• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Nilai Psikologi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

HASIL PENELITIAN

4.2. Analisis Univariat

4.3.4 Hubungan Nilai Psikologi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara nilai psikologi anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB di peroleh data bahwa dari 43 responden dengan nilai sosial anak baik sebanyak 24 responden (55,8%) yang ikut KB dan 19 responden (44,2%) yang tidak ikut KB. Sedangkan dari 49 responden dengan nilai psokologi anak buruk sebanyak 15 responden (30,6%) yang ikut KB dan 34 responden (69,4%) yang tidak ikut KB. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,020, artinya ada hubungan yang signifikan antara nilai psikologi anak dengan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB, dan variabel ini berkandidat untuk diikut sertakan dalam uji Regresi Logistik Ganda (p < 0,25). Seperti pada tabel 4.19 berikut ini :

Tabel 4.19 Hubungan Nilai Psikologi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

No Nilai Psikologi Anak

Keikutsertaan KB Total p Ya Tidak f % f % f % 1 Baik 24 55,8 19 44,2 43 100 0,020 2 Buruk 15 30,6 34 69,4 49 100 4.4 Analisis Multivariat

Pada penelitian ini, variabel bebas yang memenuhi kriteria kemaknaan statistik (p < 0,25) dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan menggunakan

uji regresi logistik berganda, yaitu variabel nilai budaya anak, nilai sosial anak dan nilai psikologi anak.

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dalam menentukan determinan tingkat keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.20 berikut ini :

Tabel 4.20 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antara Nilai Budaya Anak, dan Nilai Sosial Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB

Variabel B p Exp (B) 95% CI for Exp (B)

Lower Upper Nilai Budaya Anak 2,403 0,000 11,051 3,790 32,223

Nilai Ekonomi 1,626 0,003 5,081 1,758 14,687

Constant -0,891 0,000 0,151 - -

Dalam Tabel 4.20 di atas hasil uji regresi logistik menjelaskan bahwa secara bersama-sama variabel independen yaitu nilai budaya anak, dan nilai ekonomi anak secara bersama-sama langsung memengaruhi keikutsertaan PUS dalam program KB.

Berdasarkan hasil uji regresi logistik pada Tabel 4.20 diatas diperoleh persamaan uji regresi sevagai berikut :

Y1 = ln { }= β0 + β1 x1 + β2 x2

Dan nilai peramalan probabilitas nilai anak Ibu PUS dalam keikutsertaan program KB adalah : = - 1,891 + 2,403 (budaya) + 1,626 (ekonomi) )) ( 626 , 1 ) ( 403 , 2 891 , 1 (

1

1

ekonomi budaya

e

p

+ +

+

=

Keterangan :

P = tingkat keikutsertaan PUS dalam program KB

β0

X1 = nilai budaya anak = konstanta

X2 = nilai ekonomi anak

Tabel 4.21 Hasil Probabilitas Variabel Nilai Budaya Anak dan Nilai Ekonomi Anak

Variabel Prediktor Probabilitas Persentase

Budaya dan Ekonomi 1

0

0,895 0,131

89,5% 13,1% Dari table 4. 21 diatas diperoleh bahwa persamaan diatas menyatakan bahwa responden yang memiliki budaya dan ekomomi yang memiliki probabilitas sebesar 89,5% terhadap keikutsertaan keluarga berencana pada ibu pus di wilayah kerja puskesmas Pijorkoling Padangsidimpuan. Sedangkan responden yang memiliki budaya dan ekonomi yang buruk memiliki probabilitas sebesar 13,1%.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Analisis Univariat

