• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.2. Analisis Univariat

5.2.2 Hubungan Nilai Ekonomi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

Berdasarkan analisis univariat, penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai nilai ekonomi anak buruk (53,3%). Buruknya nilai ekonomi anak disebabkan oleh Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak karena menganggap bahwa banyak anak banyak rezeki, melahirkan banyak anak karena menganggap anak adalah sumber rezeki, anak merupakan sumber tenaga kerja yang dapat membantu perekonomian keluarga di kemudian hari, anak adalah asuransi di hari tua, anak dapat saling membantu kesulitan ekonomi kakak atau adiknya, anak dapat membantu pekerjaan di rumah, anak merupakan jaminan hidup di masa tua, dan menganggap bahwa memiliki banyak anak berarti orang tua perlu bekerja lagi nantinya karena ada yang membantu.

Hal ini dapat mengindikasikan bahwa responden kurang setuju dengan program KB dapat meningkatkan nilai ekonomi dalam keluarga. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara nilai ekonomi anak dengan keikutsertaan PUS dalam program KB di peroleh data bahwa dari 43 responden dengan nilai ekonomi anak baik sebanyak 26 responden (60,5%) yang ikut KB dan 17 responden (39,5%) yang tidak ikut KB. Sedangkan dari 49 responden dengan nilai ekonomi anak buruk sebanyak 13 responden (26,5%) yang ikut KB dan 36 responden (73,6%) yang tidak ikut KB. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0, 001, artinya tidak ada hubungan

yang signifikan antara nilai ekonomi anak dengan keikutsertaan PUS dalam program KB. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Saleh M (2003) yang dilakukan di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh positif terhadap efektifitas pelaksanaan KB maupun terhadap tingkat fertilitas. Adanya pengaruh tersebut menandakan bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Timur maka semakin rendah keinginan ber-KB.

Dalam kaitannya dengan upaya menurunkan fertilitas, Freedman (1986) menyatakan bahwa pertimbangan tentang untung rugi memberikan pengaruh yang besar. Orang tua yang merasa mempunyai anak sedikit lebih menguntungkan dibandingkan dengan anak banyak, akan mendorong mereka mempunyai anak sedikit. Keputusan berapa jumlah anak yang diinginkan dipengaruhi oleh persepsi mengenai nilai anak.

Para ahli ekonomi, yang diperoleh Becker dengan artikel pemulanya pada tahun 1960, melihat bahwa variabel sosial ekonomi mempengaruhi fertilitas, yaitu pada jumlah anak yang diinginkan (demand for children). Kemajuan dalam pembangunan menyebabkan kenaikan penghasilan, dan hal ini akan meningkatkan jumlah anak yang diinginkan karena orangtua makin mampu membiayai anak dalam jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi, Becker juga mengatakan bahwa kesimpulan itu diperoleh jika diasumsikan bahwa tidak ada perubahan dalam variabel lain. Kenyataannya, variabel lain, yaitu “harga anak” atau nilai anak ikut berubah dengan naiknya pendapatan. Ketika pendapatan naik, harga satu satuan waktu pun naik, padahal memiliki anak merupakan aktivitas yang sangat padat waktu (time intensive).

Dengan demikian, memiliki dan memelihara anak menjadi suatu aktivitas yang mahal. Harga seorang anak menjadi mahal. Kenaikan harga anak cenderung menurunkan jumlah anak yang diinginkan. Dampak kenaikan harga ini bisa sangat besar sehingga menutupi dampak kenaikan pendapatan, bahkan dapat membuat dampak akhir yang negatif, yaitu naiknya pendapatan disertai dengan turunnya jumlah anak yang diinginkan. Apabila kita lihat bahwa naiknya penghasilan akan mempengaruhi turunnya permintaan anak. Maka, hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Becker.

Nilai anak dari segi ekonomis yaitu anak di anggap sebagai benda investasi, sumber tenaga kerja dan sebagai sumber penghasilan rumah tangga. Nilai investasi yang di maksud di sini adalah bagaimana seorang anak dapat membahagiakan orang tua kelak apabila mereka sudah tua. Bantuan tenaga kerja anak mempunyai arti penting dalam hal anak sebagai tenaga kerja keluarga dalam usahatani keluarga. Hal ini kita temukan dalam masayrakat yang bermata pencaharian bertani. Bantuan ekonomi anak dalam bentuk materi, oleh para orang tua diakui sangat penting artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah tangga.

Anak sebagai jaminan hari tua, keberadaan anak menimbulkan rasa tentram di hari tua, karena anak merupakan jaminan bagi orang tua pada saat orang tua tidak dapat bekerja lagi. Anak dapat memberikan suatu ketentraman bagi orang tua kelak ketika anak tersebut telah bekerja. Anak harus membalas budi kebaikan orang tua dalam hal ini adalah bahwa setiap anak harus mau memberikan bantuan ekonomi, merawat dan membantu pekerjaan orang tua baik itu semasih orang tuanya masih

mampu bekerja maupun tidak sanggup lagi untuk bekerja mencari nafkahnya sendiri. Orang tua akan mendapat atau memperoleh bantuan ekonomi maupun bantuan hanya merawat setelah usianya telah uzur.

