• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Nilai sosial

3.2. Tinjauan Tentang Permintaan Anak

Gerakan Keluarga Berencana yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak Pelita I merupakan program yang secara langsung diarahkan untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk di Indonesia. Gerakan Keluarga Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan Norma Keluarga

Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran. Nilai dan jumlah anak sangat mempengaruhi dalam mencapai terwujudnya NKKBS dimana salah satu Norma dalam NKKBS adalah norma tentang jumlah anak yang sebaiknya dimiliki yaitu 2 anak cukup, dan laki-laki atau perempuan sama saja. Hambatan dalam pelaksanaan program pembudayaan NKKBS dimasyarakat adalah adanya pandangan orang tua terhadap anak dalam keluarga, dimana anak selain merupakan kebanggaan orangtua juga sebagai tenaga kerja yang membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Selain itu adanya kebiasaan dari suatu kelompok masyarakat yang memberi nilai lebih pada satu jenis kelamin tertentu (Siregar, 2003).

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai tertentu serta mentutut dipenuhinya beberapa konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak (Siregar, 2003).

Konsep nilai anak berkaitan erat dengan jumlah anak bagi orang tua, tau kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhi oleh anak. Demikian juga Mulyaningsih (1998), mengemukakan mengemukakan bahwa nilai anak merupakan gagasan yang mendorong tingkahlaku individu dalam memberikan makna terhadap kehadiran seorang anak, selanjutnya akan menentukan jumlah anak yang diinginkan dalam keluarga.

Nilai anak akan dapat mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan atau dimiliki. Sebagian orang berpendapat bahwa jumlah anak banyak dapat merupakan asset keluarga yang menguntungkan karena dapat diharapkan untuk membantu keluarga, khususnya di bidang ekonomi. Akan tetapi sebagian orang lain berpendapat sebaliknya, yaitu anak banyak hanyalah merupakan beban ekonomi keluarga yang tidak ringan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya jumlah anak akan menyebabkan juga banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan sebagai kewajiban dan rasa tanggung jawab orang tua (Fawcet, 1984).

Pada masa yang lalu banyak terdapat pandangan masyarakat tentang jumlah anak yang tidak sepenuhnya benar. Pendapat tradisional bahwa "Banyak Anak Banyak Rezeki" dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap masyarakat telah diganti dengan pendapat bahwa banyak anak banyak susah dan melahirkan banyak anak adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap anak dan masyarakat. Perubahan telmologi, perubahan ekonomi dan perubahan nilai, semuanya terlibat dalam perubahan besarnya jumlah anggota keluarga. Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud dengan persepsi nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB (Siregar, 2003).

Fertilitas merupakan proses pengambilan keputusan oleh individu-individu atau pasangan-pasangan suami-istri untuk mempunyai anak. Dalam proses pengambilan keputusan ini ada dua ciri yaitu : pertama keputusan aktual dalam masalah fertilitas tidak selalu diambil secara sadar dan tidak selalu merupakan tindakan yang diambil dalam waktu singkat saja, ciri kedua dalam proses pengambilan keputusan ini adalah bahwa keputusan untuk mempunyai anak jarang hanya dibuat sekali saja, akibat paling akhir adalah proses yang panjang atau suatu seni keputusan-keputusan yang lebih kecil (Kemmeyer, 1981 dikutip Subagio, 1991).

Teori fertilitas mengasumsikan bahwa permintaan untuk mendapatkan sejumlah anak ditentukan oleh preferensi keluarga itu sendiri atas jumlah anak yang dianggap ideal (biasanya yang lebih mereka inginkan adalah anak laki-laki). Anak, bagi masyarakat miskin, dipandang sebagai investasi ekonomi yang nantinya diharapkan akan mendatangkan suatu “hasil” baik dalam bentuk tambahan tenaga kerja maupun sebagai sampiran finansial orang tua di masa usia lanjut.