5.1.1 Karakteristik Responden a. Umur Responden

Dalam bidang demografi, umur merupakan suatu variabel yang dapat berpengaruh terhadap komponen demografis, misalnya fertilitas, morbiditas, mortalitas dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian berdasarkan umur diketahui bahwa dari 92 orang umur responden pada kelompok di bawah 30 tahun adalah sebanyak 40 orang (43,5%) dan pada kelompok di atas 30 tahun sebanyak 52 orang (56,5%). Menurut Depkes RI (2003), masa reproduksi sehat yaitu pada umur 20-35 tahun. Pada umur <20 tahun alat reproduksi belum matang sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi akibat penggunaan alat kontrasepsi akan lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian Nuraidah (2003) di Kelurahan Pasir Putih menyatakan keinginan untuk menggunakan kontrasepsi meningkat pada umur 20-35 tahun, Sri Hastuti pada penelitian di SDIT (IGRO) tahun 2004 juga menyimpulkan keikutsertaan KB Ibu-ibu wali murid SDIT (IGRO) meningkat pada umur 20-35 tahun.

b. Suku Responden

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa dari 92 responden berdasarkan suku yang paling banyak suku batak yaitu 76 orang (82,6%). Suku asli penduduk

Kota Padangsidimpuan adalah batak angkola, dan suku- suku lainnya yang berada di kota tersebut merupakan pendatang, baik dari asal kabupaten/kota se-Padangsidimpuan maupun di luar Kota padangsidimpuan. Seperti yang terlihat pada hasil penelitian bahwa selain mayoritas suku responden yaitu batak sebagian kecil responden juga bersuku jawa yaitu sebanyak 16 orang (17,4%).

Suku Angkola adalah salah satu suku yang ada di Sumatera Utara. Suku Angkola tersebar di daerah Sumatera Utara Bagian Selatan atau yang disebut masyarakat setempat sebagai Luat Angkola, yang meliputi daerah Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. Sebelah utara berbatasan dengan daerah domisili suku Batak Toba, sebelah selatan dengan suku Mandailing, dan sebelah timur serta sebelah barat dengan suku Melayu Pesisir (Diapari 1987).

Penduduk Padangsidimpuan bagian Tenggara sebagian besar adalah suku Angkola, walaupun ada beberapa suku yang tinggal di daerah tersebut, seperti suku Batak Toba, suku Batak Simalungun, maupun suku Mandailing. Masyarakat suku Angkola umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Angkola adalah bahasa Batak Angkola. Bahasa yang digunakan di daerah Luat Angkola hanya memiliki perbedaan pada intonasi pengucapannya. Masyarakat suku Angkola sebagian besar beragama Islam dan ada sebagian lagi beragama Kristen Protestan.

Masyarakat suku Angkola di Padangsidimpuan Tenggara, marga adalah unsur penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat. Sebagai masyarakat yang mempunyai susunan kekeluargaan patrilineal, marga ditentukan menurut garis

keturunan laki-laki (ayah). Artinya, marga pihak laki-laki yang sudah berkeluarga akan diturunkan kepada anak, baik anak laki-laki yang disebut bayo, maupun anak perempuan yang disebut boru (Fitrah 2008).

c. Pendidikan Responden

Berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak ditamatkan oleh responden yaitu pendidikan yang dikategorokan pendidikan SMP yaitu sebanyak 36 orang (39,1%). Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keikutsertaan dalam program KB. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan semakin tinggi pula pengetahuan dan kesadaran akan program KB.

Kasarda dan Holsinger (dalam Ediastuti, 1995) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi tinggi rendahnya umur kawin pertama bagi wanita. Selain itu, tingkat pendidikan tersebut juga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan usaha pemakaian kontrasepsi (Lucas, dkk,1982). Hal ini dapat diartikan bahwa pengaruh pendidikan terhadap fertilitas terjadi melalui variabel lain yaitu umur kawin pertama serta tingkat pengetahuan dan usaha pemakaian kontrasepsi.

Pendidikan dapat menunjukkan status sosial seseorang karena dengan pendidikan yang dimiliki seseorang dapat menentukan lapangan, jenis, atau status pekerjaan yang pada akhirnya akan menetukan besar kecilnya penghasilan.