Nilai-nilai tertentu yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam berbagai kebutuhan hidup. Biasanya nilai-nilai tersebut pertama sekali akan di peroleh melalui keluarga dan akan berkembang lagi. Nilai ini juga bisa menjadi faktor pendorong bagi setiap keluarga untuk memperoleh anak yang tentunya sesuai dengan konsep budayanya sendiri. Pada masyarakat Batak Angkola nilai ekonomi anak itu tinggi, sehingga mereka cenderung untuk memiliki anak dalam jumlah yang besar. Kenyataan ini biasanya dilandasi oleh adanya nilai-nilai yang akan di peroleh dari setiap anak, baik itu pada masa awal lahir hingga masa selanjutnya sehingga, mereka cenderung untuk memandang anak sebagai sumber rezeki.

Keberadaan anak dalam keluarga dapat membantu melakukan kegiatan rumah tangga yang dapat menambah penghasilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arnold (1979) bahwa orang tua di desa lebih menitik beratkan manfaat ekonomi dan kegunaan praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anak tersebut. Dimana orang tua di desa telah membiasakan anak untuk ikut serta membantu orang tua untuk bekerja di sawah sendiri atau bekerja untuk membantu keuangan keluarga maupun bekerja dengan mendapatkan upah dari orang lain. Dengan adanya anak dalam suatu keluarga secara otomatis orang tua memiliki tenaga tambahan dari anak. Bagi masyarakat pedesaan, peranan anak dalam perekonomian rumah tangga sangat penting. Bantuan anak berupa tenaga kerja yang dicurahkan pada pekerjaan rumah tangga dan

pekerjaan utama orang tuannya dalam usaha mendapatkan penghasilan, menjadikan anak sebagai salah satu faktor produksi yang penting. Ikut sertanya anak dalam proses produksi pada industri rumah tangga, tentu saja akan memberikan keuntungan bagi kehidupan keluarga. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat mudah, mulai dari pekerjaan ringan sampai dengan pekerjaan yang berat. Sumbangan anak berupa tenaga kerja di harapkan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya produktivitas rumah tangga. Dengan demikian pendapatan keluarga akan meningkat sebagai akibat dari bantuan tenaga kerja yang diberikan anak. Dengan adanya partisipasi anak lambat laun ekonomi keluarga akan semakin baik.

Sejak dahulu sebagian besar masyarakat Angkola, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo “banyak anak banyak rezeki”. Keuntungan financial (materi) dan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang tua apabila mempunyai anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak. Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk anak akan besar pula dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya. Dari beberapa hasil penelitian tentang fertilitas, dilihat dari segi ekonomi yang menjadi sebab utama tinggi rendahnya fertilitas (fertilitas) adalah beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini ada dua pandangan yang saling bertentangan. Pandangan pertama beranggapan bahwa dengan mempunyai jumlah anak yang banyak dapat meringankan beban ekonomi yang harus ditanggung orang tua. Di sini anak dianggap dapat membantu (meringankan) beban ekonomi orang tua bila mereka sudah bekerja. Pandangan

kedua, yang dapat dikatakan pandangan yang agak maju, beranggapan bahwa anak banyak bila tidak berkualitas justru menambah dan bahkan akan memperberat beban orangtua kelak. Dengan anggapan seperti ini, mereka menginginkan (mengharapkan) jumlah anak sedikit,tetapi berkualitas.

Menurut Arnold dan Fawcett (1990) Manfaat Ekonomi dan Ketenangan dimana anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka dapat megerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang). Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktivaekonomi. Orang tua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990).

5.2.3 Hubungan Nilai Sosial Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

Berdasarkan hasil analisis univariat penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai nila sosial anak berada pada kategori buruk yaitu sebanyak (52,2%). Buruknya nilai sosial anak disebabkan alasan Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak karena mewajibkan menjadi tokoh sosial di lingkungannya, banyak anak berarti memiliki banyak kesempatan untuk memiliki orang-orang yang bisa di banggakan di lingkungan sosial atau salah satu diantaranya.

Kemudian adanya anggapan bahwa memilih jenis kelamin anak yang berharga dalam kehidupan sosial baik laki-laki maupun perempuan karena menggap anak adalah pewaris kehidupan sosial.

