• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KESENGAJAAN DENGAN PEMIDANAAN

C. Hubungan Kesengajaan Dengan Pemidanaan

Kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya

116 A. Gunawan Setiardja sebagaimana dikutip M. Sholehuddin, Op.cit., hal. 125.

lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.117 Sedangkan, pemidanaan dalam arti luas adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.118

Oleh karena itu, hubungan kesengajaan dengan pemidanaan dalam hukum pidana adalah sangat berkaitan erat karena setiap kesengajaan akan diberikan sanksi pidana. Artinya perbuatan yang melanggar undang-undang dikerjakan dengan sengaja, maka perbuatan itu dapat dijatuhi hukuman. Berbeda dengan kelalaian (kealpaan - culpa), dimana dalam unsur kealpaan ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Biasanya kekurang hati-hatian ini selalu dikaitkan untuk perkara kecelakaan lalu lintas. Unsur yang dibuktikan adalah “karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas”.119

Unsur “karena kelalaiannya” harus terpenuhi dan merupakan unsur utama untuk membuktikan telah terjadinya kekurang hati-hatian. Unsur tersebut memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalain tersebut.

117 Moeljatno, Op.cit., hal. 198.

118 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 117.

119 Lihat : Putusan No. 28/Pid.B/2011/PN.Unh tanggal 07 April 2011 dan Putusan No.

02/Pid.B/2011/PN.Unh tanggal 17 Februari 2011, kedua putusan tersebut membuktikan bahwa Terdakwa “karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas”.

Selanjutnya unsur “menyebabkan kecelakaan lalu lintas”, sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahaan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan.

Dalam KUHP, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Sanksi hukum yang dapat dikenakan atas kejadian karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas, bagi pengemudi karena kelalaian adalah sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berbunyi :

“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.

Dalam hal pengemudi kendaraan bermotor dengan sengaja membahayakan kendaraang/barang, diatur dalam Pasal 311 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berbunyi :

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.

4.000.000,- (empat juta rupiah)”.

Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas (lihat Pasal 314 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009).

Terhadap KUHP dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tersebut di atas, apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang, maka menurut hukum yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah jeratan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa : “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan”.

Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan

ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.

Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara (Pasal 311 Undang-Undang No.

22 Tahun 2009).

Dalam ketentuan Pasal 311 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang No.

22 Tahun 2009 sebenarnya serupa dengan Pasal 310, akan tetapi yang membedakan dalam Pasal 311 ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam Pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310.

Apabila dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi kendaraan yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka kemudian dapat ditambahkan pengenaan terhadap pasal 281 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, yang berbunyi : “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.

Pada saat Hakim mengambil keputusan, sudah dapat dipastikan harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan, yaitu sebagai berikut :

1. Faktor-faktor Yang Meringankan

Faktor-faktor yang meringankan Terdakwa apabila Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yaitu120

a. “Terdakwa masih muda;

:

b. Terdakwa berlaku sopan;

c. Terdakwa mengakui perbuatannya”.

Faktor-faktor yang meringankan merupakan refleksi sikap yang baik dari terdakwa dan faktor yang memberatkan dinilai sebagai sifat yang jahat dari terdakwa. Hal ini diatur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Berkaitan dengan hal itu, Penjelasan Pasal 28 ayat (2) menegaskan sebagai berikut bahwa :

“Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan”. Keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya.

Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

120 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 89-90.

2. Faktor-faktor Yang Memberatkan

Adapun faktor-faktor yang memberatkan bagi Terdakwa apabila Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yaitu121

a. “Terdakwa memberi keterangan berbelit-belit;

:

b. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;

c. Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat;

d. Merugikan Negara, dan sebagainya”.

Mengenai hal-hal atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, selain diatur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, juga diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f. KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Surat putusan pemidanaan memuat : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa”.

121 Ibid., hal. 90.

BAB III

UNSUR KESENGAJAAN DALAM PEMIDANAAN