Berdasarkan penelitian Hastuti Sri (2003) yang mendapatkan hasil mayoritas istri PUS yang ikut ber-KB di SDIT IQRO Bekasi adalah pada kategori pendidikan

tinggi. Pada analisis bivariat didapat hasil bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan dengan keikutsertaan ber KB dengan nilai p = 0,150

Pendidikan ibu dapat mendukung perilaku ibu, sehingga diharapkan semakin tinggi pendidikan ibu semakin besar keinginan ibu untuk ber-KB, karena pendidikan menurut BkkbN (1980) merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya sesuatu hal, termasuk pentingnya keikutsertaan dalam ber-KB. Ini disebabkan seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah menerima ide dan tata cara kehidupan baru.

d. Pekerjaan Responden

Pekerjaan responden diperoleh berdasarkan jawaban kuesioner dengan jenis pekerjaan Petani, Wiraswasta dan PNS. Sebagian besar responden bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 47 orang (51,1%). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa PUS memiliki pekerjaan atau kesibukan untuk membantu dalam mencari nafkah untuk keluarganya.

Pekerjaan dapat mempengaruhi keikutsertaan ber-KB karena pekerjaan individu berhubungan dengan tingkat pendapatan. Menurut Ahmadi (2003) yang dikutip dalam Yusrizal (2008), bahwa memerangi kemiskinan hanya dapat berhasil kalau dilakukan dengan cara memberikan pendapatan yang layak kepada orang-orang miskin dan juga dengan lapangan pekerjaan yang dapat memberikan kesempatan masyarakat untuk bekerja dan merangsang berbagai kegiatan disektor-sektor ekonomi. Dalam hal ini termasuk sektor kesehatan yaitu keinginan PUS untuk

menjadi peserta KB yang dalam hal ini kemungkinan membutuhkan dana untuk melakukannya.

Masalah penting yang dihadapi wanita pekerja pada umumnya termasuk mereka yang melibatkan diri di sektor informal adalah peran ganda mereka yang satu sama lain harus berjalan serasi dan seimbang. Mereka diharapkan tetap dapat membagi waktu antara tugas sebagai pencari nafkah dengan tugas sebagai pengelola rumah tangga. Bagaimanapun syaratnya beban kerja di sektor ini, kegiatan tersebut tetap mereka tekuni, karena mutlak perlu di samping membantu suami menambah pendapatan juga sangat berarti bagi mempertahankan kelangsungan hidup mereka yang selalu berada di garis subsisitensi.

Menurut Mayling Oey dalam Sihite (1995), fungsi produksi wanita yang menghasilkan imbalan baik berupa uang maupun bukan uang antara lain berorientasi pada pasar. Mereka yang berperan rangkap ini dalam kehidupannya menerapkan berbagai strategi hidup, misalnya, berjualan (berdagang) sambil mengasuh anak. Ketika anak-anak masih kecil, wanita cenderung terlibat dengan kegiatan produksi yang berlokasi dekat dengan Kondisi Pemukiman, sehingga mereka tetap dapat melaksanakan tugas rumah tangga.

Para wanita petani ini sering melakukan fungsi produksinya dekat dengan rumah. Ini berarti dalam menjalankan aktivitas tersebut mobilitas fisik mereka terbatas. Jaringan sosial dan jangkauan pemasaran juga menjadi sempit. Kesempatan berhubungan dengan pedagang yang lebih besar yang mungkin dapat memberi

pinjaman hampir tidak ada. Ini semua membawa implikasi sulitnya mereka mengembangkan usaha.

Ruang gerak wanita yang terbatas bukan hanya karena keterkaitan mereka pada tugas rumah tangga, tetapi juga karena adanya norma dalam masyarakat yang menganggap pantang bagi mereka pergi jauh-jauh dari rumah tanpa pendamping. Mungkin norma dan nilai-nilai semacam ini tidak berlaku untuk semua wanita yang bekerja sebagai petani.

e. Penghasilan Responden

Easterlin (Fawcett, 1986) seorang ahli ekonomi memberikan penjelasan mengenai terjadinya transisi demografi, tepatnya transisi fertilitas, yang dibagikan dalam empat tahap. Tahap pertama, dalam mayarakat tradisional harga anak sangat rendah sehingga jumlah anak yang diinginkan (permintaan anak) demikian besar dan melebihi fertilitas alamiah yang dipengaruhi oleh faktor biologis (biasanya disebut dengan fekunditas) dan faktor sosial budaya. Dalam masyarakat ini terjadi kekurangan fertilitas (deficit fertility), maka fertilitas yang teramati (TFR) sama dengan fertilitas alamiah. Selain itu, keadaan sosial ekonomi yang rendah (misalnya : pendidikan, penghasilan, dan status gizi yang rendah) berkaitan dengan rendahnya fertilitas alamiah. Di tahap ini pasangan suami istri tidak mempunyai motivasi untuk mengatur kelahiran.