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara nilai sosial anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB di peroleh data bahwa dari 44 responden dengan nilai sosial anak baik sebanyak 24 responden (54,5%) yang ikut KB dan 20 responden (45,5%) yang tidak ikut KB. Sedangkan dari 48 responden dengan nilai sosial anak buruk sebanyak 15 responden (31,3%) yang ikut KB dan 33 responden (68,8%) yang tidak ikut KB. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0, 034, artinya ada hubungan yang signifikan antara nilai sosial anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah faktor yang berkenaan langsung dengan tahap repsoduksi. Faktor-fator ini disebut dengan peubah antara. Faktor sosial budaya mempengaruhi fertilitas tidak langsung melalui peubah antara tersebut (Ispriyanti Dwi, dkk, 1999).

Nilai anak dari segi sosial yaitu anak merupakan anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak. Anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah. Anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut

sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.

Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi variabel antara yang menghubungkan antara “norma-norma fertilitas” yang sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa “norma fertilitas” yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.

Secara umum Freedman mengatakan bahwa salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian normatif terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini”

Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of fertility decline: a reappraisal” (1979) Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi demografi klasik tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi. Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan oleh Judith Blake, Ia berpendapat bahwa “masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normatif”; jika kaum miskin mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.

5.2.4 Hubungan Nilai Psikologi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

Berdasarkan hasil analisis univariat penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai nila psikologi anak berada pada kategori buruk yaitu sebanyak (53,3%). Buruknya nilai psikologi anak karena Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak dengan menganggap bahwa anak dapat mendatangkan kebahagiaan bagi keluarga, pencegah utama terjadinya perceraian, sebagai pelindung dan pemberi rasa aman, pemberi kasih sayang. Kemudian adanya anggapan bahwa

Ibu harus melahirkan banyak anak perempuan karena anak perempuan lebih perhatian kepada orangtua saat tua nanti.

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara nilai psikologi anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB di peroleh data bahwa dari 43 responden dengan nilai sosial anak baik sebanyak 24 responden (55,8%) yang ikut KB dan 19 responden (44,2%) yang tidak ikut KB. Sedangkan dari 49 responden dengan nilai psokologi anak buruk sebanyak 15 responden (30,6%) yang ikut KB dan 34 responden (69,4%) yang tidak ikut KB. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,020, artinya ada hubungan yang signifikan antara nilai psikologi anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa nilai psikologi anak memiliki hubungan terhadap keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Alasan mengapa Ibu PUS menganggap bahwa nilai psikologi anak penting karena dengan kehadiran anak dalam suatu keluarga, orang tua akan merasa senang karena sudah ada yang akan meneruskan apa yang menjadi cita-cita dan harapan mereka.

Curahan kasih sayang, orang tua akan merasa bahagia ketika sudah berada dekat dengan anaknya, orang tua akan merasa senang dan rasa letih dan capek tidak akan terasa lagi ketika sudah berada dan bercanda bersama anak-anaknya. Anak akan membuat hubungan antara suami istri akan terjalin erat, memperoleh rasa cinta dan juga mengurangi ketegangan, kelelahan setelah seharian bekerja di ladang serta mengusir rasa sepi di rumah, karena dengan hadirnya anak-anak di rumah, perasaan gembira dan bahagia melihat segala tingkah laku, gaya bicara dan pembawaaan

mereka yang kadang-kadang lucu dan menggelitik hati. Perasaan terhibur di rumah karena di rumah selalu ramai dan suasana rumah akan semakin semarak dengan suara anak-anak. Adanya perasaan memiliki, perasaan mempunyai teman, senang melihat pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Membuat orang tua tersenyum dan tertawa dengan melihat segala tingkah laku dan gaya mereka yang lucu-lucu, sehingga dapat melupakan untuk sementara kesusahan hidup mereka. Hidup akan terasa berarti, keluarga menjadi lengkap dan tugas suami istri telah terpenuhi secara psikologis.

Nilai anak dari segi psikologis yaitu anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka. Kehadiran anak akan menghangatkan suasana sepi di rumah serta akan mengurangi ketegangan dan kelelahan setelah seharian bekerja (anak sebagai sumber kasih sayang). Anak dapat menimbulkan rasa aman dan hal ini biasanya dialami oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki karena mereka merasa bahwa mereka sudah memiliki anak laki-laki yang nantinya akan menggantikannya kelak dalam melaksanakan kewajiban adat, di lingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya memberikan dorongan untuk lebih semangat lagi bekerja karena sudah memiliki tanggungan.

Menurut Arnold dan Fawcett (1990), dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Nilai anak

yang menguntungkan (manfaat) yaitu, Manfaat Emosional di mana anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat bagi orang tuanya, artinya dengan anak orang tua akan merasakan kebahagiaan bagi orang tua. Dengan kehadiran anak orang tua mampu mengubah sikap keras hati menjadi lemah lembut.

5.4 Analisis Multivariat

5.4.1 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Keikutsertaan Ibu PUS dalam