyuruh melakukan (doen plegger);

c. Orang yang turut serta melakukan (dader);

d. Orang yang membujuk melakukan

12Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1

(17)

12

masalah pertanggungjawaban pidana dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mental tersangka. Hubungan antara keadaan mental itu dengan perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa sehingga oang itu di cela karenanya. Pertangungjawaban pidana itu sendiri selalu berhubungan dengan kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan13. Unsur yang paling fundamental dalam pertanggungjawaban pidana adalah unsur kesalahan. Seseorang atau kelompok tidak dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban tanpa adanya suatu kesalahan.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

Penggunaan sistem peradilan pidana merupakan suatu respon penanggulangan dan penanganan kejahatan atau kriminalitas, adalah juga merupakan wujud dari usaha penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana melalui bekerjanya sistem peradilan pidana merupakan prioritas utama yang keberhasilannya tetap diharapkan, lagipula pada bidang penegakan hukum ini pulalah dipertaruhkan makna “Negara berdasarkan atas hukum”. Sistem peradilan pidana merencanakan turunnya tingkat kejahatan, adanya perlindungan masyarakat dan kesadaran pelaku tindak pidana

Dalam penanganan tindak pidana terorisme, pemerintah telah membuat aturan dalam bentuk hukum acara pidana khusus (lex spesialis) yang didalamnya ada beberapa ketentuan yang tidak ada ataupun ketentuan yang berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum acara pidana yang digunakan untuk menangani tindak pidana terorisme, pada dasarnya berlaku ketentuan yang tercantum dalam KUHAP kecuali kalau Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri mengatur lain.

1. Penyelidikan dan penyidikan

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan

13K H A Hasyim, Op.cit, Hal. 96

(18)

menurut cara yang diatur dalm undang-undang ini. Dalam hal ini peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah terorisme.

2. Penyidikan

Istilah Penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- unndang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

3. Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat dugaan keras behwa seseorang telah melakukan tindak pidana terorisme dan dugaan itu didukung oleh bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidik dan tuntutan dan atau peradilan. Seorang Penyidik diberkan waktu 24 jam dan apabila waktu yang telah ditentukan tersebut masih kurang, maka Penyidik diperkenankan untuk memperpanjang penangkapan selama 48 jam dan harus mendapat ijin dari ketua Pengdilan Negari.

Dalam Pasal 8 Undang-undang No. 5 Tahun 2018 dikatakan penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak idana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) paling lama 7 x 24 (tujuhkali dua puluh empah) jam.

4. Penggeledahan

Penggeledahan pada dasarnya tidak boleh memasuki dan menginjak pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi dipakaian atau di badan orang tanpa izin dari yang bersangkutan. Namun untuk kepentingan penyidikan, hukum Acara Pidana memberikan wewenang. Untuk kepentingan penyidikan dalam tindak pidana terorisme, bahwasanya seorang pentidik, penuntut umum atau hakim lebih memiliki kekuasaan bertindak daripada dalam perkara biasa, seorang penyidik berwenang meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga jasa keuangan lainnya mengenai harta kekayaan setiap seorang yang diketahui atau patut untuk diduga melakukan tindak pidana terorisme atau melakukan perbantuan terhadap kejahatan terorisme untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme

(19)

14

5. Penahanan

Penahanan daalm kasus terorisme diperlukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Terdapat ketentuan khusus dalam penyidikan Delik Terorisme ialah mengenai penahanan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Dalam penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme seorang penyidik dalam penyidikannya dan penuntutan diberikan wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka tindakan pidana terorisme paling lama 120 (seratus dua puluh) hari dan jika jangka waktu yang telah ditentukan tersebut kurang, maka dapat diajukan permohonan oleh penyidik kepada Penuntut Umum untuk jangka aktu paling lama 60 (enam puluh) hari. Hal ini merupakan salah satu perubahan yang dilakukan dalam Undang-undang terbaru yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi undang-Undang, perubahan ini terdapat dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3).

6. Penuntutan

Proses yang dijalankan oleh Jaksa Penuntut Umum diberi kewenangan untuk melakukan penahanan, pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana teorrsme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme. Dalam meakukan penuntutan, Jaksa Penuntut Umum diuji untuk membuktikan kebenaran sebenar- benarnya (kebenaran materil) tentang adanya kejadian atau peristiwa telah terjadi tindak pidana terorisme oleh seseorang. Maka dari itu diperlukan keahlian khusus bagi Jaksa Penuntut Umum mengingat tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang biasaya dilakukan oleh orang-orang terlatih baik menggunakan senjata ataupun teknologi canggih.

