• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Komitmen Afektif dengan Kinerja Petugas

Hasil uji statistik chi square mengenai komitmen afektif responden terhadap kinerja petugas menunjukkan nilai p-value < 0,05. Artinya terdapat hubungan antara komitmen afektif dengan kinerja petugas yang terlibat dalam sistem manajemen kesehatan lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.

Komitmen memiliki hubungan dengan kinerja petugas, dimana komitmen petugas merupakan kesediaan petugas untuk bekerja keras, rasa bangga dan perasaan memiliki terhadap organisasi rumah sakit. Bekerja keras berarti adanya kemauan yang kuat dari petugas untuk berusaha semaksimal mungkin dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas, pokok dan fungsinya di rumah sakit sebagai bagian dari sistem manajemen kesehatan lingkungan rumah sakit. Kerja keras ini tentu akan menghasilkan upaya penyehatan lingkungan di rumah sakit yang akan terwujud menjadi lebih baik. Sebaliknya, tanpa kerja keras mustahil akan menghasilkan komitmen petugas untuk mengikat dirinya dalam bekerja secara sukarela untuk menghasilkan kinerja yang optimal.

Rasa bangga petugas menjadi bagian dari sistem manajemen kesehatan lingkungan rumah sakit akan memberi pengaruh besar dalam menciptakan kinerja yang tinggi. Petugas akan bekerja atas dasar keinginan sendiri, yang berarti tidak ada

paksaan dari pihak manapun melainkan timbul dari hati nurani petugas untuk tetap mengabdi di rumah sakit. Petugas yang mempunyai rasa bangga juga cenderung lebih yakin dan percaya diri untuk memperlihatkan hasil kinerjanya menjadi petugas sistem manajemen kesehatan lingkungan rumah sakit.

Perasaan memiliki dalam diri petugas merupakan bagian komitmen yang melibatkan perasaan emosional yang mendorong petugas merasa terikat dengan organisasi rumah sakit, begitupun dengan kinerjanya. Perasaan memiliki ini diperkuat dengan adanya SK penempatan di rumah sakit yang menyajikan kewajiban dan keteraturan dalam tupoksi yang ditetapkan. Hal ini menjadikan petugas untuk berkomitmen secara efektif mencapai hasil kerja yang baik.

Gambaran komitmen afektif ini dapat memperlihatkan hubungan yang positif dengan kinerja petugas. Semakin baik komitmen afektif petugas maka akan semakin baik pula kinerja petugas tersebut.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Utami (2011) bahwa komitmen berpengaruh positif terhadap kinerja petugas, yang berarti adanya hubungan yang searah antara komitmen dengan kinerja petugas. Menurut Trisnantoro (2005) bahwa munculnya komitmen ke berbagai lembaga akan mempengaruhi suasana bekerja. Kenyataan bahwa komitmen SDM rumah sakit mungkin berbeda-beda. Akan tetapi intinya tanpa komitmen pengaruh rencana strategis terhadap efektifitas organisasi menjadi kurang bermakna. Oleh karena itu, sebelum menyusun rencana strategis perlu diperhatikan pemahaman mengenai komitmen dan pemahaman kepemimpinan.

Menurut Subanegara (2005) bahwa komitmen dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor organisasi. Faktor personal adalah usia, perasaan (kecerdasan emosi) dan sifat. Karyawan dengan kecerdasan emosi yang tinggi, dimana ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Biasanya memiliki komitmen yang tinggi, tidak mudah berputus asa dan frustasi menghadapi tekanan yang cukup besar. Sebaliknya karyawan dengan kecerdasan emosinya rendah biasanya komitmennya juga sangat rendah dan sangat sulit mengendalikan emosi. Umumnya mudah tersinggung, mementingkan diri sendiri dan selalu gelisah berada dalam lingkungan organisasinya. Sedangkan faktor organisasi dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, iklim bekerja dan kompensasi.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Azhar (2010) di RSUD kota Langsa, menyatakan bahwa komitmen afektif petugas sistem manajemen kesehatan ligkungan berhubungan dan mempengaruhi implementasi/penerapan manajemen kesehatan lingkungan di rumah sakit.