Menurut Kuznets bahwa penduduk di negara-negara berkembang mudah sekali beranak pinak karena kondisi sosial dan ekonomi (Todaro, 2000). Selain faktor sosial ekonomi, antara lain pendidikan dan penghasilan, dijumpai pula faktor penentu yang bersifat kultural dan psikologis yang sangat mempengaruhi keputusan keluarga dalam menentukan jumlah anak sehingga dua atau tiga anak yang pertama harus dianggap sebagai “barang konsumsi” yang tingkat permintaannya tidaklah begitu responsif. Atau, dengan kata lain dua atau tiga orang anak harus dipunyai oleh setiap keluarga, terlepas dari berapa pun harga relatifnya.

Keinginan seseorang untuk mempunyai sejumlah anak dan memilih sejumlah jenis kelamin anak tertentu, berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan. Pada tahap pembentukan keluarga, pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tekanan budaya umum untuk mempunyai anak pada tahap-tahap berikutnya, pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan khusus, dan akhirnya faktor-faktor keadaan khusus inilah yang menentukan besarnya keluarga akhir bagi pasangan suami-istri (Kemmeyer, 1981 dikutip Subagio, 1991)

Robinson dan Harbinson (1983), menyimpulakn bahwa pembuatan keputusan tentang fertilitas dalam hal ini jumlah anak adalah dorongan ekonomi, dorongan non-ekonomi serta dorongan kegunaan anak. Kekuatan non-ekonomi, budaya sosial, dan psikologis semuanya berinteraksi menentukan pengambilan keputusan fertilitas oleh pasangan-pasangan suami-istri.

Menurut Easterlin dalam Robinson (1983) bahwa permintaan akan anak sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang seperti agama, kondisi pemukiman, pendidikan, umur dan tipe keluarga. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap-sikap fertilitas yang berdasarkan atas karakteristik tersebut di atas. Demikian juga dengan pendapatan, pendapatan yang lebih besar cenderung menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi. Pendapatan tertinggi oleh kebanyakan keluarga dikonsepsikan berdasarkan atas perbandingan dengan tingkat pendapatan orang tua atau pendapatan keluarga sekitarnya (pergaulan). Suatu variasi lain yang dikemukakan oleh Turchi. Ia berpendapat bahwa pendapatan mempunyai pengaruh negatif terhadap fertilitas.

Menurut Hull (1995), ada lima konsep dasar untuk studi-studi tentang ukuran jumlah anak adalah :

(a) Harga seorang anak : mengarah pada apa yang harus dibayar orang tua pada standart yang berbeda

(b) Biaya seorang anak : mengarah pada apa yang sebenarnya dibayar

(c) Masukan orang tua : mengarah pada aliran sumberdaya dari pembayaran pembuatan biaya

(d) Keuntungan seorang anak : bagian dari seluruh pendapatan orang tua sebagai hasil dari usaha atau kualitas anak.

(e) Nilai seorang anak : keuntungan bersih setelah dikurangi biaya.

Menurut Ehlirch (1981) beberapa dari organisasi KB dan perserikatan untuk pemandulan dan sukarela mendesak ide dua anak sebagai cita-cita dan mengambil tindakan yang lebih tegas dari pada sebelumnya. Sejalan dengan hal di atas, keinginan memiliki anak sedikit sebagai jumlah anak ideal dapat diartikan sebagai penerimaan norma dua anak sebagai norma keluarga dan hal ini berpengaruh dalam terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (Tampubolon, 1995).

Dalam pernyataan Easterlin baru-baru ini mengenai “kerangka ekonomi dalam analisa fertilitas”, mengungkapkan bahwa pembentukan kemampuan potensial dari anak tergantung pada fertilitas alami dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa. Fertilitas alami tergantung pada antara lain pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, serta praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat maka akan terjadi perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan

faktor-faktor biologis lainnya. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai akan anak dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai anak mempunyai pengaruh dengan fertilitas. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pengaruh nilai anak dalam menentukan keinginan memiliki anak mengenai jumlah anak dan kelengkapan jenis kelamin

2.3 Program Keluarga Berencana