7. Persidangan

Adanya pelimpahan perkara ke pengadilan atau penuntut itu mengharuskan subsistem pengadilan melakukan rangkaian kegiatan yang menyangkut persidangan. Bekerjanya subsistem pengadilan diawali dengan menerima pelimpahan perkata dari penuntut umum dan kemudian dilanjutkan dengan

(20)

memutus perkara pidana tersebut berdasarkan asas, bebas, jujur, dan tidak memihak menurut ketentuan yang ada dalam undang-undang

III. Penutup A. Kesimpulan

1. Kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilakukan melalui sarana penal. Kebijkan penal terdiri dari kebijiakan formulasi, kebijakan aplikasi dan kebijakan eksekusi.

Kebijakan non penal dapat dilakukan dengan Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencagah hubungan antara pelaku dengan objeknya dangan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas, mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat kriminal dengan perbaikan lingkungan dan penyuluhan kesadaran mengenai tanggungjawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan serta memperkuat program deradikalisasi dan antiradikalisasi.

2. Dalam proses hukum pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 angka 1 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi undang-Undang, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang hukum acara pidana kecuali ditentukan lain oleh Umdang-undang tersebut.

B. Saran

Pemerintah telah membuat formulasi kebijakan untuk memberantasan terorisme melalui peraturan perundang-undangan, hendaknya peraturan perundang-undangan dapat digunakan secara bertanggungjawab oleh aparat penegak hukum.

Mengingat bahwa masih ada pemahaman sebagian anggota masyarakat yang beranggapan bahwa konsep Jihad dengan melakukan aksi teror merupakan perintah agama, hendaknya pemerintah melalui tokoh agama memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tindakan terorisme tidak dibenarkan dalam ajaran setiap agama.

(21)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Arief, Barda Nawawi, 2005,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti

Dikdik M. Arief Mansur, 2012,Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: Pensil-324

Hakim, Luqman,2004, Terorisme Di Indonesia, Surakarta : FSIS

Hamdan, M, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Mardenis, 2011,Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik

Hukum Nasional Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Wahid, Abdul, 2004, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama

Wibowo, Ari, 2012,Hukum Pidana Terorisme, Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Medan : Graha Ilmu

B. Jurnal

Muhammad Ali Zaidan, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme(pendekatan kebijakan kriminal), Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol 3 nomor 1 Tahun 2017,149-180

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Bidang Pemerintahan dalam Negeri, Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, Terorisme:Pola Aksi Dan Antisipasinya, Vol X, No 10/II/Puslit/Mei/2018

C. Undang-undang

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-undang No 5 tahun 2018 Tentang perubahan atas Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahu 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang

Referensi

Dokumen terkait

One of the responsibilities that teachers should take is to ensure that the learners can acquire different aspects of vocabulary knowledge through textbooks. In

Berita bahasa Aceh yang disiarkan pada Aceh TV memiliki keterkaitan terhadap komunikasi budaya dilihat dari fungsi dan peran televisi lokal dalam pemberitaannya

Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui kekurangan saat proses pembelajaran yang dilakukan guru pada siklus I, untuk dilakukan perbaikan pada siklus II

Hasil pembacaan alat kemudian dibandingkan dengan luxmeter tipe L200 pada kondisi yang mirip saat pada proses kalibrasi alat kemudian digambarkan dalam bentuk grafik

Vertebrae thoraks bagian dorsal ular buhu kanan ular pucuk kiri pengamatan metode rebus dengan kamera digital……….. Vertebrae thoraks ventral ular buhu bagian kanan ular pucuk

Pubertas prekok ; tanda sex sekunder sebelum usia 9 tahun pada pria dan 8 tahun pada wanita Oligomenorea ; siklus haid lebih panjang (35 hari), >3 bulan - namenorea.

Demikian pula halnya dengan mayoritas penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur, dimana sekitar 71% penduduknya berada di daerah pedesaan, dengan sektor pertanian

[1] Istilah Rokoko juga bisa diartikan sebagai kombinasi kata "barocco" (bentuk teratur dari mutiara, kemungkinan berasal dari kata "baroque") dan kata