Menurut Fathia (2008) yang melakukan penelitian tentang komitmen, bahwa kesediaan petugas untuk bekerja keras, memiliki rasa bangga dan adanya perasaan memiliki yang kuat terhadap organisasi tempatnya bekerja merupakan bagian dari komitmen afektif. Oleh Muninjaya (2005) bahwa komitmen merupakan proses yang berkelanjutan dengan para anggota organisasi masing-masing dalam menyumbangkan kontribusinya terhadap kemajuan organisasi tempatnya bekerja.

5.2 Hubungan Komitmen Kontinuans dengan Kinerja Petugas

Hasil penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa komitmen kontinuans petugas dengan kinerja menunjukkan p-value < 0,05. Artinya terdapat hubungan antara komitmen kontinuans dengan kinerja petugas sistem manajemen kesehatan lingkungan rumah sakit di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.

Berdasarkan hasil penelitian, menggambarkan bahwa komitmen kontinuans tersebut muncul akibat adanya pertimbangan untung rugi dari petugas dalam mempertahankan keanggotaannya di rumah sakit. Menyesuaikan visi misi rumah sakit dengan visi misi petugas, sehingga berjalan seirama. Pemberian imbalan atau kompensasi juga merupakan pengharapan yang menjadi suatu penghargaan atas jerih payah petugas dalam menyumbangkan tenaga dan fikirannya di suatu organisasi. Imbalan bahkan menjadi dorongan besar terhadap petugas dalam memberikan kesetiaan, semangat dan kegairahan personil dalam bekerja. Sehingga petugas tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi rumah sakit disebabkan memenuhi kebutuhan dan jaminan kehidupannya.

Hal ini sesuai dengan teori Trisnantoro (2005) bahwa komitmen merupakan gambaran kesediaan pelaku sosial dalam hal 1) kepercayaan kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilainya, 2) kesediaan untuk memberikan tenaganya atas nama organisasi, 3) keinginan mantap untuk tetap menjadi anggota lembaga. Komitmen kontinuans adalah komitmen atas dasar biaya yang akan ditanggung oleh karyawan jika meninggalkan organisasi.

Komitmen yang berhasil dihimpun penulis, bahwa komitmen petugas begitu besar untuk bersedia tetap bekerja di rumah sakit tanpa ingin meninggalkan rumah sakit. Petugas menyatakan sikap membutuhkan rumah sakit untuk mendapatkan pengharapan berupa suatu keuntungan yang berupa pemberian kompensasi (gaji). Walaupun imbalan ini sangat relatif terhadap kebutuhan petugas, namun imbalan ini merupakan kebutuhan yang dapat memberi keuntungan berupa jaminan kehidupan yang berperan penting untuk kemajuan produktivitas kerja petugas. Sesuai dengan Basyah (2006) yang menyatakan bahwa imbalan selain berbentuk upah (gaji), dapat juga berbentuk fasilitas yang dapat dinilai dengan uang. Ilyas (2001) mengemukakan bahwa variabel imbalan akan berhubungan dengan peningkatan motivasi kerja yang pada akhirnya secara langsung menigkatkan kinerja individu.

Penelitian yang dilakukan Syahputra (2009), menyimpulkan bahwa imbalan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kinerja petugas. Sedangkan menurut Rustapa (2006) menyatakan bahwa dana merupakan salah satu unsur penting dalam membangun manajemen suatu organisasi. Imbalan jasa dapat dilihat sebagai sarana pemenuhan berbagai kebutuhan hidup para pegawai. Imbalan tersebut erat kaitannya dengan prestasi kerja seseorang (Muchsin, 2003 yang mengutip pendapat Siagian, 1995).

Dokumen terkait