Penghasilan responden dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu pengasilan di bawah Upah Minimum Regional (<UMR) dan penghasilan di atas Upah Minimum Regional (>UMR). Pada penelitian ini didapat bahwa dari 92 orang penghasilan

responden paling banyak yaitu pada kategori di bawah UMR sebanyak 69 orang (75,0%).

Sebagian besar PUS yang menjadi responden adalah wanita, dan kedudukan mereka dalam perekonomian sebenarnya sangat penting. Oleh karena itu, apabila status kaum wanita tidak terangkat dan mereka terus-menerus terabaikan, maka dalam jangka panjang, rendahnya status ekonomi kaum wanita tersebut suatu saat akan membuat laju pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih lambat. Kaitan ini tidaklah mengherankan, apabila kondisi pendidikan atau penghasilan (taraf kesejahteraan) sang ibu masih terabaikan, maka dengan sendirinya anak-anaknya juga menderita, dan pada akhirnya bangsa yang bersangkutan secara keseluruhan akan merugi, karena anak-anak merupakan tumpuan masa depan dari suatu bangsa. Dengan demikian, investasi sumber daya manusia hanya akan berhasil jika menyertakan upaya-upaya perbaikan status dan kesejahteraan kaum wanita. Karena sumber daya manusia itu sendiri merupakan salah satu syarat terpenting bagi terciptanya proses pertumbuhan yang berkeseimbangan, maka upaya-upaya peningkatan status pendidikan dan ekonomi kaum wanita jelas merupakan suatu faktor yang sangat penting demi tercapainya berbagai tujuan pembangunan jangka panjang.

f. Jumlah Anggota Keluarga Responden

Jumlah anggota keluarga responden dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu jumlah anggota keluarga kurang dari 1 orang anak dan jumlah anggota lebih dari 1 orang anak. Berdasarkan hasil penelitian didapat sebagian besar responden memiliki anak lebih dari 1 orang yaitu sebanyak 53 orang (57,6%).

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah anak yang diharapkan lebih tinggi daripada jumlah anak ideal. Dalam penelitian V.Hull di Maguwoharjo jumlah anak yang diharapkan sebesar 4,7 dan anak ideal 4,6. Begitupula penelitian Singarimbun (1975) pada masyarakat Jawa, jumlah anak yang diharapkan sebesar 4,4 dan anak ideal 4,1 (Singarimbun, 1996). Berbeda dengan anak ideal yang konsepnya masih abstrak, tanggapan mengenai permintaan anak lebih konkret karena merupakan penjumlahan dari jumlah anak yang ada ditambah dengan tambahan anak yang diinginkan. Misalnya seorang ibu mempunyai tiga orang anak, dia ingin mempunyai satu anak lagi. Jadi jumlah permintaan anaknya adalah (3+1), yaitu 4 orang.

Mengenai permintaan anak, akan semakin mempertegas pembahasan di atas bahwa ternyata keinginan berapa jumlah anak yang diinginkan oleh responden, jumlahnya masih besar. Rata-rata permintaan anak responden sekitar 3 orang anak atau lebih.

5.1.2. Nilai Anak Responden

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai tertentu serta mentutut dipenuhinya beberapa konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.

Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud dengan nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB (Siregar, 2003).

Masalah anak secara umum merupakan masalah dan tanggung jawab keluarga, yang dimulai sejak sepasang laki-laki dan wanita bersepakat untuk membentuk keluarga di mana salah satu tujuannya adalah untuk memperoleh keturunan, sebagai salah satu perwujudan dari eksistensi perkawinannya. Eksistensi sepasang suami istri bukan saja dilihat dari lahiriah berupa anak secara fisik biologis lengkap, tetapi juga secara batiniah.

Nilai-nilai terhadap anak yang cukup rumit tersebut dihubungkan dengan variabel keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Ditemukan antara lain bahwa orang tua (ibu) di wilayah kerja Puskesmas Pijorkoling Padangsidimpuan lebih menitikberatkan manfaat budaya, ekonomi dan tunjungan hari tua dari anak-anak mereka, kemudian diikuti oleh manfaat sosial dan terlebih lagi menekankan aspek emosional dan psikologis dari manfaat anak.

a. Nilai Anak Berdasarkan Nilai Budaya

Pada penelitian ini didapat hasil mayoritas nilai budaya anak menurut Ibu PUS tentang keikutsertaan ber KB adalah pada kategori buruk yaitu sebanyak 55

orang (59,8%). Masih buruknya penilaian Ibu PUS terhadap nilai budaya anak dalam keukutsertaan program KB disebabkan karena masih tingginya kepercayaan Ibu PUS tentang kebenaran budaya yang diyakini selama ini yang ternyata perpengaruh negatif terhadap keikutsertaan Ibu PUS tersebut dalam program KB.

Hal ini dapat terlihat berdasarkan hasil penelitian pada TABEL 4.11 berdasarkan jawaban yang diberikan responden atas beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan nilai budaya anak terhadap keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Adapun alasan Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak dengan alasan melestarikan budaya atau adat istiadat yang dianut, agar memiliki pewaris kehidupan budaya. Kemudian akan tetap melahirkan sampai mendapatkan anak laki-laki karena anak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi menurut adat dianut, pewaris harta, pemberi marga dan menjadi penerus garis keturunan yang merupakan identitas budaya yaitu budaya batak. Kemudian peran suami sebagai penentu jumlah anak yang dilahirkan juga sebagai penentu ibu untuk tetap melahirkan sebagai bukti kepatuhan terhadap suami. Dilain sisi adanya anggapan bahwa wanita yang tidak dapat melahirkan anak laki-laki merupakan aib bagi wanita tersebut. Selanjutnya Ibu/Bapak merasa menjadi orangtua yang sempurna jika dapat harus melahirkan anak sesuai dengan keinginan suami terutama anak laki-laki serta melahirkan anak adalah anugerah kodrat wanita.

Pertimbangan keputusan mengenai jumlah anak berdasarkan nilai budaya anak mencakup dan mempertimbangkan dua nilai budaya anak positif dan negatif. Dalam kebudayaan yang di anut oleh masyarakat Batak Angkola, marga adalah unsur

penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat. Sebagai masyarakat yang mempunyai susunan kekeluargaan patrilineal, marga ditentukan menurut garis keturunan laki-laki (ayah). Artinya marga pihak laki-laki yang sudah berkeluarga akan diturunkan kepada anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal inilah yang menjadi alasan masyarakat Suku Angkola menganggap penting melahirkan anak laki-laki agar dapat menjadi penerus kebudayaan. Keluarga tidak mempertimbangkan seberapa jumlah anak demi mendapatkan jenis kelamin anak yang sesuai dengan keinginan yaitu mendapatkan anak laki-laki. Kehadiran dengan jenis kelamin yang diharapkan menjadi faktor yang dirasakan menguntungkan orang tua dalam meneruskan kebudayaan. Orang tua akan memiliki kebahagiaan tersendiri jika mereka mempunyai anak yang menggantikan generasi mereka. Akan lebih bahagia lagi apabila anak-anaknya memiliki keturunan, sehingga mereka mempunyai cucu-cucu.

Arti penting nilai anak dalam menunjang budaya berkaitan erat dengan besarnya harapan untk meningkatkan kelestarian buadaya suku angkola dimana anak laki-laki dapat menjadi penerus kebudayaan. marga adalah unsur penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat karena marga ditentukan menurut garis keturunan laki-laki (ayah). Menurut Nursid (2005). Nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat tersebut dinamakan “nilai budaya” selanjutnya disebut “sistem nilai budaya”, jika berlaku sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh. Kemudian Koentjoroningrat dalam Sujarwa (1999) menyatakan bahwa suatu “sistem nilai budaya” suatu saat dipandang serupa dengan pandangan hidup”. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut peneliti berasumsi bahwa responden dengan Suku Angkola memiliki pandangan yang salah tentang anak dengan mengabaikan kesehatan reproduksinya dengan melahirkan banyak anak demi mempertahankan nilai budaya. b. Nilai Anak Berdasarkan Nilai Ekonomi

Pada penelitian ini didapat hasil mayoritas nilai ekonomi anak menurut Ibu PUS tentang keikutsertaan ber-KB adalah pada kategori buruk yaitu sebanyak 49 orang (53,3%). Masih buruknya penilaian Ibu PUS terhadap nilai ekonomi anak dalam keukutsertaan program KB disebabkan karena masih tingginya harapan Ibu PUS bahwa anak dapat memberikan bantuan dari segi ekonomi bagi keluarga.

Hal ini dapat terlihat berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4.13 berdasarkan jawaban yang diberikan responden atas beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi anak terhadap keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Adapaun alasan Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak karena menganggap bahwa banyak anak banyak rezeki, melahirkan banyak anak karena menganggap anak adalah sumber rezeki, anak merupakan sumber tenaga kerja yang dapat membantu perekonomian keluarga di kemudian hari, anak adalah asuransi di hari tua, anak dapat saling membantu kesulitan ekonomi kakak atau adiknya, anak dapat membantu pekerjaan di rumah, anak merupakan jaminan hidup di masa tua, dan menganggap bahwa memiliki banyak anak berarti orang tua perlu bekerja lagi nantinya karena ada yang membantu.

Salah satu mata pencaharian masyarakat Suku Angkola adalah dari sektor pertanian. Peranan anak dalam keluarga petani mulai terasa saat anak mulai remaja,

mereka telah diikutsertakan dalam membantu pekerjaan orang tua. Anak merupakan aset ekonomi yang tidak dibayar karena merupakan tenaga kerja keluarga.

Peranan anak juga penting disaat orang tua memasuki usia lanjut, dimana mereka tidak produktif lagi terhadap barang dan jasa sehingga anak merupakan tempat pengaduan orang tuanya. Dalam hal ini anak dan segala biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan dan menyekolahkan merupakan investasi orang tua pada hari tuanya.

Hal ini memberikan kesimpulan bahwa nilai anak bagi responden masih tinggi. Artinya, mereka masih memiliki harapan yang “tinggi” bagi anak-anaknya. Jika dahulu “Banyak Anak Banyak Rejeki”, anak dapat membantu pekerjaan orang tua dan dapat membantu ekonomi keluarga. Sebagai aset tenaga kerja keluarga, anak tidak perlu digaji. Kehadiran anak dalam keluarga awalnya merepotkan keluarga, akan tetapi di hari tua baik anak laki-laki maupun anak perempuan dapat membantu di hari tua serta menjadi jaminan hidup di hari tua.dari hasil penelitian ini, maka anggapan tersebut tetap menjadi standar bagi masyarakat, terutama bagi wanita pasangan usia muda di Kota Padangsidimpuan.

c. Nilai Anak Berdasarkan Nilai Sosial

Pada penelitian ini didapat hasil mayoritas nilai sosial anak menurut Ibu PUS tentang keikutsertaan ber-KB adalah pada kategori buruk yaitu sebanyak 48 orang (52,2%). Masih buruknya penilaian Ibu PUS terhadap nilai sosial anak dalam keukutsertaan program KB disebabkan karena masih tingginya harapan Ibu PUS bahwa anak dapat menjadi tokoh sosial yang berharga di masyarakat.

Hal ini dapat terlihat berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4.15 berdasarkan jawaban yang diberikan responden atas beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan nilai sosial anak terhadap keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB. Adapaun alasan Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak karena mewajibkan menjadi tokoh sosial di lingkungannya, banyak anak berarti memiliki banyak kesempatan untuk memiliki orang-orang yang bisa di banggakan di lingkungan sosial atau salah satu diantaranya. Kemudian adanya anggapan bahwa memilih jenis